ABSTRACTOrganization represent medium activity of people in tired effort target. To execute and reach target, hence needed by human resource. Human resource top-drawer element or asset among other organizational elements. Important human resource because of influencing organizational effectiveness and efesiensi, and human resource represent expenditure of organizational fundamental in running its duty. Human resource in relation to this matter is Public Servant Of Civil that is as activator of administration mechanism wheel in governance organization. Accurate writer and study about "Construction of governance aparatur in order to improving the quality of job at office District Of Siau East Sub-Province of Sitaro". This research focussed at construction of discipline, construction of career, and construction of profession ethics seen result of job, ability, quality of job, skilled, seriousness, accuracy of time of itself aparatur. Methodologies qualitative as research procedure yielding descriptive data in the form of words written or oral the than behavior and people able to perceive. Research technique in this research is : 1) Observation 2) Interview; and 3) Study Documentation. Location Research is place where that research conducted, and location selected for research is Office District Of Siau East Sub-Province of Sitaro. Target Research/source of able to give information selected "Purposively" apropos of specific-purpose. Processing and data analysis conducted by stages: 1) Discount Data 2) Display Data; and 3) Conclusion / Data verification.Keywords : Officer Construction, Job QualityI.PENDAHULUANOrganisasi merupakan sarana kegiatan orang-orang dalam usaha mencapai tujuan. Untuk melaksanakan dan mencapai suatu tujuan tersebut, maka diperlukan sumber daya manusia. Sumber daya manusia adalah aset atau unsur yang paling penting diantara unsur-unsur organisasi lainnya. Sumber daya manusia penting dikarenakan mempengaruhi efesiensi dan efektivitas organisasi, dan sumber daya manusia merupakan pengeluaran pokok organisasi dalam menjalankan tugasnya. Sumber daya manusia dalam kaitan dengan hal ini adalah Pegawai Negeri Sipil yaitu sebagai penggerak roda mekanisme administrasi dalam organisasi pemerintahan.Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur negara dan abdi masyarakat mempunyai peran sangat penting dalam pembangunan untuk menciptakan masyarakat madani yang taat hukum, peradaban modern, demokratis, makmur,2adil, dan bermoral tinggi menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata kepada masyarakat, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Akan tetapi didalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan, Pegawai Negeri Sipil masih banyak mengalami berbagai macam masalah yakni prestasi kerja pegawai yang masih rendah, kurang mematuhi peraturan kedisiplinan pegawai, dan kurang menghargai waktu.Dalam rangka era otonomi daerah pada saat ini, kantor Kecamatan Kabupaten Sitarosebagai lembaga pemerintahan dituntut untuk berperan aktif dalam pelayanan bidang kesehatan. Kesehatan merupakan sebuah investasi bagi negara, dalam artian hanya manusia yang sehat secara jasmani maupun rohani yang dapat melakukan pembangunan bangsa Indonesia ini.Oleh karena itu Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro sangat membutuhkan pegawai yang benar-benar mampu, berdaya guna, berkualitas tinggi, dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur negara dan abdi masyarakat. Untuk mewujudkan pegawai sebagaimana yang dimaksud diatas maka Pegawai Negeri Sipil perlu dibina dengan sebaik-baiknya. Adapun tujuan pembinaan ini untuk membentuk sikap aparatur negara agar berorientasi kepada pembangunan dan bertindak sebagai pemerakarsa pembaharuan dan bertindak sebagai penggerak pembangunan.Berdasarkan pra observasi penulis, pegawai pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro, saat ini masih ada pegawai yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan yang diharapkan, hadir tidak tepat waktu, semangat kerja yang menurun yang kemungkinan disebabkan karena jenuh, dan adanya pegawai yang keluar masuk kantor pada jam kerja. Selain itu ada juga pegawai yang melimpahkan pekerjaannya kepada orang lain dengan berbagai alasan, padahal itu merupakan tanggung jawabnya yang telah diberikan kepadanya.Pembinaan pada pegawai yang ada, pada akhirnya akan meningkatkan prestasi kerja yang lebih baik. Berkaitan dengan hal itu maka seorang Pegawai Negeri Sipil perlu mendapatkan pembinaan. Dan pembinaan pegawai harus dilakukan secara keseluruhan, sistematis dan berkesinambungan, yang berarti bahwa pembinaan Pegawai Negeri Sipil tidak bisa dilakukan secara terpisah, tapi perlu dilakukan secara terarah, komprehensif dan terintegrasi dengan menggunakan konsep yang jelas.Berdasarkan uraian singkat diatas, penulis tertarik untuk meneliti dan membahas hal ini menjadi objek penelitian. Adapun judul yang penulis ajukan adalah: "Pembinaan aparatur pemerintahan dalam rangka meningkatkan kualitas kerja pada kantor Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro".3II. KERANGKA KONSEPTUALA. Konsep Pembinaan PegawaiDalam Undang-Undang No.43 tahun 1999 tentang pokok-pokok kepegawaian dinyatakan bahwa pembinaan pegawai merupakan suatu usaha yang penting dalam organisasi kerena dengan pembinaan pegawai ini organisasi akan lebih maju dan berkembang.Malthis bahwa pembinaan pegawai adalah suatu kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan kecakapan pegawai guna pertumbuhan yang berkesinambungan didalam organisasi.Widjaja (1986:15) pembinaan pegawai adalah segala usaha untuk meningkatkan kemampuan dalam melaksanakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan.Dari ketiga defenisi tersebut, jelas bahwa pembinaan pegawai dilaksanakan untuk pertumbuhan dan kesinambungan kualitas pegawai dalam suatu organisasi. Dengan demikian maka pembinaan pegawai pada hakekatnya adalah peningkatan kemampuan pegawai dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui tugas pokok dan fungsinya dalam pelaksanaan pembangunan sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan.Arah Pembinaan Pegawai Negeri SipilWursanto (1997:13), pembinaan pegawai negeri diarahkan kepada:1. Satuan organisasi lembaga pemerintah mempunyai jumlah dan mutu pegawai yang rasional, sesuai dengan jenis, sifat dan beban kerja yang dibebankan kepadanya.2. Pembinaan seluruh Pegawai Negeri Sipil terintegrasi artinya terhadap semua pegawai negeri sipil berlaku ketentuan yang sama.3. Pembinaan Pegawai Negeri Sipil dilaksanakan atas dasar sistem karir dan sistem prestasi.4. Pengembangan sistem penggajian diarahkan untuk menghargai prestasi kerja dan besarnya tanggung jawab.5. Tindakan korektif terhadap pegawai yang benar-benar melanggar ketentuan yang berlaku dilaksanakan secara tegas.6. Penyempurnaan sistem administrasi kepegawaian dan sistem pengawasannya dapat dilaksanakan.7. Pembinaan dan kesetiaan dan ketaatan penuh terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan pemerintah tetap terjamin.Adapun pembinaan Pegawai Negeri Sipil bertujuan untuk membentuk sikap aparatur negara agar berorientasi kepada pembangunan dan bertindak sebagai pemerakarsa pembaharuan dan sebagai penggerak pembangunan. Dan manfaat dari pembinaan Pegawai Negeri Sipil adalah mewujudkan citra pegawai yang penuh dengan kesetiaan dan ketaatan kepada pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan pemerintah yang bersatu padu, bermental baik, berwibawa, berdaya guna, berhasil guna, bersih, berkualitas tinggi dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat.4Model Pembinaan Pegawai Negeri Sipila. Pembinaan Disiplin Pegawai Negeri SipilDisiplin adalah keadaan yang menyebabkan atau memberikan dorongan kepada pegawai untuk berbuat dan melakukan segala kegiatan sesuai dengan norma-norma atau aturan yang telah ditetapkan (Wursanto,1997:108). Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah No.30 Tahun 1980 yang berisi tentang daftar kewajiban, larangan dan sanksi seorang Pegawai Negeri Sipil. Menurut Peraturan Pemerintah No.30 Tahun 1980 pereturan disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah peraturan yang mengatur kewajiban, larangan, dan sanksi apabila kewajiaban tidak ditaati atau larangan dilanggar oleh Pegawai Negeri Sipil.b. Pembinaan Karir Pegawai Negeri SipilUsmara (2002:278) pembinaan karir bertujuan untuk mngembangkan karir Pegawai Negeri Sipil dengan demikian ada beberapa pilihan pengembangan karir, yaitu :1. Pengembangan dan peningkatan melalui pemberian tugas secara khusus.2. Pengembangan ke arah samping sesuatu pekerjaan yang lain, yang mungkin lebih cocok dengan keterampilannya dengan memberi pengalaman yang lebih luas, tantangan baru serta memberikan kepercayaan dan kepuasan yang lebih besar. Ini disebut dengan pengembangan karir lateral atau demosi.3. Pengembangan ke arah atas pada posisi yang mempunyai tanggung jawab dan wewenang yang lebih besar dibidang keahlian khusus atau bahkan keahlian khusus yang baru. Ini disebut dengan promosi.4. Pergerakan ke arah bawah yang mungkin dapat merefleksikan sesuatu peralihan atau pertukaran prioritas pekerjaan bagi pegawai untuk mengurangi resiko atau tanggung jawab dan stress, menempatkan posisi karyawan tersebut ke arah yang lebih tepat sekaligus sebagai kesempatan atau peluang yang baru. Inilah yang disebut dengan mutasi.c. Pembinaan Etika Profesi Pegawai Negeri SipilPembinaan Etika Profesi Pegawai Negeri Sipil menurut PP nomor 42 Tahun 2004 dalam (www.bkn.go.id.penelitian) digunakan terminologi pembinaan jiwa korps dan kode etik Pegawai Negeri Sipil, adalah semacam rancangan (design) yang menjelaskan tentang berbagai komponen yang perlu ada dalam pembinaan etika profesi Pegawai Negeri Sipil, sehingga dapat dipakai sebagai pola acuan atau pedoman oleh pimpinan instansi pemerintah pada setiap jenjang dalam melakukan pembinaan etika profesi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan instansi atau unit kerja masing-masing. Pembinaaan etika profesi tersebut meliputi :1. Pembinaan Jiwa Korps Pegawai Negeri Sipil2. Kode Etik Pegawai Negeri SipilB. Konsep Prestasi KerjaPrestasi adalah "kemampuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari sarana dan prasarana yang tersedia dengan menghasilkan keluaran (output) yang optimal, bahkan kalau mungkin yang maksimal" (Siagian, 1988:12).5Sedangkan menurut Winardi (1972:393) prestasi adalah "jumlah yang dihasilkan setiap pekerja dalam jangka waktu terentu".Kasmir (2000:126) prestasi kerja merupakan prestasi seseorang dalam melakukan pekerjaannya melai dari disiplin waktu bekerja dan pencapain target maupun kualitas pekerjaannya. Menurut Hasibuan (2003:105) prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan serta waktu.Rao (1986:23) juga mengatakan bahwa prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang diperoleh dari kemampuan setiap pegawai dalam melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan peran atau kedudukan mereka.Dari beberapa defenisi di atas prestasi kerja dapat dilihat dari hasil kerja yang dicapai baik secara individu maupun secara kelompok. Hasil tersebut dapat berupa barang atau jasa yang dapat diukur melalui kualitas atau mutu kerja, volume kerja, dan ketepatan waktu dalam menyelesaikan suatu pekerjaan serta kemampuan untuk memecahkan suatu persoalan atau permasalahan.Dasar Prestasi KerjaMoesanif (1986:209), yaitu sebagai berikut:1) Kecapakan dibidang tugas2) Keterampilan melakukan tugas3) Pengalaman dibidang tugas4) Bersungguh-sungguh dalam melaksankan tugas5) Pengaruh kesehatan jasmani dan rohani6) Melaksanakan tugas secara berdaya guna7) Berhasil guna dan hasil kerja melebihi yang ditentukanManfaat dan Tujuan Penilai Prestasi KerjaHandoko (2001:135) manfaat dari penilaian prestasi kerja, antara lain:1. Perbaikan prestasi kerja2. Penyesuaian-penyesuaian kompensasi3. Keputusan-keputusan penempatan4. Kebutuhan-kebutuhan dan latihan pengembangan5. Perencanaan dan pengembangan karir6. Penyimpangan-penyimpangan proses staffing7. Ketidakteraturan informasional8. Kesempatan kerja yang adil9. Tantangan-tantangan eksternalTujuan penilaian prestasi kerja antara lain:1. Mengidentifikasi pegawai mana yang membutuhkan pendidikan dan latihan.2. Menetapkan kenaikan gaji dan upah tambahan lainnya.3. Menetapkan kemungkinan pemindahan pegawai pada tugas yang baru.4. Menetapkan kebijaksanan baru dalam rangka reorganisasi.5. Mengidentifikasi para pegawai yang akan dipromosikan kepada jabatan yang lebih tinggi. (Martoyo, 1990: 95).6III. METODE PENELITIANFokus penelitian ini adalah Pembinaan aparatur pemerintahan dalam rangka meningkatkan kualitas kerja. Yang dimaksud dengan pembinaan dalam penelitian ini adalah suatu kegiatan atau bentuk usaha yang dilakukan dengan cara pembinaan disiplin, pembinaan karir, dan pembinaan etika profesi Pegawai Negeri Sipil didalam suatu organisasi pemerintahan untuk meningkatkan kemampuan pegawai dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui tugas pokok dan fungsinya supaya tercapainya visi dan misi organisasi pemerintahan tersebut. Sedangkan prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai oleh seorang Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya atas kecakapan, keterampilan, kesungguhan, serta waktu.Penelitian ini difokuskan pada pembinaan disiplin, pembinaan karir, dan pembinaan etika profesi dengan melihat hasil kerja, kemampuan, kualitas kerja, ketrampilan, kesungguhan, ketepatan waktu dari aparatur itu sendiri.Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2000:3) mendefinisikan "Metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati."Teknik penelitian dalam penelitian ini adalah :1. Observasi2. Wawancara3. Studi DokumentasiLokasi penelitian adalah tempat dimana penelitian itu dilakukan, dan lokasi yang dipilih untuk penelitian adalah Kantor Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro.Nasution (1999:32) dalam penelitian kualitataif yang dijadikan sampel hanyalah sumber yang dapat memberikan informasi. Sample yang dapat berupa hal, paristiwa, manusia, situasi yang berobservasi. Sering sampel dipilih secara "Purposive" bertalian dengan purpose atau tujuan tertentu, sering pula informan diminta untuk menunjuk orang lain dan seterusnya, cara ini lazim disebut "Snowball Sampling" sampling-sampling yang dilakukan secara berurutan."Sasaran penelitian/sumber yang dapat memberikan informasi dipilih secara "Purposive" bertalian dengan tujuan tertentu. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Moleong (2000:165) yang menyatakan bahwa: pada penelitian kualitataif tidak ada sampel acak, tetapi sampel bertujuan. Data telah diperoleh dari wawancara disusun dalam bentuk catatan lengkap setelah didukung oleh hasil observasi dan dokumentasi.Pengolahan dan analisis data dilakukan langkah-langkah :1. Reduksi Data2. Display Data3. Kesimpulan/Verifikasi Data7IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANA. Pembinaan Aparatur Pemerintahan di Kecamatan Siau TimurPembinaan pegawai dapat diukur melalui tiga faktor yang terdiri dari Pembinaan disiplin, Pembinaan karir dan Pembinaan etika profesi. Pembinaan disiplin dibagi kedalam dua asumsi yaitu: pertama, Penegakan disiplin yang meliputi kegiatan mengikuti apel pagi dan sore, menandatangani daftar hadir, setelah masuk jam kerja wajib berada diruangan kerja. Dan kedua, Pemberian sanksi yaitu memberikan hukuman kepada pegawai yang tidak disiplin.Kemudian Pembinaan karir dibagi kedalam empat asumsi yaitu: pertama, Pendidikan dan pelatihan yaitu upaya yang dilakukan instansi untuk menambah pengetahuan, keterampilan, dan sikap pegawai. kedua, promosi yaitu memberikan kesempatan kepada pegawai pada satu tugas yang lebih baik dalam suatu organisasi. Ketiga, mutasi yaitu kegiatan pemindahan pegawai dari suatu tempat ketempat lain yang relatif sama dalam tanggung jawab dan wewenang. Dan yang keempat, bimbingan dan pengarahan yaitu upaya yang dilakukan pimpinan dalam memberikan saran terhadap pelaksanaan tugas. Sedangkan Pembinaan etika profesi terdiri dari Memotivasi pegawai, yaitu memberikan dorongan kepada pegawai akan pentingnya tanggung jawab terhadap tugas dan pekerjaannya.1. Pembinaan Disiplina. Penegakan DisiplinPembinaan disiplin dapat dilakukan dengan cara penegakan disiplin pada instansi pemerintah, dalam hal ini yaitu Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro. Upaya yang dapat dilakukan dalam penegakan disiplin mengikuti apel pagi dan sore, menandatangani daftar hadir, setelah masuk jam kerja wajib berada diruangan kerja.Berdasarkan jawaban informan tentang adanya peraturan disiplin pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro terdapat secara umum menjawab ada dan peraturan disiplin tersebut sangat jelas. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh salah seorang staf pada kantor Kecamatan Siau Timur, beliau menuturkan bahwa, "peraturan disiplin disini sebenarnya sudah sangat jelas karena memang ada dan selalu disampaikan, bahkan ditempel di masing-masing ruangan seksi."Dengan adanya peraturan disiplin ini maka pegawai tidak dapat sesuka hatinya dalam melakukan pekerjaan. Kemudian tentang pengisian daftar hadir sebelum dan sesudah jam kerja, menurut staf yang juga diwawancarai mengatakan bahwa "hal ini selalu disampaikan kepada seluruh pegawai yang ada. Setiap hari diingatkan kepada pegawai oleh pimpinan, karena walaupun hadir tetapi jkalu tidak mengisi daftar hadir sebelum dan sesudah jam kerja, kehadiran tidak diperhitungakan, inikan tentunya merupakan kerugian bagi pegawai itu sendiri."Hal ini berarti pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro bukan saja ada dan peraturan disiplin yang sangat jelas tetapi juga disosialisasikan kepada para pegawai. Dan selanjutnya pegawai yang ada pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro sering melakukan pengisian daftar hadir8sebelum dan sesudah jam kerja. Hal ini terlihat pada jawaban informan pada wawancara yakni terdapat semuanya menjawab menjawab sering.Menurut pegawai yang ada pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro, mereka perlu meminta ijin ketika keluar dari tempat bekerja sebelum habis jam kerja, karena bila hal ini tidak dilakukan maka mereka dianggap tidak hadir di tempat kerja. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Sekretaris Kecamata Siau Timur, "pegawai disini patuh terhadap aturan, mereka tidak mungkin keluar dari kantor kalau tidak diberikan ijin oleh pejabat diatasnya, apalagi disaat jam kerja atau disaat banyak pekerjaan yang dilakukan, karena kalau mereka melakukan hal tersebut maka akan diberikan sanksi dan paling berat, yaitu mereka dianggap tidak masuk kerja pada hari tersebut."b. Pemberian SanksiPembinaan disiplin dapat dilakukan juga dengan cara pemberian sanksi atau hukuman kepada pegawai yang tidak disiplin. Pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro menurut pegawai, jika melakukan pelanggaran atas peraturan yang telah ditetapakan maka kadang-kadang akan diberi sanksi oleh atasan. Hal ini sesuai dengan jawaban informan yang mengatgakan bahwa "pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh pegawai hanya kadang-kadang mendapatkan sanksi yang setimpal dan sesuai dengan peraturan perundag-undangan. Kadang-kadang berlaku standard ganda dalam pemberian sanksi. Ada pegawai yang sering terlambat tapi tidak pernah diberikan sanksi, sementara itu ada yang baru satu kali terlambat tetapi langsung diberikan sanksi.". Dengan demikian dapat dinilai bahwa Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro kurang memberikan hukuman kepada pegawainya yang terkadang melakukan pelanggaran atas peraturan yang telah ditetapakan.2. Pembinaan karira. Pendidikan Dan PelatihanPembinaan karir dapat dilakukan salah satunya dengan cara Pendidikan dan pelatihan yaitu upaya yang dilakukan instansi untuk menambah pengetahuan, keterampilan, dan sikap pegawai. Untuk mengukur pendidikan dan pelatihan yang ada pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro penulis menggunakan dua pertanyaan pada wawancara yang dilakukan kepada pegawai Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro, yaitu pertanyaan tentang pentingnya pendidikan dan pelatihan untuk dilaksanakan dan tentang program pendidikan dan pelatihan telah sesuai dengan kebutuhan pegawai.Berdasarkan jawaban informan tentang pentingnya pendidikan dan pelatihan untuk dilaksanakan secara umum menjawab penting. Hal ini sebagaimana yang dijawab oleh salah seorang staf di Kantor Camat, "bagi kami diklat sangat penting, karena lewat diklat kami diajarkan banyak hal menyangkut tata kerja, tata kelola, dan lain-lain yang sangat membantu kami memahami pekerjaan kami setiap hari. Manfaatnya sangat terasa karena perkembangan ilmu pengetahuan sangat pesat, kalau kami tidak mengikutinya maka akan semakin tertinggal dan dampaknya adalah bagi kinerja kami dalam pelayanan masyarakat."9Dengan demikian menurut pendapat pegawai Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro bahwa penting dilakukan pendidikan dan pelatihan. Karena pendidikan dan pelatihan ini sangat dibutuhkan untuk mendukung kemahiran dan keterampilan dalam bekerja.Pertanyaan berikutnya adalah apakah pendidikan dan pelatihan yang diadakan oleh Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro telah sesuai dengan kebutuhan pegawai. Menurut Sekretaris Kecamatan Siau Timur yang diwawancarai mengatakan bahwa, "Pelaksanaan Diklat selalu didahului dengan analisis kebutuhan pegawai sehingga diklat yang dilakukan tidak sia-sia melainkan tepat sasaran. Misalnya kebutuhan akan penguasaan computer, berdasarkan analisis awal hal ini sangat dibutuhkan dan rata-rata pegawai masih kurang dpengetahuannya tentang computer, maka dilakukanlah pelatihan computer bagi seluruh aparat. Hasilnya sangat terasa, karena kinerja pegawai lebih baik dan lebih cepat." Dengan demikian dapat dinilai bahwa program pendidikan dan pelatihan yang diadakan oleh Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro telah sesuai dengan kebutuhan pegawai.b. PromosiPromosi yaitu memberikan kesempatan kepada pegawai pada satu tugas yang lebih baik dalam suatu organisasi. Untuk mengukur promosi yang ada pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro penulis menggunakan dua pertanyaan pada wawancara yang dilakukan kepada pegawai Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro, yaitu pertanyaan tentang pemberian penghargaan atas hasil kerja pegawai dan tentang tingkat pendidikan mempengaruhi untuk memperoleh promosi.Berdasarkan jawaban informan pada wawancara tentang pemberian penghargaan atas hasil kerja pegawai secara umum menjawab kadang-kadang. Hal ini menunjukkan kurangnya perhatian pimpinan untuk memberikan penghargaan atas hasil kerja pegawai. Dan hal ini dapat menyebabkan kurang semangatnya pegawai dalam melakukan pekerjaannya karena kurang mendapatkan penghargaan. Dan kemudian menurut pendapat pegawai yang ada pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro bahwa kadang-kadang tingkat pendidikan mempengaruhi untuk memperoleh promosi. Hal ini sesuai dengan jawaban informan yang menjawab kadang-kadang tingkat pendidikan mempengaruhi untuk memperoleh promosi, karena selebihnya adalah menurut rasa suka atau tidak suka serta factor kedekatan dengan pimpinan.c. MutasiPembinaan karir juga dapat dilakukan dengan cara mutasi. Mutasi merupakan kegiatan pemindahan pegawai dari suatu tempat ketempat lain yang relatif sama dalam tanggung jawab dan wewenang. Untuk mengukur mutasi yang ada pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro penulis menggunakan dua pertanyaan pada wawancara yang dilakukan kepada pegawai Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro, yaitu pertanyaan tentang mutasi merupakan hal yang baik untuk meningkatkan prestasi kerja pegawai, dan tentang lamanya masa jabatan berpengaruh untuk dimutasikan.Berdasarkan jawaban informan pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro yaitu seorang staf mengatakan bahwa "setuju bahwa mutasi10merupakan hal yang baik untuk meningkatkan prestasi kerja pegawai. Karena mutasi dapat mengusir rasa jebuh dalam bekerja, serta memberikan kesempatan untuk mendapatkan tantangan baru dan peningkatan karir." Bahkan pegawai yang berada pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro juga mengerti terhadap lamanya masa jabatan berpengaruh untuk dimutasikan. Hal ini sesuai dengan wawancara kepadsa staf tersebut dimana beliau menuturkan bahwa, "lamanya masa jabatan bias memberikan pengaruh terhadap kinerja, karena motivasi akan berkurang. Jadi dalam rangka penyegaran, mutasi sangat masuk di akal untuk dilakukan".d. Bimbingan Dan PengarahanUpaya yang dapat dilakukan dalam pembinaan karir salah satunya adalah bimbingan dan pengarahan. Bimbingan dan pengarahan merupakan upaya yang dilakukan pimpinan dalam memberikan saran terhadap pelaksanaan tugas. Untuk mengukur bimbingan dan pengarahan yang dilakukan pimpinan pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro penulis menggunakan tiga pertanyaan pada wawancara yang dilakukan kepada pegawai Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro, yaitu pertanyaan tentang pelaksanaan tugas dan fungsi pegawai telah dilaksanakan sesuai dengan rencana dan tujuan organisasi pemerintahan, tentang pemberian bimbingan atau pengarahan oleh pimpinan kepada bawahan dalam melaksanakan tugas, dan tentang pimpinan selalu mengatahui permasalahan yang dihadapi bawahan dalam menjalankan tugas.Pegawai yang ada pada Kecamatan Siau TimurKabupaten Sitaro pada umumnya telah melaksanakan tugas dan fungsi pegawai sesuai dengan rencana dan tujuan organisasi pemerintahan. Hal ini dapat dilihat pada wawancara, secara umum menjawab pelaksanaan tugas dan fungsi pegawai telah dilaksanakan sesuai dengan rencana dan tujuan organisasi pemerintahan. Hal ini membuktikan bahwa pegawai sudah melaksanakan tugasnya dengan cukup baik dan sesuai dengan visi dan misi Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro.Demikian halnya dengan pemberian bimbingan dan pengarahan pimpinan kepada bawahannya. Hal ini dapat dilihat berdasarkan jawaban dari salah seorang staf yang menyatakan bahwa, "saya sering mendapatkan bimbingan atau pengarahan oleh pimpinan dalam melaksanakan tugas dalam rangka kelancaran dan mengurangi resiko kesalahan. Dalam hal ini pimpinan sangat memperhatikan, setiap melakukan suatu pekerjaan saya selalu mendapatkan pengarahan sebelum melakukan tugas pekerjaan tersebut."Dan selanjutnya pimpinan Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro juga sering mengatahui permasalahan yang dihadapi bawahan dalam menjalankan tugas. Hal ini sesuai dengan jawaban informan yang menyatakan bahwa sering pimpinan mengatahui permasalahan yang dihadapi bawahan dalam menjalankan tugas. Berdasarkan jawaban informan pada wawancara, dapat dikatakan bahwa bimbingan dan pengarahan yang dilkukan oleh pimpinan Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro sudah baik.113. Pembinaan Etika ProfesiPembinaan etika profesi dapat dilakukan dengan upaya memotivasi pegawai. Memotovasi pegawai merupakan upaya memberikan dorongan kepada pegawai akan pentingnya tanggung jawab terhadap tugas dan pekerjaannya. Untuk mengukur motivasi pegawai pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro penulis menggunakan tiga pertanyaan pada wawancara yang dilakukan kepada pegawai Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro, yaitu pertanyaan tentang pimpinan pernah memberikan motivasi kepada bawahan atas tanggung jawab terhadap tugas dan pekerjaan, tentang pemahaman kewajiban pegawai dalam melaksanakan tugas pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro, dan selanjutnya tentang pegawai yang selalu menjaga dan menjalin kerjasama yang kooperatif antara sesama teman bekerja.Pegawai yang ada pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro pada umumnya sering diberi motivasi tentang tanggung jawab terhadap tugas dan pekerjaan oleh atasannya. Hal ini sesuai dengan jawaban informan yang menyatakan sering pimpinan Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro memberikan motivasi kepada bawahannya tentang tanggung jawab terhadap tugas dan pekerjaan. Dengan memberikan motivasi maka pegawai akan tetap semangat dan selalu bertanggung jawab atas pekerjaannya.Kemudian para pegawai Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro mengerti atas kewajiban pegawai dalam melaksanakan tugas. Hal ini sesuai dengan jawaban informan pada wawancara yakni mayoritas informan menyatakan bahwa informan paham atas kewajiban pegawai dalam melaksanakan tugas pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro, dengan demikian akan mempermudah Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro untuk menciptakan pegawai yang berdaya guna dan berkualitas.Menjalin kerjasama antara sesama pegawai juga merupakan hal yang sangat penting dalam suatu organisasi pemerintahan. Oleh karena itu pegawai yang ada pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro selalu menjaga dan menjalin kerjasama yang kooperatif antara sesama teman bekerja. Hal ini sesuai dengan jawaban informan yang menyatakan sering menjaga dan menjalin kerjasama yang kooperatif antara sesama teman. Berdasarkan jawaban-jawaban informan di atas, dapat dikatan bahwa pembinaan etika profesi pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro sudah cukup baik.B. Prestasi Kerja Pegawai pada Kantor Kecamatan Siau TimurPrestasi kerja dapat diukur melalui enam factor yang terdiri dari hasil kerja, kemampuan atau kecakapan kerja, kualitas kerja, ketrampilan atau kreativitas, kesungguhan dan ketepatan waktu.1. Hasil KerjaHasil kerja, yaitu apa yang diperoleh dari pekerjaan yang telah dilaksanakan. Untuk mengukur hasil kerja pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro penulis menggunakan tiga pertanyaan pada wawancara yang dilakukan kepada pegawai Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro, yaitu pertanyaan tentang penyelesaian pekerjaan sesuai dengan sasaran yang telah12ditentukan, dan pertanyaan tentang kepuasan hasil kerja yang diperoleh selama bekerja, dan selanjutnya tentang usaha Pegawai untuk mencari cara terbaik dalam melakukan pekerjaan.Para pegawai yang bekerja pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro pada umumnya dalam menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan sasaran yang telah ditentukan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan jawaban informan Sekretaris Kecamatan yang mengatakan bahwa, "para pegawai cukup professional dalam melaksanakan pekerjaannya, mereka melakukannya sesuai dengan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, sehingga target kerja tercapai." Dengan demikian pegawai telah menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan sasaran Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro, sehingga akan mempermudah pencapaian visi dan misi serta kemajuan organisasi tersebut.Demikian halnya dengan kepuasan dalam bekerja, pegawai Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro sudah merasa puas dengan hasil kerja yang diperoleh selama bekerja, hal ini terlihat dari sebagian besar yang menjawab puas. Kepuasan pegawai dalam bekerja juga diiringi oleh usaha Pegawai untuk mencari cara terbaik dalam melakukan pekerjaan. Hal ini sesuai dengan jawaban informan pada umumnya yang menyatakan sering mencari cara terbaik dalam melakukan pekerjaan.2. Kemampuan atau Kecakapan KerjaKemampuan atau kecakapan kerja, yaitu keterampilan yang dimiliki sesuai atau tidak dengan pekerjaan atau jabatan yang diemban oleh pegawai. Untuk mengukur. kemampuan atau kecakapan kerja pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro penulis menggunakan dua pertanyaan pada wawancara yang dilakukan kepada pegawai Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro, yaitu pertanyaan tentang penguasaan pekerjaan yang dilakukan pegawai dalam melaksanakan pekerjaan rutin, dan selanjutnya tentang peningkatan kualitas pekerjaan yang dilakukan pegawai dari waktu kewaktu.Penguasaan pekerjaan dalam melaksanakan pekerjaan rutin merupakan hal yang sangat penting. Karena apabila pegawai tidak menguasai pekerjaannya maka hasil dari pekerjaan tersebut tidak akan baik dan sudah pasti tidak sesuai dengan sasaran yang telah ditentukan oleh organisasi pemerintahan tersebut. Namun hal seperti ini tidak dijumpai pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro. Karena pegawai yang ada pada kantor tersebut pada umumnya telah menguasai pekerjaannya. Hal ini dapat dilihat pada wawancara yang menyatakan bahwa jawaban informan tentang penguasaan pekerjaan yang dilakukan pegawai dalam melaksanakan pekerjaan rutin pada umumnya menjawab menguasai.Demikian halnya pegawai pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro selalu meningkatkan kualitas pekerjaan yang dilakukan pegawai dari waktu kewaktu. Hal ini sesuai dengan jawaban informan yang menyatakan sering melakukan peningkatan kualitas pekerjaan yang dilakukan dari waktu kewaktu.3. Kualitas KerjaKualitas kerja, yaitu seberapa baik kualitas atau mutu kerja yang dapat dihasilkan pegawai dalam pekerjaannya. Untuk mengukur Kualitas Kerja pada13Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro penulis menggunakan dua pertanyaan pada wawancara yang dilakukan kepada pegawai Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro, yaitu pertanyaan tentang ketelitian dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan yang diberikan oleh pimpinan, dan tentang teguran yang diterima oleh pegawai karena pekerjaan yang dibebankan dianggap kurang memadai.Ketelitian merupakan hal yang sangat diperlukan dalam menyelesaikan pekerjaan. Oleh karena itu pegawai Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro pada umumnya sedah teliti dalam melaksanakan pekerjaan. Hal ini sesuai dengan jawaban informan sekeretaris Kecamatan yang menjawab "pegawai cukup teliti dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan yang diberikan oleh pimpinan, karena mereka juga berusaha untuk menunjukkan kinerja dan keseriusan dalam bekerja. Ketelitian mereka adalah salah satu penilain pimpinan terhadap kualitas kerja pegawai.".Namun kadang-kadang pegawai pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro juga mendapatkan teguran dari pimpinan mereka karena pekerjaan yang dibebankan kepada mereka dianggap kurang memadai. Ini sesuai dengan jawaban informan pada wawancara pada umumnya menyatakan kadang-kadang mendapat teguran karena pekerjaan yang dibebankan dianggap kurang memadai.4. Ketrampilan atau KreativitasKeterampilan atau kreativitas, yaitu kemampuan pengetahuan yang dimiliki pegawai untuk mengemukakan atau menciptakan suatu program kerja baru dalam menghadapi tantangan-tantangan kerja. Untuk mengukur Ketrampilan atau Kreativitas pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro penulis menggunakan satu pertanyaan pada wawancara yang dilakukan kepada pegawai Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro, yaitu pertanyaan tentang pengusulan cara baru dalam mengerjakan pekerjaan.Melalui wawancara yang dilakukan dapat dinilai bahwa pegawai Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro sering melakukan pengusulan cara baru dalam mengerjakan pekerjaan. Hal ini sebagaimana jawaban informan yang menjawab sering melakukan pengusulan cara baru dalam mengerjakan pekerjaan. Hal ini menandakan pegawai pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro sudah cukup aktif dan kreatif.5. KesungguhanKesungguhan, yaitu sikap pegawai yang bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas untuk mencapai hasil kerja yang diinginkan Untuk mengukur kesungguhan pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro penulis menggunakan dua pertanyaan pada wawancara yang dilakukan kepada pegawai Kecamatan Siau TimurKabupaten Sitaro, yaitu pertanyaan tentang kesungguhan dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh pimpinan, dan selanjutnya tentang pelaksanaan tugas atau pekerjaan yang dilakukan sambil bercerita-cerita dengan teman kerja.Melalui wawancara kepada sekretaris Kecamatan dapat dikatakan bahwa pegawai Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro sudah bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh pimpinan. Namun terkadang14pegawai yang ada pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro dalam melaksanaan tugas atau pekerjaan dilakukan sambil bercerita-cerita dengan teman kerja. Hal ini juga sesuai dengan wawancara kepada staf dimana mereka menjawab kadang-kadang melaksanaan tugas atau pekerjaan sambil bercerita-cerita dengan teman kerja.6. Ketepatan WaktuKetepatan waktu, yaitu kemampuan pegawai untuk mencapai hasil kerjanya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Untuk mengukur motivasi pegawai pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro penulis menggunakan tiga pertanyaan pada wawancara yang dilakukan kepada pegawai Kecamatan Siau TimurKabupaten Sitaro, yaitu pertanyaan tentang pelaksanaan tugas dapat diselesaikan pada waktu yang telah ditentukan, tentang pelaksanaan tugas dapat diselesaikan lebih cepat dari waktu yang telah ditentukan, dan selanjutnya tentang pelaksanaan tugas dapat diselesaikan lebih dari waktu yang telah ditentukan.Berdasarkan jawaban informan pada wawancara dapat dinilai bahwa pegawai Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro sering menyelesaikan tugasnya pada waktu yang telah ditentukan. Hal ini sesuai dengan jawaban informan yang menjawab sering menyelesaikan tugas pada waktu yang telah ditentukan. Kemudian ada juga pegawai yang mampu menyelesaikan tugas lebih cepat dari waktu yang telah ditentukan. Namun kadang-kadang ada juga pegawai Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro menyelesaikan tugas lebih dari waktu yang telah ditentukan.Berdasarkan jawaban informan dapat dinilai bahwa kemampuan pegawai yang ada pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro untuk mencapai hasil kerjanya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan sudah baik. Walaupun terkadang ada beberapa pegawai yang dapat menyelesaikan tugas yang diembanya melebihi dari waktu yang telah ditentukan.V. PENUTUPKesimpulan1. Pembinaan pegawai pada Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro sudah cukup baik. Hal ini berdasarkan jawaban-jawaban informan yang diukur dari pembinaan disiplin, pembinaan karir, dan pembinaan etika profesi.2. Prestasi kerja pegawai pada Kecamatan Siau TimurKabupaten Sitaro juga sudah cukup baik. Hal ini berdasarkan jawaban-jawaban informan tentang Prestasi kerja yang diukur melalui enam factor yang terdiri dari hasil kerja, kemampuan atau kecakapan kerja, kualitas kerja, ketrampilan atau kreativitas, kesungguhan dan ketepatan waktu.3. Pembinaan pegawai yang dilakukan pada kantor Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro dapat meningkatkan prestasi kerja pegawai yang ada.15Saran1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis menemukan bahwa pembinaan terhadap pegawai dapat lebih meningkatkan prestasi kerja pegawai, oleh karena itu pembinaan pegawai perlu terus ditingkantkan agar prestasi kerja juga dapat meningkat.2. Bagi pegawai Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro, apabila ada kegiatan pembinaan pegawai diharapkan benar-benar mengikuti kegiatan tersebut agar hasilnya dapat bermanfaat bagi kepentingan pribadi dan instansi pemerintah.3. Bagi pegawai Kecamatan Siau Timur Kabupaten Sitaro, supaya lebih meningkatkan kedisiplinan dalam melakukan pekerjaan. Dan untuk mendukung tingkat kedisiplinan pegawai tersebut, maka hendaknya Camat Siau Timur Kabupaten Sitaro tidak enggan untuk memberikan sanksi kepada pegawai yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan.DAFTAR PUSTAKAHandoko, T. Hani. 2001. Manajemen Personalia. Yogyakarta : BPFE.Kasmir. 2000. Manajemen Perbankan. Jakarta : Rajawali Press.Malthis, L. Manajemen Sumber Daya Manusia. University Of Nebraska.Martoyo, Susilo. 1990. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : BPEF.Moesanef. 1986. Manajemen Kepegawaian Indonesia. Jakarata : Gunung Agung.Rao, T. 1986. Penilaian Prestasi Kerja. Jakarta: Pusataka Binaman Pressindo.Usmara, A. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Amara Book.Widjaja, A.W. 1986.Administrasi Kepegawaian. Jakarta: Rajawali.Wursanto, I.G. 1997. Manajemen Kepegawaian. Yogyakarta: Kanisius.Sumber-sumber lain : Undang-Undang No.43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2004.
Transcript of an oral history interview with Theodore A. "Ted" Arcidi conducted by Sarah Yahm at the interviewee's business in Manchester, New Hampshire, on 11 March 2015, as part of the Norwich Voices oral history project of the Sullivan Museum and History Center. Ted Arcidi is a member of the Norwich University Class of 1982 and a former professional wrestler, actor and power lifter. His interview includes discussion of both his career and his experiences as an athlete and a student attending Norwich University. ; 1 Theodore A. "Ted" Arcidi NU 1982, Oral History Interview March 11, 2015 At interviewee's business in Manchester, NH Interviewed by Sarah Yahm Transcribed by C.T. Haywood, NU '12, April 4, 2015 SY: Whenever you're ready we can let the games begin. TA: Alright, shoot. SY: So can you introduce yourself for the mic. TA: Ted Arcidi, graduate of Norwich in '82. SY: Excellent, and we're here at your business in Manchester, New Hampshire. What's the name of your business? TA: Building and business. I developed this building. It's a mill building, an older building and I also have my business here, Weightlifters Warehouse where we sell fitness equipment. SY: Excellent, can I borrow a pen? Interview pauses SY: Okay, so the thing with oral history is we get to start out early. So where were you born? And when you were a kid what did you want to be when you grew up? TA: A Norwich grad [said in joking tone]—hold on I'll get there SY: Okay, okay. TA: I was born in, I was born in Buffalo, New York and what did I want to aspire to? I didn't even know until like high school. I wanted to be a pro hockey player because I was I was really good in hockey and I played it, you know, religiously – practiced, practiced, practiced, practiced. I think I got my work ethic from my parents. I mean I'd be on the pond skating when—I went to private school so it was great I'd be skating by myself just doing drills, shooting drills, things like that for hours. Stick handling. I was a defenseman but I was small. I didn't really grow until like college, you know, late bloomer. And during that time I got into weight training and I just I just caught the bug you know. I was red shirting for Norwich. I was playing hockey at Salem State. I was in the JV's over there. They brought me up a couple of times to the varsity but I still needed some more work so I just started lifting weights and doing my cardio, doing my running and when I went to Norwich I had to red shirt because when you transfer you have to you know sit out a year. And that's when I just started lifting even more and more and making like I said those five pound gains on the bench every week. SY So [coughs] what did you like about it? TA: I loved it because I could just see my body changing and getting stronger. And maybe helped out my self-esteem too you know because I was kind of scrawny. I was wiry, I was strong. All's I used to do before was push-ups, sit ups, a lot of calisthenics, which are good which I find out are really advantageous to weight lifting because all those years that I was doing that I was, my tendons were getting stronger and my ligaments. I was getting a good base core. 2 SY: Yeah. So I'm just, going back to you, you at like five years old or ten years old how would you felt at that moment… TA: If I knew what was gonna happen? SY: Yeah when you got the title, "strongest man in the world!" TA: Oh it would be, I wouldn't believe it, they would have the wrong guy. It wasn't even in my wheelhouse, wasn't even in my radar. It was like, yeah I mean it was just like reserved for people that were born big or maybe they were just lived on farms or something I don't know. But I, but I never had that type of diligence then. And it wasn't a popular sport you know, so. I mean you'd watch it on TV and stuff the people, you know the big Russians and stuff concentrating and stuff, but that's as far as it went as far as like you know inquiring about that. SY: And did it drive you crazy that you were small? TA: I knew I was gonna grow. But I didn't, I didn't like any kid especially when it comes to sports you know you want to have some size because you're competing against other people especially in a sport like hockey. I did a lot of baseball, basketball, you know, recreational stuff. Little league. I didn't get much past that. Then I just concentrated on hockey like in the sixth/seventh grade. Started with the recreation then went to youth hockey and then high school hockey. That's the Bobby Orrick era, you know, that was big. Everybody did, everybody played street hockey all day. I mean that's a difference today, kids don't do that. They're not outside. They're like on their, you know their iPhones and stuff. They're missing a beautiful segment of their life, you know. SY: I know it's true. You're preaching to the choir on that one. Okay so you were at Salem State for a while and then how'd you end up at Norwich? TA: I flunked out [laughs]. I almost flunked out. I was there and I didn't have a real good first semester and I was bouncing on the side. This is, this is when I started lifting weights and you know yeah you wanna work your loins, you wanna get the benefits, you know? Because I'd never, I'm thinking, "Wow," you know, I could actually go to bars and hang out with the guys and stuff. It was like a whole new identity, you know. So like anyone else that gets anatomically more fit and more muscular you, you're young, God, you know, and so I worked at a bar, and a place called Face's in Salem. It was like a bikey bar and the homework, and I was like still training to play hockey but the homework just, I just wasn't doing it, you know. And I got like a 0.0 average [laughs]. SY: That's impressive. TA: Yeah, yeah. And then I had the talk with the dad and he says ah, he knew I need direction, he didn't even know I worked there. But I thought it was cool, you know, because I'm making money off my physique, so. So what I did was, we had the talk, he says, "You know, you got to improve. And you improve, we're gonna send you to another school, send you to Norwich." Because he went to Norwich himself. SY: Oh he did, so is he a military guy? TA: Yeah, he didn't graduate. He ended up transferring to UVM, but he did a freshmen year there. But he knew about it. He had friends there and stuff. SY: And did he think you needed the military discipline? 3 TA: I needed, yeah, to just get more focused. And I did like it. I did the tour up there in senior year, but I wasn't ready for it. And then now I was, you know, at the time. So I had to really bust my ass and really do well in school that second semester or else if I didn't get my grade average up to like B, which I knew I could do, I was gonna be working like a regular job. He says, "You're out of your house. I'm not gonna support, and you've obviously made a choice, go work in the real world." Which, he was a thousand percent right. SY: So you were like, "Okay I'm gonna be a bouncer forever or I'm gonna get my shit together." TA: Or work construction or something else, you know, or go try to play junior hockey in Canada which I wasn't good enough to play major junior A. So I really focused on—and that was a time when I was starting to lift and I'm thinking, "You know I'm just gonna see where lifting takes me," you know. Because I read about body building and lifting and power lifting and stuff, but I never entered any contests or anything. So I got my grade cume up and it worked out well. I gutted it out and I ended up getting enough credits and a good cume to get into Norwich. SY: As a? TA: As a sophomore. SY: As a sophomore. So you didn't have to do Rook Week? You didn't have to—? TA: Oh yeah I still had to do that. I got Recognized a little earlier than the other guys but I still had to do that, get in there in August and stuff, you know. SY: So what was that like? TA: That wasn't bad. I wish they'd fed me more. I was so hungry. They didn't give me enough food, because I was lifting. Everybody thought I was a football player. Now the football players got to eat more because they were athletes but it's like, "Come on man, I'm a weight lifter, you know, I lift more than these guys do. Cut me some slack." I almost left the school. SY: Because you were just hungry? TA: I was starving. You only get a serving and stuff. And that all changed, yeah, because most of those football players and athletes were on work study, they had the waiter coats back then and they could eat as much as they want. I mean I'm paying the same tuition as these guys, these guys are in there for nothing, and they're eating better than me. This is outrageous. So I almost left the school. SY: So what did you do? Did you complain? TAL Yeah, yeah I complained and the and the straw broke the camel's back, when I was there for six months – I had already gotten Recognized - and I was going in for a late mess hall and I grabbed some eggs, you know, boiled eggs. And the head football coach - and I don't mind saying it now [laughs] but he was a real jerk, Barry Mynter, he grabbed my wrist and he said, "Put the eggs back." And I go, "No, I'm gonna eat." "Well it's only football players." "Well I'm an athlete too and people come in late and why are you doing this to me?", so. I went right to the president. SY: Who was it then? TA: Loring Hart, yeah. SY: And what did he say? 4 TA: I said, "You know I'm a lifter." And I think I started competing and, "I need the calories and I need the protein and I'm, you know even if I wasn't a competing athlete, for the money I should be able to eat more." So he signed a thing, a requisition, that I can get two steaks or two servings of whatever the meat was then, you know. And I thought it was so stupid it's like, man what about these other kids that didn't complain. That was a problem and I brought it up to them and I think things changed after that. You don't deprive people that are, you know, working their ass off in a school and these guys are paying top dollar and stuff. They might not be athletes but you don't do that to people. So anyway ah… SY: So you won that battle? TA: Yeah, yeah, and I wasn't trying to win or like get a scho—I just wanted to eat, you know, and then immediately it was fine, it was no big deal. SY: And if you were lifting that much you must have just been ravenous? TA: Yeah then I would have to get food from my house on weekends and stuff or go down to Lemory's at the time was there, I used to buy roast beef and stuff because they didn't feed you, they didn't feed you enough. And now it's different, I think you get to eat as much as you want right, probably? So I'm glad. Yeah I had it out with him too, that guy Mynter, he was a real horse's ass and I'll him to this day, man, look what you gave up [laughs]. Now I'm glad I did it for the other people though, there was a lot of lifters, because lifting was big, and they could only eat like one meal. This is insane, this is totally insane, so…. SY: Did you end up getting, so you got to eat to more, but did your lifting friends? TA: Yeah they started too. I said, "Tell them you're gonna leave. This is bullshit." You don't mind if I? SY: No of course I don't mind. That's fine. So I wonder if -- I also can picture you, you're this big guy at this point and you're in the Corps… TA: I was bigger than most of these football players. I mean I wasn't as tall but you know I could blow them away. And maybe there was some animosity there with them too. I mean they liked me and a couple of guys did help me lift and stuff in the old Armory. Jimmy Pavao who was a football player, he helped me out, real good guy. Arty and his brother, their last name was Stringfellow, they helped me out. And there was another kid I don't want to forget - um, what was his name? [pause]. I'll think of it. He helped me when, when we moved the weight system. We had the new complex which wasn't new now but it was in '81, the new place that I was lifting there, and he helped me a lot this other kid. I'll, I'll get his name. SY: Yeah, you'll remember it. So I'm trying to imagine it. Here you are, you're a year older than the other freshman. The cadre are, because you're a sophomore, the cadre are like doing their Rook thing and you're big, right? TA: Well I started getting some size. Everybody thought I was a full-back. I was still benching around 400 then, 420. SY: So did they mess with you less the cadre? TA: Uh they kind of picked on me a couple of times and stuff, I guess the whole breaking thing. You play the game, you know. I mean and I didn't want to get any different treatment, I just wanted to ah, you know I knew I was gonna get Recognized early as an upperclassmen so I was just going through things. Part of the, part of the regiment, because hey I decided to go to a military school and I should, you know, partake in their traditions, you know. Yeah and it's a character builder. It is. 5 SY: And do you feel like it ended up building your character? TA: I think so. I think that and then when I honed in on my skill, my, my ah, my attributes of becoming a competitive weightlifter. I think it just all came together and everybody's thinking you know, "Ted, you know he's representing the school," so that kind of gave me some status there too. But I busted my ass you know, and um… SY: Yeah what was your daily regimen? TA: Ah well I get up, I probably lift about 4 days a week, do my running still too. But when I lifted, I lifted very heavy, very heavy, twice a week, heavy on the upper body and two times a week on the squats. But I knew my forte was the bench because I was just like making five pound gains a week. That was insane. SY: That's insane--and I just can't imagine seeing your body transform that much. TA: Every time I looked in the mirror, and I wasn't on steroids at all you know um… SY: What was that like? TA: Did I take them later? Yeah I took 'em when I was World Class because everybody did, and that's the only way you're gonna compete. I mean these same people if you took 'em off steroids they're still gonna be number one and two in the world because they have genetics and they have built themselves up because of their workout routine and stuff, so that's just how it goes. SY: And that's the pressures of the competitive scene? TA: Well you have to do that especially if you want to make a name for yourself. I mean it opened up the doors to a ton of things, you know, being the best in the world, being the first man to bench press 700 pounds. That was a big thing, that was really big that was in all the, you know, Wide World of Sports and all that stuff. And that was, that was big. SY: So what does it do to your head to see your body changing that much? TA: Yeah getting back between my sophomore and junior year, and senior year every year. I mean I went there and I was benching as a fresh--well as sophomore like 400/420. And then there's a 100 pound gain after that for the next year, and another 100 pound gain after that. And I'm just saying to myself, "I'm not, I better not blow this," you know? Because at one point I was, I was thinking you know I have a shot to be the first man to bench press 700 pounds. I mean that's gonna, that's gonna be earth shattering. No one's ever done it. The world record at the time was 661. You're breaking it by like forty something pounds, that's like Bob Beamon in the long jump. You just blew it away. SY: So you sort of realized you could push the capacity of a human? TA: I knew that I could do 7, I think I had the ability to do 7 my [phone buzzes]. Can you cut for a second, okay? [tape turns off and then on again] SY: So alright, so okay, here's what I keep thinking about. TA: Where was I though? SY: You were talking about realizing you could bench press 7. 6 TA: Oh yeah because I was making these extraordinary gains, still not on the juice. I got up to, people don't believe this but I got up to a 600 pound bench without steroids. No one's ever done that. SY: What made your body able to do that? TA: I think it's good genetics and I was always into taking vitamins back when I was playing hockey. My mother being a nurse, my dad's an orthodontist, she got me on the B vitamins--take 'em every day. And then vitamin C. That was a new thing then but that helped a lot because while you're growing it does decrease your inflammation and makes you recuperate better. But I still think the big thing was I always ate well and I ate smart, you know, because of those two people. And I think the fact that, you know, partaking in sports is important, but even when I was doing sports the calisthenics, I was like insane about it. And I really feel that doing--I used to do dips like an animal, push-ups, chin-ups. And I really feel that that just commenced a great basis for weight training because my tendons were really strong. I, I because I did that for years. I did that for at least three years before I even touched the weight. SY: How many hours a day? TA: Oh not too long. I mean just enough to do my things. I do it like three days a week, but little did I know that was laying out the base. Because some people when they start weight training they ah, they're hitting walls and stuff because they don't have the foundation. I think I built up a foundation just doing a lot of good calisthenics -- clean, full-range of motion, yeah. SY: So when you were lifting then, what would go through your head or were you really not thinking? Was it almost like meditative? There was no…? TA: Oh you mean when I was doing maxes or just working out? SY: Just working out. TA: I loved the feeling of moving big weights. SY: What about it? TA: It's, it's hard to describe, because it feels like another rep. Even if it's one rep. It's not painful, it's just like, you're just putting all your effort into that one push, you know? And then of course you do supplementary exercises. I didn't just do bench pressing, I did a lot of triceps work behind the neck press which I had the world record at one time too. It's an odd lift but it's not really measured, but I did up to 375 for five, standing behind the neck press. SY: So it seems like part of it for you was just sort of like, it was kind of blowing your mind that you were lifting these things. TA: Yeah but I went with it. I went with it and that was what I gonna say. I was, because you know when you're training with heavy weight you gotta warm up. If I get injured, I'm screwed. A lot of guys were pulling pecs because you try too much and I just made sure I warmed up and stuff 'cause now you're getting into no man's land which is scary. And when you get three people spotting you: one in the middle, and one on each side ,when you're going for like reps over 500 pounds, one wrong tweak, you're screwed. You blow a peck, go back to dental school, you know [laughs]. That's where I would have been. And I said that to myself. I know I'm jumping ahead, but before I went out there in front of that crowd, I ah I felt a twinge when I was in the warm-up room and I was thinking, "Well you know something, if it's gonna rip, let it rip out there," you know. But it was just a nerve twinge because the thing went up like butter, it was--the crowd psyches you up you know. So yeah I had to watch myself but 7 I knew I was in no man's land and I made sure, three major things, because I you know, what was great was with school being a phys ed major you're doing so much anatomy and physiology, chemistry, and this was great because I correlated this into my body and it made perfect sense. I got it, you know, where a lot of people don't. And its three major things for weight training: plenty of protein, plenty of sleep, and recuperation. As I was getting heavier and heavier into lifting heavier weight I needed more days to recuperate, so then I was only benching heavier once a week and couldn't do that three days a week, you know, Monday through Friday because you're gonna beat the shit out of your system. You're gonna blow something. So you gotta listen to your body and that, that's what it took too. Because a lot people, there's a lot of decent athletes out there but they over train and then you once pull a peck or separate a shoulder you're out of the running man, you're never the same. SY: And you didn't have a coach or mentor? TA: No, all me, all me. SY: You were your own case study for phys ed? TA: Pretty much, yeah. I mean I was so thankful and I am to this day - um his first name was Scott, you can write that in there, the other kid that helped me out - just to get spotters. Now what was awesome was at the point, even when I was there as a sophomore you go in there and you're putting on weights and people aren't stupid, they're gonna stop and just see what you're doing and then you got a picture, "Okay next year he comes in 100 pounds gain." I would just be a show stopper, people would stop what they're doing and they're very willing to help and stuff too you know and get you psyched up, because you gotta get to that mental frame of mind. You're going for weight that you haven't seen rolled, you know. And I just had the three major components from my muscle groups: I had my pecs, my shoulders, and my tri's those things right there. And I trained them to the max so they had the best rest and the best ah reflex and reaction because speed's involved too, you can't you know you want to get a good explosive burst. And um, yeah and it's always been like a show time thing. SY: Yeah it is a show. TA: Yeah because you start, the whole gym stopped. They're never gonna see that weight again by anybody you know, so even when I was wrestling on the road at Gold's Gym. SY: Did you like it? TA: Yeah, yeah, it was like cool it was like [laughs] you know the clapping, I'm warming up with 400 and they're clapping. When I went do tours on the um, in Europe and stuff, Greece, I was very lucky with my vitamin line and and as a world record holder to do exhibitions. I made a lot of money doing that and I put it back into the company. And they're very cordial out there. They clap all the time. They're very, very nice people. Yeah, yeah, yeah, it was pretty cool. It was pretty cool. So yeah, it all, ah. God. SY: Did it go to your head? Here you are you got this young guy, you're stronger that everybody…? TA: Naw I didn't get cocky or nothing. I mean if I got drunk a few times with the guys, you know, it was guy stuff but I wouldn't no. I, I remain grounded because I knew where it got me and it you know everything is a circle, you go around and do something stupid it's gonna come back and get you. I've seen it happen to people in all sports and it just wasn't me. SY: So alright so you finish, you finish Norwich, you've started competing --8 TA: Right, well I was competing already, yeah, but now when I finished Norwich it was, I'm at a World Class level. SY: And meanwhile your dad's like, "Go to dental school." TA: Yeah, and I wanted to go to dental school because he had that speech with me my senior year when I was going up to graduation with my mom. He knew that, and I knew, especially in Concord, Mass where I grew up. First of all they're not gonna pick me as a Phys Ed teacher because they just, it's cronyism, even in public schools, you know. And where the jobs are so few and far between -- I mean you look at a globe it's probably the same way today, you know try to go teach at a decent school system where the money, which was great back then, might be 25 or 30, but you're never gonna get in. You're behind all these people and there's favorites. And then he's thinking, that's the beauty of my dad, he's still around, he was looking towards the future: "How you gonna have a family? You know, how are you gonna? Your wife's gonna have to work, she can't be home with the kids. You know that's gonna be tough." And he just kind of spelled it out for me. And he says, "You got some good sciences, you got a good base, I say take a year and do more prerequisites, and apply to dental school." And I did that while I was still lifting. And I got into Tufts. I did a year of prerequisites at Northeastern. I did some at Middlesex Community College, some other prerequisites. All science. I did that course "Stanley Kaplan for DAT's." I did well on my DAT's. I did average. For a phys ed major that's phenomenal! [laughs] So I ended getting into Tufts, Marquette, and NYU, and Georgetown. SY: Those are really good schools. TA: Yeah, yeah. SY: Look at that from failing out of Salem State. TA: Yeah, yeah. And the interviews and everything -- they knew I was a competitor too and they asked me, "Are you gonna compete?" "Yeah I'm still gonna compete." And I did. But my freshman year at Tufts, it's a very heavy course load you're with the med students, and with my working out it was getting tough because I got invited for the second time to the Hawaiian International Powerlifting Championships. And I couldn't handle both so I had a talk with the dean. I said, "Listen, I got to try this out. I mean I could be on the verge of really setting a big big record here." And they understood because they had some athletes, some kids who played minor ball and stuff, they took a leave of absence and they would come back and that's what I told them. And I told my father that and my father knew off the bat, he goes, "You're not gonna come back," and he was pissed and my mother was upset. But my dad really took it hard, because he was he was part of the Tufts program over there. My sister had gone there, he had done lectures there and I felt like I was letting him down but I said, "I'm never gonna have this chance again. I'm never gonna have it again." And at the time I was 283 or something, and I was gonna go for like the world record then to be beat 661. And that was 1984. So I left. I took the leave of absence January of '84,and still on leave [laughs]. SY: I was gonna say, so you gonna go back to dental school [laughs]? I'm kidding. TA: And yeah and…. SY: I'm still technically on leave from my Ph.D. program. TA: Really, yeah? SY: And it's been a long time [laughs].9 TA: Well you know, you only got one life, you know, so. So I did that and that really set the stage because I knew I was getting invited to the next one. Now keep in mind at the time these weights I'm going for - 650, 666, 700 you only can cycle, my workouts you can only cycle those like once a year because it does takes so much out of your body. And so I was really thinking this thing out smart, I said, "I'm gonna do this right, I want to get that seven. I know I can do it, but without getting injured, I'm not gonna have, I don't want to do 2/3 contests a year because I'll burn myself out. I'll get stale, I'll get hurt." So I planned it out well and um, I, the extension, the leave of absence continued you know for well the next year, 1985. And that's when I did it - March 3, 1985 in Hawaii. The third time I was out there, the Hawaiian International Powerlifting Championships. SY: So tell me about that day. TA: Yeah there's a sign right up there. That was the first one I did when I --you can see the--it was April 5, 1983. That's when I was on my leave of absence, not leave of absence I was doing my qualifications, my general, my studies for prerequisites for Tufts. And the next year I was in dental school. And then that was only like, I don't know four months, then I got out. So yeah he took it, he took it hard but I--it's like okay, I'm getting ready for this meet. So what I did was I ah…. SY: Did he not get the powerlifting thing too? What did he think? TA: I can't blame him because no one makes a living lifting weights, you know? There's no money in that. SY: Was he was he Polish? Was he the Polish? TA: He's Italian. SY: He's Italian. TA: Oh yeah. SY: Is he an immigrant? TA: Ah son of an immigrant. SY: Son of an immigrant so…. TA: It's in that category, that culture still you know - someone's gonna take your spot you know you're not gonna come back, and you know they think the worst, they're alarmists. That's the beauty of the man, he saw down the road. He wants to see not just the next ten years, you know, but what happens later because it goes by quick you know, time. So he ah, he was worried. I said, "Listen, if I don't get the record, I'm going back to school." I ended up getting the record. And wrestling was big and then the Globe like I said yesterday, the Globe did a big article on me and um… SY: So once that started happening did he stop worrying? TA: No. He assumed that I was going back to dental school. But he was the first one to find out that I wanted to get into pro-wrestling by reading the article. And I had that tape recording with the old machines, the voice machines, the uh telephone machines, answering machines, and I kept it for the longest time: "Ted, I just saw the Boston Globe article. If you even harbor a thought of joining that circus I'm changing the locks." Click. He didn't talk to me for several months. SY: Really? 10 TA: Yeah, I could see you know he's like, "What the hell are you doing now?" And I told him, I said, "Wrestling is really big now." And I went down to see Vince McMahon, you know he had contacted me and he heard of what I did and stuff. And Ken Patera who was a big wrestler back then who happened to be in the Olympics, in Olympic lifting, that's how he got in there like years before me. He was in jail because him, there was this big thing during WrestleMania, him and this other wrestler Saito they, they broke into a McDonald's. The guy was closing he said, "No I see the hambuger's here." They went in and then he had to do some time, so they needed another strongman. So timing is everything. He was like the strongest Olympic lifter at the time, silver medalist anyway. But was legit because people want to see a real strongman in wrestling. I don't care what they, you still see that today. Excuse me, hold that thought. [phone vibrates] SY: Holding that thought, holding that thought. Interview pauses and resumes. Okay so we were in the middle of you, you were talking about you were talking about '85. TA: Yeah, okay, so where was I? Um yeah, obviously still on my leave of absence. Is this before I set the record? SY: This is, well okay, we're talking about your dad, your dad's voice mail. TA: So I set the record, yeah and uh… SY: We still haven't gotten to the day of the record…. TA: and I'm hopping on the wrestling thing you know. SY: Right. TA: I want to make some money with this body. I mean I'm right there, I'm bigger than the wrestlers, you know? SY: But you hadn't done any wrestling? TA: No. No. And I knew I had to go camp, wrestling camp, so they put me in wrestling camp for six months down the WWF in Orange, Connecticut. And at the time now I started my vitamin company while I was student teaching in 1984, May of '84. And… SY: So you're back to phys ed? TA: Well I was, I was not student teaching, I was working as a sub and sometimes the full time teacher too like filling in and stuff because I was still um--yeah I was I was… SY: Because it's less time than dental school? TA: Yeah, yeah, yeah. Because let me see now, when did? Yeah I lasted until January and done with school, January of '84. So I had to make a living. And I got back into, I got into teaching. I was always like subbing even while I was doing my prerequisites. I was subbing while I was going to Northeastern, Middlesex. And I did, I had a good name subbing, kids liked me, you know. And I was doing mostly sciences, I loved science because you know, biology, physical science, and I got paid the same money and I didn't have to run around in a sweat suit and stuff. Hell I wanted to save my energy for lifting you know? So at the time I was substituting and filling in as teachers, so I, at the same time I started my vitamin company in May of '84 with like four or five products out of Powerlifting USA. It was a magazine for powerlifters that got about maybe 15,000 subscribers but it was enough to start [sneezing from interviewer] --bless you, must have been the horse -- ah enough to like generate money selling 11 products you know? It was only vitamins I had. The basic ones - amino acids, um mega packs, protein, couple of other little things like orchic, glandulars, carbo fuel. And there's an interesting twist on this how I got into that. Because at the time I was letting somebody use - you know how you get endorsements, small endorsements - out of that magazine because I was up an coming and I had set some records in the 275 pound weight class. And I was a super heavy weight so everyone's, you know, they want you to advertise their products. And this guy was John Buckley out of out of Plymouth, I'd like to say, down that way Plymouth, Mass. He wanted me to endorse some vitamin pills. I didn't know much about it, I said, "Yeah, as long as I can get some free vitamins and give me some money," you know. It wasn't a lot but I figured hey I can get free training supplies and vitamins. So I didn't have a contract. I just "yeah, sure." And I found out because I went down to visit him and his wife and him are like, this like from a little ad in Powerlifting USA, I went down unannounced just to pick up some vitamins you know some amino acids, throw me a few bottles, you know. And they're wrapping boxes. There must have been like twenty or thirty boxes. Those were orders that came in every day. So the mechanism starts turning, and I'm like, "What is this guy? I can do what he does, and it's my name." I didn't have a contract I got out of it. He was bullshit. I started my own. I went to the same supplier too. SY: There you go. TA: Yeah because I saw it. It was on the label - distributed by or manufactured by and I said, "Listen, I'm the guy. I've been endorsing this thing for a year and I want to do it my own." And it worked out great. And after teaching I would come home and there would be a couple of blinks on the answering machine and they could be catalogs or orders. I was doing pretty good. I was doing like, I don't know, started out light that, that ah, that spring. But as my, as I got out there and people knew it was my company and I would talk to them on the phone about their progress in lifting and stuff, which is good like a lot of vitamin companies are not gonna do that, you just buy their stuff through GNC. But I was giving them programs, telling them how to do things, how to take the supplements, and I built up a hell of a fan base and business, you know. So that kept me going. I didn't have to do any teaching anymore as I got into that, and then that culminated into ah, once I got the record I had two things. The vitamin company got really big. I was in a guy's basement and you could smell vitamins. It was boxes and boxes of vitamins. I'd go to the ah, I had a box company deliver there. On this neighborhood in Newton, Mass., an eighteen wheeler would pull up where he's not supposed to and, and give me mail order supplies. And the owner was cool, Neil Todd, and he liked it. He thought it was pretty cool. He was a professor at BU but he knew I was getting big with the supplements because you walk down there and I had it down. I had my computer. It was an old Apple. Type out the labels. I had like a thing I got at Vista--I don't think they had it back then, Vista print, a little catalog on how to take the supplements, ah prices. And UPS came every day and it was the balls. It was great. And I was training. I was like okay this like being a professional athlete. I'm endorsing my own stuff, which was different. A lot people didn't know about doing that. SY: So you kind of made it? TA: Yeah, yeah and but I did it. I marketed myself which was good, you know. All because of that visit that I had: "Hey I can do what he's doing, and its mine, my name. Let me do it." you know? SY: So you turned yourself into a brand? You branded yourself? TA: Yes. I branded myself, yeah. SY: That's interesting. 12 TA: And then after I set the record in '85, the world record, the 705, man I'd go to the PO boxes I'd get like fifteen orders a day. And I had to get out there because it was just getting too big. SY: Let's talk about making that record that day because I want to know what you remember. TA: Ok yeah, March 3, 1985. I flew out there a week -- I was really smart about this too and I think like I said it goes back to my education and you know my instinct, sensing my body, of what I needed to do to just have that peak performance for literally two seconds. That's it, two seconds. So I get there a week ahead, get acclimated, ate good food, relaxed. You're not getting any stronger. I did a light, light, super light workout. Oh God it was maybe 225 for a set of ten, light triceps, real light just to stimulate the nerves, you know. Did some like light jogging, you know. And I ate really good. I stayed with Hawaiian out there who was also competing with his family and so I hung out with him but we'd go out and have steaks and eat well and just relax until the meet, which is kind of serene. It's kind of a good feeling because whatever happens, happens. That record, whether it's gonna happen or not, that happened back at home in the mainland doing all those reps. God, my last workout set before I left, ten days before the actual meet I did six, thirty-five for two sets of three reps; and then I did six, fifty for two and a half reps. I knew I was ready. Because then when I do my warm-ups for the stage and stuff and you got the adrenaline out there I knew if I'm on I'm gonna get this son-of-a-bitch. SY: So you walk out and there's a whole crowd there? TA: Two thousand people. Because they knew me already from the two previous years because I'm always setting records out there in different weight classes, you know? SY: Are you nervous, you don't get nervous? TA: Nah, nah you don't get it. SY: Just adrenaline? TA: It's, it's you just psy--you got be to be controlled, you know. And I think that's on YouTube, my world record, you can see it. Yeah it's on YouTube, along with some clips from acting. SY: So you walk out there and you, you know, you get started…. TA: Well I open up, I'm like when you, you have three attempts in the bench, in any lift: bench, squat, dead lift. And I would do a token, when I did this they start with squats. I just did a token 500 pounds. It was just to get on the board because you have to do three lifts, you have to compete in three lifts in order to get a world record it has to be official. Comes to the bench, you get the lightweights, it all starts light you know, people weighing 100 pounds - lightweights, mediumweights, heavy, all the way up to heavyweights. And I warm up and my first attempt was 608 and it was like me and one other guy left. He was going for 600 maybe, or mid-sixes, or early sixes like 620. So it was just me and him and people loved this, you know. Because this is now the heaviest weight of the whole meet, and everybody loves the bench press. I don't care what you say, it's not how much you can squat. You look at somebody, "What do you bench man, like the state of Rhode Island?" you know. So I opened up with 608. It flew, it flew. Remember I told you that thing about in the locker room, in the warm up room I felt a twinge? If I'm gonna go, let me go, you know? I'm going back to dental school, you know. 608 flew. That kid ended up trying like 630. He bombed and now it was just me. Next attempt: 650. Blew it up [snaps finger]. Could have done four reps with that thing. Everything was clicking. It's just like one of those times you know? And then they said, "He's gonna go for a world record, 678." That means a 661, 71 that's like what? Sixteen pounds, fifteen pounds more. I ultimately wanted to go out for 7 but jeez, God forbid if something 13 happened I got to get away with a world record anyway. That went up. Put the bar down, and then you could hear the announcer Aand the crowd's going crazy. They want seven." I'm out there, "Seven, you want seven?" you know. And they went shithouse. And then, "He's gonna go for seven, load it up, this is history folks! This is history!" And the way it's set up because it's, it's kilos, the metric system, 699 and three quarters, now what's the next number? 705.5, set it up. Set that goddamn thing up. And uh they show me resting in between chalking me, TV cameras and on, I said, "I'm just focused, whatever it is God it's in your hands," you know? I just get emotional thinking about it you know? So uh I got out there and it's like, it's almost like surreal. I could just feel the, [pause] I didn't hear anything, you know. And I got the lift off, I brought it down, and I heard the judge. You could see the picture out there she's yelling, "Rack!" because you have to hold it on your chest for like a minute, not a minute, a second but it's the longest second in the world. But I didn't care and I locked it up and it was just, it was unbelievable. The place went shithouse. And ah, I threw my belt in the crowd and I just knew like it's gonna open up so much, you know? So… SY: And you also knew you'd done something no human…. TA: Oh yeah, "Strongest Guy on the Planet," you know, "Strongest Guy on the Planet." SY: What does it feel like to be the "Strongest Guy?" You know literally every single person you walk past, you know, "Oh I'm stronger than him, I'm stronger than him." TA: Oh yeah, well you're flying to Hawaii and you're looking at the world. You know I mean just puts it in perspective but it was just like, because it's so hard to get there you know. And it was great. It was like ah it just changed it everything overnight, you know? Then I got the calls from the wrestling, more endorsements and stuff and then the vitamin company grew like a bastard. But I wanted to focus on wrestling because I wanted to get into the wrestling. And yeah they sent me to camp. They all knew about the record. It was everywhere. And even some of the wrestlers they knew I was coming in with the World: "Well we can do seven too!" but it's just a joke you know? But I did it and they were lifters too and they respected that. I would talk to them and stuff. It was, it was great, yeah. I went to wrestling camp after that, I, my brother helped me with the company, vitamin company in that basement there and then I had somebody else, we moved it up to Concord, New Hampshire. One of the kids, one of the lifting friends, had a place up there and we did it out of at his house for a while. Then I just moved into like an industrial park because it was just getting bigger. Then I moved here, fast forwarding, in '88. SY: Oh you've been here since '88? TA: I've been here since '88 yeah but that was phenomenal. SY: And so that was the beginning. TA: That was the beginning, yeah. SY: And then um… TA: I can still picture it. SY: Yeah? TA: Yeah it's like - SY: What's the image? 14 TA: It's dark on the side and ah, it went up easy, it went up unbelievable. It was unbelievable. It went up so, I think I could have done two reps with it, I swear to God, or at least one and a half which is absurd, you know? SY: That's amazing. TA: Oh yeah the crowd helped. I mean how can you not? You see why like in football and stuff they go crazy, they're running that extra yard. You got the crowd too. I mean it's insane, you're like a gladiator, you know. But it was just that record it was all due to the training I did by myself you know? Didn't have a coach. And I had the right formula just watching my ass, you know, don't over train and eat well, and sleep well. Sounds simple but you gotta have good workouts too. You gotta really work out hard when you're doing your work outs. You gotta really try to work your triceps and your shoulder presses and your bench presses, but that can only be done if you have the other two. So if you screw up there's always one of those triads that you mess up. Yeah. SY: And so you didn't get hurt before then you haven't gotten hurt since? TA: Never, never. Ah just from training yeah just from training. I, I think I should have just--I came back and I did the record again in '91 and that's when they had those bench shirts, those real heavy bench shirts and they were so easy I trained for six months and I got 725. But I was getting problems with my elbows. I couldn't lock them out. So they disqualified that. But you know I should have gotten out at least by 1990 because for some reason I was just building up a lot of bone calcification in my shoulders and in my elbows to the point that you couldn't extend and I'm thinking, you know I'm not gonna tell, even though you could tell the judge that's as far as your go, you look like shit because you only go up like halfway or three quarters and people are saying, "lock it out," you can't lock it out. SY: And this is a performance, right so you need to give the people what they want? TA: Yeah, yeah but I just knew my time, you know, I just I just concentrated on the vita--I still do exhibitions and stuff but I had to get my elbows operated on. And they did a great job, they took all the calcification out so I can unlock my elbows and I had to wear a brace. I still wear a brace to this day on both arms just to keep it stretched so it doesn't get that way because I lift light but that's what I should have done more was stretching I think, then I wouldn't have that problem. I didn't stretch enough and that's what builds up like barnacles because your body has so much pressure and its bones on a joint, on the bone matter, that it reacts by building more bone even if it's like like bone spurs and things like that. It will find a way. SY: Was it hard to let go of competing? I'm just thinking…. TA: Not really because you know I started getting sore. When your work outs get hard and your wrists hurt because of the elbows, and then you have all this other index pain it hurts. It's time to get out. And I'm glad I did. I think I did my last heavy workouts I did a rep record for reps in '96, this is after the surgery. And I did ten clean reps with 500, which was easy. I did it for an exhibition in Boston but I knew that was it, you know move onto other things so yeah. SY: And that was okay? TA: That was good. I did the biggest lift, it's still the biggest lift ever, pounds over body weight. SY: It's still the biggest lift ever?15 TA: For a super heavyweight. They're breaking it now like 727-30 but they're weighing 400 pounds. I weighed 293. SY: What about the pressure? The steroids pressure. How can, how can, because that takes a toll on the body? TA: Ah yeah but you got to be methodical about that too, you know. I went and had a doctor I didn't want to take the shit off the street. I went to a real doctor. I had blood tests. And what was beautiful, the beautiful thing was I was cycling once a year for heavyweight and that was smart. Because I'd be off for a lot of the year and just get on for a few months. SY: Did it affect your personality? TA: No. No not at all, didn't affect my health at all, not at all. It gets a bad rap. It's medicine if you take it the right way. It's, it's fine but if you overdose on that. SY: What about the 'roid rage and all that stuff? TA: Yeah I…maybe those people didn't know how to contain themselves and they didn't cycle. I think it's overdrawn because I still think it's their ego that's hidden and they just get more boastful and arrogant assholes, you know. SY: Sort of like a mean drunk usually is-- TA: Yeah exactly, is usually mean prick anyway, yeah absolutely. SY: You learn a lot from people. TA: Oh yeah and you see that in gyms and stuff. But I did get some knowledge from bodybuilders, the ones that were really really good like Olympias. They would only do one show a year, Olympia. And they took a lot of stuff, I mean they took diuretics and everything else but they wouldn't put their body through that three or four times a year. You'd die. Do it once a year. That was the greatest thing just doing one meet a year that last two years. SY: Interesting. TA: Yeah. SY: Yeah. TA: Peaking is everything, everything peaking. SY: Hm. What do you mean? TA: Your body peaking. If you do two or three, four meets, your body doesn't have enough sufficient rest, it gets stale. If you focus on one meet and you train naturally for like three quarters of that year, nothing, you're building up your tendons and then you're building up into a heavier weight. So it's still fresh and your body reacts and it welcomes that. It's not getting beaten toward uh catabolism and anabolism. Catabolically is when you're breaking down and anabolically is when you're building up. So you want to make sure that the circumstances and your surroundings are favorable for that type of genesis, you know. And it is, it was and its it's pretty simple. Luckily as I said I had this science background. I mean when I went out I was dumbfounded. I mean there were some other competitors, there was some strong kids out there, strong guys, one from Alabama - what's he eating the night before? McDonalds. He, he died. I mean he didn't die, he couldn't even get his opening attempt. You don't eat 16 McDonalds food. So they didn't have the knowledge, they didn't have the knowledge, and the knowledge is power. SY: Alright so let's talk about wrestling. So what was it like to be part of as your father called it - TA: The circus. SY: That crazy circus. TA: Yeah, yeah. I ah, I went to wrestling camp in July and I was on TV in December. Starting with the interviews and stuff like that they're building me up you know I was the "World's Strongest Man," so they gave me all squash matches and stuff like that just to build me up. And that was awesome, it's on national TV. Every morning they showed the world record bencher in Hawaii, so like this guy's legit. So whenever I would go to a match they liked me because I would bring asses into the seats you know? I didn't have the greatest technique in wrestling but I still can throw people around, you know. SY: Which is pretty much what they want in wrestling. TA: Yeah, yeah, and there's theater and I started off as a good guy and all the way to WrestleMania I was a good guy, and then they wanted, I wanted to change, I wanted to go to, I liked the drama of being a bad guy. And they wanted me to be a heel because I had that persona, so I went to a couple different territories to wrestle, just to build that up, to build up your craft you know, to work your system. And I went to Calgary and worked up there after. I did, I was in the WWF for like a year and then I went to Calgary for maybe three months, and then I went, I got recruited down to World Class Wrestling with the Von Erich's and that's where I really became a good heel. And the vitamin company still growing; I got people working in the vitamin company. And I ended up falling in love and just going back to work and I had a kid on the way and I didn't go back to WWF. I went back to here, I went here. It changes you know when you have a kid. And the road is--plus I mean I had a great income on the side. It wasn't on the side, that was even making more than wrestling. At the time I was in GNC's. I'd do the demonstrations too. Immediately they order thousands and thousands of dollars especially if they knew I was gonna come in and do a demonstration and sign autographs which is great. Anytime a fan to this this day from TV or from this how it's tied into together - they want an autograph I give an autograph. They paid me. I can't fathom these people that just won't give them the time of day and stuff. It's very sad. SY: So you came back here and you've been running this company and helping develop this building and then now you're doing acting. So tell me about that. TA: Yeah I um, after I did that rep record in Boston for WHDH sports - it was like a big thing down in Boston, promote something. It was on TV and stuff. It was good. I wanted to do something, I always wanted to get into acting. Some of my fellow wrestlers would be in acting and they were doing thug stuff and I'd like to try that you know? And I'm glad I did it the right way. I went to acting school in Boston for a couple of years and I started doing a lot of student films. Those are the best because these are kids as you know Emerson College, BU, this is a mecca here. And all these student films, graduate films, they can use as much tape and free cameras. I mean it's in their tuition. And all I wanted to get was my best scenes where I can a reel together to send to New York. Because I knew I, you know I ended up scoring some decent commercials that made national, made area commercials. You know CVS was one of my first ones. Nevada Bob's - remember them? Nevada Bob's, that was a sporting goods store. Um… SY: Was this as Ted Aricidi or as? 17 TA: As Ted Aricidi, yeah. And I would go in and they knew I lifted but they, it didn't make that crossov-- and I didn't want it to. I wanted to make as an actor you know, just the bones, the chops. But I did a ton of student films and one of the student films went to Sundance which is cool SY: What film? TA: Bobby Loves Mangos. SY: Gotta write it down I haven't seen it. And what do you like about acting? TA: I love getting int different personas. I'm a character actor. I love it and now I'm getting. Yeah it's just, you start out with a character and you bring what you can bring to the table. They want to see you, they don't want to see you act like somebody else. And I get that for auditions and stuff. SY: Do you think that your time, because your body was, you know your body was a tool when you were a weightlifter, right? And when you're an actor your body is an instrument that's the word I'm looking for. Do you think there's a parallel? TA: I think there is. I think I got my work ethic still. I mean I still go to New York a lot and I'll take classes with other actors, other working actors. Because you always want to hone your craft you know like workshops and stuff with casting directors. I do that all the time, even when I'm busy. It just keeps you sharp, it just keeps you on your thing and they'll throw you a scene and sometimes it's cold read and stuff. I love it. It's very instinctive, very instinctive. SY: Do you feel like you get typecast or you? TA: Ah not anymore. I lost a lot of weight you know I can wear a long shirt. I can be a detective, I could be a blue collar guy. Last one I did I owned a bowling alley, Donald Cried,that should be coming out probably in another year I would think. We just finished that. I had some really good scenes in that. And then I was with Rosanna Arquette in a movie too, Born Guilty. That was just filmed a couple months ago. And I played a deli owner, like her friend. She shoots the shit with me. [Laughs] that was cool. So yeah I like all the different ones and I'm glad I did lose though a lot of weight because I don't want to be typecast as just a thug. I could do that, you know I'll do if I have to, you know. But like in the movie the Family I did that as a bodyguard, no as a hit man trying to kill Deniro and his family. Me and six other hit men from New York. And ah, but they gave me a subst--a decent role in that too so it wasn't just a guy with a gun and just say a couple of words. I had, I had some decent stuff. SY: You got to be more nuanced. TA: Yeah, yeah and they throw stuff at you, and then like there's the fighter too. How could I forget that! I played an ESPN fight promoter, a matchmaker, you know? And they hide me for who I was. They, he didn't know and I never tell you know? Let them find out later, you know. So yeah character acting is great. I love it. It's just such a, it's a different, it's different than lifting. But it's something that I know I'm good at and, and I love doing it. I'll do it until the day I die. I'm very lucky to be able to jump into a, into another field like this. SY: And the vitamin business makes that possible? TA: Yeah well the vitamin business is no longer because when I got out of the competitive thing I figured I had a good trailing, I had a good following but it's almost like hmmm mid-nineties, that was about it, you know. 18 SY: Bit this sports equipment business-- TA: Yeah that's doing well, that's doing very well downstairs. And we sell new fitness equipment - the stations, multi gyms, the single stations, weights, and everything. And then what's really big though is the cardio business: treadmills, ellipticals, bikes, steppers. But I get them from Precorp, I get them used and I have a tech care, and we refurbish them and we end up having a good niche on the market. I mean, these things go for - the kind you see in the gyms, the real good ones like, like Life Fitness, Precorp's a big name - they'll go for six/seven thousand dollars. I'll get them through this distributor who distributes for Precorp in all the schools, colleges. And I get 'em from them and I have a good tech and we basically refurbish them back to like new standards. And we, and they and they we sell them at half the price. There's only two of us in New England - me and this other guy in Rhode Island. And that's doing great, yeah. SY: So. TA: And then I got the building too. SY: The building to. So I'm just thinking, you know when I - wresting and weightlifting were not on my radar as a kid growing up, definitely it just wasn't. But when I mentioned to my husband who I was gonna interview, and he grew up in the '80s, and he was like, "Ted Arcidi! Holy shit, da da da da, right?" TA: Lot of people know, yeah. SY: And he, this is not like, he doesn't follow wrestling, he doesn't follow. But you, when he was a kid you were a big deal, right? So what do you think represent to people? What do you think you represented to like you know eight-year-olds when you were um…? TA: Oh I was like a super hero to them, absolutely, especially when wrestling was getting catapulted like that. Wrestling peaks and valleys, crests, and troughs, and I hit it at a, I hit it at a crest. And oh yeah especially when you're in the WWF and that's when there wasn't a lot of cable. People watched WWF religiously. Hulk Hogan - I mean I trained with him. We're in matches together. I mean it was phenomenal. That's why I think it was easier to transcend into acting because I was with these guys. It's not like, "Okay I'm working with Mark Wahlberg -whoo!" You know who gives a shit? He's an actor, he's a good actor, I'm gonna work with him. I could hold up my own against him and they come up to you after and they and they talk to you and stuff and shoot the shit because they get it from all angles, at that level it's insane. SY: And did--I bet Mark Wahlberg grew up with you? TA: He probably saw me. Yeah, I didn't pick his brain. He wanted to go golfing. If I'd golfed that day, we were gonna go golfing I didn't golf. I go, "My father golfed, so" [laughs]. SY: I'm just wondering if I have any concluding thoughts. So do you, yeah let's go back to Norwich because this is about Norwich. So do you think about your time at Norwich? Do you feel like you? TA: That was instrumental. I don't think I would have been in the right environment to be as diligent and committed and ambitious in my weight training in my weight lifting to be the best in the world if I was somewhere else. Because there would be too many distractions. I mean I was a big fly fisherman, trout fisherman, so all's I did was eat, lift, do my studies, plenty of time to do the studies, and I would go fishing. I'd be fishing every weekend. SY: So it provided you with the environment where you could? 19 TA: Conducive to do that. And you're with other guys that look up to you too. Every workout was like a show there. And they were just pushing me. I'm representing the school so that was really good after that by junior year yeah it was like, I don't want say the big man on campus but they knew what was going on. They read articles and stuff and it's great for Norwich I mean the president, "hey I gave him extra food" [laughs]. But they see an article in the Globe and they see Norwich, that's great for the school and I think they started a weight lifting club with me there. SY: Did you contemplate going into the military at some point or did you know? TA: No. I just wanted to do my two years mandatory up there, yeah. SY: And then you knew you were done? TA: Yeah. But you have to do the two, you know, because you are technically I mean it says they could call you in those two years. That's when we had that static with the Iran hostages and all that. I could have got called in because I was still commissioned for two years at, in ROTC, you know. But there's a thing there, they could still call you in. SY: Were you worried about it at the time? TA: Nah, no because I didn't think we were gonna get called in. They had Marines ready to go in there you know SY:Yeah. What are they gonna call you in for. I don't know if I have any other questions. TA: Well if you have any more call me. Scott Norton! write it down! SY: Scott Norton! TA: Scott Norton! SY: We got it on tape. TA: Okay great. SY: You remembered it! TA: Yeah, yeah. He was instrumental big time, Scotty. SY: Yeah, how? TA: Just helped me when I was benching over 550 he was giving me lift offs. That's insane. That's when I bent two bars, two of Mynter's bars [laughs]. Oh I should tell you about this though. No one really knows about this but before when I was training for Hawaii, the big lift 1985, I had a bad lift off in the gym in Waltham, Mass. The kid gave me the lift off and this is when I was doing 635, 630. This is like, no this is in '84. It was like 630 for two I was at time then. This is in 1984 this is…April-May? I got the lift off, this is 630. He gives me the lift off but when he rolls it off he twists his hand like that and it made the weight go down like that and it just went, free falled on my chest up and down, 630 pounds. People thought I was dead. I'm in shock and they had me there. They were gonna call the ambulance. I could kill 20 somebody. It bounced up and down. I must have tensed up. And he felt like shit. I felt so sorry I said, "Listen it could happen to anybody, you know?" But they had me sit down, rest, because I could have internal bleeding, I could be dying there. It's like when people have a stroke or an aneurysm, they're talking to you and then all of a sudden they're out you know? That could have been it down there. I could have blown a valve or something. And I felt like a pain, a twinge, but it wasn't that bad. If it was you know it wasn't swelling up or nothing. And I finished my fucking workout. I went back there and I did 630 for three. I had a seminar in Iowa that weekend to do behind the neck presses, and I couldn't even bring my hands back. I couldn't sneeze. It was bruised, a bruised sternum. I had an X-ray done that night. Not broken, nothing. I mean that's just testimony to like how strong and how well developed with tendons and muscles just doing an instinctive freeze that it just literarily bounced up and down. That would kill somebody. That would kill them. SY: I think it would kill, it would've killed any other human. Alright so let's have a big reflective question. TA: Yeah. SY: What lesson have you learned or can you impart from having been the strongest man in the world? What does that teach you? TA: Never give up. If you know you, I mean people have to have a perception of what they're capable of. I still think that a lot of people are over stroked today, "you can do anything." No you can't do everything but there's something you can do good. And if you think you can do good, and if you think you can do better than others, that's the whole idea behind competition, and I knew that the way I was making the gains I'm gonna stick this thing out and be smart about it, you know? SY: So everybody should just find their thing. TA: Find their thing, yeah. I think everyone could do something and if they work out hard enough -whether that's acting or you know pushing a broom or running a company, there's something there's some trait everyone has and just follow that and don't get dismayed. I had a lot, you get backstabbers everybody gets backstabber you know, jealously. The guy's record I broke, Bill Kazmaier. Oh God he was sending people to buy supplements from me saying they got sick. He called the FDA on me he was trying to say the lift wasn't legal. I said, "Hey, get over it man. I broke your fucking record. I broke it by forty-six pounds you know?" SY: Deal with it. TA: Yeah. yeah, so yeah. You get the, they call deterrers, yeah you get them. You know [laughs] it's jealousy. It's jealousy. It's basically a reflection on them, you know, what they're inadequate of doing something. SY: So did your dad ever forgive you for not being a dentist? TA: Oh yeah. Yeah, yeah, he saw I was doing well. But even when I--I bring him here and he realized that I could probably do this for the rest of my life if I stuck with it, with the vitamins but I got into the equipment and then I started a women's gym here, women's only fitness. And he was such a great guy he, like I say he's still around, this building was a distressed building, we bought it from the FDIC together 21 and I developed it. This whole mill building it's like a huge horseshoe. We got this this wing and the half of the wing on the riverfront. Then there's a middle section guy who owns it and then you have another people, another owner on the other side. But he was really proud what I did because I never had to take a loan. I made it with my money, you know, with my businesses and that was phenomenal. SY: You were, it's really interesting you were very smart in terms of you were like, "I have this skill, I have the science background, I'm developing my body, and then I'm turning myself into a brand…" TA: I could make products, vitamin products but with more potency for weightlifters you know with my name on it because I'm proven. There's a poster out there - "owner tested, owner approved." I mean that sticks in people's heads. Not that your gonna bench 700 but this guy knows what he's talking about. And I would do seminars and talk about science and muscle recuperation and stuff and you know people. I'm not trying to impress people I'm just telling like it was. But that's because of that great education at Norwich you know? Um hmm…what else? SY: I don't know that's a lot. We've talked a lot. TA: Yeah it goes by quick huh? SY: This was great. TA: Thank you for coming up.
EFEKTIVITAS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENCEMARAN UDARA DI KECAMATAN GRESIK DAN KECAMATAN KEBOMAS Ridho Awalananda (S1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya) ridhoawalananda@yahoo.com Emmilia Rusdiana (S1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Univeritas Negeri Surabaya) emmiliarusdiana@gmail.com Abstrak Lingkungan sangat berpengaruh untuk kehidupan. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Tingkat pencemaran udara di Kabupaten Gresik di ambang batas. Hasil pemantauan kualitas udara ambien di Jawa Timur menyebutkan Kabupaten Gresik memiliki kualitas udara terburuk. Data dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik menyebutkan masih ada industri yang melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Berdasarkan Pasal 69 angka 1 huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 bahwa terdapat larangan untuk melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penegakan hukum yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik terhadap pencemaran udara di Kecamatan Gresik dan Kebomas serta untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh Dinas Linkungan Hidup Kabupaten Gresik dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap pencemaran udara di Kecamatan Gresik dan Kebomas. Jenis penelitian ini yang akan digunakan dalam penyusunan penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis sosiologis yang merupakan ilmu yang tetap berbasis terhadap hukum normatif tetapi bukan mengkaji mengenai sistem norma, namun mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja. Hasil penelitian dan pembahasan mengenai efektivitas penegakan hukum terhadap pencemaran udara di Kecamatan Gresik dan Kebomas yaitu penegakan hukum administrasi. Penegakan hukum administrasi mengenai pencemaran udara di Kecamatan Gresik dan Kebomas melalui pengawasan preventif dan represif. Pengawasan preventif yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik melalui tahapan penerbitan izin lingkungan, setelah itu melakukan pemantauan, pemeriksaan, dan pengujian. Pengawasan represif yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik yaitu sanksi adminstrasi berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin, dan pencabutan izin. Penegakan hukum yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik berjalan kurang efektif karena Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik kurang maksimal dalam menerapkan aturan hukum yang ada, kurangnya jumlah penegak hukum, industri yang masih melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, dan kurangnya kesadaran masyarakat untuk melapor. Kendala yang dihadapi Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik dalam melaksanakan penegakan hukum adalah faktor penegak hukum yaitu kurangnya jumlah personel penegak hukum, sarana atau fasilitas yang belum memadai, serta kurangnya kesadaran masyarakat untuk melapor dan para pelaku usaha yang belum taat aturan dan masih melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. kata kunci : Penegakan Hukum, Pencemaran Udara, Kecamatan Gresik, Kecamatan Kebomas. Abstract The level of air pollution in Gresik Regency is on the threshold. The results of monitoring ambient air quality in East Java said that Gresik Regency had the worst air quality. Data from the Gresik Regency Environmental Service states that there are still industries that conduct pollution and environmental damage. Based on Article 69 number 1 letter a of Law Number 32 of 2009 that there is a prohibition to carry out acts that result in pollution or environmental damage. The purpose of this study was to determine the effectiveness of law enforcement carried out by the Office of Environment of Gresik Regency on air pollution in Gresik Regency as well as the obstacles faced by the Department of Living Environment of Gresik Regency in implementing law enforcement against air pollution in Gresik Regency. This study using juridical sociological research which is a science that remains based on normative law but does not examine the norm system in legislation, but observes how the reactions and interactions that occur when the norm system works. The results of the research and discussion on the effectiveness of law enforcement on air pollution in Gresik and Kebomas Districts are administrative law enforcement. Administrative law enforcement regarding air pollution in Gresik and Kebomas Districts through preventive and repressive supervision. Preventive supervision carried out by the Environmental Agency of Gresik Regency through the stages of publishing environmental permits then through, monitoring, inspection, testing. Repressive supervision by the Gresik Regency Environmental Agency is administrative sanctions in the form of written reprimand, government coercion, license suspension and license revocation. Law enforcement carried out by the Environmental Agency of Gresik Regency runs less effectively because the Environmental Agency of Gresik Regency is not maximal in implementing existing legal regulations, lack of law enforcement, industries that still pollute and damage the environment, and lack of public awareness to report. The constraints faced by the Gresik Regency Environmental Agency in carrying out law enforcement are law enforcement factors, namely the number of inadequate personnel, inadequate advice or facilities and the lack of funds in conducting sample tests requires considerable costs and the parties from the Environmental Service request assistance to examiners from the Province, as well as a lack of awareness of industry players to comply with regulations and protect the environment. keywords: Law Enforcement, Air Pollution, Gresik District, Kebomas District. PENDAHULUAN Lingkungan sangat berpengaruh untuk kehidupan, perubahan terhadap lingkungan seringkali diakibatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dengan melakukan usaha dan dapat berakibat pada keselamatan, kesehatan dan kelangsungan hidup (Junctoko Subagyo,1992:3). Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa "Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya". Lingkungan sangat penting bagi kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan. Maka dari itu kita harus menjaga agar kelestarian lingkungan tetap terjaga. Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan sekitarnya. Dalam udara terdapat oksigen untuk bernafas, kabondioksida untuk proses fotosintesis, dan ozon untuk menahan sinar ultraviolet. Namun dengan meningkatnya pembangunan kota dan pusat-pusat industri, kualitas udara telah mengalami perubahan yaitu terjadi pencemaran udara dan jika hal ini tidak segera ditangani dapat berdampak pada kesehatan manusia, kehidupan hewan, serta tumbuhan (Muhammad Erwin, 2008: 35). Menurut Pasal 1 angka 1 PP Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara menyebutkan bahwa "Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukannya zat, energi, dan/komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya". Namun dengan meningkatnya pembangunan kota dan pusat-pusat industri, kualitas udara telah mengalami perubahan yaitu terjadinya pencemaran udara yang berdampak pada kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan (Bahrudi Supardi, 2009: 20). Kabupaten Gresik adalah kabupaten yang terkenal dengan sebutan kota industri. Alasan Kabupaten Gresik dikenal sebagai kota industri karena banyak berdiri industri-industri di Kabupaten Gresik. Industri yang paling banyak berada di Kecamatan Gresik dengan jumlah 304 industri dan Kecamatan Kebomas dengan jumlah industri sekitar 2.034 industri. Dengan banyaknya jumlah industri di Kabupaten Gresik, masalah-masalah lingkungan mulai bermunculan seperti pencemaran udara. "Terdapat salah satu berita pencemaran udara di Kabupaten Gresik di ambang batas. Tingkat polusi yang tinggi dari industri membuat geram masyarakat di Kabupaten Gresik. Pencemaran udara umumnya merata di wilayah terutama wilayah yang banyak industrinya". Dari hasil pengukuran indeks kualitas udara ambien yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur menunjukan bahwa Kabupaten Gresik memiliki kualitas udara terburuk di Jawa Timur dengan nilai 65.81. Pengukuran indeks kualitas udara ambien dilakukan ditempat pemukiman, lalu lintas dan area sekitar wilayah industri. Parameter yang dipantau meliputi Sulfur Dioksida, Karbon Monoksida, Nitrogen Dioksida,Ozon, PM10, dan Timbal. Dari hasil pemantauan kualitas udara ambien di Kecamatan Gresik dan Kebomas menunjukan adanya pencemaran udara berupa debu yang melebihi baku mutu udara ambien. Penyebab terjadinya pencemaran udara karena aktivitas industri Lokasi yang paling berdampak yaitu di Jalan Mayjen Sungkono di Kecamatan Kebomas dan Jalan Jaksa Agung Suprapto di Kecamatan Gresik. Berdasarkan Pasal 69 angka 1 huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa "setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup". Pasal ini menjelaskan bahwa ada larangang bagi setiap orang untuk melakukan kerusakan lingkungan hidup. Menurut Pasal 21 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara menyebutkan bahwa "Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dan/atau baku tingkat gangguan ke udara ambien wajib : a. Mentaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat gangguan yang ditetapkan untuk usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya; b. Melakukan pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya; c. Memberikan informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat dalam rangka upaya pengendalian pencemaran udara dalam lingkungan usaha dan/atau kegiataannya. Pasal ini menjelaskan bahwa bagi pelaku usaha untuk mentaati baku mutu udara yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, melakukan pencegahan dan penanggulangan agar tidak terjadi pencemaran udara, dan memberikan informasi kepada masyarakat untuk upaya pengendalian pencemaran udara. Oleh karena itu dibutuhkan peran Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik untuk melakukan penegakan hukum administrasi. Menurut Pasal 61 ayat (1) Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa "Bupati menerapkan sanksi administrasi kepada penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran". Pasal 61 ayat (2) Perda Kabupaten Gresik Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa "bentuk sanksi administrasi terdiri atas : Teguran tertulis; Paksaan pemerintah; Pembekuan izin lingkungan; Pencabutan izin lingkungan; Pemberian sanksi administrasi dilakukan oleh satuan kerja perangkat daerah yang tugas pokok dan fungsinya bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup untuk mencegah, mengakhiri, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan atas pelanggaran yaitu Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik. Penulis memandang bahwa faktanya masih banyak industri yang melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan di Kecamatan Gresik dan Kebomas dan masih melanggar izin lingkungan, serta Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik belum maksimal dalam menerapkan sanksi administrasi kepada industri yang melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan di Kecamatan Gresik dan Kebomas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penegakan hukum yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik terhadap pencemaran udara di Kecamatan Gresik dan Kebomas serta untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap pencemaran udara di Kecamatan Gresik dan Kebomas. Kajian Teoritik yang berkaitan dengan permasalahan mengenai efektivitas penegakan hukum terhadap pencemaran udara di Kecamatan Gresik dan Kecamatan Kebomas ialah efektivitas hukum, lingkungan hidup, penegakan hukum, dan izin. Efektivitas hukum merupakan proses yang bertujuan agar hukum berlaku efektif. Ketika berbicara sejauh mana efektivitas hukum maka kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati. Jika suatu aturan hukum ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya maka akan dikatakan aturan hukum yang bersangkutan efektif (Achmad Ali, 2009: 375). Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto ditentukan oleh lima faktor yaitu (Soerjono Soekanto, 2000: 80) : a. Faktor hukumnya sendiri; b. Faktor penegak hukum; c. Faktor sarana atau fasilitas; d. Faktor masyarakat; e. Faktor budaya. Lingkungan adalah jumlah semua benda kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita. Secara teoritis lingkungan tidak terbatas jumlahnya, oleh karena misalnya matahari dan bintang termasuk di dalamnya. Namun secara praktis kita selalu memberi batas pada ruang lingkungan itu. menurut kebutuhan kita batas itu dapat ditemukan oleh faktor alam seperti jurang, sungai atau laut, faktor ekonomi, faktor politik atau faktor lain. Tingkah laku manusia juga merupakan bagian lingkungan kita, oleh karena itu lingkungan hidup harus diartikan secara luas, yaitu tidak saja lingkungan fisik dan biologi, melainkan juga lingkungan ekonomi, sosial, dan budaya (Otto, 2009: 48). Penegakan hukum dalam bahasa Belanda disebut dengan rechtoepassing atau rechtshandhaving dan dalam bahasa inggris law enforcement meliputi pengertian yang bersifat makro dan mikro. Bersifat makro mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, sedangkan dalam pengertian mikro terbatas dalam proses pemeriksaan di pengadilan termasuk proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga pelaksanaan putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Chaerudin, 2008: 87). Secara umum izin merupakan suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan perundang-undangan. Dalam izin dapat dipahami bahwa suatu pihak tidak dapat melakukan sesuatu kecuali diberi izin, artinya kemungkinan seseorang atau suatu pihak tertutup kecuali diizinkan oleh pemerintah. Dengan demikian pemerintah mengikatkan perannya dalam kegiatan yang dilakukan oleh orang atau pihak yang bersangkutan (Pudyatmoko, 2009:7). METODE Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis sosiologis. Penelitian yuridis sosiologis merupakan ilmu yang tetap berbasis terhadap undang-undang tetapi bukan mengkaji sistem norma dalam aturan perundang-undangan, namun mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja (Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2017: 47). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan mendeskripsikan mengenai efektivitas penegakan hukum serta kendala yang dihadapi Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik dalam melaksanakan penegakan hukum administrasi terhadap pencemaran udara di Kecamatan Gresik dan Kebomas. Lokasi penelitian ini diantaranya Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik, Kelurahan Ngipik, Perumahan GKGA Kedanyang, Kelurahan Indro, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Newera Rubberindo, PT Gramitrama Jaya Steel. Informan dalam penelitian ini yaitu Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup dan Kepala Seksi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik, Ketua RT 02 Perumahan GKGA Kedanyang, Ketua RT 03 Kelurahan Ngipik, Ketua RT 03 Kelurahan Indro. Jenis data dalam penelitian ini yaitu data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dilapangan melalui wawancara dengan informan. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan yang berupa buku, jurnal, dan referensi lainnya. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melalui tahapan observasi dengan cara melalui pengamatan terhadap objek penelitian setelah itu mencatat dengan sistematis hasil dari observasi. Setelah itu melalui wawancara dengan cara melakukan tanya jawab dengan informan, dan melalui dokumentasi yang dapat berupa dokumen berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Teknik pengolahan data dalam penelitian ini melalui teknik klasifikasi yaitu proses pemilahan data. Hasil data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi diklasifikasi sesuai dengan kategori berdasarkan pertanyaan dalam rumusan masalah dalam topik penelitian ini. Setelah itu mengedit yaitu kegiatan mengolah data dengan cara melakukan proses pemeriksaan ulang data yang telah diperoleh dari penelitian. Teknik analisis data dalam penelitian ini dengan melalui proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan ide yang disarankan oleh data. Kegiatan analisis data dalam penelitian ini yaitu reduksi data. Reduksi data adalah merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting setelah itu dicari tema dan polanya. Jadi reduksi data yaitu menentukan data yang telah diproses dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi di lapangan, setelah itu disesuaikan dengan tema dalam penelitian ini yaitu mengenai efektivitas penegakan hukum administrasi terhadap pencemaran udara di Kecamatan Gresik dan kebomas. Teknik analisis data selanjutnya yaitu Penyajian data. Penyajian data adalah cara merangkai data untuk mempermudah dalam hal membuat kesimpulan. Data yang diperoleh dari penelitian akan dikategorikan sesuai dengan pembahasan dan akan disajikan dalam bentuk bagan, tabel, dan sejenisnya. Kegiatan analisis data yang terakhir yaitu verifikasi data dan kesimpulan. Verifikasi adalah mengecek kembali data yang sudah terkumpul untuk mengetahui keabsahan datanya agar sesuai dengan tema penelitian ini.verifikasi dilakukan dengan cara mendengar, membaca, dan mecocokan kembali hasil dari observasi, wawancara, dan dokumentasi yang sudah dilakukan oleh peneliti di lapangan. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Efektivitas Penegakan Hukum Yang Dilakukan Oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik Terhadap Pencemaran Udara di Kecamatan Gresik dan Kebomas Penegakan hukum dalam bahasa Belanda disebut dengan rechtoepassing atau rechtshandhaving dan dalam bahasa inggris law enforcement meliputi pengertian yang bersifat makro dan mikro. Bersifat makro mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara, sedangkan dalam pengertian mikro terbatas dalam proses pemeriksaan di pengadilan termasuk proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Chaeruddin, 2008: 82). Penegakan hukum pada dasarnya yaitu sepenuhnya untuk upaya tegaknya atau fungsinya norma-norma hukum secara nyata dalam masyarakat sebagai pedoman perilaku dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Soerjono Soekanto, 2012: 5). Proses penegakan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien (Soerjono Soekanto, 1996: 19). Penegakan hukum lingkungan merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan atau ancaman sarana administrasi, kepidanaan, dan keperdataan (Siti Sundari, 2005: 214). Menurut Soerjono Soekanto faktor-faktor yang mempengaruhi efektif atau tidaknya suatu hukum yaitu (Soerjono Soekanto, 2012: 8) : a. Faktor hukum itu sendiri, yang dimana dalam tulisan ini dibatasi pada undang-undang. Mengenai berlakunya undang-undang tersebut terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang itu mempunyai dampak yang positif. Artinya, supaya undang-undang tersebut mencapai tujuannya sehingga efektif dan dapat diterima oleh masyarakat. b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum itu. masalah peranan dianggap sangat penting, oleh karena pembahasan mengenai penegak hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada diskresi yang dimana diskresi tersebut menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum, dimana penilaian pribadi juga memegang peranan. c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, artinya sarana dan fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting untuk penegakan hukum. tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak mungkin bagi penegak hukum untuk menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual dan nyata. d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan atau wilayah dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Dimana penegakan hukum itu berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dan ketertiban di dalam masyarakat. Oleh karena itu jika dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum. e. Faktor budaya, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidupnya. Kebudayaan hukum mencakup nilai-nilai yang mempengaruhi konsepsi-konsepsi abstrak mengenai hal yang dianggap baik dan buruk. Penegakan hukum ditujukan guna meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat. Hal ini dilakukan antara lain dengan menertibkan fungsi, tugas, dan wewenang lembaga-lembaga yang bertugas menegakan hukum menurut proporsi ruang lingkup masing-masing serta didasarkan atas sistem kerjasama yang baik dan mendukung tujuan yang hendak dicapai (Soerjono Soekanto, 1996: 19). A. Pengawasan Preventif Pengawasan preventif dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik terhadap izin lingkungan yang dimiliki oleh industri. Secara umum izin merupakan suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan perundang-undangan. Dalam izin dapat dipahami bahwa suatu pihak tidak dapat melakukan sesuatu kecuali diberi izin, artinya kemungkinan seseorang atau suatu pihak tertutup kecuali dizinkan pemerintah. Dengan demikian pemerintah mengikatkan perannya dalam kegiatan yang dilakukan oleh orang atau pihak yang bersangkutan (Pudyatmoko, 2009: 7). Tahapan dalam penerbitan izin lingkungan yaitu : a. Konsultasi; b. Persiapan Amdal; c. Proses Penilaian Dan Pemeriksaan; d. Penyusunan Izin lingkungan; e. Penerbitan Izin Lingkungan. Setelah diterbitkannya izin lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik juga melakukan pengawasan untuk mengetahui industri tersebut dalam melakukan kegiatan seperti pembuangan emisi gas, limbah, instalasi, dan sebagainya sudah sesuai dengan izin lingkungan atau tidak. Proses pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik yaitu : a. Pemantauan Pemantauan dan pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik dilakukan dengan cara melihat langsung ke lapangan sebagai informasi untuk mengetahui kemungkinan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. b. Pemeriksaan Pemeriksaan yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik terhadap pelaku usaha industri merupakan tindakan mencari dan mengumpulkan fakta yang berkaitan dengan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik memeriksa dokumen izin serta instalasi saluran pembuangan limbah. c. Pengujian Pengujian baku mutu udara dilakukan secara langsung oleh tim dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik dan dari Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur dengan melakukan percobaan dan penelitian atas hasil sampel dari bagian obyek yang diuji agar dapat mengetahui terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, berdasarkan hasil pengujian baku mutu udara ambien yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik, menetapkan kualitas udara ambien di Kecamatan Gresik dan Kebomas melampaui ambang batas. B. Pengawasan Represif Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik diberikan wewenang untuk melaksanakan kebijakan daerah tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Wewenang Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik diatur di dalam Pasal 57 Perda Kabupaten Gresik Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik yang menyebutkan bahwa: "Untuk mewujudkan keterpaduan dan keserasian pelaksanaan kebijakan daerah tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Bupati dapat melimpahkan wewenang tertentu dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup". Penegakan hukum administrasi dianggap sebagai upaya hukum yang terpenting, karena selain bertujuan untuk menghukum pelaku pencemar (Sukanda Husin, 2009: 92). Pengawasan secara periodik dilakukan terhadap kegiatan yang memiliki izin lingkungan sebagai upaya pemantauan penataan persyaratan perizinan oleh instansi yang berwenang memberi izin lingkungan (Suparto.2017:10). Penerapan sanksi merupakan konsekuensi lanjutan dari tindakan pengawasan. Sanksi administrasi mempunyai fungsi instrumental pengendalian perbuatan terlarang yang terdiri dari (Suparto, 2017: 15) : a. Paksaan pemerintah; b. Uang paksa; c. Penutupan tempat usaha; d. Penghentian kegiatan mesin perusahaan; e. Pencabutan izin. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik memberikan sanksi administrasi berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengujian sampel pada tahapan pengawasan preventif. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik memberikan sanksi administrasi kepada industri yang melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Sanksi administrasi yang diberikan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik bagi industri yang melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang pertama yaitu teguran secara lisan. Teguran lisan ini dilakukan apabila tim pengawas menemukan adanya pelanggaran yaitu pencemaran dan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh pelaku usaha industri. Sanksi berikutnya yaitu teguran tertulis. Teguran tertulis akan diberikan kepada pelaku usaha apabila setelah adanya teguran secara lisan pelaku usaha tersebut masih melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, dengan catatan bahwa teguran yang diberikan baik secara lisan atau tertulis menjadi upaya awal terhadap penegakan sanksi administrasi terhadap pelaku usaha industri yang melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Sanksi kedua yaitu paksaan pemerintah. Paksaan pemerintah yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik dapat berupa tindakan menyingkirkan, menghalangi, atau mengembalikan keadaan seperti semula. Selanjutnya yaitu pembekuan izin, pembekuan izin akan diberikan kepada pelaku usaha apabila melakukan kegiatan selain yang tercantum dalam izin lingkungan. Sanksi administrasi terakhir yaitu pencabutan izin lingkungan. Sanksi ini merupakan sanksi administrasi terakhir yang akan diberikan kepada pelaku usaha apabila memang terdapat pelanggaran izin lingkungan. Efektivitas merupakan tingkat keberhasilan dalam pencapaian tujuan. Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya. Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas hukum, maka harus dapat mengukur sudah sejauh mana hukum itu ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya (Achmad Ali, 2009: 375). Dalam penegakan hukum tentunya tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi tegaknya penegakan hukum itu sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu : a. Faktor hukum; b. Faktor Penegak Hukum; c. Faktor Sarana atau Fasilitas; d. Faktor Masyarakat; e. Faktor Budaya. Aturan sebagai pedoman penegak hukum yang mengatur mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tertulis dengan jelas di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara, dan Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka sudah dibilang aturan yang mengatur mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Kabupaten Gresik sudah terpenuhi. Penegak hukum yang dimaksud yaitu Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik yang memiliki peran untuk melaksanakan aturan terkait penegakan hukum terhadap pencemaran udara di Kecamatan Gresik dan Kebomas tidak terpenuhi. Alasannya karena penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan penegakan hukum di bidang lingkungan hidup belum maksimal dalam menerapkan aturan yang ada sehingga kurang berdampak signifikan kepada masyarakat. Sarana atau fasilitas juga ikut mendukung proses jalannya penegakan hukum yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik. Sarana atau fasilitas yang dimaksud yaitu seperti alat uji, laboratorium, dan lain-lain yang dapat membantu proses penegakan hukum yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik dalam melakukan penegakan hukum lingkungan. Dalam hal ini sarana atau fasilitas yang dimiliki oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabuapten Gresik masih terbatas. Masyarakat di Kecamatan Gresik dan Kebomas juga ikut andil dalam proses jalannya penegakan hukum yang dilakukan oleh Dinas Lingkugnan Hidup Kabupaten Gresik terhadap industri yang melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Tetapi, masyarakat di Kecamatan Gresik dan Kebomas belum memiliki kesadaran hukum dalam hal ini kesadaran masyarakat untuk melakukan tindakan seperti melapor ke Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik masih kurang karena masyarakat masih belum paham dengan aturan yang ada, dan pelaku usaha yang masih melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup di Kecamatan Gresik dan Kebomas. Budaya merupakan nilai-nilai yang tumbuh di dalam pergaulan hidup masyarakat yang mencakup nilai-nilai yang dianggap baik dan buruk untuk dilakukan. Dalam hal ini budaya masyakarat di Kecamatan Gresik dan Kebomas sudah terpenuhi karena nilai-nilai untuk menjaga kebersihan dan tidak melakukan pelanggaran yang mengakibatkan merugikan lingkungan sudah diajarkan di dalam proses pendidikan. Menurut hasil temuan dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik, bahwa masih banyak industri di Kecamatan Gresik dan Kebomas yang diduga melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Beberapa industri sudah diberikan sanksi administrasi. Dari jumlah industri di Kabupaten Gresiksekitar 2.300 industri, kira-kira 1000 industri yang masih melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup dan masih ada industri yang belum memiliki izin lingkungan. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik dalam memberikan sanksi administrasi tidak hanya sebatas terguran tertulis saja, seharusnya industri yang melanggar izin lingkungan diberikan sanksi administrasi berupa pencabutan izin atau pembekuan izin lingkungan dengan segera agar memberikan efek jera kepada industri yang melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup agar tidak merugikan lingkungan dan masyarakat di Kecamatan Gresik dan Kebomas. Kendala yang Dihadapi Oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik dalam Melaksanakan Penegakan Hukum Terhadap Pencemaran Udara Di Kecamatan Gresik dan Kebomas Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik dalam melaksanaan penegakan hukum terhadap pencemaran udara di Kecamatan Gresik dan Kebomas terdapat beberapa kendala yaitu : a. Faktor Penegak Hukum Dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik kekurangan personel. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik hanya memiliki tiga personel pengawas, dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik juga belum mempunyai tim ahli untuk melakukan uji sampel sehingga Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik meminta bantuan tim ahli dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur. b. Faktor Sarana atau Fasilitas Kendalal berikutnya yaitu Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik belum memiliki sarana atau fasilitas yang memadai. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik belum memiliki laboratorium penguji sampel dan alat penguji sampel yang sudah tidak layak. Hal ini disebabkan karena keterbatasan dana. c. Faktor Masyarakat Kendala yang terakhir yaitu kurangnya kesadaran dari pelaku usaha industri untuk mentaati peraturan dan menjaga lingkungan. Hal ini didasarkan pada hasil temuan dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik pada tahun 2017 masih ada industri yang melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup di wilayah Kecamatan Gresik dan Kebomas dan masih banyak industri yang belum memiliki peralatan yang memadai untuk mengelola hasil limbah industri. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil dari pembahasan yang dilakukan oleh penulis berdasarkan dengan rumusan masalah maka penulis berkesimpulan sebagai berikut: 1. Penegakan hukum yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik terhadap pencemaran udara di Kecamatan Gresik dan Kebomas berjalan tidak efektif, karena Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik tidak maksimal dalam menerapkan aturan hukum yang ada, jumlah personel penegak hukum yang tidak kompeten baik dari segi kualitas dan kuantitas, ada beberapa industri yang masih terbukti melakukan pencemaran dan kerusakan lingkugan hidup, dan juga kesadaran masyarakat yang rendah. 2. Kendala dalam proses penegakan hukum yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik yaitu masih kurangnya tenaga personel. Kendala berikutnya masih ditemukan pelaku usaha yang belum taat aturan dan masih melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, kurangnya kesadaran masyarakat untuk melapor, dan kendala berikutnya sarana atau fasilitas yang belum memadai. Saran Berdasarkan kesimpulan dari hasil pembahasan di atas, maka peneliti memberikan saran sebagai berikut: 1. Bagi Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik dalam melakukan penegakan hukum terhadap industri yang melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan perlu dilakukan penambahan jumlah personel. Selain itu perlu dilakukan sosialisasi dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik kepada para pelaku usaha industri agar mereka selalu menjaga lingkungan dan taat aturan hukum yang berlaku di Kabupaten Gresik. 2. Bagi para pelaku usaha diharapkan untuk selalu menjaga lingkungan sekitar agar lingkungan di Kabupaten Gresik khususnya di Kecamatan Gresik dan Kebomas tetap bersih dan nyaman bagi masyarakat dan juga harus memperhatikan masyarakat sekitar yang merasa terganggu dengan polusi yang dihasilkan dari kegiatan industri. 3. Bagi masyarakat, perlunya kesadaran hukum dari masyarakat di Kecamatan Gresik dan Kebomas untuk melapor ke Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik jika ditemukan industri yang melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup di wilayah Kecamatan Gresik dan Kebomas. DAFTAR PUSTAKA Buku Ali Achmad. 2009. Teori hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta: Penerbit Kencana. Danusaputra, Munadjat. 1985. Hukum Lingkungan Buku II. Bandung: Nasional Binacit. Erwin, Muhammad. 2011. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup. Bandung: Refika Aditama. Fajar, Mukti dan Yulianto, Achmad. 2017. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hamzah, Andi. 2005. Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta: Sinar Grafika. Soebagyo, Juntoko. 1992. Hukum Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta. Soekanto, Soerjono. 2014. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia. Soekanto, Soerjono. 1996. Sosiologi Hukum Suatu Pengantar. Bandung: Rajawali Pers. Soekanto, Soerjono. 1985. Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Soekanto, Soerjono. 2012. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Soemarwoto, Otto. 2008. Ekologi Lingkungan Hidup Dan Pembangunan. Jakarta: PT. Bumi Perkasa. Supardi, Bahrudi. 2009. Berbakti Untuk Bumi. Bandung: Rosdakarya. Sundari, Siti. 2000. Hukum Lingkungan Dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Surabaya: Airlangga University Press. Syaiful, Chaerudin. 2008. Hukum Lingkungan Di Indonesia Sebuah Pengantar. Bandung: Refika Tama. Wibawa, Samodra. 2000. Efektivitas Kebijakan Kelembagaan Pengawasan. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 86 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3853. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Lembaran Daerah Kabupaten Gresik Tahun 2015 Nomor 026.
PABLO CARDOSO: AN ETHICAL AND POLITICAL SPIN OF HIS AESTHETICResumen: Pablo Cardoso (Cuenca, 1965), artista contemporáneo cuya excelsa obra estuvo hasta ahora marcada por el escepticismo y una estética contemplativa, adopta un giro ético y político que, sin adherir a tesis alguna de ningún partido ni movimiento políticos, revela las contradicciones de la lógica del capital, particularmente del modelo extractivista, que contamina, agrede y destruye muchas formas de vida. Este giro ético y político evidencia también la resistencia del artista a que su obra sea reducida a mero valor de cambio; y convoca su valor de uso, esto es, un don que revela las perversidades de un tardío tiempo del capital. Palabras clave: Pablo Cardoso, estética, ética, política, arte contemporáneo, Ecuador. Abstract: Pablo Cardoso (Cuenca, 1965), a contemporary artist whose sublime work was so far marked by skepticism and a contemplative aesthetics, adopts an ethical and political spin that, without adhering to any thesis of any party or political movement, reveals the contradictions of logic of capital, particularly of the extractive industry, which pollutes, assaults and destroys many forms of life. This ethical and political shift also shows the resistance of the artist that his work is reduced to a mere exchange value; and convenes its use value, that is, a gift that reveals the perversity of a late time of the capital. Keywords: Pablo Cardoso, aesthetic, ethical, politics, contemporary art, Ecuador. * * * * * 1. Introducción Un pavoroso desconocimiento afecta al arte contemporáneo producido por ecuatorianos pese a que sus obras son la memoria visual de nuestra época. Sin embargo, el panorama del arte contemporáneo en Ecuador es rico, múltiple y diverso; recientemente, un equipo de investigadores de la Universidad de Cuenca analizó cerca de ciento cuarenta obras de sesenta y nueve artistas cuyos lenguajes son el dibujo, la pintura, la fotografía, el videoarte, el performance, las prácticas artísticas de inserción social, etc. (Suárez, 2014). La migración ha marcado indeleblemente las obras de algunos artistas ecuatorianos que se trasladaron a otros lugares del mundo: Manuel Cholango y Vinicio Batidas, Alemania; X. Andrade, Estados Unidos; Estefanía Peñafiel Loaiza y Santiago Reyes, Francia; Oscar Santillán, Holanda; Rosa Jijón, Italia; otro eje analítico fundamental del mencionado estudio, es la creciente presencia de artistas mujeres como Saskia Calderón, ganadora de la XII Bienal de Cuenca (2014) cuyas imágenes-sonoras parecen destinadas a re-velar y des-velar ciertas tensiones, oposiciones y contradicciones de este tardío tiempo del capital; la subjetividad y buceos interiores está presente en la obra más reciente de Pilar Flores que promueve la participación del espectador en unas experiencias estéticas emotivas, intensas y, simultáneamente, de una profunda serenidad y quietud contemplativas; Juana Córdova materializa en su obra plástica una reflexión crítica sobre la alta modernidad y sus impactos contra la naturaleza, la vida animal, el paisaje y, por supuesto, sobre la condición humana. Igualmente destacable es la contribución de los colectivos artísticos como: Tranvía cero, Wash lavandería de arte y La pelota cuadrada en Quito; La limpia en Guayaquil; Ñukanchik People y Lakomuna en Cuenca. De este rico panorama, sólo destacaremos en este artículo el giro que ha tomado la reciente la obra de Pablo Cardoso. Con estudios en la Academia de Bellas Artes "Remigio Crespo Toral" de la Universidad de Cuenca entre 1985-1989, Pablo Cardoso (Cuenca, 1965) presentó su primera exposición artística en su ciudad natal cuando tuvo tan sólo 19 años. (VV.AA., 1990, págs. 256-257). Abandonados voluntariamente los estudios académicos, Cardoso se convirtió en un artista autodidacta; la calidad de su obra evidencia el rigor con que ha enfrentado el compromiso de su autoformación. Además de representar a Ecuador en las Bienales de Cuenca, Gwangju, La Habana, Sao Paulo y Venecia, ha expuesto su obra en 39 individuales y 140 colectivas (Valdez, laselecta cooperativa cultural, 2013), en Bogotá, Brasilia, Bruselas, Buenos Aires, Caracas, Chicago, Guayaquil, Lima, Madrid, Miami, Nueva York, Palm Beach, París, Pinar del Río, Puerto Príncipe, Puerto Rico, Quito, Santiago de Chile, Santo Domingo, Tijuana y Venecia, entre otras. Entre los premios y reconocimientos otorgados a su obra, destacamos algunos: en 1986, es seleccionado para la muestra itinerante Premio París; en 1988, recibe el premio Alberto Coloma Silva que reconoce la propuesta innovadora de un joven artista; en 2008, la beca CIFO Comissions Program (mid-career) y Bellagio Creative Arts Fellow del Rockefeller Foundation Bellagio Center en 2011; en 2003, obtiene el II premio en el Salón de Julio (Guayaquil); en 2001, la VII Bienal Internacional de Pintura Cuenca, le confiere una Mención de Honor; en 1996, la misma institución confiere a la representación ecuatoriana otra mención de honor. Y, en 2013 recibe el premio Mariano Aguilera a la trayectoria artística. 2. Una pintura más urbana y más humana Cardoso inició su trayectoria artística en franca ruptura con la representación del realismo naturalista de las generaciones artísticas que le precedieron; sin embargo, la suya nunca fue, y no es, la ruta de la abstracción sino, por el contrario, su camino se inscribe creativamente en la nueva figuración. Ya en 1986, Cardoso produce una obra plástica que evidencia una búsqueda consciente de la Forma; pintó rostros de facciones delicadas y enigmáticas de un marcado hiperrealismo que, con sentido autocrítico, el mismo artista dirá que estaban demasiado próximos al material publicitario (VV.AA., 1990, pág. 256) Pintará también torsos, cuerpos fragmentados, animales domésticos, frutas; casi siempre, recortes de una realidad que Cardoso no pretende reflejar sino re-velar y des-velar; la suya será, desde entonces, una estética del fragmento que coloca ante la mirada del espectador tan solo segmentos de un mundo que, a su juicio, se ha tornado inasible como totalidad, pues, es tan sólo así podríamos aproximarnos a él; un mundo que ha perdido consistencia y se ha tornado incomprensible la mayoría de las veces, cuando no repudiable. Cardoso es uno de los más destacados miembros de la generación conocida como "Pintores del Quinto Río" –bautizo que les diera Carlos Rojas, a fines de la década de los años noventa-y cuyo denominador común es la negación rotunda y definitiva de la tradición pictórica heredada, a la que calificaron como insuficiente y fuera de época; en efecto, aquella –la del pasado- fue una estética especular que representaba un mundo rural y los Pintores del Quinto Río se reclamaban a sí mismos como hijos de un mundo urbano, por lo que su estética se propuso bucear en las profundidades ignotas de la individualidad y la ciudad. Raza de ingratos. 1988. Aerógrafo, tinta sobre cartón, 98,5 x 73,2 cm.Premio Coloma Silva, Bienal Internacional de Pintura de Cuenca. A partir de ellos, el arte plástico local ya no podrá más representar el colorido paisaje del terruño, pues, era evidente que ese mundo eglógico, si alguna vez existió, se había evaporado en el aire con la consolidación de la ciudad y la modernidad, dejando paso a aquellos "abstractos valores de la civilización occidental, para bien y para mal". (Rojas, 1998, pág. 122) "La pintura cuencana de los últimos años, nos habla de pasiones desmesuradas, de violencia, de cuerpos que se buscan afanosos, de vidas privadas que estallan, de otros colores más allá del verde. Están presentes los ocres, los rojos… Otra serie distinta de intensidades para decir los afanes diarios de la ciudad, de su gente, de lo que ha llegado a ser a pesar de sí misma." (Rojas, 1998, pág. 126). En la década de los años ochenta y noventa, un signo indeleble de la pintura de Cardoso, es la certeza de que la composición plástica tradicional, aquella que se estructuraba en los límites del espacio euclidiano, es insuficiente para dar cuenta de las transformaciones del mundo y la vida en el capitalismo tardío; por lo que el artista librará una batalla plástica marcada por sendas descomposiciones espaciales, superposiciones de varios mundos bidimensionales y unos evidentes chorreados para aludir precisamente a estas mutaciones. "Estos elementos técnicos crean el entorno indispensable para la introducción de la temporalidad de los mundos de Pablo Cardoso: la mirada sobre la pintura clásica en la que se colocan los cuerpos de fin de siglo torturados por el cuidado personal y, en algún momento, la transparencia de una subjetividad en conflicto consigo misma y con los demás. (VV.AA., 1995, pág. 36) El artista ha logrado superar la representación tradicional del mundo, ya no es un obstáculo estético que se erigía entre el mundo que le ha tocado vivir y la representación que le corresponde; es que, por supuesto, ese mundo, supuestamente sólido, se había evaporado lenta pero definitivamente; ciertas trazas ideológicas aún pervivirán por mucho tiempo aún en el imaginario colectivo pero, las estructuras mismas, ya no. Huele a quemado II. 1989.Aerógrafo y pincel, tintas y acrílico sobre cartón, 38,1 x 98,5 cm. Los recursos técnicos que usará Pablo Cardoso desde entonces estarán al servicio de re-velar y des-velar existencias atormentadas, angustiosas, en un nuevo mundo urbano que, como hemos dicho ya, se tornó inasible, incomprensible, e incluso repudiable. Desde entonces, Cardoso ha recorrido un camino marcado por un nítido dominio de los planos de la forma y de la substancia, tanto en la expresión como en el contenido, utilizando los conceptos desarrollados en el análisis de la obra artística. (Rojas, Estéticas Caníbales, 2011, págs. 69-70). El artista ha utilizado con excelsos resultados óleos, acrílicos, aerógrafos, sobre lienzos, cartones, maderas o metales e incluso la fotografía; y, en relación con los contenidos, la suya ha sido y es una investigación artística rigurosa sobre la cultura del mundo contemporáneo. En 2012, Cardoso recibe el premio Mariano Aguilera a la trayectoria artística, otorgado por el Municipio del D.M. de Quito; con esta ocasión, el artista preparó una muestra antológica Teoría para actuar antes de tiempo, con ochenta de sus obras, que fueron exhibidas en el Centro de Arte Contemporáneo, CAC (Valdez, Premio Mariano Aguilera, 2013). Cerca de un año le tomó al artista prepararla en permanente diálogo con la curadora, Ana Rosa Valdez; fruto de este intercambio se formuló una periodización de la obra de Cardoso en tres grandes momentos: a) Madurez, 2001-2014. b) Preparación, 1998-2001; c) Experimentación inicial, 1987-1997. (San Martín, 2013). En la etapa de madurez, Cardoso da forma plástica a temas fundamentales del mundo y la cultura contemporáneos como son la experiencia del tiempo; la percepción de la realidad a través de la mirada; el escepticismo ante el mundo que nos rodea debido a su absoluta inestabilidad; la ironía del concepto de verdad; acomete representaciones del paisaje en relación con la caminata, el tránsito o el viaje; alude al indefinido límite entre realidad y ficción o entre objetividad y subjetividad. Sin embargo, para valorar la obra de Cardoso, es necesario ir más allá de las cesuras cronológicas que, siendo importantes, son insuficientes para explicar obra tan rica como vasta, por lo que preferimos destacar el giro que se produce en su obra a partir de 2010. 3. El giro ético y político En más de una ocasión, el mismo artista, se ha definido como un escéptico (La Hora Nacional, 2013) y, en efecto, gran parte de su obra está marcada por esta actitud filosófica tan propia de esta época; sin embargo, podríamos afirmar que ha dejado de serlo, como intentaremos demostrar a continuación; pero antes, recordemos el significado concepto de escepticismo: "Desde el punto de vista teórico el escepticismo es una doctrina del conocimiento según la cual no hay ningún saber firme, ni puede encontrarse nunca ninguna opinión absolutamente segura. Desde el punto de vista práctico, el escepticismo es una actitud que encuentra en la negativa a adherirse a ninguna opinión determinada, en la suspensión del juicio (EPOJÉ), "la salvación del individuo", "la paz interior". En el primer caso se opone a lo que podría llamarse "decisionismo". O, si se quiere, adopta una sola decisión: la de abstenerse de toda decisión." (Ferrater, 2001, pág.1054) A partir de 2010, Pablo Cardoso produce cuatro series artísticas denominadas a) Lebensraum, b) Suite del Coan Coan, c) Lago Agrio–Sour Lake y d) Golem, cuyo propósito desborda las intenciones contemplativas del paisajismo o la representación de la naturaleza que antes había ejercido con sobra de méritos. Siendo él un apasionado de los panoramas naturales, descubre que el planeta no es tan solo un paisaje sino que es, sobre todo y ante todo, el espacio vital de innumerables formas de vida. En Suite del Coan Coan, el artista coloca ante nuestros ojos paisajes de una belleza y placidez tal que marcan el non plus ultra de una estética de la contemplación. Suite del Coan Coan. 2011.Óleo y acrílico sobre lienzo. Obra Nº3. 97 cm x 120 cm. El giro ético y político adviene decididamente con las obras Lago Agrio-Sour Lake y Golem, destinadas a presentar los horrores de la explotación petrolera. La primera, Lago Agrio, tiene como referente nítido los devastadores efectos de la presencia de la compañía Texaco –luego Chevron- que explotó oro negro en la Amazonia ecuatoriana desde la década de los años sesenta hasta los años noventa, dejando una extensa huella de enfermedades, contaminación medio ambiental y destrucción de la flora y la fauna, que incluso provocaron la instalación de una demanda internacional contra esta compañía para remediar los desastres provocados en esta zona del Ecuador. "El 30% de la selva ecuatoriana, unos 5.000 kilómetros cuadrados, está contaminada por el petróleo derramado por Texaco. Los 300 pozos abiertos generan 20 millones de litros diarios de desechos tóxicos que son derramados sin tratamiento previo en 1.000 charcas a cielo abierto. Se filtra por la tierra y con la lluvia llega a los ríos y contamina los acuíferos. Cada día se queman en gigantescos mecheros junto a los pozos 50 millones de metros cúbicos de gas sin control ambiental, provocando una lluvia ácida. La mortalidad en la Amazonia ecuatoriana es el doble de la nacional. Tienen el triple de casos de infecciones en la piel y el doble de anemias, micosis, desnutrición y tuberculosis. La incidencia del cáncer es seis veces mayor. Hay documentadas más de 500 muertes relacionadas directamente con esta contaminación." (Magazine, 2008) Por su parte, la compañía Exxon-Valdez produjo un derrame de petróleo en 1989, en Alaska, EEUU, cuando un buque de su propiedad encalló en las costas de esta zona tan sensible del mundo y generó uno de los mayores desastres mundiales que se tenga memoria: "Considerado como uno de los peores desastres ambientales de este tipo, el barco petrolero Exxon Valdez derramó 38.000 toneladas de petróleo en Prince William Sound, Alaska, después de que el buque encalló en un acantilado. Como resultado, más de 2.000 km de costa se vieron afectados matando a miles de aves marinas y con un grave impacto en la industria pesquera de la región. En los cinco años que siguieron al desastre, el petróleo mostró una dispersión a un ritmo de alrededor de 70% cada año. La mayoría de las operaciones de limpieza en el área terminaron en 1992 porque se esperaba que el resto del petróleo se dispersara en pocos años. Un estudio posterior descubrió que el petróleo estaba desapareciendo a un ritmo de sólo 4% cada año y que un estimado de 20.000 galones se quedó en las playas. Los investigadores —dirigidos por Michel Boufadel de la Universidad de Temple en Filadelfia, EE.UU. — llevaron a cabo un estudio de tres años en varias playas para averiguar la causa detrás de los persistentes depósitos. El profesor Boufadel, director del Centro para el Desarrollo de los Recursos Naturales y Protección, dijo que las playas de grava que examinaron están compuestas de dos capas: una de nivel superior que es muy permeable y un nivel inferior que tiene muy baja permeabilidad. (BBC mundo, 2010) Ambas obras de Cardoso - Lago Agrio-Sour Lake y Golem- además del extraordinario dominio técnico, como puede verse en las imágenes que presentamos en este trabajo, tienen cualidades estéticas sublimes; cuestionan la perversidad del capital contra la naturaleza, la flora, la fauna y el ser humano. En palabras del mismo artista: "El título [Golem] proviene del mítico autómata del folclore judío (…) sobre el que se cuenta que una vez insuflado vida por su creador se salió de control, convirtiéndose en una amenaza para quienes estaba llamados a servir y proteger, del mismo modo como está ocurriendo con la tecnología humana, y especialmente con nuestra dependencia adictiva al petróleo." (Cardoso, 2014). Lago Agrio-Sour Lake. 2012, conjunto de 120 cuadros, óleo y acrílico sobre lienzo, 21 x 28 cm c/u Golem 7, 2013, seis paneles, acrílico y lienzo sobre madera, 15,6 x 21 cm c/u. Pues bien, expliquemos este giro ético y político en la obra de Cardoso; para comenzar es preciso señalar que toda forma estética está inextricablemente conectada con las formas económicas y políticas, a la manera de un complejo circuito; por cierto, nunca mecánicamente como lo entendió una vertiente del marxismo vulgar que sostuvo que la economía es la determinante en última instancia de todas las demás esferas de vida, olvidando que lo política y la cultura tienen también su capacidad de influir sobre la economía y viceversa. Sin embargo, en estos últimos años, la aguda crisis global del capitalismo y los horrores del extractivismo han propiciado el nacimiento de otras formas estéticas que empiezan a tomar distancia y a desprenderse de la indiferencia, el narcisismo y el hedonismo posmodernos, marcando una diferencia con esta tendencia hegemónica y mostrando a las miradas desatentas los horrores del exterminio y la depredación. Sin duda, el escepticismo es uno de los rasgos definitorios del ethos posmoderno. La salvación del individuo", su "paz interior", han pesado durante medio siglo más que cualquier sentido del mundo y de la vida. El "decisionismo" de la posmodernidad adoptó una sola decisión: abstenerse de toda decisión o de toda acción. Sin embargo, el dominio depredador y absoluto de los intereses del capital global sobre los derechos de la vida y la comunidad, ha llegado a límites insospechados que nos colocan ante un gran dilema ético: permitir la liquidación de la vida sobre el planeta o detenerla. Entonces, parafraseando a Pablo Cardoso, podemos decir que es necesario actuar antes de que llegue ese tiempo. De manera que lo único verdaderamente válido es volver a preguntarnos por aquello que la posmodernidad derogó: "el sentido de la vida, el destino de las sociedades, el futuro como tal." (Rojas, estéticascaníbales, 2014). Sin embargo, en las actuales condiciones, parece que ninguna revolución que transforme la lógica del capital es viable; las únicas transformaciones posibles son aquellas que pueden ocurrir en los comportamientos estéticos y eróticos, donde sí pueden crearse espacios de libertad (Echeverría, 2011, págs. 788-789). En el actual escenario apocalíptico ya no orgiástico, los más lúcidos artistas contemporáneos están dando un giro ético y político hacia lo que venimos llamando como "Estéticas de la Multitud", cuya configuración evidencia el agotamiento del canon posmoderno banal, repetitivo, superficial, y sin salida. Las Estéticas de la Multitud adquieren forma y expresión concreta en ciertas obras cinematográficas, de las artes plásticas, el teatro, la poesía e incluso musicales, producidas en esta época tardía y serán la memoria de sus contradicciones y complejidades. El concepto de Multitud lo hemos tomado prestado de Michel Hardt y Toni Negri, quienes lo formularon tanto en su obra Imperio como en Multitud. Guía y democracia en la era del Imperio. Para ellos, la "Multitud se convierte en el correlato de Imperio, en la descripción de la realidad social, lo que es más estructural. (…La) Democracia sería el proyecto de la Multitud (…) Multitud no es una como el pueblo, ni indiferenciada como las masas, la multitud engloba a lo diverso, pero es global, no como la clase obrera. Así, el Imperio sería la soberanía que se está creando con la globalización, engloba lo económico, político, social, cultural y militar; la Multitud sería la clase global que sustenta al Imperio y lo desborda." (Redondo, 2005) Si Alain Badiou tiene razón, en esta época de la crisis global del capitalismo, existiría un arte Imperial y otro arte No-Imperial; uno que sustenta y sostiene la lógica del capital y otro que lo cuestiona y lo desborda. (Badiou, 2009). Pese al giro ético y político de su obra artística, Pablo Cardoso no adhiere a tesis alguna de ningún partido, movimiento o programa de transformación estatal, sino que es lo que es, porque se resiste a que su obra sea banalizada y reducida a mero valor de cambio, y se transforma en un don, cuya valor de cambio es proyectar luz negra sobre los horrores de la lógica del capital, como en Lago Agrio y Golem. De este modo, Cardoso se aleja tanto de la banalidad posmoderna como de los riesgos del panfleto artístico; renuncia a la inmediatez y asume una responsabilidad ética y una posición política ante los desastres provocados por el capital globalizado. Por ende, su obra reciente enriquece las Estéticas de la Multitud que serán la memoria visual de esta época. 4. Agradecimiento: La autora deja constancia de su agradecimiento al artista Pablo Cardoso, por su valiosa y permanente colaboración para la realización de este estudio, mediante entrevistas, acceso a sus archivos de imágenes y publicaciones monográficas.
La presente tesi affronta il tema della modulazione degli effetti delle sentenze di accoglimento della Corte costituzionale intrecciandolo con l'analisi dell'esperienza tedesca delle Unvereinbarkeitserklärungen, le quali costituiscono lo strumento privilegiato con cui il Bundesverfassungsgericht modula nel tempo gli effetti della declaratoria di incostituzionalità. L'analisi congiunta del modello italiano e tedesco consente di valutare sotto un diverso angolo prospettico la questione relativa ai limiti dell'efficacia retroattiva delle sentenze di accoglimento, la quale ha interessato l'attività della Consulta sin dai primissimi anni della sua attività. Nel primo capitolo della tesi verrà analizzata la disciplina relativa agli effetti delle sentenze di accoglimento, ragionando in particolar modo sul principio di retroattività che presidia la declaratoria di incostituzionalità; nel secondo capitolo, verrà dedicato ampio spazio alla prassi temporalmente manipolativa della Corte costituzionale, evidenziandone le esigenze sottese e i relativi nodi problematici. Il terzo capitolo ospiterà una ricognizione delle decisioni di incompatibilità tedesche: l'analisi, che prenderà le mosse da una riflessione sul dogma della nullità e dell'annullabilità della norma incostituzionale, interesserà non solo le ragioni che conducono il Bundesverfassungsgericht a scindere il momento dell'accertamento da quello della declaratoria dell'incostituzionalità, ma anche gli effetti che si ricollegano alle diverse varianti decisionali delle Unvereinbarkeitserklärungen. Infine, l'ultimo capitolo sarà dedicato ad un raffronto tra l'esperienza temporalmente italiana e quella tedesca: esso si strutturerà principalmente intorno al profilo relativo al rapporto tra Giudice costituzionale e legislatore, ovverosia il perno intorno al quale si muove (o, meglio, dovrebbe muoversi) la giurisprudenza temporalmente manipolativa. ; The present thesis deals with the issue of modulating the effects of the sentences of the Constitutional Court by intertwining it with the analysis of the German experience of the Unvereinbarkeitserklärungen, which constitute the privileged temporally manipulative instrument with which the Bundesverfassungsgericht modulates over time the effects of the declaration of unconstitutionality. The analysis of German and Italian constitutional justice makes it possible to assess under a different perspective angle the question concerning the limits of the retroactive effectiveness of the declaration of unconstitutionality, which has affected the activity of the Corte Costituzionale since the very first years of its activity. If in the first chapter of the thesis the discipline relative to the effects of the sentences of unconstitutionality will be analyzed, reasoning in particular on the principle of retroactivity which oversees the declaration of unconstitutionality itself, in the second chapter ample space will be dedicated to the temporally modulative practice of the Constitutional Court, highlighting the underlying needs as well as the related problem areas. The third chapter is devoted to the study of the German incompatibility decisions. The analysis, which starts from a reflection on the dogma of nullity and the annulment of the unconstitutional rule, concerns not only the reasons that lead the Bundesverfassungsgericht to split the moment of assessment from that of the declaration of unconstitutionality, but also the effects that relate to the different decision-making variants of the Unvereinbarkeitserklärungen. Finally, the last chapter is devoted to a comparison between the temporally modulative Italian and German experience: it will be structured mainly around the profile relative to the relationship between the constitutional judge and the legislator, which constitutes the pivot around which the temporally modulative case-law moves (or, better, should move). ; In dieser Doktorarbeit wird das Thema der Handhabung der Rechtswirkungen im Verlauf der Zeit der vom Verfassungsgerichts getroffenen Annahmeurteile (die "sentenze di accoglimento") mit besonderer Beachtung der Steuerung der zeitlichen Rechtswirkungen durch das Bundesverfassungsgericht untersucht. Vor der Erläuterung des Inhalts dieser Doktorarbeit erscheint es mehr als notwendig, einleitend kurz die Gründe für diese Überlegung zur deutschen Praxis hervorzuheben. In diesem Sinn ist die Behauptung des Verfassungsrichters Lattanzi zur Rechtsprechung im aktuellen Fall "Cappato" von großer Bedeutung: Es geht hier im Wesentlichen um die Ähnlichkeit des Typs der vom Verfassungsgericht getroffenen Entscheidung mit dem der deutschen Unvereinbarkeitsentscheidungen, die Hauptthema dieser Untersuchung sind, und zwar nicht nur, da diese einen zeitlichen Aufschub der Rechtswirkungen der Verfassungswidrigkeitserklärung (wenn auch auf eine ganz eigne Art) verfügen, sondern auch weil sie, wie in der deutschen Rechtslehre bestätigt, ein wichtiges Mittel zur Untersuchung der Beziehungen zwischen Verfassungsgericht und Gesetzgeber darstellen. Auf der Ebene der Rechtslehre stellen die deutschen Unvereinbarkeitserklärungen den Gegenstand eines erneuten Interesses heute und sorgfältiger Untersuchungen in der Vergangenheit dar: In diesem Sinn ist das Studienseminar über die Modulation der Rechtswirkungen der von demselben Verfassungsgericht gefassten Annahmesprüche, bei denen die maßgebliche Rechtslehre die typischen Merkmale der Unvereinbarkeitsentscheidungen untersuchte, um eine mögliche Übertragung in die Sammlung der Entscheidungshilfen des Verfassungsgerichts zu erwägen, von Bedeutung. Bei jener Gelegenheit wurden viele Probleme eines solchen Entscheidungstyps vorgebracht: Insbesondere betrafen diese erstens die Schwierigkeit, ihre konkreten Rechtswirkungen zu erkennen, zweitens die Schwierigkeit, ihr in dem untätigen italienischen Parlament Folge zu leisten und drittens die abweichende Rolle, die das Bundesverfassungsgericht innerhalb der deutschen Regierungsform innehat. Es handelt sich um drei im letzten Teil dieser Doktorarbeit untersuchte Punkte, die in der Tat nicht wenige Probleme aufwerfen, vor allem angesichts der Aufnahme durch das Verfassungsgericht einiger Urteile, die unter verschiedenen Aspekten den deutschen Unvereinbarkeitserklärungen ähneln. Dabei handelt es sich insbesondere um die Urteile Nr. 243 von 1993, Nr. 170 von 2014, Nr. 10 von 2015 und Nr. 207 von 2018. Ein enger Vergleich mit der Ratio und den Problempunkten der deutschen Unvereinbarkeitserklärungen ist somit nützlich, nicht nur, um deren möglichen Chancen in der italienischen Verfassungsrechtsprechung zu erwägen, sondern auch, um eine noch offene Frage zu erörtern, die das Verfassungsgericht seit Anbeginn ihrer Tätigkeit als Hüter des Grundgesetzes betrifft. Nach dieser Einleitung wird im ersten Kapitel der Doktorarbeit die gesetzliche Regelung der Rechtswirkungen der Annahmeurteile untersucht; das zweite Kapitel ist der Analyse der zeitlich handhabenden Praxis des Verfassungsgerichts gewidmet. Das dritte Kapitel ist der deutschen Praxis der Unvereinbarkeitserklärungen gewidmet, während im vierten Kapitel die wichtigsten Punkte der Vergleichsstudie zwischen der zeitlich steuernden italienischen und der deutschen Praxis behandelt werden. Die Wahl eines solchen Aufbaus erklärt sich angesichts der Möglichkeit einer Analyse ex ante der mit der Handhabung der Rechtswirkungen der Annahmeurteile verbundenen Problempunkte, um dann das Verständnis ex post der Gründe, die diese Doktorarbeit zu einer Untersuchung der "flexiblen" Rechtsprechung des Bundesverfassungsgerichts geführt haben, zu erleichtern. Im letzten Kapitel schließlich wird versucht, einige Aspekte, die mit den heutigen Schwierigkeiten der zeitlich steuernden Rechtsprechung der Verfassungsgerichte zu tun haben, nach der Logik von Ähnlichkeit und Gegensatz hervorzuheben, darunter insbesondere die Beziehung zwischen Verfassungsorgan und Legislativorgan. Das erste Kapitel ist vollkommen der Regelung der Rechtswirkungen der Annahmeurteile gewidmet, die, wie bereits angedeutet durch Art. 136 des ital. GG, Art. 1 des ital. Verfassungsgesetzes Nr. 1 von 1948 und Art. 30, 3. Abs. des ital. Gesetzes L. Nr. 87 von 1953 vorgegeben sind. Das Kapitel ist in acht Abschnitte unterteilt, die teilweise auf den Entscheidungstyp der Unvereinbarkeitserklärungen Bezug nehmen. Der 1. Abschnitt (Rückkehr zu Kelsen zur Neuentdeckung möglicher, vom Verfassungsgericht umsetzbarer Perspektiven: Die Handhabung der Rechtswirkungen der Annahmeurteile im Verlauf der Zeit und die Beziehung zum Gesetzgeber) ist einführend der These Kelsens hinsichtlich der Beziehung zwischen Verfassungsgericht und Gesetzgeber gewidmet, in Anbetracht der Tatsache, dass, wie im letzten Kapitel erläutert, gerade die Rückkehr zum Ursprung und somit zur Lehre Kelsens bezüglich der Wirkung der Verfassungswidrigkeitserklärung in dieser Doktorarbeit (mit der erforderlichen Vorsicht) als wünschenswert angesehen wird. Während im 2. Abschnitt (Der heutige Stand: ein "flexibles" Verfassungsgericht, fern vom ursprünglichen Gerüst der Rechtswirkungen der Annahmeurteile) eine zum Teil die Erläuterungen des zweiten Kapitels vorwegnehmende Überlegung zu einem Verfassungsgericht, das "fern" vom ursprünglichen Gerüst der Rechtswirkungen der Annahmeurteile ist, wird im 3. Abschnitt (Die Regelung der Rechtswirkungen der Annahmeurteile: Grundgedanken des Art. 136 ital. GG der verfassungsgebenden Versammlung. Einige Anregungen zur zeitlich handhabenden deutschen Praxis) versucht, zum Kern des Art. 136 der ital. GG vorzudringen, wo im ersten Absatz Folgendes vorgesehen ist: "Wenn das Gericht die Verfassungswidrigkeit einer gesetzlichen Vorschrift oder einer gesetzeskräftigen Maßnahme erklärt, endet deren Wirksamkeit ab dem Folgetag der Veröffentlichung der Entscheidung". Im Verlauf des Abschnitts wird versucht, einen Überblick der wichtigsten Entwürfe bezüglich des ursprünglichen Art. 136 ital. GG zu liefern, wobei der Entwurf der Abg. Mortati, Ruini, Cappi, Ambrosini und Leone kurz untersucht wird. Besonders interessant ist, auch zum Zweck einer Vergleichsstudie mit den deutschen Unvereinbarkeitserklärungen, der Entwurf des Abg. Calamandrei, der vorschlug, die Legislativorgane sollten im Anschluss an die Aufnahme eines Annahmeurteils sofort das Verfahren zur Gesetzesänderung einleiten, sodass sich, wenn auch mit der erforderlichen Vorsicht eine charakteristische Form der dem Legislativorgan zukommnenden "Nachbesserungspflicht" abzeichnet. Abschnitt 3.1. (Der Vorschlag Perassis: eine Modulation der Rechtswirkungen der Verfassungswidrigkeitserklärung ante litteram?) konzentriert sich in Übereinstimmung mit der deutschen Praxis auf den Vorschlag des Abg. Perassi, der vorsah, die Wirksamkeit des als verfassungswidrig erklärten Gesetzes sollte ab der Veröffentlichung erlöschen, außer bei Bedürfnis des Gerichts eine andere Wirkungsfrist (in jedem Fall nicht über sechs Monate) zu bestimmen; in diesem Sinn ist der Vorschlag des Abg. Perassi der österreichischen (und zum Teil der deutschen) Praxis ähnlich, und zwar einer Fristsetzung mit dem Ziel einer nützlichen Zusammenarbeit zwischen Verfassungsgericht und Legislativorgan. Perassi behauptete, dass "beim Erlöschen der Wirksamkeit einer gesetzlichen Vorschrift in bestimmten Fällen heikle Situationen auftreten können, da das Erlöschen dieser Vorschrift möglicherweise Probleme mit sich bringt, wenn man nicht vorsorgt". Die Annäherung an eines der wichtigsten Anwendungsgebiete der Unvereinbarkeitsentscheidungen, d.h. dem auf dem Argument der rechtlichen Folgen begründeten, ist in diesem Sinne eine unvermeidliche Pflicht. Gleichfalls interessant erscheint die Entgegnung auf die Voraussicht einer solchen Lösung durch den Abg. Ruini, der erklärte, eine derartige Regelung der Rechtswirkungen der Verfassungswidrigkeitserklärung würde praktisch eine Situation voller übermäßig belastender Folgen hervorrufen, in der insbesondere die Gerichte fortfahren würden, "eine verfassungswidrige Norm anzuwenden". Daher die Bedeutung, die der durch die mit Fortgeltungsanordnung ergänzten Unvereinbarkeitsentscheidungen dargestellte Problempunkt hat. In Abschnitt 3.2 (Zeitlicher Rahmen des Art. 136 ital. GG) wird versucht, Art. 136 ital. GG innerhalb seines zeitlichen Rahmens zu untersuchen. In Kürze: Während der wortwörtliche Gehalt der besagten Verfügung sich anscheinend (nach einem Teil der Rechtslehre) auf eine lediglich zielgerichtete Wirksamkeit der Verfassungswidrigkeitserklärung bezieht, stellt dieser doch, nachdem er sich durch Art. 1 des ital. Verfassungsgesetzes Nr. 1 von 1948 und Art. 30 des ital. Gesetzes L. Nr. 87 von 1953 gefestigt hatte, die verfassungsrechtliche Verfügung dar, auf die sich die ex tunc-Wirkung der Verfassungswidrigkeitserklärung gründet. Andererseits wäre es, wie ein anderer Teil der Rechtslehre behauptet, an und für sich nicht folgerichtig, ein System der Rechtswirkungen zu erfinden, das nur ex nunc-Wirkung hat, um dann anschließend den Richtern die Nichtanwendung des verfassungswidrigen Gesetzes "mit Wirkung lediglich nach eigenem Urteil" anzuvertrauen. In Abschnitt 3.3 (Räumlicher Rahmen des Art. 136 ital. GG) wird ein weiterer, an die Wirksamkeit der Verfassungswidrigkeitserklärung gebundener Punkt untersucht, nämlich die "räumliche" Ausdehnung der Wirksamkeit von Art. 136 ital GG. Außer der allgemein verbindlichen Wirksamkeit der Annahmeurteile, an welche die Untersuchung der von den Verfassungsgebenden gewählten Art der Normenkontrolle anknüpft, wird der mit der gerichtlichen oder gesetzgebenden Art der Verfassungswidrigkeitserklärung verbundene Rechtslehredisput, an den die "allgemeine" Wirksamkeit derselben unvermeidlich anknüpft, kurz untersucht. Während in den letzten vier Abschnitten der Art. 136 der ital. GG allein im Mittelpunkt steht, ist der 4. Abschnitt (Die "Revolution" des ital. Verfassungsgesetzes Nr. 1 von 1948) vollständig der "Revolution" gewidmet, welche das ital. Verfassungsgesetz Nr. 1 von 1948 darstellt. Für diese "Revolution" (oder besser die Spezifikation) ist der erste Artikel des besagten Gesetzes bezeichnend, wo es heißt: "Die amtlich erfasste oder von einer Partei im Verlauf eines Rechtsverfahrens erhobene und vom Richter nicht als offensichtlich unbegründet angenommene Frage der Verfassungsmäßigkeit eines Gesetzes oder einer gesetzeskräftigen Maßnahme der Republik wird dem Verfassungsgericht zur Entscheidung übertragen". Im Wesentlichen hat der besagte Artikel als tragendes Element der Inzidentalität des Verfassungssystems Art. 136 ital. GG Bedeutung verliehen, nicht nur, indem die Bedeutung tatsächlich im Einzelnen erläutert wird, sondern vor allem dadurch, dass der Klage vor dem Verfassungsgericht dort, wo es angerufen wird, für alle zu entscheiden (mit wenn auch innerhalb bestimmter Grenzen allgemein verbindlichen Rechtswirkungen) eine "logische" Bedeutung auf Grundlage einer "genetisch zwiespältigen" Erneuerung verliehen wird, und zwar anhand eines konkreten Einzelfalls". Es erscheint notwendig, anzumerken, dass die besagte Verfügung in Bezug auf die Ratio Art. 100, 1. Abs. des deutschen GG ähnelt, auf dessen Grundlage die sogenannte konkrete Normenkontrolle beruht. Und tatsächlich übernimmt das zwischenrangige Verfahren eine grundlegende Rolle in Bezug auf die Handhabung der Rechtswirkungen der Verfassungswidrigkeitserklärung im Verlauf der Zeit, da es konkreter der in der Notwendigkeit, die diachronischen Rechtswirkungen der Verkündigung zu steuern, enthaltenen Ratio vollkommen antithetisch gegenübersteht. Wie können die Jura angesichts einer Handhabung der Rechtswirkungen der Verfassungswidrigkeitserklärung für die Zukunft geschützt werden? Während Art. 1 des ital. Gesetzes L. Nr. 1 von 1948 das zwischenrangige Verfahren kennzeichnet und definiert, so hat Art. 30, 3. Abs. des ital. Gesetzes Nr. 87 von 1953, der Hautuntersuchungsgegenstand des 5. Abschnitts (Die Rückwirkung der Annahmeurteile: Art. 30, 3. Abs. ital. Gesetz L. Nr. 87 von 1953) ein weiteres Element zur Erläuterung der Ratio der zeitlichen Orientierung, welche die Rechtsauswirkungen der Verfassungswidrigkeitserklärung im Verlauf der Zeit annehmen, hinzugefügt. Im Anschluss an das Inkrafttreten desselben, wo es heißt, "die als verfassungswidrig erklärten Normen können nicht ab dem Folgetag der Veröffentlichung der Entscheidung Anwendung haben", hat die Rückwirkung des Annahmeurteils begonnen, die Form der ius receptum anzunehmen, wie durch die maßgebliche Rechtslehre bestätigt. Nun war diese, mit Art. 1 des ital. Gesetzes L. Nr. 1 von 1948 in die Verfassung eingeführte "Errungenschaft" das Ergebnis einer umfassenden theoretischen Analyse und Überlegung: Es ist kein Zufall, dass einer der zentralen Mechanismen der Normenkontrolle eher das "Ergebnis der beharrlichsten Arbeit der Rechtslehre war, statt ein präziser Gesetzesentwurf" und hauptsächlich auf der Notwendigkeit beruhte, nicht nur den Grundsatz der Gleichheit, sondern auch den der Verteidigung zu bewahren, und dies unter Ausschluss der s.g. abgeschlossenen Rechtsbeziehungen, die bei Eintritt der Rechtskraft, Verjährung, Verwirkung und Vergleich bestehen. Hinzu kommt, dass das Prinzip der Rückwirkung der Verfassungswidrigkeitserklärung laut Art. 30, 3. Abs. ital. Gesetz L. Nr. 87 von 1953 – vielleicht auch angesichts der Möglichkeit die Rückwirkung der Verfassungswidrigkeitserklärung in verschiedenen Abstufungen und somit nicht absolut zu klassifizieren – auch Gegenstand einer erheblichen Kontroverse zwischen Verfassungsgericht und Strafkammer des Kassationshofs eben zum Thema der Nichtanwendung der als verfassungswidrig erklärten Norm war. In diesem Sinne treten die Urteile Nr. 127 von 1966 und Nr. 49 von 1970 hervor: beim ersten hatte das Verfassungsgericht über die notwendige Rückwirkung der Verfassungswidrigkeitserklärung von Prozessvorschriften befunden; mit der zweiten Verkündigung dagegen bestätigte das Gericht vollkommen überraschend, den Richtern "das letzte Wort" zu lassen. Dieses Prinzip kann nicht übergangen werden: So hatte beispielsweise im Anschluss an das in keiner Weise rückwirkende Urteil Nr. 10 von 2015 das Verfassungsgericht einer bedeutenden Form der Rebellion durch das vorlegende Gericht beigewohnt, das nicht befunden hatte, sich in Bezug auf die zeitliche Rechtswirkung der Verfassungswidrigkeitsaussprüche vom Gesetzesrahmen zu distanzieren. Gleichzeitig erhält auch in der zeitlich handhabenden deutschen Praxis die Rolle der Richter Bedeutung: Sollte beispielsweise der Gesetzgeber seiner Reformpflicht im Anschluss an die Aufnahme eines Unvereinbarkeitsspruchs nicht nachkommen und dadurch die Ratio der Unvereinbarkeitsentscheidung vollkommen zunichte gemacht werden, können die Richter angerufen werden, um "letztendlich" und in Übereinstimmung mit der Verfassung einzugreifen. Im 6. Abschnitt (Der zeitliche Rahmen der verfassungswidrigen Norm: Nichtigkeit oder Vernichtbarkeit? Eine Überlegung ausgehend vom amerikanischen und vom österreichischen Modell. Hinweise auf die Art der Annahmeurteile) lässt die Studie der gesetzlichen Regelung der zeitlichen Auswirkungen des Verfassungswidrigkeitsspruchs Raum für eine Untersuchung bezüglich der Vernichtbarkeit oder Nichtigkeit der als verfassungswidrig erklärten Norm und dies angesichts einer anfänglichen Überlegung zum amerikanischen und zum österreichischen Modell des Verfassungsrechts, die bekanntlich gegensätzlich zueinander eingestellt sind. Und tatsächlich ist die zeitliche Orientierung des Annahmeurteils nicht nur direkt an die Art derselben Verfassungswidrigkeitserklärung gebunden, sondern ist in ihrem Wesen indirekt an die Wahl des Modells zur Normenkontrolle geknüpft: Irgendwie scheint die ursprüngliche Zweideutigkeit des Art 136 ital. GG tatsächlich an die "gemischte" Natur des italienischen Verfassungsrechts anknüpfen zu können, das sich aus einigen typischen Elementen des amerikanischen Systems (Diffusivität der jedem Richter zukommenden Kontrolle) und dem österreichischen System (ausschließliche Zuständigkeit des Verfassungsgerichts in Bezug auf die Verfassungswidrigkeitserklärung einer nicht mit der Verfassung übereinstimmenden Norm mit allgemeiner Rechtswirkung) zusammensetzt. Nun wirkt die Wahl des Systems zur Kontrolle der Verfassungsmäßigkeit auf die von der Ungültigkeit der verfassungswidrigen Norm angenommene Form ein, welche ihrerseits nach der typischen Logik des Teufelskreises die Art der Verfassungswidrigkeitserklärung beeinflusst: Im amerikanischen Verfassungsrechtssystems ist die verfassungswidrige Norm null and void, da sie dem Willen einer superior Norm widerspricht und somit unwirksam ist; im österreichischen System dagegen ist die verfassungswidrige Norm lediglich vernichtbar, und zwar deshalb, weil Grundlage des Systems die Idee ist, dass, da die gesamte politische Macht auf dem Gesetz gründet, "das Konzept eines von Beginn an nichtigen Gesetzes" vollkommen inakzeptabel ist. Übrigens darf nicht verwundern, dass im Bereich des amerikanischen Verfassungsrechts die Verfassungswidrigkeitserklärung eine Norm erklärender Art ist, während sie im Bereich des österreichischen Verfassungsrechts eine verfassungsgebende Natur annimmt. Nun teilt im Bereich des italienischen Verfassungsrechts nur eine Minderheit die Idee der Nichtigkeit der verfassungswidrigen Norm und somit des Annahmeurteils erklärender Natur, die Mehrheit teilt die These der Vernichtbarkeit der verfassungswidrigen Norm, die also der verfassungsgebenden Natur des Gerichtsspruchs entspricht. Dass die obigen Ausführungen wahr sind, ist daran zu erkennen, dass in der maßgebenden Rechtslehre bestätigt wurde, dass die Verfassungsgebenden dachten, ein im Wesentlichen von dem im österreichischen Grundgesetz vorgesehenen System der Verfassungsgerichtsbarkeit abgeleitetes System eingeführt zu haben. Auch erklärt sich die verfassungsgebende Bedeutung der Verfassungswidrigkeitserklärung angesichts der Betrachtung, dass das allgemeine Verbot, die verfassungswidrige Norm anzuwenden, tatsächlich nur im Zeitraum vor der Aufnahme der Verfassungswidrigkeitserklärung durch das Verfassungsgericht besteht. Wenn man zur nicht statischen sondern "dynamischen" Ebene der Verfassungswidrigkeitserklärung wechselt, ist Zagrebelskys Theorie zu betrachten, nach der im Anschluss an die Aufnahme des Annahmeurteils das Verfassungsproblem entsteht, dem bezüglich anderen institutionellen Stellen wie Richtern und dem Gesetzgeber umfangreicher Spielraum gelassen wird. In diesem Sinn ist das Verfahren der Unvereinbarkeitserklärungen interessant, welche eben hinsichtlich des "Verfassungsproblems" eingreifen, um dies dank der Mitarbeit anderer Verfassungsorgane, unter denen zumindest anfangs der Gesetzgeber zu nennen ist, zu lösen. Im 7. Abschnitt (Erste Zeichen für die Zulässigkeit eines Verfassungsgerichts als "Verwalter" der Rechtswirkungen seiner eigenen Entscheidungen) wird die mögliche Legitimation (auf theoretischer Ebene) des Verfassungsgerichts als Verwalter der Rechtswirkungen der Verfassungswidrigkeitsurteile angedeutet, wobei insbesondere die Tatsache diskutiert wird, dass der zeitgenössische Konstitutionalismus wegen seiner substantialistischen Eigenschaft die Suche der für den spezifischen Fall am besten geeigneten Lösung und somit die "Negativ-Neuqualifizierung der Automatismen" erfordert, um zu starre Lösungen zu vermeiden. In diesem Sinn ist die Praxis des Bundesverfassungegsricht und dessen Erfindung der Unvereinbarkeitsentscheidungen von großer Bedeutung. In der Tat ist ein "flexibler" Ansatz an den zeitlichen Faktor der Rechtswirkungen der Verfassungswidrigkeitserklärung in verschiedenen europäischen Erfahrungen erkennbar; andererseits ist das was als "Naivität der Verfassungsgebenden" bezeichnet wurde, und zwar die "allzu simple Formulierung des Art. 136 ital. GG" hauptsächlich auf zwei Ursachen zurückzuführen, erstens die Notwendigkeit des Schutzes des Prinzips der Gewaltenteilung, unmittelbar nach dem Zweiten Weltkrieg und zweitens der Schutz der Rechtssicherheit. Im 8. Abschnitt (Verwaltet das Verwaltungsgericht die Rechtswirkungen im Verlauf der Zeit?) tritt das Verfassungsrecht in den Hintergrund, um zumindest in Kürze über die Steuerung der Rechtswirkungen der Annullierungsurteile durch das Verwaltungsgericht nachzudenken, wobei von einer Betrachtung ausgegangen wird, welche in der Rechtslehre – recht eindrucksvoll – klar ausgedrückt werden sollte, und zwar, dass die Verwaltungsprozessregeln wegen ihres entscheidenden kreativen Beitrags zur Rechtsprechung einen Ausgangspunkt und sicher keinen Endpunkt darstellen: In diesem Sinn erhielt das von der 4. Kammer des Staatsrats getroffene Urteil Nr. 2755 von Mai 2011 Bedeutung, wie auch das vom selben Verwaltungsrechtsorgan getroffene Urteil Nr. 13 von 2017. In beiden Fällen scheint der Staatsrat bestimmt zu haben, die Rechtswirkungen der eigenen Verkündigung angesichts der Notwendigkeit, einen übermäßigen Bruch innerhalb der Rechtsordnung zu verhindern, zeitlich zu steuern. Insbesondere hätte der Staatsrat ("Consiglio di Stato") beim ersten Spruch eine neue Art der Verkündigung gebildet, indem er bei der Untersuchung – nach einer vollkommen neuen Logik – den Bereich der zeitlichen Rechtswirkung des eigenen Spruchs so definierte, dass eine lediglich für die Zukunft geltende Rechtswirkung der eignen Entscheidung vorhergesehen wurde, sodass das Prinzip der Effektivität des Schutzes über das des Antrags der Partei siegt. Es ist unbedingt anzumerken, dass, wenn die Aufrechterhaltung der Rechtswirkungen der rechtswidrigen Maßnahme spiegelbildlich der Beibehaltung des Allgemeininteresses entspricht, die urteilende Tätigkeit des Verwaltungsgerichts dem des "Verwaltungsorgans" zu ähneln scheint. Auch bei seiner zweiten Verkündigung steuerte der Staatsrat die Rechtswirkungen mit Wirksamkeit pro futuro; die ganze Versammlung befand nämlich, das Urteil Nr. 10 von 2015 anzuführen, fast als Rechtfertigung des Argumentationskonstrukts zur Wahl einer derartigen Wirksamkeit, wobei im Übrigen bestätigt wurde, dass "die Ausnahme von der Rückwirkung […] auf dem Grundsatz der Rechtssicherheit beruht: […] die Möglichkeit für die Betroffenen, die Rechtsnorm wie ausgelegt anzuwenden, wird eingeschränkt, wenn die Gefahr schwerer wirtschaftlicher oder sozialer Auswirkungen besteht, die zum Teil auf die hohe Anzahl von in gutem Glauben begründeten Rechtsbeziehungen zurückzuführen ist […]". Darüber hinaus befand der Staatsrat, als spezifische Bedingungen, die es ermöglichen, die Rückwirkung einzuschränken oder richtiger "die Anwendung des Rechtsgrundsatzes auf die Zukunft zu beschränken" folgende: die objektive und erhebliche Unsicherheit bezüglich der Tragweite der auszulegenden Verfügungen; das Bestehen einer mehrheitlichen Orientierung entgegen der eingeführten Auslegung und die Notwendigkeit zum Schutz eines oder mehrere Verfassungsgrundsätze oder in jedem Fall, um schwere sozialwirtschaftliche Rückwirkungen zu verhindern. Das zweite Kapitel dieser Doktorarbeit ist gemeinsam mit dem ersten Kapitel darauf ausgerichtet, zu zeigen, dass die Frage bezüglich der Grenzen der Rückwirkung der Annahmeurteile seit den allerersten Jahren der Verfassungsrechtsprechung eine nicht nebensächliche Rolle gespielt hat, wie man sehen konnte. Daher die Bedeutung der Behauptung der neuesten deutschen Rechtslehre, die bestätigt, dass die Entscheidungshilfsmittel eines Verfassungsgerichts nicht vollkommen von der fortlaufenden "Konstitutionalisierung" der "neuen Rechte" entbunden sind. Somit scheint es eben diese dynamische Sicht zu sein, die Grundlage der Aufnahme der deutschen Unvereinbarkeitsentscheidungen war (und vor allem heute noch ist) und auch Grundlage einiger neuerer Verkündigungen des Verfassungsgerichts ist, darunter vor allem die Verordnung Nr. 207 von 2018. Wie im Übrigen im dritten Kapitel dieser Doktorarbeit ausgeführt wird, gab es bei der Regelung bezüglich der Wirksamkeit der Verfassungswidrigkeitserklärung zwei Änderungsversuche innerhalb der deutschen Ordnung, die beide darauf abzielten, die Wirksamkeit der Nichtigkeitserklärung "flexibler" zu machen. Angesichts der obigen Ausführungen ist im Verlauf der Zeit nicht nur - wie schon geschrieben - eine gemeinsame Tendenz der Verfassungsgerichte erkennbar, die insbesondere den Umgang mit der Wirksamkeit der Verfassungswidrigkeitserklärung prägt, sondern auch ein "konstantes" Bedürfnis, die "starre" Regelung der Rechtswirkungen zu reformieren, die – wenn auch nur zum Teil – eine wichtige Form der Umsetzung im Bundesverfassungsgerichtsgesetz fand. Das zweite Kapitel beginnt im 1. Abschnitt (Eine Stellungnahme: die Furcht vor den "Folgen" der Verfassungswidrigkeitserklärung und die Regelung der Rechtswirkungen im Verlauf der Zeit) mit einer Überlegung zur Furcht des Verfassungsgerichts, die Ordnung im Anschluss an die Aufnahme einer Verfassungswidrigkeitserklärung negativ zu beeinflussen; wie in der maßgeblichen Lehre Sajas bestätigt, darf das Verfassungsgericht "das Gewicht" seiner eigenen Entscheidungen nicht übersehen, denn dieses ist voll und ganz in einen sozialwirtschaftlichen Rahmen eingefügt, dessen Dynamik es tatsächlich nicht kennen kann; das Bedürfnis einer größeren "Flexibilität" der dem Verfassungsgericht zur Verfügung stehenden Entscheidungshilfsmittel ist, wie im Übrigen im Verlauf des Abschnitts gezeigt wird, verschiedenen europäischen Erfahrungen gemein. Auch aus diesem Grund legte der Gesetzgeber – was vielleicht nicht überrascht – mit der Zeit verschiedene Gesetzesentwürfe vor, die darauf abzielten, den Aspekt der Regelung der Rechtswirkungen der Annahmeurteile zu ändern. Diese Änderungsvorschläge werden (in der Zeit zurückgehend) im 2. Abschnitt (Die Reformversuche hinsichtlich der Regelung der Verfassungswidrigkeitserklärung) dargelegt: Die Analyse beginnt bei dem Gesetzesentwurf A. S. 1952, der verzeichnet ist unter "Änderungen der Gesetze Nr. 87 vom 11. März 1953 und Nr. 196 vom 31. Dezember 2009 zur Ermittlung und Transparenz in Verfahren zur Verfassungsmäßigkeit", der nie diskutiert und daher nie aufgenommen wurde. Dieser letzte Änderungsversuch war durch das "Kostenurteil" Nr. 70 von 2015 angeregt worden, das wegen seiner vollständigen Rückwirkung die Wirtschaftsstruktur des Staates besonders belastete und den Gesetzgeber dazu veranlasste, eine Form der Positivierung der zeitlichen "Steuerung" der Rechtswirkungen der Verfassungswidrigkeitserklärung zu erfinden. In Art. 1, lit. c) des Gesetzesentwurfs ist vorgesehen, den Inhalt des dritten Absatzes, Art. 30, ital. Gesetz L. 87 von 1953 zu erweitern und somit neben der Nichtanwendung der als verfassungswidrig erklärten Norm den Einwand der Verfügung durch das Verfassungsgericht einer "anderen Handhabung der Wirksamkeit im Verlauf der Zeit derselben Entscheidung zum Schutz anderer Verfassungsgrundsätze" vorzusehen. Bedeutend scheint dabei der Verweis auf "Verfassungsgrundsätze", die, wenn korrekt und ausführlich beschrieben, nach der Ratio des vorliegenden Gesetzesentwurfs, den Antrag auf Steuerung der Wirksamkeit der Verfassungswidrigkeitserklärung legitimieren können. Es folgt eine kurze Analyse des Verfassungsgesetzesentwurfs Nr. 22 von 2013, der, wie es schien, eine wesentliche Änderung der Rechtswirkungen der Annahmeurteile einführen wollte und eine Bevollmächtigung des Gesetzgebers zur effektiven Steuerung der Wirksamkeit der erfolgten Verfassungswidrigkeitserklärung vorsah, denn der Gesetzesentwurf verwendete den Begriff "Abschaffung" für das Phänomen des aufhebenden Eingriffs des Verfassungsgerichts. Was vermutlich an diesem Änderungsentwurf am meisten interessiert, ist die Voraussicht der Spaltung zwischen dem Zeitpunkt der Feststellung und dem der "verfassungsgebenden" Wirksamkeit der Verfassungswidrigkeitserklärung: Man beachte in diesem Sinne Art. 1 der Gesetzesvorlage, laut der "[…] die Regierung […] die Initiative ergreift, den Kammern ein Aufhebungsgesetz oder eine Änderung des als verfassungswidrig erklärten Gesetzes vorzulegen; diese Initiative kann direkt von den Versammlungen ergriffen werden, […] sofern der Gesetzesentwurf nicht innerhalb der Frist der folgenden sechs Monate bzw. neun Monate bei Verfassungsgesetzen verabschiedet wird; dieselben Versammlungen erklären die Wirksamkeit des als verfassungswidrig erklärten Gesetzes als erloschen". Schließlich ist der am 30. Juni 1997 verabschiedete Entwurf zu beachten, in dem vorgesehen war, dass "wenn das Gericht die Verfassungswidrigkeit einer gesetzlichen Vorschrift oder einer gesetzeskräftigen Maßnahme erklärt, die Wirksamkeit dieser Norm am Folgetag der Veröffentlichung der Entscheidung endet, außer dem Gericht bestimmt eine andere Frist, in jedem Fall nicht über einem Jahr ab Veröffentlichung der Entscheidung". Der besagte Entwurf ähnelt der österreichischen Praxis sehr, wo der Verfassungsgerichtshof über einen bestimmten Ermessensspielraum in Hinsicht auf die Möglichkeit verfügt, den Stichtag zeitlich zu verschieben, wie es zum Teil auch in der Praxis des Bundesverfassungsgerichts geschieht. Im 3. Abschnitt (Ein Verfassungsgericht, das handelt und die "traditionellen Einschränkungen" des Verfassungsrechts über die Verwaltung der Verfahrensregeln des Verfassungsprozesses hinaus überwindet) wird das Thema der Überwindung der traditionellen Einschränkungen des Verfassungsrechts durch die italienischen Verfassungsgerichte behandelt, insbesondere in Hinsicht auf die Einschränkung des Ermessensspielraums des Gesetzgebers. In diesem Sinne tritt der Beschluss Nr. 207 von 2018 hervor – der es vielleicht ermöglicht, das Thema der zeitlichen Steuerung der Rechtswirkungen wieder mit dem der Beziehung zwischen Verfassungsgericht und Parlament auf dem Gebiet des Strafrechts zu verbinden – mit dem das Verfassungsgericht meinte, mit einer ganz eigenen und besonders "gefestigten" Mahnung einzugreifen; weiter verfolge das Verfassungsgericht, wie der Verfassungsrichter Lattanzi schreibt, in letzter Zeit einen eher interventionistischen und weniger von Selbstbeschränkung geprägten Trend. In diesem Sinn treten einige Verkündigungen im Strafrecht hervor, darunter Urteil Nr. 236 von 2016 (auf das auch in dem erst kürzlich ergangenen Urteil Nr. 242 von 2019 verwiesen wird und das die "Sage" Cappato beendete), Urteil Nr. 222 von 2018, Urteil Nr. 233 von 2018, das allerdings nicht im Strafrecht eingeführte kürzliche Urteil Nr. 20 von 2019, das jedoch für die Rolle, die das Verfassungsgericht in Bezug auf das Legislativorgan einnimmt, von Bedeutung ist. Im 4. Abschnitt (Die Form der Entscheidungstechniken, mit denen das Verfassungsgericht die Rechtswirkungen der Verfassungswidrigkeitserklärung "Richtung Vergangenheit" verwaltet) wird die "Form" der Entscheidungstechniken, mit denen das Verfassungsgericht die Rechtswirkungen der Verfassungswidrigkeitserklärung steuert, untersucht: in diesem Sinn tritt das Mittel der Urteile der verschobenen Verfassungswidrigkeit hervor, welche den Urteilen der plötzlichen Verfassungswidrigkeit im weiteren Sinn ähneln, und sich dagegen von den Urteilen der Verfassungswidrigkeit im engeren Sinn, da letztere das Phänomen der Abfolge der Nomen im Verlauf der Zeit betreffen, abheben. Kurz gesagt, im 4. Abschnitt wird versucht – auf theoretischer Ebene – zu zeigen, wie das Verfassungsgericht das Hilfsmittel der eintretenden Verfassungswidrigkeit (in diesem Sinn ist Urteil Nr. 174 von 2015 vollkommen unerheblich) oder der verschobenen Verfassungswidrigkeit unter Ausschluss des Fehlens jeglicher Form der Positivierung des Umgangs mit dem Zeitfaktor hinsichtlich der Wirksamkeit der Annahmeurteile, verwendet. In diesen Fällen kommt dem Verfassungsgericht ein bestimmter Ermessensspielraum in der Bestimmung des Stichtags zu. Im 5. Abschnitt (Die Entscheidungen, die der Handhabung der Rechtswirkungen der Annahmeurteile in Bezug auf die Vergangenheit zugrunde liegen) dagegen sollen die Gründe erkannt werden, die dem Bedürfnis, die Rechtswirkungen der Urteile im Verlauf der Zeit zu steuern, zugrunde liegen. Erstens tritt die Notwendigkeit hervor, den Grundsatz der Rechtskontinuität ganz allgemein zu schützen, der als ein zu schützender Grundsatz definiert wurde und tatsächlich zu den von der Verfassung abgesicherten Grundsätzen, Interessen und Rechtssituationen gehört, zweitens tritt das Bedürfnis hervor, schwere Schädigungen des öffentlichen Haushalts oder neue und höhere finanzielle Ausgaben für den Staat und die öffentlichen Einrichtungen zu verhindern. Dieser Grundsatz wurde, wie zu unterstreichen ist, als ein allgemeiner verfassungsrechtlicher Wert definiert. Nach einem ersten theoretischen Teil wird im zweiten Kapitel versucht, die zeitlich handhabende Praxis des Verfassungsgerichts zu untersuchen. Ende der achtziger Jahre führte das Verfassungsgericht die allerersten zeitlich handhabenden Urteile ein (Abschnitte 5.1 und 5.2) und begann mit den Urteilen Nr. 266 von 1988, 501 von 1988 und 50 von 1989 die zeitlichen Rechtswirkungen der Annahmeurteile zu regulieren; später verwaltete das Verfassungsgericht den Zeitfaktor der Rechtswirkungen der eigenen Entscheidungen weiter und beträchtlich, ohne allerdings jemals ausdrücklich zu erklären, in die Steuerung der Rechtswirkungen der Annahmeurteile einzugreifen (eingreifen zu wollen). Zur Sparte der ersten zeitlich handhabenden Urteile gehört auch das Urteil Nr. 1 von 1991, das hinsichtlich der finanziellen Rechtswirkungen der Verfassungswidrigkeitserklärung (wie auch bezüglich der vom Verfassungsgericht vor der Einführung desselben durchgeführten Ermittlung) von besonderer Bedeutung ist. Wenig später führte das Verfassungsgericht das Urteil Nr. 124 von 1991 ein (über dessen Wesen die Rechtslehre diskutiert, da sie teilweise der Meinung ist, es handele sich um ein Urteil zur plötzlichen Verfassungswidrigkeit im engeren Sinn), bei dem man ein weiteres Mal der Steuerung der Wirksamkeit der Verfassungswidrigkeitserklärung beiwohnen konnte. Von Bedeutung ist auch Urteil Nr. 360 von 1996: bei dieser Gelegenheit erklärte das Verfassungsgericht die (alleinige) Verfassungswidrigkeit der ihm zur Beurteilung vorgelegten Verfügung der Gesetzesverordnung, ohne die Tragweite allgemein auf die wiederholten Verordnungen auszudehnen. In diesem Fall hätte das Verfassungsgericht in seiner Eigenschaft als Hüter der Rechtsordnung befunden, die Annullierung der wiederholten Gesetzesverordnungen angesichts des Grundsatzes der Rechtssicherheit zu "einzusparen". Am Rande der genannten Verkündigungen werden andere Entscheidungen in der Hauptsache untersucht, bei denen das Verfassungsgericht, wenn auch keine wahre zeitliche Handhabung der Rechtswirkungen vornahm, so doch eine erhebliche Furcht vor dem gezeigt hatte, was in der Rechtslehre als horror vacui bezeichnet wird. In Abschnitt 5.2.1 (Fokus: Urteil Nr. 1 von 2014: "ausgleichende" Bedeutung und horror vacui) wird Urteil Nr. 1 von 2014 Gegenstand der Untersuchung, bei dem das Verfassungsgericht zum Thema Wahlsystem eingriff und die Verfassungswidrigkeit des s.g. Porcellum erklärte, d.h des proportionalen WahlgesetzesmitMehrheitsprämieund starren Listen, welche die Wahl derAbgeordnetenkammerund desSenats der Republikin Italien in den Jahren2006,2008und2013 geregelt hatte. Das Verfassungsgericht hatte bei diesem Anlass von der Kategorie der abgeschlossenen Rechtsbeziehungen Gebrauch gemacht, um sich Handlungsspielraum hinsichtlich der zeitlichen Handhabung der Wirksamkeit der eignen Urteile zu verschaffen, nicht ohne die Prozessregeln politisch zu nutzen: Es handelt sich hierbei um einen der Fälle, bei denen das Verfassungsgericht angesichts des Nichtbestehens der Möglichkeit zur Steuerung der Rechtswirkungen der eignen Urteile bestimmt hat, die Regeln des eigenen Verfahrens vollkommen elastisch zu nutzen. Die Elastizität der Interpretation der Kategorie und der Regeln des Verfassungsverfahrens war im untersuchten durch das Bedürfnis, den Grundsatz zum Schutz des Staats und der verfassungsgemäß notwendigen Funktionen beizubehalten, vorgeschrieben. In diesem Sinn ähnelt die Ratio, die der besagte Spruch mit sich bringt, zum Teil einem der Anwendungsthemen der Unvereinbarkeitserklärungen, und zwar dem der "Rechtsfolgen". Nun tritt das Urteil Nr. 1 2014 in dieser Doktorarbeit hervor, da die Eigentümlichkeit der Wirksamkeit der Verfassungswidrigkeitserklärung (wie auch der Kategorie der s.g. abgeschlossenen Rechtsbeziehungen) angesichts der verfassungsgemäßen Bedürfnisse "gesteuert " worden wäre. Während in Abschnitt 5.2.2. (Am Rande des Urteils Nr. 1 von 2014) nochmals auf das Thema des s.g. horror vacui hingewiesen wird, so wird im 6. Abschnitt (Das Haushaltsgleichgewicht als Gegenspieler der Rückwirkung von Annahmeurteilen) der Grundsatz des Haushaltsgleichgewichts als möglicher, im Übrigen nach Inkrafttreten des ital. Gesetzes L. Nr. 1 von 2012, das den Grundsatz des Haushaltsgleichgewichts einführte, erstarkter Gegenspieler der in den Annahmeurteilen verwurzelten Rückwirkung, untersucht. Kurz gesagt, obwohl Art. 81, dritter Abs, ital. GG ("Jedes Gesetz, das neue oder höhere Ausgaben mit sich bringt, muss für die dafür notwendigen Mittel sorgen") nicht für die Tätigkeiten des Verfassungsorgans gilt, sondern nur für den Gesetzgeber, haben der Grundsatz des Haushaltsgleichgewichts und somit die streng finanziellen Bedürfnisse das Verfassungsgericht dazu geführt, Entscheidungsmittel zur Steuerung der Rechtswirkungen der Annahmeurteile einzusetzen (wie auch im Bereich der französischen und der spanischen Verfassungsjustiz), und zwar deshalb, weil das Verfassungsgericht sich – unvermeidlicherweise – in einem durch eingeschränkte wirtschaftliche Ressourcen charakterisierten Umfeld bewegt. Nicht nur hat es in der Verfassungsrechtsprechung verschiedene Verkündigungen gegeben, bei denen die Rückwirkung mit der konkreten Notwendigkeit zur Aufrechterhaltung der Wirtschafts- und Finanzstruktur kontrastierte (man beachte, wenn auch unter anderen Gesichtspunkten, die Urteile Nr. 137 von 1986, Nr. 1 von 1991, Nr. 240 von 1994, Nr. 49 von 1995, Nr. 126 von 1995) und nicht nur wurde der letzte Änderungsvorschlag der Regelung der Annahmeurteile im Anschluss an die Aufnahme eines Kostenurteils vorgebracht, sondern vor allem beschloss das Verfassungsgericht mit Urteil Nr. 10 von 2015 zum ersten Mal mit Kenntnis der Sachlage, die Möglichkeit zur zeitlichen Handhabung der Rechtswirkungen der eigenen Urteile zu erklären. In dieser Arbeit wird insbesondere in Abschnitt 6.1 (Fokus: Das Urteil Nr. 10 von 2015: ein unicum in der Geschichte der Verfassungsjustiz) dem Urteil Nr. 10 von 2015 viel Raum gewidmet, da dieses tatsächlich ein unicum in der Geschichte der italienischen Verfassungsjustiz darstellt: Dabei bestimmte das Verfassungsgericht, den Verfassungsprozess nach vollkommen kreativen Regeln zu steuern und setzte das um, was als "Verfassungsgewalt" bezeichnet wurde und das, wie anscheinend behauptet werden kann, auf einer bestehenden starken Korrelation zwischen der Verfassungsjustiz und dem materiellen Verfassungsrecht basiert. In der Tat kann nicht geleugnet werden, dass das Thema der Handhabung der Rechtswirkungen der Verfassungswidrigkeitserklärung im Verlauf der Zeit ein Thema des materiellen Verfassungsrechts ist, welches bedeutende Anregungen für eine Überlegung zur Beziehung zwischen dem Verfassungsgericht und seinem Verfahren bietet. Weiter zwingt die Überbeanspruchung des Mechanismus, auf den sich die Inzidentalität des Systems gründet, dazu, über die Bedeutung nachzudenken, welche die Abwägung der Interessen, die einen verfassungsmäßigen Schutz verdienen, erwirbt. Vor allem scheint sich das Thema der Identifizierung jener Interessen zu stellen, die einen derartigen verfassungsmäßigen Schutz verdienen, dass sie vielleicht eine Ausnahme von der Regelung zur Steuerung der Wirksamkeit der Annahmeurteile rechtfertigen. Nun meinte das Verfassungsgericht mit Urteil Nr. 10 von 2015 die Rückwirkung mit dem Grundsatz des Haushaltsgleichgewichts aufwiegen zu können und somit Art. 81 ital. GG im Sinne eines "Übergrundsatzes" einzuordnen. Das materielle Recht, der Schutz der Verfassungsgrundsätze und -werte kollidierte also mit der Garantie der Jura und somit der Anrechte der Einzelnen. Der Grundsatz der Gleichheit und der Grundsatz der Verteidigung waren somit Gegenstand einer Abwägung mit Art. 81 ital. GG: Das Ergebnis war der Sieg des letzteren, da das Verfassungsgericht befand, dem besagten Urteil eine bloße ex nunc-Wirkung zu verleihen. Mit dem besagten Urteil erklärte das Verfassungsgericht die Verfassungswidrigkeit der s.g. Robin Hood tax, einer 2008 eingeführte der Erdölbranche auferlegte Steuer. Das Verfassungsgericht bestätigte äußerst vielsagend – nach einer vollkommen innovativen Logik – Folgendes: "Bei der Verkündigung der Verfassungswidrigkeit der angefochtenen Verfügungen kann dieses Verfassungsgericht den Einfluss, den eine solche Verkündigung auf andere Verfassungsgrundsätze ausübt, nicht unbeachtet lassen, um die eventuelle Notwendigkeit einer Abstufung der zeitlichen Rechtswirkungen der eigenen Entscheidungen über die anhängigen Beziehungen zu beurteilen. Die diesem Gerichtshof übertragene Rolle als Hüter der Verfassung in ihrer Gesamtheit erfordert es, zu verhindern, dass die Verfassungswidrigkeitserklärung einer gesetzlichen Verordnung paradoxerweise "mit der Verfassung noch weniger vereinbare Rechtswirkungen bestimmt" (Urteil Nr. 13 von 2004) als die, welche zur Zensierung der Gesetzesordnung geführt haben. Um dies zu verhindern, muss der Gerichtshof seine eigenen Entscheidungen auch unter dem zeitlichen Aspekt modulieren, sodass die Behauptung eines Verfassungsgrundsatzes nicht die Opferung eines anderen zur Folge hat. Dieser Gerichtshof klärte mit den (Urteilen Nr. 49 von 1970,Nr. 58 von 1967undNr. 127 von 1966) dass die Rückwirkung der Verfassungswidrigkeitsverkündigungen ein allgemeines Prinzip ist (und sein muss), das in den Urteilen vor diesem Gerichtshof gilt; dieses ist jedoch nicht uneingeschränkt. Zunächst ist unbestreitbar, dass die Wirksamkeit der Annahmeurteile nicht in soweit rückwirkend ist, dass sie "in jedem Fall rechtskräftig gewordene Rechtslagen" d.h. "abgeschlossene Rechtsbeziehungen" umkehrt. Andernfalls wäre die Sicherheit der Rechtsverhältnisse beeinträchtigt (Urteile Nr. 49 von 1970,Nr. 26 von 1969,Nr. 58 von 1967undNr. 127 von 1966). Der Grundsatz der Rückwirkung "gilt […] nur für noch anhängige Verhältnisse, mit daraus folgendem Ausschluss der abgeschlossenen, die weiter durch das als verfassungswidrig erklärte Gesetz geregelt bleiben" (Urteil Nr. 139 von 1984, zuletzt wieder aufgenommen imUrteil Nr. 1 von 2014). In diesen Fällen gehört die konkrete Erkennung der Einschränkung der Rückwirkung, die von der besonderen Regelung der Abteilung abhängt – zum Beispiel bezüglich der Ablauf-, Verjährungs- oder Unanfechtbarkeitsfristen von Verwaltungsmaßnahmen – die jede weitere Rechtsmaßnahme oder -behelf ausschließt, in den Bereich der ordentlichen Auslegung, für den die gewöhnlichen Gerichte zuständig sind (ex plurimis bestätigter Grundsatz durchUrteile Nr. 58 von 1967undNr. 49 von 1970)". Das Verfassungsgericht behauptet weiter, um sein praeter legem-Vorgehen zu rechtfertigen: "der Vergleich mit anderen europäischen Verfassungsgerichten, wie beispielsweise dem österreichischen, dem deutschen, dem spanischen und dem portugiesischen zeigt im Übrigen, dass das Einschränken der Rückwirkung der Verfassungswidrigkeitsentscheidungen auch in zwischenrangigen Verfahren eine verbreitete Vorgehensweise darstellt, unabhängig davon, ob die Verfassung oder der Gesetzgeber dem Verfassungsgericht diese Befugnisse ausdrücklich übertragen haben". Somit verließ das Verfassungsgericht bei dieser Verkündigung den Weg der "getarnten" Handhabung der Rechtswirkungen im Verlauf der Zeit, um das Thema des Interventionismus zur Steuerung der Wirksamkeit der eigenen Verkündigungen im Verlauf der Zeit ausdrücklich in Angriff zu nehmen. In Abschnitt 6.2 (Die Rebellion des vorlegenden Gerichts gegenüber des mit Rückwirkungsklausel ausgezeichneten Aufschubs der Rückwirkung) wird versucht, über die von den vorlegenden Gerichten an den Tag gelegte Rebellion gegenüber dem Aufschub der Rechtswirkungen durch die Verkündigung Nr. 10 von 2015 nachgedacht: Der Kurzschluss Verfassungsgericht – Richter läuft Gefahr, mit der Handhabung der Rechtswirkungen im Verlauf der Zeit beinahe ein unicum zu werden, sollte letztere nicht Gegenstand einer Positivierung durch den Gesetzgeber werden. Wie durch die maßgebliche Rechtslehre bestätigt, haben im Übrigen "die Richter" das letzte Wort. Wie im dritten Kapitel ausgeführt wird, übernehmen in diesem Sinn die Richter auch im deutschen System eine Hauptrolle in Bezug auf die Flexibilisierung der Rechtswirkungen der Annahmeurteile, nicht nur hinsichtlich der "Folgen" der Unvereinbarkeitssprüche, sondern auch in dem Fall, wo der Gesetzgeber nicht innerhalb der vom Bundesverfassungsgericht angegebenen Frist handelt, denn diese, wie durch maßgebliche Rechtslehre bestätigt, werden angerufen, um verfassungsmäßig zu entscheiden. In Abschnitt 6.3 (Ein inkohärentes Verfassungsgericht? Der "Einzelfall" des Urteils Nr. 10 von 2015 und die anschließende Rechtsprechung) werden die beiden, im Anschluss an das Urteil Nr. 10 von 2015 eingeführten Kostenurteile untersucht: das Urteil Nr. 70 von 2015 und das Urteil Nr. 178 von 2015. Bei erstgenanntem erklärte das Verfassungsgericht die Verfassungswidrigkeit derital. Gesetzesverordnung Nr. 201 vom 6. Dezember 2011 (Eilverfügungen zum Zuwachs, zur Angemessenheit und zur Konsolidierung der Staatsfinanzen), das mit Änderungen durch Art. 1, 1. Abs. ital. Gesetz Nr. 214 vom 22. Dezember 2011 umgewandelt wurde, ohne jegliche zeitliche Modulation der Rechtswirkungen vorzunehmen. Aus diesem Grund stufte die Rechtslehre die besagte Verkündigung als ein "überraschendes" Urteil ein, in Anbetracht der Tatsache, dass die aus den Einwirkungen auf die wirtschaftlich-finanzielle Basis entstehenden Kosten entschieden höher waren als die, welche aus der Aufnahme des Urteils Nr. 10 von 2015 entstanden wären, hätte man dieses ganz einfach mit Rückwirkung ausgestattet. Andererseits, während der Gerichtshof beim Urteil Nr. 10 von 2015 meinte, eine Ausnahme von der den Rechtswirkungen der Verfassungswidrigkeitserklärung zugrunde liegenden Regelung zu machen, obwohl die Aufnahme einer "physiologischen" Verfassungswidrigkeitserklärung von sich aus hohe Kosten "nur" in Bezug auf die Erdölbranche und insbesondere in Bezug auf einen bestimmten Unternehmenszweig bewirkt hätte, ist es schwer zu verstehen, warum das Verfassungsgericht im Fall des Urteil Nr. 70, das nicht nur die s.g. Goldpensionen, sondern auch das Rentensystem insgesamt betraf, befand, nicht nach derselben Logik zu verfahren. In diesem Sinn liegt eine Antwort auf diese Entscheidungsinkohärenz vielleicht in der mangelnden Verwendung durch das Verfassungsgericht der Ermittlungsbefugnisse, die weiter unten behandelt werden. Sicher ist, dass das Verfassungsgericht eine vollkommen ungeordnete Steuerung seiner Prozesse an den Tag legte und tatsächlich eine freie und unbefangene Vorgehensweise hinsichtlich der Regeln des verfassungsrechtlichen Prozesses bewies. Die obige Behauptung wird durch die Aufnahme des zum Thema Tarifverhandlungen eingeführten Urteils Nr. 178 von 2015 bewiesen, bei dem das Verfassungsgericht durch Verwendung des Hilfsmittels der plötzlichen Verfassungswidrigkeit erneut die zeitliche Wirksamkeit der Verfassungswidrigkeitserklärung steuerte. Das Verfassungsgericht behauptet nämlich: "Erst jetzt offenbarte sich vollkommen, wie strukturpolitisch die Verhandlungsaussetzung war, daher kann die eintretende Verfassungswidrigkeit, deren Rechtswirkungen im Anschluss an die Veröffentlichung dieses Urteils beginnen, als eingetreten angesehen werden. Der unversehens begonnene Mangel an Verfassungsmäßigkeit erklärt sich angesichts der Kritiken, die dem Verfassungsgericht im Anschluss an das "denkwürdige" Urteil Nr. 10 von 2015 entgegengebracht wurden. Darum kommentierte die Rechtslehre die besagte Verkündigung im Sinne eines Falls, bei dem "ein Mangel am selben Tag auftritt und verschwindet, an dem er durch den Richter erklärt wird, welcher gleichzeitig das Fehlen zum Zeitpunkt der Überweisung der Maßnahmen an das Verfassungsgericht feststellt". Im Wesentlichen ist unzweifelhaft, dass das Verfassungsgericht einen Aufschub der Rechtswirkungen seiner eigenen Verkündigung aus plausiblerweise mit den finanziellen Folgen verbundenen Gründen in die Tat umsetzte. Hier soll in jedem Fall hervorgehoben werden, dass, wie in dem der deutschen Praxis gewidmeten Kapitel ausgeführt wird, auch das Bundesverfassungsgericht manchmal, vor allem auf wirtschaftlichem Gebiet zeitlich handhabende und nicht vollkommen mit der grundlegenden Ratio kohärente Verkündigungen einführte. Außerhalb des Rahmens des zwischenrangigen Verfahrens führte das Verfassungsgericht im Bereich des Hauptverfahrens das Urteil Nr. 188 von 2016 ein, bei dem eine vollkommene Rückwirkung der Verkündigung, wieder einmal zum Zweck der maximalen Verminderung der finanziellen Beeinträchtigung durch die rückwirkende Rechtskraft verfügt wurde. Der Fall ergab sich aus einer Klage der Region Friuli Venezia Giulia bezüglich des Haushaltsgesetzes 2013, da die Region mit besonderer Rechtsstellung befand, dass einige Artikel einigen Bestimmungen der besonderen Rechtsstellung der Region, einigen Durchführungsbestimmungen dieser Rechtsstellung und anderen, aus dem System zur Steuerung der Beziehungen zwischen dem Staat und dieser Region ableitbare Grundsätzen auf finanziellem Gebiet widersprachen. Im Wesentlichen kommt das Verfassungsgericht, auch angesichts der Durchführung einer Ermittlung zu dem Schluss der Verfassungswidrigkeit der beurteilten Norm und behauptet im Einzelnen wie folgt: "Der Grundsatz des dynamischen Gleichgewichts, der eng verbunden ist mit dem für die Aufrechterhaltung des wirtschaftlichen, finanziellen und vermögensrechtlichen Gleichgewichts im Verlauf der Zeit grundlegenden Prinzip der Haushaltskontinuität, […] kann auch zum Zweck des erweiterten Schutzes der Finanzlage der öffentlichen Hand angewendet werden, indem gestattet wird, die finanziellen Beziehungen bei Abkommen auch in Hinsicht auf die vergangenen Betriebsjahre angemessener umzugestalten" (Urteil r. 155 von 2015).Im Übrigen behauptete dieser Gerichtshof, wenn man einen anderen auf steuerrechtlichem Gebiet zwischenrangig eingeleiteten Fall untersucht, dass der Gesetzgeber rechtzeitig eingreifen muss, "um die verfassungsmäßige Auflage des Haushaltsgleichgewichts auch in dynamischer Hinsicht zu erfüllen (Urteile Nr. 40 von 2014,Nr. 266 von 2013,Nr. 250 von 2013,Nr. 213 von 2008,Nr. 384 von 1991eNr. 1 von 1966), […] dies eventuell auch, indem die erkannten Mängel der untersuchten Steuerregelung behoben werden" (Urteil Nr. 10 von 2015). Schließlich kann das Urteil Nr. 27 von 2018, ebenfalls auf wirtschaftlichem Gebiet interessieren. Im 7. Abschnitt (Eine Betrachtung über die Handhabung der Wirkungen: die Untersuchungsbefungnisse des Verfassungsgerichts) wird das Thema der Ermittlungsbefugnisse des Verfassungsgerichts untersucht, insbesondere in Bezug auf die Handhabung der Rechtswirkungen im Verlauf der Zeit, ausgehend von der Voraussetzung, dass die Annahmeurteile tatsächlich "systemische" Rechtswirkungen erzeugen: daher erscheint es im höchsten Maße relevant, dass das Verfassungsrechtsorgan in Hinsicht auf die eventuell durch seine Urteile erzeugten Einwirkungen auf die Ordnung bewusste Entscheidungen aufnehmen kann. Der kritische Punkt ist, dass das Verfassungsgericht selten von seinen Ermittlungsbefugnissen Gebrauch macht (obwohl die vom Verfassungsgericht tatsächlich verwendbaren Hilfsmittel in den ergänzenden Normen besonders detailliert erläutert werden), was sich nicht nur, wie oben beschrieben in wirtschaftlich-finanzieller Hinsicht auswirkt, sondern auch auf dem Gebiet der Wissenschaft (vgl. Urteile Nr. 162 von 2014, Nr. 96 von 2015 und Nr. 84 von 2016). Ab dem 8. Abschnitt (Die Verschiebung des Stichtags: die Gründe, die der zeitlich Richtung Zukunft handhabenden Verfahrensweise zugrunde liegen) ist das zweite Kapitel der Arbeit den ein Prinzip ergänzenden Urteilen, den Urteilen zur ermittelten aber nicht erklärten Verfassungswidrigkeit und den mahnenden Urteilen gewidmet. Im Allgemeineren ist dieser Abschnitt den Gründen gewidmet, die der zeitlich handhabenden Vorgehensweise, bei denen der zukünftige Zeitabschnitt hervortritt, zugrunde liegen: Es handelt sich um die Fälle, in denen das Verfassungsgericht nicht festlegt (oder nicht nur festlegt), die Rückwirkung der Verfassungswidrigkeitserklärung bzgl. der Vergangenheit einzuschränken, sondern (auch) entscheidet, einen Anschluss zum Gesetzgeber zu suchen, indem der Stichtag aufgeschoben wird. Weiter im Einzelnen nutzt das Verfassungsgericht einige Entscheidungsstrategien, um der Bildung der s. g. Gesetzeslücken vorzubeugen, die an sich der Kontinuität der staatlichen Funktionen wie auch der Stabilität der Rechtsverhältnisse, der positiven Tendenz der Finanzlage der öffentlichen Hand wie auch der öffentlichen Verwaltung schaden. Die Gründe, auf denen die besagte zeitlich handhabende Vorgehensweise aufbaut, sind ein weiteres Mal denen sehr ähnlich, die den Unvereinbarkeitserklärungen zugrunde liegen: die Gefahr, dass sich im Fall der Einführung eines die Verfassungswidrigkeit einer Norm ganz einfach erklärenden Urteils ein "Chaos" innerhalb der Rechtsordnung bildet. Im 9. Abschnitt (Die Mittel zur Vorverlegung des Stichtags: Die Urteile zur ermittelten aber nicht erklärten Verfassungswidrigkeit) werden die Hauptmerkmale der ermittelten ab nicht erklärten Verfassungswidrigkeit dargelegt ("sentenze di incostituzionalità accertata ma non dichiarata") die den Entscheidungen der Unvereinbarkeitserklärungen erheblich ähneln, denn in beiden Fällen besteht der Mangel der Verfassungsmäßigkeit und der Gerichtshof mahnt gleichzeitig den Gesetzgeber zur (mehr oder weniger unverzüglichen) Handlung, um die Beseitigung der Verfassungswidrigkeit, die das Rechtssystem insgesamt gefährdet, zu beschleunigen. Der grundlegende Unterschied besteht in der Tatsache, dass im Fall der Unvereinbarkeitserklärungen, die Verfassungswidrigkeit einer Norm nicht nur ermittelt, sondern auch erklärt wird und dies eben in Form der Unvereinbarkeitserklärung (und also nicht der Verfassungswidrigkeitserklärung). In Abschnitt 9.1 (Die Aufschiebung des Stichtags: die ein Prinzip ergänzenden Urteile) werden die ein Prinzip ergänzenden Urteile ("sentenze additive di principio") ebenfalls in ihren Hauptmerkmalen zum Gegenstand der Untersuchung; diese gehören, wie von der neuesten Rechtslehre bestätigt zu einem ungeschriebenen, der Rechtsprechung entspringenden Prozessrecht, auf das erst kürzlich vom Gerichtshof zum Thema der Rechtswirkungen der Verfassungswidrigkeitserklärungen auch mit Bezugnahme auf ausdrücklich komparatistische Bezüge verwiesen wurde. Mittels dieser Art der Entscheidung erklärt das Verfassungsgericht zwar die Verfassungswidrigkeit einer Norm für den Teil, in welchem diese keine bestimmte Voraussicht oder Regelung enthält, stellt jedoch gleichzeitig einen Grundsatz auf, der prinzipiell vom Gesetzgeber ausgeführt werden muss (welcher je nach Fall mehr oder weniger Schwierigkeiten bei der Umsetzung dieses Grundsatzes haben kann). Wie man sieht, ähnelt das besagte Entscheidungshilfsmittel in seiner Art den Unvereinbarkeitserklärungen, da diese eine synergetische Form der Zusammenarbeit zwischen den Organen Verfassungsgericht, Gesetzgeber und Richter mit sich bringen. Doch nicht nur das: Der Gesetzgeber wird außerdem dazu aufgerufen, die Wiederherstellung der verletzten Verfassungslegalität zu optimieren, so wie mit Bezug auf die zeitlich handhabende deutsche Praxis, denn das, was die Unvereinbarkeitserklärung auszeichnet, ist die Reformpflicht, die s.g. Nachbesserungspflicht. Im Fall einer legislativen Untätigkeit im Anschluss an die Aufnahme eines ein Prinzip ergänzenden Urteils muss die "juristische Ebene" aktiviert werden: in Wirklichkeit ist vor dem Eingriff des Legislativorgans immer eine gewisse Zusammenarbeit zwischen den Richtern und dem Verfassungsgericht notwendig: in diesem Sinne haben die ein Prinzip ergänzenden Urteile eine weitere Ähnlichkeit mit den deutschen Unvereinbarkeitserklärungen. Den Urteilen der "reinen" Unvereinbarkeit ebenfalls sehr ähnlich sind die mit einer allgemeinen Beschlussformel ausgestatteten, ein Prinzip ergänzenden Urteile ("sentenze additive di principio dotate di un dispositivo generico"): in diesem Fall im Anschluss an die erfolgte Verfassungswidrigkeitserklärung, wenn es dem Gericht schwerfällt, im Anschluss an eine wissenschaftliche Auslegung des vom selben Verfassungsgericht erkannten Grundsatzes eine anzuwendende Norm zu bestimmen. Nach diesen Erläuterungen darf das Urteil Nr. 243 von 1993, das in dieser Doktorarbeit ausgiebig behandelt wird, nicht unberücksichtigt bleiben. Mit diesem Urteil erklärte das Verfassungsgericht die Verfassungswidrigkeit eines bestimmten Mechanismus, der vom Gesetzgeber im Rentensystems erkannt wurde, ohne jedoch mit der Aufnahme eines Verfassungswidrigkeitsurteils mit ex tunc-Wirkung fortzufahren. Die mit der Aufnahme eines Urteils der ganz einfachen Annahme verbundenen Folgen wären nämlich für die Staatskassen übermäßig belastend gewesen. Die Rechtswirkungen einer derartigen Verkündigung, die daher von der Rechtslehre akkurat als ein einen Mechanismus ergänzendes Urteil definiert wird, erwiesen sich als denen der deutschen Unvereinbarkeitsurteile vollkommen ähnlich, insbesondere in Bezug auf die Beziehung zum Gesetzgeber: Letzterer wird nicht nur dazu angerufen, zu handeln, um den festgestellten Legitimitätsmangel zu beseitigen, sondern wird auch aufgefordert, innerhalb einer präzisen Frist einzugreifen; die Festsetzung einer Frist ist nämlich einer der Aspekte, der die zeitlich handhabende Praxis der Unvereinbarkeitserklärungen am stärksten auszeichnen. Ebenfalls von Bedeutung ist das Urteil Nr. 170 von 2014, das eben durch den allgemeinen Grundsatz ein Paradox innerhalb der Rechtsordnung erzeugte: Es wurde eine homosexuelle Ehe vorgesehen, obwohl die homosexuelle Ehe in Italien noch nicht legalisiert ist (man beachte im Übrigen, dass dasselbe Verfassungsgericht "BVerfG 1. Senat Beschluss vom 27. Mai 2008, 1 BvL 10/05" zitiert). Der Fall ergab sich aus einem von einem Ehepaar (bei dem eine Person, ihr Geschlecht verändert hatte) eingeleiteten Verfahren, um die Löschung der Eintragung "Beendigung der Rechtswirkungen des amtlichen Ehebundes" zu erwirken, die der Standesbeamte zusammen mit der Eintragung im Auftrag des Gerichts zur Berichtigung (von "männlich" in "weiblich") des Geschlechts des Ehemanns unter die Heiratsurkunde gesetzt hatte; das Verfassungsgericht befand, das Fehlen jeglicher Regelung des besagten Paars stelle eine Verletzung der unantastbaren Menschenrechte laut Art 2 ital. GG dar. Dennoch behauptete das Verfassungsgericht: "Die reductio adlegitimitatemdurch eine handhabende Verkündigung, welche die automatische Scheidung durch eine beantragte Scheidung ersetzt, ist nicht möglich, da dies gleichbedeutend mit einer Fortdauer des Ehebundes zwischen Personen desselben Geschlechts, im Widerspruch zu Art. 29 ital. GG wäre. Es wird also Aufgabe des Gesetzgebers sein, eine alternative (und von der Ehe verschiedene) Form einzuführen, die es den Ehepartnern ermöglicht, den Übergang von einem Zustand höchsten rechtlichen Schutzes zu einer auf dieser Ebene absolut unbestimmten Bedingung zu verhindern. Und der Gesetzgeber wird angerufen, diese Aufgabe mit höchster Eile zu erfüllen, um die erkannte Gesetzeswidrigkeit der untersuchten Regelung unter dem Gesichtspunkt des heutigen Rechtsschutzdefizits der betroffenen Personen zu überwinden". Schließlich ist das ein Prinzip ergänzende Urteil Nr. 278 von 2013 zur Anonymität der Mutter und das Recht des Kindes, seine Herkunft zu kennen, um seine Grundrechte zu schützen, von Bedeutung. Abschnitt 9.2 (Der Aufschub des Stichtags: die Appelle und die "Geisterhandhabung ", die diese mit sich bringen) schließlich ist den Mahnungsurteilen gewidmet, die, obwohl sie nicht in die Steuerung der Verfassungswidrigkeitserklärung eingreifen, dennoch einen Ausgleich zwischen Grundsätzen und Werten mit sich bringen, der "typischerweise" die Grundlage der zeitlichen Handhabung der Rechtswirkungen der Annahmeurteile ist: Der Gesetzgeber wird im Bereich eines Unzulässigkeitsurteils oder eines ablehnenden Urteils aufgefordert, in Bezug auf eine bestimmte Gesetzesordnung zu handeln, um die Legalität wiederherzustellen, von der angenommen wird, dass sie tatsächlich verletzt wurde. In Bezug auf Mahnungen ist Abschnitt 9.3 (In Bezug auf gefestigte Appelle: die Beziehung zwischen Verfassungsgericht und Gesetzgeber angesichts des Beschlusses Nr. 207 von 2018) vollständig dem Fall Cappato gewidmet, einem wichtigen und bedeutenden juristischen Fall, der es gestattet, die Wechselbeziehungen zwischen Verfassungsgericht und Gesetzgeber unter einer besonderen Lupe (auf dem Gebiet des Strafrechts) zu untersuchen. Zunächst scheint es relevant, die Sachlage zu erläutern: Der allgemein als DJ Fabo bekannte Fabiano Antoniani, der durch die Folgen eines Autounfalls 2014 querschnittsgelähmt und blind geworden war, bat Marco Cappato im Januar 2017, ihm zu helfen, die Schweiz zu erreichen, wo er die Euthanasie durch den sogenannten unterstützten Suizid beantragt hatte und am 27. Februar 2017 erhielt. Marco Cappato, dem bekannt war, dass auch die alleinige Hilfe bei der Beförderung in die Schweiz des Kranken, der darum bittet, nach italienischem Recht verboten ist, verklagte sich selbst bei seiner Rückkehr nach Italien. Gegen Marco Cappato wurde ein Verfahren eingeleitet, das später der Ausführung der Straftat nach gemäß Art. 580 ital. StGb als "Verleitung oder Hilfe zum Selbstmord" rubriziert wurde, nach dem "jeder, der Andere zum Selbstmord bringt oder sie in ihrem Suizidvorhaben bestärkt bzw. auf jedwede Weise dessen Ausführung erleichtert, wird, sofern der Selbstmord erfolgt mit fünf bis zwölf Jahren Haft bestraft". Die Prozessverhandlungen fanden am 8. November 2017, am 4. Und 13. Dezember 2017, am 17. Januar 2018 und am 14. Februar 2018 mit Verlesung des Beschlusses durch den Vorsitzenden des Geschworenengerichts Mailand statt, das die Beurteilung der Verfassungsmäßigkeit der Norm an das Verfassungsgericht verwies. Das Mailänder Gericht hatte zwei verfassungsrechtliche Legitimitätsfragen aufgeworfen: a) "dort, wo das Verhalten zur Hilfe zum Selbstmord statt des Verhaltens zur Verleitung zu Last gelegt wird und somit abgesehen von seinem Beitrag zur Entscheidung oder Bestärkung des Suizidvorhabens" wegen angenommenen Widerspruchs zu den Artikeln 2, 13, erster Absatz und 117 des ital. GG zum Schutz der Menschenrechte und der Grundfreiheiten (EMRK, das in Rom, am 4. November 1950 unterzeichnet, ratifiziert und durch Gesetz Nr. 848 vom 4. August 1955 vollstreckbar wurde); b) "dort, wo das Verhalten der Erleichterung in der Ausführung des Selbstmords vorgesehen ist, das nicht auf den Weg der Entscheidungsfindung des Suizid-Anwärters einwirkt, mit einer Haftstrafe von 5 bis 10 [recte: 12] Jahren, ohne Unterschied zum Verhalten der Verleitung bestraft werden kann", wegen angenommenen Widerspruchs zu den Artikeln 3, 13, 25, zweiter Absatz, und 27, dritter Absatz, ital. GG. Das Verfassungsgericht bestätigte bei der Aufnahme des Beschlusses Nr. 207 von 2018 die Nicht-Unvereinbarkeit der Beschuldigung der Hilfe zum Selbstmord mit dem Grundgesetz; dennoch befand das Verfassungsgericht, spezifische Fälle zu erkennen, in denen das besagte Verbot fallen müsse. Es handele sich um völlig außergewöhnliche Situationen, und zwar solche, in denen die unterstützte Person sich selbst wie folgt identifiziere: (a) als an einer unheilbaren Krankheit leidend, die (b) körperliches und psychisches Leiden mit sich bringt, die von der Person als absolut nicht auszuhalten betrachtet werden, welche (c) durch lebenserhaltende Maßnahmen am Leben gehalten wird, aber (d) in der Lage ist, Entscheidungen frei und bewusst zu treffen. In allen anderen Fällen könnte sich der Sterbewille dank Anwendung des ital. Gesetz L. Nr. 219 von 2017 erfüllen, das als Normen zur aufgeklärten Einwilligung und Patientenverfügung) rubriziert ist und durch die Voraussichten des ital. Gesetzes Nr. 38 vom 15. März (Bestimmungen zur Gewährleistung des Zugangs zu Palliativpflege und Schmerztherapie) ergänzt wurde. Anschließend bestätigt das Verfassungsgericht bedeutungsvoll: "Dieses Gericht befindet im Übrigen, zumindest zu diesem Zeitpunkt, keine Abhilfe schaffen zu können gegen die erkannte Rechtsverletzung hinsichtlich der oben aufgeführten Grundsätze durch die bloße Ausweisung aus dem Anwendungsbereich der Strafverfügung jener Fälle, in denen die Hilfe gegenüber Personen geleistet wird, die sich in den gerade beschriebenen Zuständen befinden", denn "eine solche Lösung würde an sich die Leistung materieller Hilfe gegenüber von Patienten in diesen Zuständen, in einem ethisch-gesellschaftlich höchst empfindlichen Bereich, in welchem jeder mögliche Missbrauch mit Bestimmtheit auszuschließen ist, vollkommen ungeschützt lassen". Die besagte Regelung müsste anfangs dem Parlament anvertraut werden, da die normale Aufgabe dieses Gerichtshofs die Überprüfung der Vereinbarkeit der vom Gesetzgeber in Ausübung seines politischen Ermessensspielraums bereits vorgenommenen Entscheidungen mit den durch die Notwendigkeit der Beachtung der verfassungsrechtlichen Grundsätze und der Grundrechte der betroffenen Personen vorgeschriebenen Einschränkungen ist. Das Verfassungsgericht bestimmt also, "seine eigenen Befugnisse zur Steuerung des Verfassungsprozesses" zu nutzen und die nicht mit dem Grundgesetz übereinstimmende Vorschrift beizubehalten, ohne jedoch deren Anwendung durch die Richter zu verfügen, in Anbetracht der Tatsache, dass die Wirksamkeit der zensierten Regelung im vorliegenden Fall angesichts "dessen besonderer Eigenschaften und wegen der Bedeutung der damit verbundenen Werte" nicht als erlaubt gelten könnte. Wie man bemerken kann, scheint die Ratio der Unvereinbarkeitserklärung in diesem Fall tatsächlich die Rolle des "steinernen Gastes" übernommen zu haben. Der Gerichtshof bestätigt somit: "Um zu verhindern, dass die Vorschrift in dem hier angefochtenen Teil in der Zwischenzeit angewendet werden kann, wobei dem Parlament dennoch die Möglichkeit gegeben ist, die notwendigen Entscheidungen zu treffen, die grundsätzlich in seinem Ermessensspielraum bleiben – die Notwendigkeit, den Schutz der Patienten in den mit dieser Verkündigung angegebenen Einschränkungen zu gewährleisten, bleibt unangetastet – befindet der Gerichtshof somit auf andere Weise vorsorgen zu müssen, indem er also die Aufschiebung des laufenden Verfahrens verfügt und die Verhandlung zur neuen Diskussion der Verfassungsmäßigkeitsfragen für den 24. September 2019 anberaumt; in den anderen Verfahren dagegen obliegt es den Richtern, zu beurteilen, ob, angesichts der Angaben in dieser Verkündigung ähnliche Fragen zur Verfassungslegitimität der untersuchten Verfügungen als erheblich und nicht offensichtlich unbegründet anzunehmen sind, um die Anwendung derselben Verfügung in dem hier angefochtenen Teil zu vermeiden". Die besagte Verkündigung ist durch die nun sehr bekannte Beschlussformel, charakterisiert, welche die getroffene Erklärung der Verfassungswidrigkeit von Art. 580 ital. StGb nicht enthält. Darin heißt es: "Aus diesen Gründen wird die Behandlung der mit dem im Rubrum angegebenen Beschluss aufgeworfenen Fragen zur Verfassungsmäßigkeit auf die öffentliche Verhandlung am 24. September 2019 verschoben". Es handelt sich nämlich um einen vorläufigen Beschluss, mit dem das Verfassungsgericht entschied, das Gerichtsverfahren aufzuschieben und die Verfassungswidrigkeit von Art. 580 ital. StGb auf die in derselben Verkündigung beschriebene Weise zu überprüfen. Die deutschen Unvereinbarkeitserklärungen ähneln jedoch in Ratio und Aufbau der besprochenen Verkündigung, denn derselbe Verfassungsrichter Modugno verwies in Bezug auf Beschluss Nr. 207 von 2018 bei der öffentlichen Verhandlung am 24. September 2019 ausdrücklich auf die deutsche Rechtsprechung. In erster Linie tritt die "Anwendungssperre der verfassungswidrigen Norm" hervor; in zweiter Linie tritt die für den Gesetzgeber vorgesehenen Frist und der Verweis auf eine "faire und dialektische institutionelle Zusammenarbeit" hervor; in dritter Linie tritt der weite Ermessensspielraum, den das Verfassungsgericht dem Gesetzgeber zur verfassungsgemäßen Gestaltung der Regelung gelassen hat, hervor. Wie in der Rechtslehre bestätigt, handele es sich um ein "gefestigter" Appell, ein Urteil zur ermittelten aber nicht erklärten ganz eigenen Verfassungswidrigkeit, eine italienische Unvereinbarkeitserklärung. Außerdem besonders hervorzuheben ist die Tatsache, dass das Gebiet, auf welchem die besagte Verkündigung eingriff, das Strafrecht ist, indem das Ermessen des Gesetzgebers erheblich bedeutend ist. Trotz der Absicht des Verfassungsgerichts handelte der Gesetzgeber nicht innerhalb der vorgesehenen Frist, aus diesem Grund referierte das Verfassungsgericht in der am 25. Oktober 2019 veröffentlichten Pressemeldung, dass "der Gerichtshof in Erwartung eines unerlässlichen Eingriffs des Gesetzgebers die Nicht-Strafbarkeit der Beachtung der Verfahren, die in der Vorschrift zur aufgeklärten Einwilligung, zur Palliativpflege und zur kontinuierlichen tiefen Sedierung (Artikel 1 und 2 des ital. Gesetzes 219/2017) und der Überprüfung sowohl der erforderlichen Bedingungen als auch der Ausführungsverfahren durch eine öffentliche Einrichtung des staatlichen Gesundheitsdienstes nach Anhörung des Bescheids des örtlich zuständigen Ethik-Kommission vorgesehen sind, unterstellt". Vor wenigen Tagen wurde das Urteil Nr. 242 von 2019 hinterlegt, mit dem das Verfassungsgericht die "Sage" Cappato "abschloss": aus zeitlichen Gründen konnte diese Verkündigung, die jedoch in Bezug auf die Beziehung zwischen Verfassungsgericht und Gesetzgeber von erheblicher Bedeutung für diese Doktorarbeit ist, nicht untersucht werden. Das Verfassungsgericht entschied somit, die "Verfassungswidrigkeit von Art. 580 des ital. Strafgesetzbuchs dahingehend" zu erklären, "dass die Strafbarkeit dessen nicht ausgeschlossen wird, der mit der in den Artikeln 1 und 2 des ital. Gesetzes Nr. 2019 vom 22. Dezember 2017 (Normen zur aufgeklärten Einwilligung und Patientenverfügung)– d.h. in Bezug auf die Tatbestände vor der Veröffentlichung dieses Urteils im Amtsblatt der Republik mit gleichwertigen Vorgehensweisen wie in der Begründung – vorgesehenen Art und Weise die Ausführung des sich selbständig und frei gebildeten Suzidvorhabens einer durch lebenserhaltende Maßnahmen am Leben gehaltenen Person, die an einer unheilbaren Krankheit leidet, welche körperliche und psychische Leiden mit sich bringt, die von dieser als nicht auszuhalten angesehen werden, welche aber in der Lage ist, Entscheidungen frei und bewusst zu treffen, sofern diese Bedingungen und die Ausführungsverfahren durch eine öffentliche Einrichtung des staatlichen Gesundheitsdienstes überprüft werden nach Anhörung des Bescheids des örtlich zuständigen Ethik-Kommission erleichtert". Der Gesetzgeber, der zum Handeln im Anschluss an die erfolgte Aufschiebung der Rechtswirkungen des Urteils der "ermittelten" Verfassungswidrigkeit laut Beschluss Nr. 207 von 2018 aufgerufen wurde, scheint zusammen mit und vor allem durch seine Untätigkeit im Urteil Nr. 242 von 2019 in den Vordergrund zu treten. Das dritte Kapitel ist vollumfänglich der deutschen Praxis der Unvereinbarkeitserklärungen gewidmet, deren wichtigste Vorteile und Problempunkte untersucht werden. Im 1. Abschnitt (Die Ratio eines Vergleichs zwischen der "alternativen Tenorierung" des BVerfG und der zeitlich handhabenden Rechtsprechung des Verfassungsgerichts) wird versucht, die Gründe, auf denen das Interesse für die zeitlich handhabende deutsche Praxis beruht zu erklären. Erstens entspricht, wie weiter unten ausgeführt sowohl in der italienischen Ordnung wie auch in der deutschen die Verfassungswidrigkeit einer Norm faktisch seiner Ungültigkeit. Trotz dieser gemeinsamen Voraussetzung, eben in Hinsicht auf die Notwendigkeit, eine Steuerung der Rechtswirkungen im Verlauf der Zeit der Verfassungswidrigerklärung vorzunehmen, sah der deutsche Gesetzgeber eine Änderung des BVerfGG vor, während dagegen, obwohl die Corte costituzionale in einigen Fällen befunden hatte, von der Rückwirkung der Annahmeurteile abzuweichen, das Verfassungssystem, wie im ersten und zweiten Kapitel zu zeigen versucht wurde, noch keine Form der Positivierung der Handhabung der Rechtswirkungen im Verlauf der Zeit erfahren. Und dies trotz der kürzlichen Einführung von Urteil Nr. 10 von 2015 und Beschluss Nr. 207 von 2018: erstes enthält, wie bereits besprochen, einen ausdrücklichen Verweis auf die deutsche Praxis; zweiter dagegen verweist lediglich implizit auf den Aufbau und die Ratio der deutschen Unvereinbarkeitserklärungen. Die besagten Entscheidungen werden aufgrund ihrer Bedeutung Untersuchungsgegenstand in Abschnitt 1.1. (Die Ratio des Vergleichs: zwei aktuelle Beispiele). In Abschnitt 1.2. (Die Problematik eines Vergleichs zwischen der italienischen und der deutschen Praxis) wird die Problematik bezüglich eines Vergleichs zwischen der italienischen und der deutschen Praxis hervorgehoben. In erster Linie tritt die verschiedene gesetzliche Regelung der Rechtswirkungen der Verfassungswidrigerklärung hervor; in zweiter Linie die ungleichen Beziehungen zwischen den verschiedenen Verfassungsorganen (zu denen das Verfassungsgericht offensichtlich gehört). In diesem Abschnitt werden diese beiden Aspekte beleuchtet, wobei jedoch nicht zu vergessen ist, dass, wenn auch die Beziehung zwischen BVerfG und dem Gesetzgeber entschieden entspannter ist als in der italienischen Situation, werden in der deutschen Rechtslehre dennoch die Problematiken hervorgehoben, die ein eventuelles Nicht-Erfüllen des Gesetzgebers der Vorgabe des Verfassungsgerichts mit sich bringt; gleichzeitig weisen die Unvereinbarkeitserklärungen Elemente der Unklarheit auf, und zwar in Bezug auf die Möglichkeit, ihre juristischen Folgen sicher kennen zu können, da diese konkret von den Entscheidungen des BVerfG abhängen; aus diesem Grund ist dieser Entscheid zum Teil auch Gegenstand der Kritik durch die deutsche Rechtslehre. Im Übrigen, während in Bezug auf die italienische Praxis die Unvereinbarkeitserklärungen vor allem angesichts der "unvorhersehbaren" Folgen kritisiert werden, kann man gleichzeitig nicht übersehen, dass dieselbe Kritik (und nicht nur diese) in der deutschen Rechtslehre angeführt wird, in der auch einige Problempunkte in Bezug auf die Beziehung zwischen Gesetzgeber und BVerfG mit besonderem Verweis auf die zeitlich handhabende Praxis hervorgehoben werden. In Abschnitt 1.3. (Ziel des Vergleichs mit den deutschen Unvereinbarkeitserklärungen) wird das Ziel des Vergleichs unterstrichen, das nicht nur in einer Überlegung zur hypothetischen Übertragung dieses Entscheidungstyps in die Sammlung der Entscheidungsmittel des Verfassungsgerichts ist, sondern auch in einer Überlegung zum Thema der "Einschränkung" der Rückwirkung besteht. Die nachfolgenden Abschnitte sind der Untersuchung der Norm gewidmet. Im 2. Abschnitt (Die Nichtigkeitslehre und die Theorie der Vernichtbarkeit) geht es auf rein theoretischer und allgemeiner Ebene um die Grundzüge der Nichtigkeitslehre und der Vernichtbarkeitstheorie. Abschnitt 2.1. ist vollumfänglich der Ipso-iure-Nichtigkeit gewidmet, die das Panorama der deutschen Rechtslehre seit den fünfziger Jahren beherrscht; es werden die juristischen Modelle untersucht, auf denen sie beruht und auf die Verfassungsnormen und das einfache Recht verwiesen, auf das sie aufbaut. Abschnitt 2.2. (Die Theorie der Nichtigkeit im Grundgesetz) ist den Verfassungsnormen gewidmet, welche die Grundlage der Nichtigkeitslehre darzustellen scheinen. Abschnitt 2.3. (Die Nichtigkeit des Verfassungsgesetzes und die Hauptquelle: §78 BVerfGG) ist der Untersuchung von § 78 BVerfGG gewidmet, wo es heißt, "Kommt das Bundesverfassungsgericht zu der Überzeugung, dass Bundesrecht mit dem Grundgesetz oder Landesrecht mit dem Grundgesetz oder dem sonstigen Bundesrecht unvereinbar ist, so erklärt es das Gesetz für nichtig". Wie man sieht, bestätigt diese Verfügung die Nichtigkeit der für verfassungswidrige erklärten Norm und steht so im Widerspruch zur "bloßen" Erklärung der Unvereinbarkeit der verfassungswidrigen Norm. Abschnitt 2.4. (Die Gesichtspunkte der Flexibilisierung der Rechtswirkungen der Entscheidung angesichts der Ipso-iure-Nichtigkeit) ist den allerersten Versuchen des BVerfG gewidmet, eine Ausnahme vom Dogma der Nichtigkeit zu machen und sich auf dieser Weise dem zu nähern, was als "Anwendbarkeit des Rechts" definiert wurde. Abschnitt 2.5. ist vollumfänglich der Vernichtbarkeitstheorie des Gesetzes gewidmet; insbesondere werden im Verlauf desselben die theoretischen und gesetzlichen Grundlagen dieser These untersucht, die sich teilweise mit der Notwendigkeit der Überwindung der die Nichtigkeitserklärung charakterisierenden Problempunkten deckt, wobei die Bedeutung, die diese Theorie hinsichtlich der Unvereinbarkeitserklärungen annimmt zu berücksichtigen ist. Der 3. Abschnitt (Die Folgen der Nichtigkeitserklärung, §79 BVerfGG) ist der Untersuchung der Folgen (gegenüber Vergangenheit und Zukunft) der Verfassungswidrigerklärung gewidmet: Diese Analyse entwickelt sich angesichts einiger von einigen Autoren der deutschen Rechtslehre, darunter vor allen Kneser, Gusy und Ipsen vorgebrachten Thesen. Abschnitt 3.1. (Die Vorschläge zur Änderung der Rechtswirkungen der deutschen Nichtigkeitserklärung) ist, fast symmetrisch zum 2. Abschnitt des 2. Kapitels, der Untersuchung zweier bedeutender Versuche zur Änderung der Rechtswirkungen laut § 79, Abs. 1 BVerfGG (BT-Drs. V/3916) und (BT-Drs VI/388) gewidmet, die, obwohl nie verabschiedet zur Verbreitung einer möglichen Rechtfertigung der Theorie der Vernichtbarkeit der verfassungswidrigen Norm beigetragen haben. Nach einem Teil der Rechtslehre war der Grund für die mangelnde Änderung der Rechtswirkungen des Nichtigkeitsurteils laut §79 BVerfGG sehr einfach, denn jede Form der Kodifizierung würde die notwendige Handlungsflexibilität des BVerfG einschränken, welches im Übrigen durch den Gebrauch der Unvereinbarkeitserklärungen immer anwendbare Handlungen gefunden hat. In jedem Fall änderte der Gesetzgeber im Jahr 1970 durch das Vierte Gesetz zur Änderung des BVerfGG den §79 1. Abs. und den § 31 2. Abs., in denen die Möglichkeit vorgesehen ist, dass die verfassungswidrige Norm nicht nur nichtig erklärt wird, sondern auch unvereinbar. Der umfangreiche 4. Abschnitt (Die deutschen Unvereinbarkeitserklärungen) ist den deutschen Unvereinbarkeitserklärungen gewidmet, die unter mehreren Gesichtspunkten untersucht werden und in diesem Kapitel Hauptgegenstand der Studie sind. In Abschnitt 4.1. (Grundlage und Legitimation der Unvereinbarkeitserklärungen) werden die allgemeinen Gründe untersucht, die das BVerfG dazu führten, trotz der Vorgabe des § 78 BVerfGG einen von der Nichtigkeitserklärung verschiedenen Entscheidungstyp einzuführen. Der zu untersuchende Entscheidungstyp ist mit der Zeit nach einem Teil der Rechtslehre zu einer "Regel" geworden, denn §78 BVerfGG hätte (nach der Lehre Burkiczaks) ein primitives Wesen angenommen. Andererseits weist der Pragmatismus des BVerfG einige bedeutende Schwierigkeiten auf, wie hier hervorzuheben versucht wird: Erstens die der Erkennung einer juristisch-theoretischen Rechtfertigung des besprochenen Entscheidungstyps und zweitens das Problem der Beschreibung der Anwendungstopoi, in Anbetracht der Tatsache, dass die Anwendungskriterien der Unvereinbarkeitserklärungen oft Überlagerungen aufweisen. In Abschnitt 4.2. (§ 79 1. Abs. des BVerfGG und § 31, 2. Abs. BVerfGG: die Revolution des Vierten Gesetzes zur Änderung des BVerfGG) wird das Thema der Revolution des Vierten Gesetzes zur Änderung des BVerfGG in Angriff genommen, das §79 1. Abs. des BVerfGG und § 31 2. Abs. BVerfGG änderte und die Möglichkeit einfügte, die Norm für unvereinbar zu erklären. Während in Abschnitt 4.3. (Der § 31 des BVerfGG) eben § 31 des BVerfGG, untersucht wird, befasst sich Abschnitt 4.4. (Der § 35 des BVerfGG) mit § 35 des BVerfGG, welcher nicht nur die Grundlage der Fortgeltungsanordnung der unvereinbaren Norm, sondern auch die möglichen Formen zu deren Vollstreckung begründet. Gerade wegen der "pragmatischen" Natur der Unvereinbarkeitserklärungen ist es schwierig, die Anwendungstopoi dieses Entscheidungsmittels zu erkennen; nicht ohne Grund wird in der maßgeblichen Rechtslehre auf eine pragmatische, flexible und nicht dogmatische zeitlich handhabende Praxis verwiesen, die im 5. Abschnitt (Das Problem der Erkennung einer Kasuistik der Unvereinbarkeitserklärungen: die pragmatische, flexible und nicht dogmatische Praxis) behandelt wird. Ganz allgemein werden Unvereinbarkeitserklärungen in folgenden Fällen angewendet: a) wenn der Gesetzgeber verschiedene Möglichkeiten hat, um den Mangel an Verfassungsmäßigkeit zu beseitigen, für gewöhnlich, wenn der Gleichheitsgrundsatz verletzt wird, da dem Gesetzgeber ein großer Ermessensspielraum zukommt, um die verletzte Legalität wiederherzustellen. In diesem Fall ist es der Schutz der Ermessenssphäre des Gesetzgebers der zur Grundlage der Beurteilung (oder wenn man will der Abwägung) der juristischen Folgen der Verfassungswidrigerklärung wird. Hinsichtlich der Beziehung zum Gesetzgeber wird in der Rechtslehre eine Form der spezifischen Koordinierung zwischen BVerfG und Gesetzgeber bezeichnet, in Anbetracht der Tatsache, dass die Unvereinbarkeitserklärung den Ermessensspielraum des Gesetzgebers in Hinsicht auf den Zeitraum zwischen der Erklärung der Unvereinbarkeit und der Einführung der neuen Gesetzesverordnung schützt. b) wenn ein Übergang von der verfassungswidrigen Lage zur verfassungsmäßigen Situation im Gemeininteresse notwendig ist. Im Wesentlichen erhält dieser Anwendungsbereich in dem Fall Bedeutung, wo die Aufnahme einer Verfassungswidrigerklärung die Verfassungswidrigkeit innerhalb der Rechtsordnung noch verschlimmern würde. In diesem Sinne tritt die "Chaos-Theorie" hervor, die im Übrigen an die Verletzung der Artt. 33. 1. Abs., 2. Abs., 3. Abs. und 21 1. Abs. GG anknüpft. Während man die Einwendung der möglichen Unbestimmtheit der s.g. Anwendungstopoi der Unvereinbarkeitserklärungen eben wegen des Fehlens einer umfassenden Gesetzesgrundlage, die in Abschnitt 5.1. (Gibt es einen Numerus clausus der Anwendungsfälle der Unvereinbarkeitserklärungen?) angesprochen wird, im Hinterkopf behält, wird im 6. Abschnitt (Die Unterkategorien der Unvereinbarkeitserklärungen) auf die notwendige Unterscheidung zwischen den Unvereinbarkeitsentscheidungen und den s.g. Appellentscheidungen hingewiesen, um dann im Verlauf von Abschnitt 6.1. (Das "reine" Unvereinbarkeitserklärung) zur Untersuchung der Hauptmerkmale der reinen (oder schlichten) Unvereinbarkeitserklärung überzugehen, die sich vor allem durch eine Reformpflicht (mit dem Ziel der Garantie der freien Ausübung durch den Gesetzgeber seines Werks zur Beseitigung des vom BVerfG entschiedenen Legitimitätsmangels) und durch die s.g. Anwendungssperre des für verfassungswidrig erklärten Gesetzes charakterisiert, wie im Übrigen in der allerersten Unvereinbarkeitsentscheidungen, BVerfGE 28, 227 (Steuerprivilegierung Landwirte) vorgesehen war. Abschnitt 6.2. (Die Unvereinbarkeitserklärung und die s.g. weitere Anwendbarkeit des für unvereinbar erklärten Gesetzes) ist der Untersuchung des Aufbaus der vom BVerfG verfügten Anordnung der Anwendung des für unvereinbar erklärten Gesetzes: wie in diesem Abschnitt gezeigt wird, betrachtet die Rechtslehre das Mittel der Fortgeltungsanordnung als eine Art "Ebene" des "reinen" Unvereinbarkeitsurteils; gleichzeitig wird deren so verschiedenartiger Aufbau untersucht. In diesem Sinn wird auf die vorläufige Weitergeltungsanordnung und die endgültige Weitergeltungsanordnung verwiesen. Die Fortgeltungsanordnung wird auch in Abschnitt 6.2.1. untersucht, wo die gesetzliche Grundlage der Fortgeltungsanordnung zum Analyseobjekt wird; gleichzeitig erfolgt eine Überlegung zur Möglichkeit, die Voraussicht der zeitlich beschränkten Anwendung des für unvereinbar erklärten Gesetzes mit der Normenhierarchie zu vereinen. Die Lösung scheint in dem vom BVerfG verspürten Bedürfnis, die verfassungsfernere Lösung auszuschließen zu liegen. In Abschnitt 6.2.2. (Die in der Motivation der Unvereinbarkeitserklärungen liegende Schwierigkeit, vor allem in Bezug auf die mit Fortgeltungsanordnung verbundenen Erklärungen) wird der Problempunkt der schwierigen Erkennung der Folgen, die sich aus den Unvereinbarkeitsurteilen ergeben können, behandelt, und insbesondere im Fall der mit Anordnung der s.g. weiteren Anwendbarkeit, verbundenen Entscheidungen, in Anbetracht der Tatsache, dass das BVerfG die Folgen der Unvereinbarkeitsentscheidungen offen lässt. In Abschnitt 6.3. (Die mit einer Übergangsregelung verbundenen Unvereinbarkeitserklärungen) werden dagegen die mit einer vom selben BVerfG bestimmten Übergangsregelung verbundenen Unvereinbarkeitsentscheidungen analysiert. Die besagten Übergangsregelungen bestehen auch unabhängig von der Anwendung der Unvereinbarkeitserklärungen, denn diese können an Nichtigkeitserklärungen gebunden sein: Man denke beispielsweise an die Entscheidungen BVerfGE 1, 39 – Schwangerschaftsabbruch 1 und BVerfGE 88, 203 – Schwangerschaftsabbruch II. Wie weiter unten gezeigt, übernehmen die Übergangsregelungen, wenn sie in Begleitung der Unvereinbarkeitserklärungen beschlossen werden, die Rolle der "Entscheidungsgrundlage", und zwar deshalb, weil die Übergangsregelung keinen unabhängigen Entscheidungstyp darstellt. Der 7. Abschnitt (Die Anwendungsgebiete der Unvereinbarkeitserklärungen) besteht aus mehreren Unterabschnitten und beschäftigt sich mit Überlegungen zu den Anwendungsgebieten der deutschen Unvereinbarkeitserklärungen, die vor allem in Bezug auf die italienische Praxis von besonderem Interesse sind. Wie weiter unten gezeigt, basieren die Unvereinbarkeitserklärungen auf denselben Gründen wie die vom Verfassungsgericht entwickelte umfangreiche Sammlung an Entscheidungsmitteln, d.h. zum Beispiel die Urteile mit verschobener Verfassungswidrigkeit, die ein Prinzip ergänzenden Urteile und die Urteile zur ermittelten aber nicht erklärten Verfassungswidrigkeit. Erstens ist der Anwendungstopos der Verletzung des Gleichheitsgrundsatzes, zu berücksichtigen, der in Abschnitt 7.1. (Die Verletzung des Gleichheitsgrundsatzes und der Schutz des Ermessensspielraums des Gesetzgebers) ausgehend von der ersten "offensichtlichen" Entscheidung mit Verzicht auf die Anwendung der Nichtigkeitserklärung BVerfGE 22, 349 (361-362) – Waisenrente und Wartezeit – untersucht wird. Das Ziel, die Optimierung der Beseitigung des Mangels an Verfassungsmäßigkeit zu gewährleisten, vereint sich im Fall der Verletzung des – in Art. 3 GG dargelegten Gleichheitsgrundsatzes – mit dem Schutz des Ermessensspielraums des Gesetzgebers (vgl. BVerfGE 17, 148; BVerfGE 93, 386; BVerfGE 71, 39; BVerfGE 105, 73; siehe schließlich auch das Urteil zum dritten Geschlecht vom 10. Oktober 2017). Während in Abschnitt 7.1.1. (Die Einführung der Nichtigerklärung im Fall der Verletzung des Gleichheitsgrundsatzes) die (außergewöhnlichen) Gründe behandelt werden, aufgrund derer das BVerfG verfügt, die Nichtigerklärung anzuwenden, obwohl ein Gleichheitsgrundsatz verletzt wurde, beschäftigt sich Abschnitt 7.2. (Die s.g. Chaos-Theorie) mit der Theorie, die auch als "Argument der juristischen Folgen" bezeichnet wird: Dieses Argument liegt, wie man im Verlauf dieses Kapitels sieht, dem Verzicht auf die Anwendung der Nichtigerklärung zugrunde, d.h. die Gefahr eines noch "verfassungsferneren Zustands bei Nichtigerklärung" (vgl. BVerfGE 37, 217; BVerfGE 33, 303; BVerfGE 132, 134). Es ist interessant zu bemerken, dass dieser Anwendungstopos im Bedürfnis, die Rechtssicherheit und den Rechtsstaat zu gewährleisten, substanziiert werden kann; weiter könnte das BVerfG nicht nur gesellschaftliche, sondern auch durch das Grundgesetz gewährleistete Grundrechte schützen wollen. Wegen der Bedeutung der Kategorie der Rechtssicherheit in der Praxis der Unvereinbarkeitserklärungen ist Abschnitt 7.2.1. (Rechtssicherheit . Eine elastische Kategorie) einer Untersuchung der Beziehung zwischen diesem juristischen "Gut" und der zeitlich handhabenden Praxis des BVerfG gewidmet; in Abschnitt 7.2.2. (Der Schutz des Gemeinwohls und die mit Fortgeltungsanordnung verbundenen Unvereinbarkeitserklärungen) wird eine Überlegung zur Beziehung zwischen den mit Fortgeltungsanordnung verbundenen Unvereinbarkeitserklärungen und der verfassungsrechtlichen Notwendigkeit zum Schutz des Gemeinwohls entwickelt (vgl. BVerfGE 91, 186; BVerfGE 198, 190; BVerfGE 109, 190); der nächste Abschnitt 7.3. (BVerfG und Strafrecht) behandelt die Verwendung der Unvereinbarkeitserklärungen (insbesondere der mit Fortgeltungsanordnung verbundenen) durch das BVerfG auf dem Gebiet des Strafrechts. Dieser Abschnitt ist für italienische Forscher besonders interessant, nicht nur angesichts des weiten Ermessensspielraums, der dem Gesetzgeber auf dem Gebiet des Strafrechts zukommt, sondern auch angesichts der Aufnahme des kürzlichen Beschlusses Nr. 208 von 2017, der im späteren Verlauf seine "Folge" in Urteil Nr. 242 von 2019 fand (vgl. BVerfGE 109, 190; die Verkündigung zur Sicherungsverwahrung vom 4. Mai 2011, oder weiter die Entscheidung vom 20. April 2016 zum Thema Bundeskriminalamtgesetz). Wie man sehen wird, scheinen der Gesetzgeber und das BVerfG auf dem Gebiet des Strafrechts zwischen den Vorgaben der Beachtung des legislativen Ermessens und der erfolgten Unvereinbarkeitserklärung der nicht mit der Verfassung zu vereinbarenden Strafnorm zu "dialogisieren". Abschnitt 7.4. (Der Topos der Finanz- und Haushaltsplanung) ist der zwischen der Annahme der Unvereinbarkeitserklärung, seiner zeitlichen Wirkung und der Notwendigkeit zum Schutz des Staatshaushalts bestehenden Beziehung gewidmet. Zu diesem Zweck darf man die Tatsache nicht vergessen, dass die Weitergeltungsanordnung eine ausreichende juristische Grundlage ist, um die Zahlung der Steuern von den Bürgern zu fordern und dass diese gleichzeitig ein mögliches Mittel darstellt, um das Auftreten einer unsicheren Rechtssituation zu verhindern, da die Steuereinnahmen des Bundes oder der Länder verloren gehen könnten (vgl. BVerfGE 138, 136; Urteil vom 15. Januar 2019 2 BvL 1/09). Der Abschnitt 7.5. (Die Unvereinbarkeitserklärungen gegenüber der legislativen Unterlassung) behandelt die Beziehung zwischen der Unterlassung des Gesetzgebers und dem Verzicht auf die Nichtigkeitserklärung einer Norm. Es handelt sich im Wesentlichen um ein vollkommen primitives – und problematisches – Kriterium der Anwendung der Unvereinbarkeitserklärungen, wie es auch die Kategorie hinsichtlich des Ermessens des Gesetzgebers ist, dessen Hauptmerkmale in Abschnitt 7.6. (Ein primitives Kriterium: der Ermessensspielraum des Gesetzgebers) untersucht werden. Im 8. Abschnitt (Die Folgen der Unvereinbarkeitserklärungen: Eine allgemeine Übersicht) werden die Folgen analysiert, die ganz allgemein die Anwendung der Unvereinbarkeitserklärung betreffen, wobei jedoch zu unterstreichen ist, dass die Folgen je nach der "konkreten" Praxis, die dasselbe BVerfG befindet, Änderungen unterliegen können. Die Auswirkungen der Unvereinbarkeitserklärung haben keine "klare Linie". Ganz allgemein folgt der Anwendung einer Unvereinbarkeitserklärung die Pflicht des Gesetzgebers, den Mangel an Verfassungsmäßigkeit zu beseitigen und die Pflicht der Richter, die Vorgabe des Gerichts in Bezug auf die für unvereinbar erklärte Norm zu befolgen. In Bezug auf die Beziehung zwischen BVerfG und Gesetzgeber wird in Abschnitt 8.1. (Die aus der Pflicht zur Reform der unvereinbaren Norm, der s.g. Nachbesserungspflicht entstehenden Folgen) die Reformpflicht des Gesetzgebers untersucht und deren ex tunc- bzw. ex nunc-Wirkung je nachdem, wie das Bundesverfassungsgericht von Fall zu Fall entscheidet. In diesem Abschnitt wird versucht, auch die Natur und das Gebundensein an die Frist zu untersuchen, einem nicht ganz unbekannten Instrument im Bereich des italienischen Verfassungsrechts. Obwohl der Deutsche Bundestag häufig innerhalb der vom BVerfG, vorgesehenen Frist eingreift, gibt es doch auch Fälle, in denen der Gesetzgeber nicht innerhalb des vorgesehenen Zeitraums gehandelt hat (vgl. BVerfGE 99, 300; und das Urteil zur Erbschaftssteuer vom 17. Dezember 2014). In Bezug auf Problematiken hinsichtlich der Untätigkeit des Gesetzgebers kommt man nicht umhin, das in der übermäßigen zeitlichen Verlängerung der Anwendungssperre liegende Risiko zu betrachten (vgl. BVerfGE 82, 136). In Hinsicht auf die anderen Verfassungsorgane hat die Rechtslehre im Fall von legislativer Untätigkeit zwei verschiedene Möglichkeiten zum "Sperren" des verfassungswidrigen Zustands erkannt: Eingriff der Gerichte, die dazu aufgerufen sind, verfassungsmäßig zu entscheiden und Eingriff desselben BVerfG in "Einzelfall" gemäß § 35 des BVerfGG. Hinzu kommt, wie man weiter unten sieht, dass es schwierig ist, die Nichtigkeit der für unvereinbar erklärten Norm bei Untätigkeit des Gesetzgebers vorauszusehen. In jedem Fall sind die Probleme hinsichtlich des mangelnden Nachkommens der Nachbesserungspflicht eher theoretischer Art, wenn man die bestehende gute Zusammenarbeit zwischen Gesetzgeber (Richtern) und BVerfG bei der Umsetzung der zeitlich handhabenden Praxis bedenkt. In Abschnitt 8.2. (Die spezifischen Folgen der Unvereinbarkeitserklärungen) werden die spezifischen juristischen Folgen der Unvereinbarkeitserklärungen untersucht, wobei vor allem die "reinen" und die mit weiterer Anwendbarkeit verbundenen Unvereinbarkeitserklärungen betrachtet werden. Der 9. Abschnitt (Der Zeitfaktor der Unvereinbarkeitserklärungen: ein flexibles Entscheidungsmittel) widmet sich der zeitlichen Orientierung, welche die Rechtswirkungen der Unvereinbarkeitsurteile annehmen können, und zwar ex tunc- oder ex nunc-Wirkung, je nach der ihrerseits von der Reformpflicht des Gesetzgebers angenommenen zeitlichen Orientierung. Die mit der bloßen ex nunc-Wirkung der Unvereinbarkeitserklärungen verbundenen Problematiken, die in den Bereichen zur Beurteilung der konkreten Normenkontrolle und der Verfassungsbeschwerde am deutlichsten hervortreten, sind für das italienische Verfassungsrecht besonders interessant, in Anbetracht der Tatsache, dass dieses weitgehend durch die Inzidentalität des Systems charakterisiert ist, das durch die Unterbrechung des Inzidentalitätszusammenhangs stark beeinträchtigt würde. Die gleichen Problematiken scheinen sich laut der deutschen Rechtslehre in Bezug auf die beiden eben angeführten deutschen Urteilstypen zu stellen; ein deutliches Beispiel ist das in diesem Abschnitt untersuchte Urteil, die Entscheidung vom 10. April 2018 – 1 BvL 11/14. Angesichts der Ausführungen im ersten, zweiten und dritten Kapitel werden im letzten die Schlüsse dieser Doktorarbeit gezogen und versucht einen roten Faden zwischen der zeitlich handhabenden Rechtsprechung des ital. Verfassungsgerichts und der des BVerfG zu finden, und zwar anhand der Untersuchung einiger Aspekte, die das heutige Verfassungsrecht zu "modellieren" scheinen und deren korrekte Funktionsweise dadurch beeinflussen. Die abschließenden Betrachtungen (4. Kapitel) drehen sich um die Beziehung zwischen Verfassungsgerichtshof und Gesetzgeber der italienischen Praxis einerseits und der deutschen andererseits (1. Abschnitt), um die Beachtung des legislativen Ermessens in der italienischen Praxis einerseits und der deutschen andererseits (2. Abschnitt) und um die Notwendigkeit, "übermäßige Folgen" zu verhindern, sowohl in der italienischen als auch in der deutschen Praxis (3. Abschnitt). Weiter angesichts der deutschen Praxis, die sich auf den Schutz der Grundrechte aber weitgehend auch der Rechtsordnung insgesamt zu konzentrieren scheint, wird versucht, über eine mögliche neue Theorie der "Verfassungsfestigkeit" des Rechtssystems nachzudenken (4. Abschnitt - Eine neue Theorie der "Verfassungsfestigkeit" des Rechtssystems? Überlegungen zur deutschen Praxis). Nach dieser Klarstellung kommt man zur Endaussage dieser Doktorarbeit, die mit dem 5. Abschnitt (Reformbedarf der Regelung der Rechtswirkungen der Annahmeurteile. Auf welche Weise?) schließt: Es ist unbestreitbar, dass die Unumgänglichkeit der Rückwirkung den verfassungsrechtlichen (materiellen) Problematiken zugrunde liegt. Die deutsche Praxis der Unvereinbarkeitserklärungen beeinflusst das Verfassungsrecht unter mehreren Gesichtspunkten. Erstens in Hinsicht auf die Verbindung zwischen Verfassungsgericht und Legislativorgan. Eine Bestimmung des zeitlichen Elements der Rechtswirkungen der Entscheidungen der koordinierten Verfassungswidrigkeit gestattet es dem Gerichtshof, die Grenzen des Ermessensspielraums des Gesetzgebers zu ziehen. Daher die Bedeutung der Frist zur Eingrenzung der gesetzgebenden Gewalt innerhalb der verfassungsrechtlichen Trasse, um eine gemeinsame Beseitigung des Mangels an Verfassungsmäßigkeit zu fördern. Im Gegenfall muss das italienische Verfassungsgericht "alles alleine machen". Wie bereits angemerkt, sind die Schwierigkeiten zu berücksichtigen, die beispielsweise die mangelnde Reform des Strafgesetzbuchs von 1930 mit sich bringt, das unter anderem zu einem "unsystematischen und ungenauen" wie auch nicht in den Werterahmen der Verfassungsurkunde passendes Strafsystem geworden ist. Von erheblicher Bedeutung ist in dieser Hinsicht die kürzliche Pressemitteilung in Bezug auf die endgültige Entscheidung in der "Cappato-Sage", die auf der offiziellen Website des Verfassungsgerichts am 25. September 2019 veröffentlicht und durch das entsprechende nachfolgende Urteil Nr. 242 von 2019 bestätigt und in dieser Studie bereit ausgiebig behandelt wurde. Aufgrund seiner Relevanz wird hier der Text der Mitteilung vollumfänglich wiedergegeben: "Das Verfassungsgericht hat sich zur Urteilsfindung zurückgezogen, um die vom Mailänder Geschworenengericht zu Artikel 580 des Strafgesetzbuchs aufgeworfenen Fragen zur Strafbarkeit der Hilfe zum Selbstmord gegenüber einer Person, die entschlossen ist, ihrem Leben ein Ende zu setzen, zu untersuchen. In Erwartung der Urteilshinterlegung lässt die Presseabteilung wissen, dass der Gerichtshof eine Person, welche die Ausführung des selbständig und frei gebildeten Suizidvorhabens eines durch lebenserhaltende Maßnahmen am Leben gehaltenen Patienten, der an einer unheilbaren Krankheit leidet, welche körperliche und psychische Leiden mit sich bringt, die von diesem als nicht auszuhalten angesehen werden, welcher aber in der Lage ist, Entscheidungen frei und bewusst zu treffen, erleichtert, unter bestimmten Bedingungen für nicht strafbar laut Artikel 580 des Strafgesetzbuchs hält. In Erwartung eines unerlässlichen Eingriffs des Gesetzgebers hat das Verfassungsgericht die Nicht-Strafbarkeit der Beachtung der Verfahren, die in der Vorschrift zur aufgeklärten Einwilligung, zur Palliativpflege und zur kontinuierlichen tiefen Sedierung (Artikel 1 und 2 des ital. Gesetzes 219/2017) und der Überprüfung sowohl der erforderlichen Bedingungen als auch der Ausführungsverfahren durch eine öffentliche Einrichtung des staatlichen Gesundheitsdienstes nach Anhörung des Bescheids des örtlich zuständigen Ethik-Kommission vorgesehen sind, unterstellt. Der Gerichtshof unterstreicht, dass die Festlegung dieser spezifischen Bedingungen und Verfahrensweisen, die aus bereits in der Ordnung vorhandenen Normen abgeleitet werden, notwendig wurde, um die Risiken des Missbrauchs gegenüber besonders schwachen Personen zu verhindern, wie bereits in Beschluss 207 von 2018 hervorgehoben. Gegenüber den bereits umgesetzten Verhalten wird das Gericht das Bestehen äquivalenter materieller Bedingungen zu den oben angeführten beurteilen". Wie man beim einfache Lesen der Mitteilung erahnen kann, war es Absicht des Verfassungsgerichts, bei der Erklärung der Nicht-Strafbarkeit der Person, die unter bestimmten Bedingungen die Ausführung des Suizidvorhabens erleichtert (es handelt sich um die in Beschluss Nr. 207 von 2018 festgelegten Bedingungen), den Gesetzgeber aufzufordern, der erneut auf dem Gebiet des Lebensendes durch eine eigene Regelung eingreifen soll: Zweck des Beschlusses Nr. 207 von 2018 war gerade die zeitliche Verschiebung der Rechtswirkungen der Verfassungswidrigerklärung, um "vor allem dem Parlament zu gestatten, durch eine angemessene Regelung einzugreifen". Und wie man sieht, befand das Verfassungsgericht, gegenüber der fehlenden gesetzgebenden Handlung in der Rechtsordnung eine Form des Schutzes der Einzelnen durch Anwendung der bestehenden Bestimmungen zum Lebensende zu erkennen: Daher die (offensichtliche) Bedeutung, die dem Thema der Abstimmung zwischen Verfassungsgericht und Legislativorgan zukommt. Der Fall Cappato bestätigt die Idee, dass die Zusammenarbeit zwischen Gerichtshof und Parlament, sich eben in Richtung einer möglichen Einführung der Trennung zwischen dem Zeitpunkt der Feststellung und dem der Erklärung der Verfassungswidrigkeit bewegen könnte, ohne den Inzidentalitätszusammenhang zu opfern. In diesem Sinn treten die Unvereinbarkeitsentscheidungen hervor, bei denen der Gesetzgeber dazu verpflichtet ist, den Mangel an Verfassungsmäßigkeit mit Rückwirkung zu "bereinigen", sodass ein solches Modell funktionieren kann; dennoch ist es notwendig, der Abstimmung zwischen Gerichtshof und Parlament – wenn möglich – einen bestimmten Grad juristischer Gebundenheit zu verleihen. Anhand der deutschen Praxis und in Hinsicht auf das (entschieden kreative) zu formulierende Gesetz könnte eine bedeutende Verfassungsreform, in dieser Richtung vom Verfassungsgesetzgeber in Betracht gezogen werden (auch in diesem Fall unter Voraussicht der Rückwirkung im vorgelegten Verfahren). Wie man sehen konnte, sind die Entscheidungen des BVerfG gesetzeskräftig und bindend für alle Verfassungsorgane; sicher ist diese Grundlage in erster Instanz vorgesehen und sicher beruht auch die Pflicht des deutschen Gesetzgebers zur Beachtung der Entscheidung des BVerfG theoretisch auf Verfassungsgesetzen: dennoch wäre es vielleicht nützlich, die Vorgaben des Art. 136 2. Abs. ital. GG aufzuwerten, der, wenn auch in Bezug auf eine Beurteilung der Nützlichkeit des Eingriffs durch die Kammern und die betroffenen Regionalversammlungen doch "eine ausdrückliche und dynamische Verbindlichkeit […] der Legislativfolgen" darzustellen scheint. Eine mögliche Festigung der Verbindung zum Gesetzgeber könnte also durch eine Verfassungsreform umgesetzt werden, und zwar insbesondere durch die Änderung von Art. 132 2. Abs. ital. GG. Auf diese Weise würde die Möglichkeit des Verfassungsgerichts zur Festlegung einer Frist für den Gesetzgeber gerechtfertigt, ein Verfahren, das im Übrigen in unserem Verfassungssystem sicher nicht unbekannt ist, wie man sehen konnte. Sollte das Verfassungsgericht aufgrund verfassungsrechtlicher Bedürfnisse befinden, auf eine Form der Modellierung der Rechtswirkungen im Verlauf der Zeit und damit einer zeitlichen Verschiebung der Wirksamkeit der Verfassungswidrigerklärung durch eine Rückwirkungsklausel nicht verzichten zu können, dann gäbe es zwei mögliche Lösungen, die in Bezug auf ihre konkrete (aber eventuelle) "leichte" Umsetzbarkeit in absteigender Reihenfolge erläutert werden, im Bewusstsein jedoch, dass die Annahme einer der drei Vorschläge erhebliche Schwierigkeiten aufweist, sodass es vielleicht ratsam wäre, dass der Gesetzgeber sie alle untersucht und so dem Gerichtshof Spielraum lässt, durch eine Abwägung nach Feststellung einer elastischen Regelung der Rechtswirkungen zu handeln. Es ist jedoch sicher, dass die zuerst umrissene Lösung in jedem Fall die zu sein scheint, die am ehesten einer "Rückkehr zum Ursprung" des Verfassungsrechts entspricht, einschließlich der für das österreichische Verfassungsrecht im Bereich der ex nunc-Wirkung so typischen "Umfassungsprämie", die es ermöglicht, gleichzeitig sowohl den Einzelfall als auch die Ordnung insgesamt zu schützen. a) angesichts einer angemessenen Ermittlung könnte das Verfassungsgericht die Rechtswirkung der Verfassungswidrigerklärung auf Grundlage einer strengen Reglementierung aller an die Folgen der Einschränkung oder "Aussetzung" der mit der Rückwirkung verbundenen Aspekte und der Fälle, in denen eine derartige relevante und bedeutende Ausnahme in vollkommen außergewöhnlicher Weise erfolgen könnte, in der Zeit verschieben (wie es in Bezug auf die deutsche Praxis nicht geschehen ist), ebenfalls nach einer "kelsenschen Orientierung" der Reform des Artikels 30 3. Abs. ital. GG. In diesem Sinn tritt das Gesetzesdekret d.d.l. Lanzillotta hervor, wo befunden wurde, zu einer "schlichten" Reglementierung jener Fälle überzugehen, in denen der Gerichtshof eine Modulation der Rechtswirkungen im Verlauf der Zeit legitimerweise hätte tätigen können. In Art. 1 des Gesetzesentwurfs A.S. 1952 war vorgesehen, "c)im dritten Absatz des Artikels 30 werden am Ende folgende Worte hinzugefügt: ", außer falls der Gerichtshof eine andere Handhabung der Wirksamkeit im Verlauf der Zeit derselben Entscheidung zum Schutz anderer Verfassungsgrundsätze verfügt". Die "allgemeine" Formulierung ähnelt dem ersten Änderungsvorschlag für § 79 des BVerfGG: Die Ausdehnung der Rechtswirkungen der Verfassungswidrigerklärung war in beiden Fällen vorgesehen, in denen wie hervorzuheben ist, das deutsche und das italienische Verfassungsgericht "freie Hand" gehabt hätten. Vielleicht könnte man aber in Hinsicht auf die gemeinsame Trendlinie bemerken, dass Grundlage einer eventuellen Positivierung der zeitlichen Handhabung der Rechtswirkungen der Verfassungswidrigkeitssprüche eine übermäßige Versteifung der Fälle, welche die Verfassungsgerichte zur Abweichung von der Rückwirkung der Verfassungswidrigerklärung legitimieren würden, sein könnte. b) man könnte – mit der angemessenen Vorsicht und im Bewusstsein der erheblichen Problematik, die diese aufweist – eine dritte Lösung von anderer Art erfinden, die von einer ganz einfachen bloßen ex nunc,-Wirkung geprägt und von der Zusammenarbeit des Gesetzgebers und der Gerichte begleitet wäre (grundsätzlich nach dem Vorbild jener Unvereinbarkeitsentscheidungen, die keine "reinen" Unvereinbarkeitsentscheidungen sind). Eine solche Hypothese und extreme Lösung könnte von der Betrachtung ausgehen, dass die Rettung allein des vorgelegten Verfahrens vor der gesetzlichen Priorität den Gleichheitsgrundsatz (und auch den damit verbundenen Grundsatz des Rechts auf Verteidigung) verletze. Abgesehen von der Vorliebe für das erste vorgeschlagene Modell könnte es sich vielleicht auch auf Grundlage einer elastischen Reform der Regelung der Rechtswirkungen der Annahmeurteile als nützlich erweisen, dem Verfassungsgericht die Wahl des verfassungsrechtlich zwingenden Wegs – Auswegs – dem, welcher der geringsten Qual am nächsten kommt, zu überlassen, wobei alle Möglichkeiten sorgfältig abzuwägen sind, wenn man bedenkt, dass in der Tat im Fall a) einer "ungeregelten" Modulation ohne juristische Grundlage, b) der Vorgabe einer Modulation unter Beachtung des Grundsatzes der Rückwirkung nur im vorgelegten Verfahren und c) einer ganz einfachen Modulation ohne Beachtung des Rückwirkungsprinzips, man in jedem Fall einer Verletzung des Gleichheitsgrundsatzes oder des Grundsatzes des Rechts auf Verteidigung (oder beider) beiwohnt. Sicher ist es nicht einfach, eine angemessene Änderung der Regelung der Rechtswirkungen der Annahmeurteile in Anlehnung an das deutsche Modell vorzusehen: Mit jeder Hypothese für das zu formulierende Gesetz sind erhebliche Schwierigkeiten verbunden. Und doch ist zum heutigen Stand vielleicht sicher, dass die Lösung, die Augen vor den vom Verfassungsgericht verspürten Bedürfnissen zu schließen, dem Rahmen, in welchem dieses sich bewegt, nicht gerecht werden würde, denn dieses sollte manchmal, eben aufgrund der Beachtung des Grundsatzes der höheren Stellung der Verfassung, die Möglichkeit haben, die Rückwirkung angesichts einer größeren Verfassungswidrigkeit auszuschließen und dem Gesetzgeber gestatten, durch eine gute Verwendung seines Ermessensspielraums wieder zu einer größeren Verfassungsmäßigkeit zu gelangen.
1.Introduzione Nel 2014, nell'ambito dell'Agenzia Europea Frontex, prese avvio l'operazione Triton, coordinata dall'Italia. Da quel momento e fino al 2018, tutte le persone soccorse in mare dovevano essere portate in salvo sulle coste italiane. Una volta arrivate sul territorio, queste persone dovevano essere messe nella condizione di potere avanzare una richiesta di asilo o di protezione internazionale. Il già esistente sistema di accoglienza dedicato alle persone richiedenti asilo (SPRAR) si basava sulla disponibilità volontaria degli enti locali e non era in grado di gestire l'elevato numero di persone in arrivo. Furono per questa ragione istituiti (art. 11 Dlgs. n.142/2015) i Centri di Accoglienza Straordinaria (CAS) sotto la diretta gestione degli Uffici Territoriali del Governo (Prefetture). I CAS erano quindi pensati come strutture temporanee ed emergenziali. Le azioni messe in atto dai CAS dovevano, innanzitutto, rispondere ai bisogni primari delle persone accolte, in termini di vitto, alloggio e assistenza sanitaria. Ma, a dispetto del loro carattere temporaneo, e alla stregua dello SPRAR, i CAS avevano l'obbligo di svolgere attività (apprendimento della lingua italiana, istruzione, formazione, inserimento nel mondo del lavoro e nel territorio, assistenza legale e psicosociale) finalizzate all'acquisizione di strumenti di base per favorire i migranti accolti nei processi di integrazione, di autonomia e di acquisizione di una cittadinanza consapevole. 1.1 I richiedenti asilo: L'accoglienza in Italia e una possibile traiettoria resiliente La maggior parte dei richiedenti asilo proveniva dall'Africa subsahariana o dall'Asia Meridionale (Afghanistan e Bangladesh e Pakistan) e aveva alle spalle un lungo viaggio di cui la traversata mortifera via mare o attraverso i Balcani o il Caucaso era solo l'ultima tappa. La durata media del viaggio dal paese di origine era di venti mesi, che si svolgevano quasi sempre al limite della soglia di sopravvivenza. È ormai ben documentato il fatto che la privazione di cibo, di ripari, l'affaticamento estremo, il senso di minaccia, i maltrattamenti ripetuti, i lutti dovuti alla perdita di persone care durante gli spostamenti sono condizioni che accomunavano tutti questi percorsi migratori. A queste, si aggiungeva, per la maggior parte di loro, un periodo di reclusione, che poteva superare l'anno, nei centri di detenzione della Libia dove le condizioni disumane, la pratica sistematica della tortura e della violenza sessuale sono state rese note e denunciate dalle principali organizzazioni internazionali, come Medici Senza Frontiere e Amnesty International (Fondazione Migrantes, 2018). Inoltre, l'alto potenziale traumatico di queste esperienze si aggiunge a vissuti altrettanto tragici legati alle circostanze di vita nel paese di partenza che aumentano la vulnerabilità dei migranti. Infatti, questi sono il più delle volte costretti a scappare da condizioni di instabilità politica, di gravi conflitti interni civili e di estrema povertà. È per quanto fin qui descritto che si può affermare che le persone in arrivo nei CAS sono portatrici di storie potenzialmente traumatiche e ad alta complessità psicosociale che richiedono un'attenzione particolare. Le pratiche d'accoglienza che vengono messe in atto nei centri devono tenere conto di tale complessità nel rispondere ai bisogni di ogni persona, sia nella dimensione psicologica sia in quella sociale. In questo modo, nel cercare di raggiungere l'obiettivo ultimo dell'integrazione dei richiedenti accolti, i progetti d'accoglienza potrebbero favorire la definizione di un loro processo di resilienza che li porti a vivere una condizione socialmente accettabile e di benessere. Il concetto di resilienza ha suscitato molto interesse in letteratura negli ultimi decenni. Un primo dato storico nell'evoluzione della teorizzazione di questo concetto (Cicchetti & Garmezy,1993) è lo spostamento dell'interesse dalla patologia e dalla vulnerabilità alla resilienza, che si può ricondurre alla diffusione di una prospettiva positiva e salutogena nella ricerca e nella pratica clinica e psicosociale (Bonanno & Diminitch, 2013; Bonanno, Westphal, & Mancini, 2011; Cicchetti, 2013; Cyrulnik & Malaguti,2015; Walsh, 2016). Negli anni il concetto di resilienza è stato indagato a partire da diversi approcci. Da alcuni autori (Costa & McRae, 1980) è stato studiato come un tratto di personalità, stabile e fisso, da altri (Wagnild & Young, 1993) come l'abilità di fronteggiare e adattarsi positivamente a eventi stressanti o avversivi. Cicchetti (2013), concettualizzando la resilienza come un processo, ha concentrato l'attenzione sui fattori che lo determinano, con particolare interesse a quelli genetici e neurali. Bonanno e Diminitch (2013) si sono, invece, concentrati su quei fattori di rischio o quelle condizioni esistenziali potenzialmente vulnerabili che possono determinare il processo e che gli autori (Bonanno et al., 2011) definiscono come eventi potenzialmente traumatici (EPT). Rutter (2012), da parte sua, ha teorizzato la resilienza come un concetto dinamico dato dalla continua interazione tra i fattori protettivi e di rischio, portando all'attenzione l'influenza ambientale. Tuttavia, sebbene l'autore (Rutter, 2012) abbia messo in luce la funzione dell'ambiente nel processo di resilienza, sono gli approcci più ecologici e sociali (Anaut, 2005; Cyrulnik, 2001; Cyrulnik & Malaguti, 2015; Malaguti, 2012; Walsh, 2016) che hanno enfatizzato e dato maggiore importanza ai fattori contestuali, sociali, familiari e relazionali nella definizione del processo di resilienza. In particolare, secondo Cyrulnik (2001), posti i fattori di protezione, il processo non può avvenire che nell'ambito di relazioni significative. Nello specifico, l'autore distingue tre elementi fondamentali che rendono conto, nell'insieme, del processo: 1- le esperienze pregresse nell'infanzia e nella storia personale dell'individuo, la qualità dei legami di attaccamento e la capacità di mentalizzazione; 2- il trauma e le sue caratteristiche (strutturali, contingenti ed emotive e sociali); 3- la possibilità di risignificare la tragedia avvenuta attraverso il sostegno affettivo e la relazione d'aiuto, descritta, genericamente come l'incontro con l'Altro. Secondo l'autore, la persona costruisce nel proprio passato, in particolar modo durante l'infanzia, attraverso il legame di attaccamento sufficientemente sicuro, le risorse e la capacità di mentalizzazione utili per affrontare e risignificare il trauma. È in questo spazio relazionale quindi che la persona forma una rappresentazione di Sé come persona amabile, capace di affidarsi e di costruire relazioni forti e significative anche in futuro. La capacità e la possibilità di costruire queste relazioni sono viste come le condizioni che possono aiutare la persona a riconoscere le risorse da attivare per superare la profonda ferita incisa dall'esperienza traumatica e per ristabilire un equilibrio nella propria esistenza. Nell'ultima fase della sua teoria l'autore specifica l'importanza di una figura che chiama tutore di sviluppo o di resilienza, le cui caratteristiche e funzioni sono approfonditamente delineate nella pubblicazione di Lighezzolo, Marchal, & Theis (2003). Secondo gli autori, il tutore di resilienza deve favorire un processo di autonomia e ri-strutturazione del sé, trasmettere sapere, fornire esempi e modelli che permettano e legittimino l'errore; non deve quindi ricoprire un ruolo insostituibile e onnipotente. Il tutore di resilienza, sia esso una persona adulta informale o una figura istituzionalizzata nel sistema di cura e presa in carico della persona, è una risorsa esterna che coadiuva nel processo di resilienza. In questo ultimo caso, la formazione e la definizione del ruolo dell'operatore nel processo di presa in carico contribuiranno alla costruzione di un efficace intervento sociale e clinico per la promozione della resilienza nell'assistito (Manciaux, 2001). Negli ultimi anni, una serie di rassegne internazionali (Agaibi & Wilson, 2005; Siriwardhana, Ali, Roberts, & Stewart, 2014; Sleijpen, Boeije, Kleber, & Mooren. 2016) e in Italia (Tessitore & Margherita, 2017), hanno tentato di sistematizzare i risultati degli studi sul processo di resilienza nell'esperienza potenzialmente pluritraumatica della migrazione, con particolare attenzione alla condizione esistenziale di rifugiato. I risultati evidenziano e si concentrano, soprattutto, sui principali fattori di rischio e quelli protettivi che possono intervenire nel processo di resilienza a seguito di queste esperienze pluritraumatiche. In questi lavori emerge, tuttavia, la necessità per la ricerca di individuare strategie e procedure per interventi e pratiche mirati ed efficaci a promuovere il processo di resilienza nei contesti dell'accoglienza. In particolare, rispetto al contesto italiano si riscontra che sono stati svolti pochi studi sul tema, ancora da approfondire (Tessitore & Margherita, 2017). L'analisi approfondita delle pratiche costruite e messe in atto nell'ambito dell'accoglienza negli ultimi anni in Italia risulta rilevante per una sistematizzazione di conoscenze e competenze e utili per la progettazione di interventi psicosociali efficaci. La presente ricerca si poneva l'obiettivo di studiare, se e in che misura, le pratiche dell'accoglienza e le strategie di intervento messe in atto nel sistema CAS di Parma e Provincia abbiano favorito un processo di resilienza nei richiedenti asilo accolti. Inoltre, si poneva l'obiettivo di comprendere se e in che modo l'operatore dell'accoglienza potesse svolgere una funzione di tutore di resilienza. Poiché basandosi sulla teorizzazione di Cyrulnik (2001), l'esito del processo di resilienza è dato dall'interazione dei fattori protettivi individuali, dalla qualità/intensità del trauma e/o comunque delle situazioni avverse e dall'incontro con i possibili tutori di resilienza, il progetto si è sviluppato in due fasi e ha tenuto conto sia dell'esperienza dei richiedenti asilo sia di quella degli operatori. Rispettivamente, nella prima fase l'obiettivo della ricerca si proponeva di individuare le risorse/vincoli personali presenti nella biografia dei richiedenti asilo, i vissuti emotivi e la qualità dei legami stabiliti nel passato, di individuare le risorse/vincoli messe in gioco durante il viaggio e, infine, di individuare le risorse/vincoli con funzione protettiva dal momento dell'arrivo in Italia e in particolare nel CAS di residenza e nella relazione con gli operatori. Nella seconda fase, la ricerca mirava a individuare le risorse e le competenze, rintracciabili nelle biografie degli operatori dei CAS messe in gioco nella pratica professionale e di conoscere le loro motivazioni alla base della scelta professionale, e a comprendere il significato e l'uso consapevole della relazione con i richiedenti asilo nella loro pratica professionale e, infine, a valutare la qualità della loro vita professionale tenendo conto del forte carico emotivo dovuto alla relazione con i richiedenti asilo e il loro vissuti traumatici. 2. Migrazione ed Europa: Una revisione sistematica sulla promozione della resilienza dei richiedenti asilo negli Stati membri dell'Unione Europea. La migrazione è un fenomeno complesso determinato dall'interazione di fattori di espulsione e di attrazione. L'Europa ha sempre svolto un ruolo di attrazione nei flussi migratori. Negli ultimi anni, le direttive per gli Stati membri hanno mirato a promuovere il benessere dei richiedenti asilo. È importante sviluppare la resilienza per raggiungere il benessere delle persone. L'obiettivo della revisione sistematica è stato quello di esplorare come viene studiata la resilienza nei richiedenti asilo nei paesi dell'UE. Sono stati consultati i database internazionali PsycINFO, PubMed, Web of science, Scopus, MEDLINE, Psychology e behavioural collection. Gli articoli sono stati analizzati secondo i criteri PRISMA. Sono stati ottenuti 12 articoli. Dall'analisi qualitativa sono emersi tre approcci principali e quattro principi teorici fondamentali che potrebbero guidare lo studio della resilienza in contesti migratori. Lo studio della resilienza può essere orientato verso un approccio clinico, clinico e sociale o psicosociale. Inoltre, la ricerca ha tenuto conto della necessità di costruire una nuova narrazione di sé e della propria storia nei richiedenti asilo, di restituire agency ai richiedenti asilo, di valorizzare il proprio contesto culturale e quello del paese ospitante e di promuovere una democratizzazione del sistema istituzionale di accoglienza. Si suggeriscono implicazioni per le politiche degli Stati membri dell'UE coinvolti in prima linea nella gestione dell'accoglienza in Europa. Data la limitata letteratura sull'argomento, questa rassegna suggerisce una nuova e originale visione di presa in carico dei richiedenti asilo attraverso una maggiore implementazione di interventi focalizzati sull'individuo e sulle sue risorse. 3. Promozione della salute psicosociale nei migranti: una revisione sistematica della ricerca e degli interventi sulla resilienza nei contesti migratori. La resilienza è identificata come una capacità chiave per prosperare di fronte a esperienze avverse e dolorose e raggiungere un buono stato di salute psicosociale equilibrato. Questa revisione mirava ad indagare come la resilienza è intesa nel contesto della ricerca sul benessere dei migranti e come gli interventi psicosociali sono progettati per migliorare la resilienza dei migranti. Le domande della ricerca hanno riguardato la concettualizzazione della resilienza, le conseguenti scelte metodologiche e quali programmi di intervento sono stati indirizzati ai migranti. Nei 63 articoli inclusi, è emersa una classica dicotomia tra la resilienza concettualizzata come capacità individuale o come risultato di un processo dinamico. È anche emerso che l'importanza delle diverse esperienze migratorie non è adeguatamente considerata nella selezione dei partecipanti. Gli interventi hanno descritto la procedura ma meno la misura della loro efficacia. 4. Il sistema d'accoglienza straordinaria di Parma e provincia: soddisfazione e benessere percepito dai migranti accolti. I servizi e le progettualità messi in atto nei CAS mirano a favorire integrazione, autonomia e benessere. Questi obiettivi si strutturano sull'attivazione e promozione di risorse dei richiedenti asilo. Nello specifico, vanno ad innestarsi sulle loro abilità, sulle conoscenze, sulle competenze, sulla loro agency e sulla capacità di proiettarsi verso un futuro. Poiché i richiedenti asilo sono i principali attori e fruitori di questi servizi, la valutazione di efficacia e di raggiungimento degli obiettivi preposti deve tenere conto necessariamente del loro punto di vista. I richiedenti asilo che hanno partecipato allo studio erano circa il 20% della popolazione dei richiedenti asilo adulti presenti nel territorio di Parma e provincia. Per la stratificazione del campione si è tenuto conto della variabile del paese di origine, della collocazione sul territorio provinciale (distretto) e il tempo di permanenza nel sistema CAS. È stato costruito un questionario ad hoc che mirava ad indagare la percezione di autonomia, di benessere personale, di soddisfazione verso sé stesso, la percezione di essere rispettato nelle proprie tradizioni culturali e la soddisfazione verso il servizio. Il questionario constava di una parte introduttiva, che forniva una breve descrizione al partecipante delle finalità d'indagine, e di diverse sezioni, che indagavano e approfondivano specifiche aree (temi) di interesse. Le prime due aree hanno rilevato i dati socio-anagrafici e il viaggio dei richiedenti asilo. La terza e la quarta area hanno indagato l'accoglienza nel centro e la struttura in cui risiedeva il beneficiario. Le altre aree si sono concentrate sui servizi primari (beni e servizi di prima necessità, assistenza medica) e servizi secondari (assistenza legale, lingua italiana, sostegno psicosociale, lavoro, mediazione culturale, orientamento al territorio e tempo libero) che gli venivano offerti. Le ultime sezioni si focalizzavano sul rapporto con gli operatori, sul progetto individualizzato e sui propri piani futuri. Alla fine del questionario vi era una breve sezione che mirava ad indagare la soddisfazione generale verso l'intero processo di accoglienza in Italia e la specifica esperienza nel territorio di Parma e provincia. Sono state effettuate delle analisi ed elaborazioni statistiche descrittive tramite il software SPSS. Dal questionario è emerso un quadro complessivo dei servizi offerti e una mappatura delle pratiche messe in atto all'interno delle strutture a partire dal punto di vista dei richiedenti asilo. Questi hanno espresso una generale soddisfazione del sistema accoglienza in Italia e in particolare di quella ricevuta a Parma. Hanno riportato un senso di protezione e sicurezza e una generale percezione di capacità e autonomia raggiunta in molti dei servizi e ambiti della quotidianità. Le aree più critiche sono risultate essere l'assistenza legale, l'avviamento lavorativo, la creazione di relazioni sociali con italiani nel tempo libero, la progettazione individualizzata e in particolare il sostegno psicosociale e, infine, la progettazione futura. In queste aree i richiedenti asilo hanno espresso una bassa soddisfazione verso il servizio di sostegno ricevuto, una scarsa consapevolezza di sé e delle proprie capacità e una bassa percezione di un'autonomia conquistata dal singolo servizio e, più in generale, dalla struttura d'accoglienza. 5. Vissuti, fattori di protezione e fattori di rischio nelle biografie dei richiedenti asilo: la definizione di traiettorie di resilienza nei Centri d'Accoglienza Straordinaria. I richiedenti asilo sono portatori di storie potenzialmente traumatiche a seguito delle quali possono vivere distress psicologico e PTSD nel paese d'accoglienza. Qui vengono inseriti in programmi che mirano a favorire benessere psicologico e integrazione. Tale processo è definito resilienza, La resilienza è un processo che vede le persone impegnate a guarire da esperienze dolorose, a prendersi cura della propria vita per continuare a svilupparsi positivamente in modo socialmente accettabile. Il presente studio mira a comprendere i fattori di protezione e le risorse personali e sociali che possono favorire il superamento dei traumi e un processo di resilienza nei richiedenti asilo. Sono stati somministrati 29 test CORE-10 e questionari costruiti ad hoc per il sostegno sociale percepito e condotte altrettante interviste in profondità. Con risultati moderati e gravi di distress psicologico nei partecipanti, sono emersi fattori protettivi e risorse già nella fase pre-migratoria. I legami di accudimento sembrano svolgere una funzione protettiva anche durante l'accoglienza, favorendo la costruzione di rapporti di fiducia. Il supporto sociale della comunità d'accoglienza e quello degli operatori nei centri possono influenzare la definizione di traiettorie resilienti. Lo studio solleva implicazioni di tipo clinico e sociale. Nei suoi limiti lo studio vuole essere un'apertura a nuovi approfondimenti di ricerca. 6. La qualità della vita professionale di chi lavora con i richiedenti asilo: Compassion Staisfaction, Burnout e Secondary Traumatic Stress negli operatori dell'accoglienza In Italia negli ultimi anni sono stati strutturati Centri di Accoglienza Straordinaria per rispondere ai bisogni primari e secondari dei richiedenti asilo approdati sulle coste mediterranee. A seguito dell'apertura dei CAS, sul territorio nazionale si è formato un nuovo corpo professionale, i professionisti dell'accoglienza. Poiché inizialmente non è stata richiesta una formazione specifica in base al contesto e agli obiettivi posti, il loro profilo professionale derivava tendenzialmente dai diversi percorsi formativi e lavorativi precedenti. Considerando il mandato istituzionale del loro lavoro, quale favorire l'accoglienza e una completa presa in carico dei richiedenti asilo, i professionisti dell'accoglienza sono quotidianamente coinvolti nella relazione con gli accolti ed esposti ai racconti traumatici o ai sintomi agiti di questi. Infatti, i richiedenti asilo sono persone spesso profondamente traumatizzate dalle esperienze passate, dal viaggio, ma anche disorientate e impreparate per la complessa esperienza dell'accoglienza e dell'integrazione. Questo aspetto del lavoro con i richiedenti asilo può influenzare il clima e la qualità della vita professionale dei professionisti dell'accoglienza. Infatti, come nelle altre professioni d'aiuto continuamente esposte a eventi stressanti o traumatici, anche nel lavoro di cura e accoglienza dei richiedenti asilo è alto il rischio di sviluppare i sintomi negativi associati al burnout e al trauma vicario. Sebbene, negli ultimi venti anni, la qualità della vita professionale sia stata ampiamente approfondita in diversi settori, non risultano studi che esplorino questo tema tra i professionisti del settore dell'accoglienza. In questo studio è stato sottoposto il questionario ProQOL 5 ai professionisti dell'accoglienza dei Centri di Accoglienza Straordinaria di Parma e provincia, attivamente coinvolti nella relazione d'aiuto con i richiedenti asilo, con lo scopo di definire lo stato di benessere psicosociale rispetto alla loro qualità di vita professionale. Anche se si è dimostrato che mediamente i professionisti dell'accoglienza riportano una buona soddisfazione nello svolgere il proprio lavoro, sono emersi tre profili. Il primo gruppo sembra esprimere soprattutto Burnout, il secondo gruppo una maggiore Compassion Satisfaction e il terzo gruppo un malessere evidente sia per il Burnout che per il Secondary Traumatic Stress. I dati ottenuti permettono di colmare parzialmente un vuoto nella letteratura di settore. Inoltre, la rilevanza dei dati spinge alla riflessione sulla possibilità di incoraggiare interventi efficaci di prevenzione e management delle organizzazioni, al fine di favorire il benessere psicosociale di questo corpo professionale emergente. 7. Essere professionisti dell'accoglienza: l'importanza di un uso consapevole del Se' nella relazione d'aiuto e la funzione del tutore di resilienza. All'interno dei CAS sono stati impiegati professionisti di differenti background formativi ed esperienziali. Appannaggio degli operatori è l'attivazione dei servizi interni ed esterni e il monitoraggio di tutte le fasi del progetto di accoglienza. La presa in carico si configurerebbe come una relazione d'aiuto possibile attraverso la compresenza di diversi aspetti di Sé. Chi lavora con i richiedenti asilo deve affrontare e gestire vissuti potenzialmente traumatici che influenzano il buon esito dell'intervento clinico-sociale. Nel favorire benessere psicologico nei beneficiari, gli operatori svolgono funzioni che richiamano quelle del tutore di resilienza. In questo studio si è esplorata la rappresentazione dei professionisti dell'accoglienza e la consapevolezza di Sé a partire dal loro punto di vista. Sono stati condotti tre focus group e le trascrizioni verbatim sono state analizzate secondo l'approccio IPA. Sono emersi tre aspetti del Sé (Sé personale, Sé professionale e Sé burocrate). Il Tempo e il Contesto sociale sono risultate possibili variabili che influenzano la relazione d'aiuto. Lo studio propone implicazioni di ricerche future e di policy. 8. Conclusioni Negli anni il sistema italiano dell'accoglienza si era ormai rodato e formalizzato su due principali dispositivi: il sistema SPRAR e i cosiddetti Centri di Accoglienza Straordinaria (CAS). Tuttavia, negli ultimi due anni, con il cosiddetto decreto Salvini (D.lg. 4/19/2018 n° 113), si è assistito ad un graduale ridimensionamento dei numeri degli accolti e ad una conseguente chiusura di strutture del sistema CAS. Pertanto, assume rilevanza e importanza capitalizzare le esperienze di accoglienza e comprenderne maggiormente le potenzialità e i limiti. Con la presente ricerca e le analisi delle pratiche d'accoglienza e delle progettualità messe in atto all'interno del sistema CAS sono emersi due risultati principali. Il primo risultato emerso è che i richiedenti asilo accolti abbiano consapevolezza delle risorse e dei fattori protettivi che hanno acquisito nell'arco di vita. Inoltre, si è evidenziata una forte e imprescindibile interdipendenza tra i vissuti psicologici, i bisogni e le risorse dei richiedenti asilo e la funzione relazionale dell'operatore dell'accoglienza. Dalla ricerca è emerso che il valore di tale interdipendenza, non essendo riconosciuto formalmente e quindi esplicitamente richiamato nelle norme e regolamentazioni, era dipeso da un reciproco riconoscimento dei richiedenti asilo accolti e degli operatori. Tuttavia, questa relazione, se opportunamente strutturata e formalizzata, può favorire la definizione di traiettorie di resilienza e il raggiungimento degli obiettivi di integrazione, autonomia e benessere psicosociale. Al momento in cui è stata condotta la ricerca, questi obiettivi erano parzialmente raggiunti. Infatti, sebbene nel sistema d'accoglienza i richiedenti asilo abbiano percepito di essere in un luogo sicuro e protetto e fossero generalmente soddisfatti dei servizi offerti, hanno riportato livelli medio-alti di disagio psicologico. Il valore traumatico delle loro esperienze di vita è stato esplorato e compreso nella sua diacronicità, in quanto i vissuti traumatici sono rintracciabili non solo durante il viaggio ma già nelle esperienze pre-migratorie. Le biografie dei richiedenti asilo sono segnate da profonde ferite, che spesso risalgono a perdite, lutti o tradimenti da parte delle figure significative dell'infanzia o della comunità allargata, fino a sentirsi espulsi dalle politiche disattente degli Stati d'appartenenza. Anche l'arrivo in Italia e l'inserimento nel sistema d'accoglienza comportano sfide esistenziali, che in alcuni casi arrivano a reiterare esperienze traumatiche passate. Nonostante questo, i richiedenti asilo hanno mostrato consapevolezza delle proprie risorse e dei fattori di protezione acquisiti già durante l'infanzia, attraverso le relazioni significative e di accudimento. Queste risorse hanno svolto una funzione di protezione e sostegno nel loro sforzo psicologico di fronteggiare e sopravvivere alle avversità incontrate in tutto l'arco di vita. Nonostante la loro consapevolezza e tenuto conto della permanenza relativamente lunga nel sistema d'accoglienza, è risultato che le esperienze traumatiche non trovano uno spazio adeguato di ascolto e di ri-significazione una volta inseriti nei progetti di accoglienza. Le caratteristiche strutturali e organizzative del sistema non sembrano favorire quell'incontro con l'Altro che può garantire la rielaborazione delle esperienze passate e riattribuire senso e agency alla propria vita, anche nella quotidianità. Al contrario, i richiedenti asilo sono consapevoli di ritrovarsi in una posizione di svantaggio rispetto al potere decisionale sui loro progetti di vita. Non sono coinvolti nelle scelte progettuali e non percepiscono una crescita personale nelle competenze e nelle capacità necessarie per rendersi autonomi. Tuttavia, i richiedenti asilo riconoscono negli operatori degli interlocutori diretti che svolgono un ruolo di congiunzione con la società ospitante. Nello svolgimento del proprio ruolo, gli operatori possono aprirsi ad un ascolto attivo di tutte le parti della biografia dei richiedenti asilo per costruire un rapporto di fiducia. Al fine di favorire la costruzione di tale rapporto, è importante che gli operatori nella loro pratica quotidiana mirino a riattribuire agency ai richiedenti asilo, coinvolgendoli nella progettazione individualizzata. Ciò favorirebbe la valorizzazione e l'attivazione delle risorse dei richiedenti asilo, l'instaurarsi di relazioni di fiducia che consentano la ricostruzione di significato delle proprie esperienze traumatiche di vita e la restituzione di una rappresentazione di Sé attiva e agente. In generale, si otterrebbe una maggiore adesione al progetto d'accoglienza. Inoltre, la valorizzazione della funzione relazionale degli operatori dell'accoglienza favorirebbe una maggiore qualità di vita professionale. I professionisti avrebbero così la possibilità di riconoscere e far riconoscere il proprio ruolo, che è stato profondamente messo in discussione dalla comunità e dalle politiche degli ultimi anni. Quindi, l'ascolto attivo, la riattribuzione di agency e l'esempio nella quotidianità da parte degli operatori favorirebbero il riconoscimento del loro ruolo come tutori di resilienza e promuoverebbero la definizione di traiettorie di resilienza. In questo modo si faciliterebbe il raggiungimento di uno stato di salute psicosociale nei richiedenti asilo. La legittimazione del ruolo funzionale della relazione tra i richiedenti asilo e gli operatori dell'accoglienza da parte del contesto sociale e istituzionale diventa un fattore necessario allo sviluppo di buone pratiche d'accoglienza e alla promozione di traiettorie di resilienza. 9. Riferimenti bibliografici Agaibi, E. C., & Wilson, J.P. (2005). Trauma, PSTD and resilience. A Review of the Literature. Trauma, Violence & Abuse, 6(3), 195-216. doi:10.1177/1524838005277438 Anaut, M. (2005). Le concept de résilience et ses applications cliniques. Recherche en soins infirmiers, 82(3), 4-11. doi.org/10.3917/rsi.082.0004 Berkham, M., Bewick, B., Mullin, T., Gilbody, S., Connell, J., Cahill, J., …Evans, C. (2013). The CORE-10: A short measure of psychological distress for routine use in the psychological therapies. Counselling and Psychotherapy Research, 13(1), 3-13. doi.org/10.1080/14733145.2012.729069 Bonanno, G., & Diminich, E. D. (2013). Annual Research Review. Positive adjustment to adversity – trajectories of minimal- impact resilience and emergent resilience. Journal of child psychology and psychiatry, 54(4), 378-401. doi:10.1111/jcpp.12021 Bonanno, A. G., Westphal, M., & Mancini, A. D. (2011). Resilience to loss and potential trauma. Annual Review Clinical Psychological, 7, 511–535. doi:10.1146/annurev-clinpsy-032210-104526 Cicchetti, D. (2013). Annual Research Review. Resilient functioning in maltreated children. Past, present and future perspectives. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 54(4), 402–422. doi:10.1111/j.1469-7610.2012.02608.x Cicchetti, D., & Garmezy, N. (1993). Prospects and promises in the study of resilience. Development and Psychopathology, 5, 497-502. doi:10.1017/S0954579400006118 Costa, P., & McCrae, R. (1980). Influence of extroversion and neuroticism on subjective wellbeing: Happy and unhappy people. Journal of Personality and Social Psychology, 38, 668-678. DOI:10.1037/0022-3514.38.4.668 Connell, J., & Barkham, M. (2007). CORE 10 user manual (versione 1.0). Centre for Psychological Service Research, CPSR Memo 1, University of Sheffield. Cyrulnik, B. (2001). Manifeste pour la résilience. Spirale, 18(2), 77-82. DOI 10.3917/spi.018.0077 Cyrulnik,B., & Malaguti, E. (2015). Costruire la resilienza. La riorganizzazione positiva della vita e la creazione di legami significativi, Trento, IT: Centri Studi Erickson Figley, C. R. (Ed.). (1995). Brunner/Mazel psychological stress series, No. 23. Compassion fatigue: Coping with secondary traumatic stress disorder in those who treat the traumatized. Philadelphia, PA, US: Brunner/Mazel Fondazione Migrantes. (2018). Il diritto d'asilo. Accogliere proteggere promuovere integrare. Report 2018. Roma, IT Lighezzolo,J., Marchal, S., & Theis, A. (2003). La résilience chez l'enfant mailtraté: Tuteur de développement et mécanismes défensifs (approche projective comparée). Neuropsychiatrie de l'enfance et de l'adolescence, 51, 87–97. DOI:10.1016/S0222-9617(03)00020-5 Malaguti, M. (2012). Educarsi alla resilienza. Trento, IT : Erickson. Manciaux, M. (2001). La résilience. Un regard qui fait vivre. Etudes, 395(10), 321-330. https://doi.org/10.3917/etu.954.0321 Palestini, L., Prati, G., Pietrantoni L., & Cicognani E. (2009). La qualità della vita professionale nel lavoro di soccorso: un contributo alla validazione italiana della Professional Quality Of Life Scale (ProQOL). Psicoterapia cognitiva e Comportamentale, 15(2), 205-227 Rutter, M. (2012). Resilience as a dynamic concept. Development and Psychopathology, 24, 335–344 Siriwardhana, C., Ali, S. S., Roberts, B., & Stewart, R. (2014). A systematic review of resilience and mental health outcomes of conflict-driven adult forced migrants. Conflict and Health, 4, 8-13. doi:10.1186/1752-1505-8-13 Sleijpen, M., Boeije, H. R., Kleber, R. J., & Mooren, T. (2016). Between power and powerlessness: a meta-ethnography of sources of resilience in young refugees. Ethnicity & Health, 21(2), 158–180. doi:10.1080/13557858.2015.1080484 Smith, J. A., Flowers, P., & Larkin, M. (2009). Interpretative Phenomenological Analysis: Theory, Method and Research, Los Angeles: Sage. Stamm, B. H. (2010). The Concise ProQOL Manual, 2nd Ed. Pocatello, ID: ProQOL.org. Tessitore, F., & Margherita, G. (2017). A review of asylum seekers and refugees in Italy: where is the psychological research in Italy?. Mediterranean Journal of Clinical Psychology, 5(2),1-33. doi:10.6092/2282- 1619/2017.5.1612 Wagnild, G. M., & Young, H. M. (1993). Development and psychometric evaluation of the resilience scale. Journal of Nursing Measurement, 1(2), 165-178 Walsh, F. (2016). Family resilience a development systems framework. European Journal of developmental psychology, 13 (3), 313-3224 dx.doi.org/10.1080/17405629.2016.1154035
IntroducciónEl fin de este trabajo es analizar el paper "Europeization of Public Administration: Effects of the EU on the Central Administration in the Nordic States" escrito por Per Lægreid, Runolfur Steinthorsson y Baldur Thorhallsson en el año 2002 (1). El mismo forma parte del proyecto de investigación "Representative Democracy, Administrative Reforms and Europeanizations". En dicho trabajo se investiga cómo la integración a la Unión Europea afecta la administración pública de los países nórdicos. El cuerpo del trabajo contará con dos partes. En la primera se describirá el problema de investigación, la metodología empleada y los resultados obtenidos. En la segunda, realizaremos una crítica del trabajo haciendo especial énfasis en la adecuación de la estrategia metodológica con el problema de investigación.1. Problema de investigación y diseño metodológico 1.1. El problema de investigación El foco de este paper se centra en estudiar la europeización de los países nórdicos, distinguiendo aquellos que se han unido a la Unión Europea (Suecia y Finlandia) de los que no lo han hecho (Islandia y Noruega). La relación de estos últimos con dicha organización internacional se encuentra regulada por el Acuerdo Económico Europeo (2), por el cual debieron adaptar sus leyes a la Unión Europea para conseguir que su legislación fuera concordante con la misma.Antes de adentrarnos en lo expuesto en el artículo, resulta importante definir qué se entiende por "europeización", ya que éste se basa en el estudio de los efectos de la misma. Los autores definen "europeización" como la consecuencia que tiene el proceso de integración en la administración pública de los países miembro. En este sentido, integrarse a la UE implica que los países deben adaptar las instituciones internas y los aparatos administrativos.El objetivo es explorar las similitudes y las diferencias en la administración central entre los países miembros de la UE y los países que están adheridos al EEA. Concomitantemente se estudia las disimilitudes encontradas entre los países que tienen la misma forma de asociación a la organización, ya que aún tratándose del mismo vínculo, los procesos que se llevan a cabo son distintos. El centro de la investigación se encuentra en el estudio del cambio producido en la administración interna por el impacto de la Unión Europea y hasta qué punto dicha organización la afecta, siendo esa su pregunta general de investigación (3). A la vez, se plantean ciertas preguntas específicas como el efecto que tiene sobre las tareas diarias, la estructura y el comportamiento administrativo interno, las implicaciones que tiene en el aparato administrativo, y lo que pasa con las unidades políticas organizadas cuando éstas se convierten en parte de una unidad mayor. Los autores tienen el objetivo de analizar por qué se da lo observado, es decir, cómo pueden explicarse los cambios de la administración y las diferencias entre los países.La hipótesis de los autores es que existe un cambio en la administración interna de los países que se acercan a la Unión Europea, y que dicho cambio es distinto en cada Estado. Luego, plantea ciertas hipótesis para explicar por qué el cambio en las administraciones internas es distinto. Así, establece que existen factores que explican esa diferencia, planteando como principal causa de las diferencias el hecho de que se trata de distintas formas de integración, debido a que existen algunos que se unen a ella y otros que solamente firman un acuerdo económico. Al haber diferencias también entre los países que cuentan con la misma modalidad de integración, plantea posibles explicaciones para las diferencias que existen, por lo que esboza otra hipótesis que intenta explicar el cambio por factores internos de cada país como el tamaño de la administración, la anticipación a los cambios que conllevará la europeización, las características y tradiciones de la administración interna y la experiencia previa del país en su trato con la comunidad internacional.1.2. Diseño metodológico En cuanto a la estrategia metodológica utilizada por los autores, se trata de un estudio cuantitativo. El estudio se vale de encuestas para confirmar sus hipótesis, siguiendo un razonamiento deductivo, ya que parte de la teoría y realiza una observación. Un problema que abordaremos más adelante es que el estudio pretende dos cosas: establecer que existe una relación entre los cambios detectados en la administración y la forma de vinculación con la Unión Europea y explicar el por qué de esta relación. Sin embargo, a partir de la estrategia metodológica escogida solo se puede establecer que hay cambios diferentes pero no es posible establecer el por qué de dichos cambios. Mediante la encuesta realizada es posible determinar modalidades de cambio diferente, las explicaciones que los autores plantean a posteri son explicaciones post-hoc. Es decir, interpretaciones de los resultados que no están guiadas por la puesta a prueba de una hipótesis específica sobre el cambio. Por el contrario, son explicaciones que recurren a variables que quedan fuera del diseño de investigación como ser la variable "tradiciones administrativas". El diseño que escogen los autores es el cuasi- experimental (4). Esto es así porque a la hora de hacer el estudio cuentan con dos tipos de relacionamientos con la organización (UE / EEA). Esto hace que cuenten con dos grupos conformados, lo que es una característica del diseño cuasi-experimental, en el que los objetos del estudio ya se encuentran divididos naturalmente, cada uno ha recibido un tratamiento distinto, pero el investigador no ha tenido influencia alguna sobre dicho tratamiento (Punch, 2005)En este caso, la variable independiente es la integración a la Unión Europea y la variable dependiente es el cambio en las estructuras administrativas internas.Además, utiliza como herramienta el método comparativo, lo que es natural ya que el mismo está implícito dentro del método cuasi experimental. Elige cuatro países que comparten ciertas características como la cultura, la región geográfica, aspectos del gobierno y el momento que eligen para acercarse a la Unión Europea, y los divide en dos grupos diferenciándolos según la forma de relacionarse con la Organización. Por esto, decimos que utiliza el método de la diferencia (Przeworski, Teune, 1972) que consta de comparar grupos que son muy similares en un conjunto de factores. Esto permite aventurar que aquellos pocos factores que son diferentes (entre los países) son los que explican los resultados diferentes en la variable dependiente. En este caso el factor que hace la diferencia en el cambio de la administración es la forma de integración a la Unión Europea.1.3. La encuestaLa técnica utilizada por los investigadores fue la encuesta, la cual se realizó dentro de todos los departamentos ministeriales y directoriales de cada uno de los países nórdicos. Fue realizada en 1999 y 2000 en Islandia, y en 1998 en el resto de los países estudiados. Mediante un estandarizado y sistemático cuestionario, con respuestas establecidas para las cuales se daba alternativas, se le preguntaba a cada uno de los departamentos acerca de sus propias experiencias en su unión a la Unión Europea o al European Economic Agreement. Los formularios de encuesta los respondía la cabeza del departamento, una persona de posición superior, un coordinador de la UE/EEA, u otra persona perteneciente al departamento que tuviera el conocimiento necesario sobre el trabajo de dicha organización internacional. El formulario está compuesto de trece preguntas cuyas respuestas están presentadas en forma porcentual.Pasaremos a detallar cuáles fueron las preguntas realizadas en dicha encuesta, con el objetivo de entender la técnica utilizada y su adecuación con respecto al estudio. En la primera parte se pregunta:Por los efectos de los pilares de la Unión Europea y la EEA sobre los departamentos encuestados (mercado interno, política exterior y seguridad, y cooperación judicial y policial).Cómo afecta la adhesión a la UE y al EEA dentro de cada departamento.Con cuáles entidades habían tenido contacto cada uno de los departamentos una vez al mes durante el año anterior a la encuesta.Qué cantidad de personal había participado en determinadas entidades de la UE, por lo menos una vez al mes, durante el año anterior.Con qué frecuencia los ejecutivos del departamento habían tenido contacto con el gabinete o los líderes políticos de los ministerios en relación a los temas de la UE/EEA durante el año anterior.En la segunda parte del cuestionario se le daba al encuestado ciertas afirmaciones sobre el trabajo realizado por la organización, para conocer el porcentaje que estaba de acuerdo con dichas afirmaciones y el porcentaje que no lo estaba. Las afirmaciones estaban dirigidas a establecer:si las fechas límite establecidas hacían difícil el poder presentar casos a los líderes políticos,si el liderazgo político se había involucrado directamente en el trabajo del departamento a partir de la adhesión a la EU/EEA,si los políticos interfieren más en los trabajos relacionados a UE/EEA que en otros trabajos en el mismo departamento,si el personal tiene una mayor influencia que los políticos en los temas vinculados a la UE/EEA que en otros casos.En la tercera parte del cuestionario, se preguntaba:Si los distintos departamentos habían tenido que incrementar el número de personal con el fin de poder manejar los casos relacionados tanto a la UE, como a la EEA, durante los últimos cuatro años.Si habían tenido que tener personal calificado para manejar los casos relacionados a la Organización.El porcentaje del personal del departamento que había tenido contacto con otros departamentos, autoridades locales o representativos nacionales en casos de trabajar con la UE al menos una vez al mes durante el año anterior.Hasta qué punto el trabajo de la UE /EEA ha influenciado la coordinación de los departamentos con las autoridades en otros sectores, y también dentro de cada departamento en el último año.La cuarta parte del cuestionario investigaba la influencia de diferentes factores al momento de la ejecución del trabajo relacionado con la UE/EEA. Estos factores son:evaluaciones políticas de los gobiernos y/o ministerios,expertos y/o evaluaciones profesionales,puntos de vista de los accionistas y los grupos de interés,y los costos y beneficios a nivel de productividad.En la quinta parte, los investigadores preguntaron, si al personal de los departamentos se le presta una especie de guía al momento de asistir a un foro relacionado con la Unión Europea. En la sexta y última sección del formulario, se preguntó si los diferentes cuerpos internos han aceptado las visiones y aspiraciones de la sección sobre los temas orientados a la UE y la EEA. Como puede observarse, el formulario intenta capturar el impacto general y específico de la vinculación con la Unión Europea, la creación de recursos humanos preparados para esta interacción y la dinámica de relacionamiento entre burócratas y políticos con relación a temas relacionados con la Unión Europea.1.4. ResultadosAlgunos de los resultados que obtuvieron fueron el percibir que las administraciones centrales no están cerradas a la influencia europea, que la forma en la que se produce el cambio no sigue un modelo común a todos los países y que las bases de la administración no han sido modificadas por la integración a la Unión Europea, a la vez que las actividades y las redes si han sufrido cambios. Además, rectificaron su idea de que el acercamiento a la organización no es lo único que determina el cambio, a pesar de que la presión ejercida por la Unión Europea en algunas materias es mayor cuando se trata de sus países miembros. El cambio también depende del contexto administrativo y las características estructurales de la administración. Otro resultado de la investigación es que los cambios entre los países son sumamente diferentes; tanto entre aquellos que cuentan con la misma modalidad de integración como entre los que no lo hacen, ya que la membresía no determina cómo ni con qué profundidad se realizan los cambios.Una vez mencionado el problema de investigación, el método empleado para atenderlo y los resultados del estudio, debemos exponer las conclusiones a las que arribaron. Una de ellas es que:"the Europeization process has significant consequences on the central administrations' modus operandi in the Nordic countries. Adaptation and change are more typical than persistence and stability", página 26.La europeización tiene efectos en las administraciones ya que tienden a hacerlas cambiar. Además, confirman que el impacto de la Unión Europea en los distintos países se da de maneras diferentes en cada uno de ellos a la vez que varía también en relación al área de la que se trate, dándose cuenta de que cuanto más fuerte sea el vínculo con la organización, más profundo será el impacto. Sobre esto los autores afirman: "The impact of the UE varies from country to country. This is generally greater on member states than non-member states", página 26.A su vez, corroboran la hipótesis relacionada a la influencia de los factores internos como la tradición en la administración, ya que se percatan de que la misma restringe el cambio: "The adaptation is restricted by the institutional context of national administrative traditions", página 26.2. Crítica metodológica2.1 La estrategia metodológicaPara atender al problema de investigación planteado, que se basaba en estudiar el cambio producido en la estructura administrativa interna de los países nórdicos en relación a su integración a la Unión Europea, los investigadores contaron con una estrategia metodológica determinada, que pasaremos a explicar, comentar y criticar a continuación.En este trabajo, los investigadores utilizan la encuesta, que es un elemento propio del método cuantitativo, para poder medir los efectos de la Unión Europea en los distintos países en cuestión. Los autores parten de un conjunto de hipótesis, y luego pasan a llevar a cabo una encuesta para confirmarlas, modificarlas o refutarlas. Dicho procedimiento es lógico debido a que para el método cuantitativo se utiliza el razonamiento deductivo, que parte de una teoría y luego prosigue a la observación. Esto resulta sumamente importante, ya que en el método cuantitativo la teoría es relevante porque no puede realizarse la investigación sin ella, porque es lo que permite definir los conceptos que se emplearán y brinda los lineamientos sobre los fenómenos que es importante cuantificar, y esto debe establecerse con anterioridad a la observación. Debido a la necesidad de encontrar la relación entre el proceso de integración y el cambio en las estructuras administrativas, creemos el método empleado es adecuado. Mediante la encuesta los investigadores pueden establecer concierta precisión la existencia y características de dicha relación. Sin embargo, una crítica que puede hacerse a este proceso es que los autores no especifican cuales fueron las herramientas utilizadas para llegar a las conclusiones pertinentes referentes a las causas de las relaciones encontradas. Vale aclarar que mencionan diversos factores que las explican, como la intensidad de la relación con la organización, la importancia de las estructuras internas y la actuación previa del país en el contexto mundial, pero no desarrolla exactamente la manera en la que llegó a confirmar la hipótesis de que dichos factores tienen influencia en el cambio que se realizó en la administración interna. Como ya señalamos, el estudio permite establecer relaciones entre membresía y cambios administrativos pero las hipótesis explicativas de los cambios son hipótesis ad hoc en la cual se emplean factores que no fueron contemplados al momento de establecer las hipótesis del estudio. Las preguntas de la encuesta atienden más que nada a conocer los cambios que se dieron en la administración: si se contrató más personal para manejar las relaciones con la organización, la participación de los empleados de los ministerios en las entidades de la UE y la frecuencia de su contacto con representantes de la misma, entre otras. Mediante la encuesta, entonces, concluyen que sí ha habido cambios, pero no podemos decir que es con ella que intentan atender a las razones de los mismos, por lo que esta cuestión constituye una debilidad del estudio.Por otro lado, cuando se trata de la utilización del diseño cuasi-experimental para llevar a cabo el estudio, consideramos que esta estrategia es sumamente adecuada ya que se aprovechan del hecho de que existen dos grupos establecidos por sí solos. Entre los países nórdicos hay dos que son miembros y otros dos que no lo son. De esta manera, los investigadores pudieron observar los cambios que se dan en la administración de cada uno de los países, ligando fuertemente la profundidad de éstos a los factores que tienen en común los países de un grupo y de diferente con el otro. En el propio artículo los autores dicen haberse dado cuenta de que la existencia de dos países miembros y dos no miembros les presenta una oportunidad única de atenerse a un diseño cuasi-experimental, ya que les permitiría ver variaciones en muchas variables independientes a la vez. Dichas variables independientes, que son los factores que tienen en común los integrantes dentro de los grupos, permiten que los autores vean los patrones respuesta al cambio de los países, que varían considerablemente dependiendo del grupo. Por último, el método comparativo también está presente en esta investigación, estando fuertemente ligado al diseño cuasi-experimental por el que existen dos grupos a los que se le ha aplicado tratamientos distintos, aunque estos ya estén determinados previamente y no los decidan los investigadores. De esta manera, los autores utilizan estos dos grupos para efectuar una comparación mediante el método de la diferencia (Przeworski, Teune, 1972) ya que son países que tienen características comunes entre sí, pero se hallan resultados distintos que son los que se quiere explicar, por lo que deben buscar uno o más factores que hacen la diferencia. Su hipótesis es que la misma yace en la integración a la Unión Europea. Por lo tanto, la elección del método comparativo es sumamente apropiada para este tema, ya que, combinándola con el diseño cuasi-experimental, contribuyen a agregar factores relevantes a la hora de explicar la diferencia en los cambios.2.2 Las técnicas En lo referente a si esta técnica es apropiada o no para el estudio, podemos decir que está destinada a afirmar o desestimar la hipótesis sobre el cambio producido en los países debido a la europeización, pero no provee una conclusión fundada sobre la relevancia de los factores que utilizan para justificar las diferencias ya que deja afuera algunos de ellos, como las tradiciones de la administración y la cooperación previa de los países en la comunidad internacional. Es decir, el factor "tradición administrativa" aparece como una explicación ad hoc pero no está contemplado en el diseño mismo del estudio. Por otro lado, podemos decir que esta técnica aplicada es acorde al problema de investigación en el sentido que al ser sistemática y estandarizada, hace que sea más simple la reproducción de los datos; sin embargo, no significa que todo el proceso de investigación sea reproducible (como ya se señaló previamente).2.3 La muestraLa población de la investigación está basada en las administraciones de los cuatro países nórdicos estudiados. Mientras tanto, el universo, es la cantidad de departamentos administrativos con los que cuenta cada uno de ellos. Dentro de los cuales se analizaron 331 en Noruega, 90 en Islandia, 381 en Suecia, y 285 en Finlandia. El 25% de los departamentos son unidades ministeriales, mientras que el restante 75% son unidades directorales. Creemos que la muestra fue acertada en el sentido de que se intentó llevar a cabo lo dispuesto desde un principio, estudiar cómo se ven afectados los distintos departamentos, por la adhesión a la Unión Europea. Igualmente, debemos establecer, que lo que no es correcto, es no mencionar como se eligieron los departamentos a encuestar.3. ConclusiónEl propósito del paper era estudiar la transformación en la administración de los países nórdicos, siendo su problema de investigación, justamente, el efecto que tiene la europeización en dicho cambio. Como pudimos ver por medio de las conclusiones a las que arribaron los autores, sería acertado afirmar que, efectivamente, el acercamiento de estos países a la Unión Europea – ya sea convirtiéndose en miembros o adhiriéndose al EEA – , fue decisivo a la hora de reformar las administraciones internas, porque las mismas se vieron obligadas a hacer frente a los nuevos retos que se le presentaban por vincularse con la Organización. Sin embargo, también es posible asegurar que ésta no es la única variable que influyó, ya que también vimos que las tradiciones de cada administración limitaban el cambio y de alguna manera lo condicionaban. La variable "tradición administrativa" aparece como un factor explicativo a posteriori sin estar debidamente incluido en el razonamiento del diseño de investigación.(1) Disponible en: http://www.ub.uib.no/elpub/rokkan/N/N17-02.pdf(2) El European Economic Agreement (EEA) está vinculado al primer pilar de la Unión Europea sobre cooperación, y facilita un mercado interno entre los firmantes del acuerdo y los miembros de la Organización, permitiendo el libre movimiento de capital, personas y servicios.(3) Según establecen los autores en su estudio:"This paper addresses a general research question (…) namely the impact of «Europe» on domestic administrative structures and behavior. (…).The main questions are to what extent can we observe domestic administrative change and new administrative behavior and practices under the impact of the EU, and how can we explain the observed adaptation pattern" página 7.(4) "In the quasi-experiment comparisons are possible because of naturally occurring treatment groups. The naturally occurring treatment groups are fairly clear-cut, though not set up for research purposes. Therefore the experimental treatment is not controlled by the researcher, but the researcher has some control over when to measure outcome variables in relation to exposure to the independent variable." (Punch, 2005, 71). *Estudiantes de la Licenciatura en Estudios InternacionalesDepto de Estudios InternacionalesFACS – Universidad ORT UruguayREFERENCIAS BIBLIOGRÁFICASBLALOCK, Hubert M. 1989. Introducción a la investigación social. Buenos Aires, Amorrortu.GONZALEZ, Pedro. 2005. Medir en las ciencias sociales. En: García Ferrando, Manuel et. al. El análisis de la realidad social. 3era edición. Madrid: Alianza. KING, G.; KEOHANE, R.; VERBA, S. 1994. Designing social inquiry. New Jersey: Princeton University Press. LAGREID, Peter; SMARI STEINTHORSON, Runolfur; THORHALLSSON, Baldur.Europeanization of Public Administration: Effects of the EU on the Central administration in the Nordic States. 2002. Bergen Univeristy Research Foundation. PRZEWORSKI, Adam; TEUNE, Henry. 1972. The logic of comparative social inquiry. New York: Wiley & Sons.PUNCH, Keith. 2005. Introduction to social research. Quantitative and qualitative approaches. London, Sage. SARTORI, G.; MORLINO, L. (compiladores) 1994. La comparación en las ciencias sociales. Madrid: Alianza.
INTRODUCCIÓNLa instalación de la globalización, luego de la caída de la bipolaridad, ha cambiado dramáticamente la configuración del mundo. Ya instalado el siglo XXI los Estados nacionales, otrora actores de privilegio en las relaciones internacionales, se ven enfrentados con otros actores, legales o ilegales, que en ciertos casos son tan o más poderosos que los propios Estados. Así, éstos ven debilitarse sus capacidades de acción política en un escenario donde los peligros globales se van mezclando con los problemas locales de pobreza y exclusión, cuestionando a la seguridad nacional e internacional, ambas – globalidad y localidad – como dos caras de la misma moneda.Esa dinámica internacional de articulación de lo global y lo local ha ido generando un nuevo escenario, desarmando y reconstruyendo viejos alineamientos políticos, promoviendo nuevas realidades regionales y nuevas afinidades. En ese marco se entiende que las operaciones internacionales de intervención involucran aspectos económicos, sociales, militares y humanitarios y, en última instancia, se articulan – tal vez conflictivamente – con el concepto tradicional de soberanía de los Estados. Por ello, en este artículo nos preguntamos como es que ocurre esa articulación.Este trabajo pretende analizar la relación de la comunidad internacional y sus intervenciones en función de la soberanía de los Estados, todo ello en un escenario de globalización. En este marco global entendemos que los conflictos – tanto latentes como manifiestos – pueden terminar impactando de una manera u otra en la seguridad regional y en la seguridad internacional. No obstante ello, de por sí las intervenciones no son caminos exentos de dificultades, en función de la eventual tensión entre soberanía e intervención.Sobre esa tensión existen muchos puntos de vista remarcables. Así, Deng, Kimaro, Lyon, Rotchild, y Zartman (1996) hacen notar la responsabilidad que conlleva la soberanía estatal en términos de brindar bienestar a los ciudadanos. Esa responsabilidad, concluyen, tiene dos facetas. Una frente a sus propios ciudadanos y otra frente a la comunidad internacional. (Cap. 1) En "The Responsibility to Protect: Report" (2001) también se nos menciona la dualidad de tal responsabilidad, hablándonos de responsabilidad "residual" de la comunidad internacional frente a crisis humanitarias. Por otra parte, también se reconoce que una intervención no deja de ser una suspensión "de facto" de la soberanía bajo el criterio de que paz y estabilidad no pueden ser gestionadas si no se tiene autoridad sobre el territorio. También en sentido de responsabilidad de la comunidad internacional, Lyon y Mastanduno (1995) nos hablan de la generación de la "interdependencia moral," que se relaciona con el sentimiento que un Estado tiene con respecto a las prácticas de otro sobre su población. (pp. 5, 252 – 265) Es que la soberanía westfaliana terminó diseñando al Estado moderno y territorial, pero hoy existe una configuración diferente en función del deterioro de las capacidades de los Estados, la transformación del sistema internacional en función de la globalización y los cambios tecnológicos, así como también las peculiaridades generadas por las presiones de los nacionalismos. Desde esta perspectiva primeramente ubicaremos el escenario que resulta de la globalización, con sus atributos y consecuencias relacionados con los Estados y sus instituciones vinculadas al ejercicio efectivo de la soberanía. En tal sentido, se parte de una idea del marco global de interacción que nos brinda Ulrich Beck (2003), quién plantea que la globalización es irreversible, inexcluyente y se apoya en la conceptualización de la incertidumbre imperante, relacionada con el riesgo y la inseguridad globales. Así, se resaltan los impactos e interrelaciones, tanto entre Estados, entre Estados y organizaciones multilaterales y de la sociedad civil y entre Estados, organizaciones multilaterales y organizaciones delictivas transnacionales. (p. 42) Bajo esta globalización desordenada, el poder de conducción de los Estados va perdiendo preponderancia y deteriorándose en su rol político clásico. Este autor nos dice que pensar los problemas del mundo desde una concepción de soberanía tradicional clásica, es perder capacidad de acción política, porque los conflictos configuran nuevos retos para la política y las instituciones en general, más allá de fronteras.Luego se pretenderá presentar aquí el eventual debate entre soberanía y legitimidad de las operaciones internacionales en tanto intervenciones, vinculándose así el interés nacional de cada Estado y el interés común internacional en relación con el derecho al desarrollo y a la seguridad que tiene la humanidad. Entonces, soberanía como responsabilidad se vincularía con el bienestar de los ciudadanos dentro de un Estado y con la correspondiente responsabilidad gubernamental, frente a sus ciudadanos y frente a la propia comunidad internacional.En ese marco podríamos decir que las operaciones internacionales de intervención desafían el concepto de soberanía de los Estados y se vincularían con la necesidad de actuar frente a una amenaza, latente o manifiesta, de que ocurran pérdidas humanas, así como también situaciones de migraciones y violaciones a los derechos humanos, todo lo cual pone sobre la mesa visiones en pro y en contra de este tipo de intervención.Luego se incursiona en las diferentes categorizaciones y puntos de vista sobre los Estados débiles y fallidos. Así, se verán puntos de vista teóricos y analíticos al respecto de una eventual categorización de Estados fallidos como tales.Si bien aquí no estamos diciendo que sea necesaria la generación de una "Nueva Westfalia" fundacional, lo que aquí sí se pretende es poner sobre la mesa la necesidad de pensar en la generación de nuevos contenidos institucionales para enfrentar nuevos desafíos, evitando así que las viejas instituciones se transformen en aquellas "instituciones concha" que nos define Anthony Giddens (2000, p. 31).Es que, en este escenario incierto, se hace necesario concebir instituciones configuradas de otro modo, tendientes a la idoneidad y credibilidad de las respuestas a las demandas y que no sean meras instituciones vacías de contenido en términos de eficiencia.GLOBALIZACIÓN Y ESTADO NACIÓNHasta el siglo XX el universo estuvo determinado fuertemente por la certidumbre y la fuerza de la razón. Pensado desde las relaciones internacionales y de la guerra, Sigmund Freud (Einstein y Freud, 2001) visualiza la humanidad como una comunidad de personas sometidas a "la dictadura de la razón" (p.90).Pero el mundo actual, en tanto globalizado y firmemente basado en los avances de las ciencias y las tecnologías de la información, ha configurado un sistema de interrelaciones entre actores – estatales o no – con una dinámica propia que permea lo tecnológico y se esparce en todas las actividades humanas, dinámica ésta que genera incertidumbres cotidianas. La globalización se relaciona con el debilitamiento y, eventualmente, la caída de barreras para todo lo que se relaciona con la vida diaria, el control sobre la economía, la información, los riesgos ecológicos y los conflictos en general, mostrando la desfiguración del concepto de distancia. Al respecto, Ulrich Beck (1998a) nos dice que globalización significa ". los procesos en virtud de los cuales los estados nacionales soberanos se entremezclan e imbrican mediante actores transnacionales y sus respectivas probabilidades de poder, orientaciones, identidades y entramados varios" (p.29). En el mismo marco y citado por Beck (1998a), Wallerstein nos dice que transnacional estaría significando " … el surgimiento de formas de vida y acción cuya lógica interna se explica a partir de la capacidad inventiva con la que los hombres crean y mantienen mundos de vida social y relaciones de intercambio 'sin mediar distancias'. (.) que se infiltran, lo que repugna al control estatal – nacional y a su exigencia de orden" (p.57).Entonces esta globalización nos mostraría, por un lado, una eventual erosión en la acción política del Estado Nacional y por otro lado, el accionar de múltiples organizaciones transnacionales, actores, grupos e individuos, más allá de los sistemas políticos, todo esto sin un árbitro internacional claro que pueda evitar la generación de eventuales conflictos.Hoy los Estados Nacionales deben interactuar con diferentes actores nacionales, multilaterales y transnacionales, en virtud de lo cual su poder de conducción se va desfigurando frente a la multiplicidad de espacios y vínculos más allá de lo nacional. El Estado, "atado" a un territorio y estructurado como unidad de asociación política y de organización, va perdiendo preponderancia frente a una globalización de funcionamiento desorganizado y contingente, donde la pobreza, el terrorismo y los problemas ecológicos, configuran nuevos retos para la política, la ciencia y el funcionamiento institucional en general. Como dice Beck (2000) "pensar [hoy los problemas globales] en clave de Estado nacional hace perder toda capacidad de acción política" (p. 104). Desde su punto de vista y citando a David Held, Beck (1998a) propone la necesidad de un equilibrio de poder pluridimensional entre naciones, organizaciones y hombres, donde los grupos organizados se puedan manifestar autónomamente en relación con determinados derechos y deberes, y visualizándose a los Estados nacionales como cediendo parte de poder y soberanía a instituciones y organizaciones multilaterales. (p. 136).En tal sentido, debemos considerar aquí que la soberanía nacional y la articulación de un Estado en organizaciones multilaterales no tienen por que ser dimensiones excluyentes entre sí. En un marco de interdependencia y cooperación, la eventual disminución de autonomía nacional frente a la institucionalidad multilateral aumenta los niveles de soberanía compartida (Rojas Aravena, 1999, pp. 16 – 17). También Carlos Gutiérrez (2001) al respecto nos dice: "Las diversas tendencias a la globalización (…) nos confrontan con problemas que ya no pueden solucionarse dentro del marco del estado nacional. El vaciamiento de la soberanía del estado nacional seguirá ahondándose y, por tanto, resulta imprescindible proseguir con la ampliación de las facultades de su acción política a nivel supranacional." (p. 12).LOS CONFLICTOS EN EL ESCENARIO GLOBALComo se mencionó, en el actual escenario internacional el desplazamiento de poder desde los Estados hacia actores que están fuera del control político y que muchas veces ni siquiera muestran un interlocutor válido, si es que lo poseen, es un atributo del mundo globalizado. En este marco los conflictos entre Estados no son improbables ni impensables, puesto que éstos siguen siendo los principales protagonistas de las relaciones internacionales.Pero los procesos sociales y políticos, las nuevas amenazas y el accionar delictivo de ciertos actores, también puede constituir un elemento que origine conflictos en las sociedades, sea dentro de los Estados y/o más allá de ellos. No obstante, desde esta perspectiva pensamos que los futuros conflictos se relacionarán especialmente con el accionar de los propios gobiernos, su legitimidad frente a la ciudadanía y las actitudes que esa ciudadanía toma frente a los problemas que los involucra cotidianamente. Es que a fines del siglo XX se pudo percibir un eventual retraimiento del Estado de la vida cotidiana, sea por acción, omisión o por deslegitimación del accionar político ante la sociedad civil. Cabe recordar aquí lo que nos dice Beck (2003), "Sin Estado y sin servicios públicos, no hay seguridad, sin impuestos, no hay Estado. Sin impuestos, no hay educación ni sanidad asequible ni seguridad social, sin impuestos no hay democracia, sin opinión pública, sin democracia y sin sociedad civil, no hay legitimidad, y sin legitimidad, otra vez, no hay seguridad." (p. 42) También Beck se pregunta si "¿no será precisamente la falta de Estado, la inexistencia de estructuras estatales que funcionen, el humus de las actividades terroristas?" (p. 31) En el mismo sentido, Juan Battaleme (2002) nos dice que: "Una nación con debilidades institucionales importantes, va a ver estas debilidades reforzadas por la acción de la globalización que opera desnudando las falencias de los mismos en su ejercicio del control y autoridad (tanto doméstica como internacional), y por la erosión que actores nocivos le hacen." (s.p.) En definitiva, entonces, los conflictos están hoy más referidos a la estabilidad democrática de las propias instituciones nacionales de cada uno de los Estados, a la eventualidad del accionar de grupos terroristas o guerrilleros y a las necesidades insatisfechas de las comunidades. En ese escenario, el rol de la comunidad internacional va adquiriendo preponderancia.LA TENSIÓN ENTRE SOBERANÍA E INTERVENCIÓNConceptualizando la SoberaníaDesde Westfalia la soberanía era – y de hecho aún lo es – el recurso más importante de los Estado en un mundo donde reina la asimetría de poder y los peligros que implican la defensa de estilos de vida y recursos naturales. Bajo ese criterio, debemos coincidir en que cualquier operación internacional de intervención debería hacerse con el consentimiento del Estado que tiene soberanía en ese territorio. (Bellamy Williams y Griffin, 2004, p. 11; Lyon y Mastanduno, 1995, pp. 1 – 5) Tal ha sido el espíritu de la resolución 46/182 de la Asamblea General de la ONU cuando nos dice que " … la soberanía, la integridad territorial y la unidad nacional de los Estado deben ser respetadas …" y que, partiéndose que cualquier Estado tiene el control efectivo de su territorio, cualquier asistencia humanitaria debe contar, en principio, con el consentimiento y petición previa del país afectado. No obstante debemos notar que la expresión "en principio"contenida en la resolución podría estar subordinando, en cierta forma, la soberanía a la tragedia humanitaria. Sobre este tema, Boutros-Ghali reconocía que la soberanía e integridad de los Estados "es crucial para el progreso internacional." No obstante, mencionaba que"el tiempo de la absoluta y exclusiva soberanía (…) ha pasado.", enfatizando que es necesario "encontrar un balance entre la necesidad de una buen gobierno interno y los requerimientos de un mundo más interdependiente." Asimismo, definía las operaciones de paz como "un despliegue de la presencia de ONU en el campo, hasta ahora con el consentimiento de todas las partes involucradas". El problema aquí puede surgir con la expresión 'hasta ahora', 'hasta la fecha' o eventualmente 'hasta aquí' (hitherto en inglés), lo que puede resultar controversial. (Bellamy Williams y Griffin, 2004, p. 12; Lyon y Mastanduno, 1995, p. 2).Desde esa perspectiva, la soberanía estatal no estaría implicando necesariamente un poder ilimitado e irrestricto sobre la población de un Estado, Estado éste que – de hecho –debe proteger los derechos de los ciudadanos, brindándoles aquellos bienes básicos que hacen a la vida, la dignidad y los derechos humanos en general, para poder así enfrentar los problemas de salud, hambre, crimen, conflictos tanto políticos como sociales y riesgos como consecuencia de deterioro ambiental. Pero, frente a las necesidades de protección de los derechos humanos de una población, puede ocurrir que tal vez no exista voluntad y/o capacidad por parte del gobierno soberano para cumplir con tales funciones. Entonces frente a esa situación existiría una suerte de responsabilidad "residual" a través de la cual la comunidad internacional debería actuar moral e interrelacionadamente, donde no cabría la posibilidad de no responder frente a la pérdida de vidas y sufrimiento humano. Esa dualidad en tanto responsabilidad frente a la comunidad internacional y frente a los ciudadanos, se vincularía con el respeto de la soberanía de los Estados, por un lado, y el respeto de la dignidad y los derechos humanos básicos de la población dentro de los Estados, por otro. (Deng, et. al. 1996, Cap 1; Lyon y Mastanduno, 1995, p. 252)La contrapartida de esa responsabilidad de los Estados frente a la comunidad internacional se transforma en responsabilidad de proteger e incluso de reconstruir, puesto que la reconstrucción, en sí misma, no deja de ser de ser una medida preventiva de futuros conflictos o desestabilizaciones. En definitiva, existirían dificultades para articular el concepto tradicional de soberanía – referido más hacia la guerra entre Estados – con las actuales situaciones de violencia intra estatal y tragedias humanitarias. Por tanto las operaciones internacionales de intervención seguramente seguirán desafiando al sistema internacional y las interacciones estatales. Si el mundo ha cambiado, tal vez habría que redefinir instituciones e instrumentos que se adecuen mejor a la realidad de hoy.Las intervenciones y su articulación multilateralEntendemos aquí que una de las características de las operaciones internacionales de intervención es el cruce físico de fronteras de un Estado en nombre de la comunidad internacional y con un propósito definido. Esas intervenciones se pueden relacionar con preocupaciones sobre violaciones a valores y principios relevantes, puesto que las eventuales pérdidas de vidas humanas, limpiezas étnicas y demás condiciones de sufrimiento humano, impactan en la seguridad regional e internacional. Pero dichas intervenciones no serían un fin en si mismas sino que tendrían como propósito la transformación de sociedades inestables y violentas en sociedades liberales y demócratas. (Lyon y Mastanduno, 1995, pp. 12 – 14; Bellamy Williams y Griffin, 2004, p. 165; Weiss, 2004, p. 138)En cierta forma este tipo de operaciones internacionales de intervención suspenden la soberanía de un Estado ya que, como nos dicen Rabimov (2005, s.p.) y Rotberg (2003, p. 3), no es posible intervenir o accionar en procura de estabilidad y/o restauración si no existe autoridad sobre el territorio, así como tampoco es posible solucionar el conflicto en un Estado débil e inestable, sin un nivel mínimo de seguridad.De hecho, si bien el mantenimiento del principio de no intervención está vigente en función de la soberanía de los Estados, hoy el imperativo humanitario está pesando cada vez más, especialmente cuando se entiende que existe responsabilidad de la comunidad internacional. Y esta responsabilidad es responsabilidad cuando se interviene frente a calamidades humanitarias, como también es responsabilidad cuando no se interviene frente a la constatación ese tipo de escenarios, lo cual también puede ocurrir en ciertas ocasiones.En otro orden, las operaciones internacionales de intervención han provocado y provocan sentimientos encontrados ya que, en algunas situaciones, las mismas pueden ser percibidas como excusas para el logro de otros intereses ajenos la solución de crisis humanitarias. En ese marco McChrystal, citado por Frye (2000), evalúa las intervenciones internacionales bajo cinco criterios: legitimidad, cuando la intervención es aceptada a los ojos de la comunidad internacional; legalidad, ya que sin base legal las intervenciones son meras invasiones; moralidad, que debe ser genuina y humanitaria; credibilidad, porque hay que cumplir lo que se pregona; y capacidad, dada la gran cantidad de recursos que demandan las intervenciones. (pp. 54 – 71)Desde nuestra óptica hacemos hincapié en la importancia de la multilateralidad en el cumplimiento de operaciones internacionales de intervención. Si bien Hans Binnendikj y Stuart E. Jonson (2004), "… la multilateralidad, si bien contribuye a legitimar "… no garantiza el éxito" (p. xvii), siguiendo a Lyon y Mastanduno (1995, p. 12), se considera aquí que la multilateralidad es la clave ya que una intervención multilateral es más "legitimable". Siendo que "multilateral" es un adjetivo que califica un funcionamiento institucional, la multilateralidad está brindada por los participantes y el accionar es el resultado del liderazgo institucional en función a los principios que los unen. (John G. Ruggie1993, pp. 3 – 47) Entonces, el primer elemento que caracteriza la legitimidad de una intervención es que su definición deberá provenir de organismos multilaterales manifestando su interés en intervenir.Pero desde esta perspectiva también la legitimidad deberá provenir del análisis que haga cada Estado cuando vaya a participar en la operación internacional de intervención en sí misma y para cada caso concreto. Es ahí donde pensamos que también se manifiesta una nueva aproximación de la soberanía estatal. La multilateralidad legitima internacionalmente y cada Estado tiene la posibilidad de legitimar interna e institucionalmente, de acuerdo a su propio marco y esquema de valores. En resumen, una apreciación de situación tamizada de acuerdo a valores nacionales brindaría legitimidad interna al Estado participante, a la vez que la multilateralidad brindaría la legitimidad internacional cuando se implementan intervenciones.Pero la multilateralidad también puede ir de la mano con el regionalismo. Es que, en virtud del conocimiento de los marcos de valores y modos de conducción y liderazgo, para la implementación de operaciones internacionales sería importante tener especialmente en cuenta la participación de aquellos Estados de la región en la que el escenario conflictivo está ocurriendo. El involucramiento de Estados de la región en los eventuales conflictos, aunque siempre manteniendo un adecuado balance entre las razones del conflicto propiamente dicho y las agendas de los propios Estados participantes, configurará un accionar más eficaz en procura de objetivos compartidos por la comunidad internacional.En tal sentido Lyon y Mastanduno (1995) también nos dicen que existe una gran dificultad en determinar la legitimidad o no de la comunidad internacional como tal, en función de las diferencias entre los marcos de valores e intereses que existe entre países desarrollados y otras regiones del globo. (pp. 250 – 265) Tal vez la pregunta más importante sea "¿quién determina que un Estado no está cumpliendo con sus obligaciones y (por tanto) se justifican intervenciones?" (p. 8).(1) The Responsibility to Protect: Report (2001), "The Policy Challenge" (pp. 1 – 9).(2) Ampliando la idea, Anthony Giddens define el concepto de "instituciones concha", a aquellas instituciones " . que se han vuelto inadecuadas para las tareas que están llamadas a cumplir". También en ese sentido Ulrich Beck, (2000) nos menciona: "el inmovilismo de las instituciones está en contradicción con una sociedad cuya vida cambia" (p. 24).(3) http://daccess-dds-ny.un.org/doc/RESOLUTION/GEN/NR0/589/36/IMG/NR058936.pdf?OpenElement (Recuperado el 2/8/2010).(4) The Challenges Project, Challenges of Peace Operations: Into the 21st Century – Concluding Report 1997 – 2002. (2002), "The Changing Concept of Security" (p. 41).(5) The Responsibility to Protect: Report (2001). "The Policy Challenge". (pp. 1 – 9) "The Responsibility to React" (pp. 29 – 35) "The Responsibility to Rebuild" (pp. 39 – 45); The Responsibility to Protect: Research, Bibliography, Background. (2001) "Rights and Responsibilities" (pp. 129 – 153). *Licenciado en Ciencia Política, Universidad de la República de Uruguay. Se ha desempeñado como asesor del área política en el Centro de Altos Estudios Nacionales y en la Escuela de Comando y Estado Mayor Aéreo de la Fuerza Aérea Uruguaya. Fue el Secretario General del Centro de Estudios Estratégicos del Ejército Nacional durante el período 2002 – 2004 y Consejero de Institutos de Formación Militar del Ministerio de Defensa Nacional durante el período 2008 – 2010.BIBLIOGRAFÍA Y OTRAS FUENTESLibrosBellamy, Alex J., Paul Williams and Stuart Griffin. (2004) Understanding Peacekeeping. Malden, MA, USA: Blackwell Publishing Inc.Binnendijk, Hans and Jonson, Stuart. (2004) Transforming for stabilization and reconstruction operations. Washington D.C. USA.: National Defense University.Beck, Ulrich. (2003) Sobre el terrorismo y la guerra. Barcelona: Editorial Paidós Asterisco.Beck, Ulrich. (2000) La democracia y sus enemigos. Barcelona: Editorial Paidós.Beck, Ulrich. (1998a) ¿Qué es la globalización? Buenos Aires: Editorial Paidós.Beck, Ulrich. (1998b) La sociedad del riesgo. Barcelona: Editorial Paidós.Brown, Chris. (2002) Sovereingty, rights and justice. Malden, MA, USA: Polity Press in association with Blackwell Publisher Ltd. Cambridge – Oxford.Chomsky, Noam. (2006) Failed States: the abuse of power and the assault on democracy. New York: Metropolitan Books.Deng, Francis; Kimaro, Sadikiel; Lyons, Terrence; Rotchild, Donald and Zartman, William. (1996) Sovereignty and Responsibility. Washington D.C.: The Brookings Institution, R. R. Donnelley and Sons Co.Einstein, Albert y Freud, Sigmund. (2001) ¿Por qué la guerra? Barcelona: Editorial Minúscula.Frye, Alton. (2000) Humanitarian Intervention: Crafting a Workable Doctrine. Washington DC: Brookings.Giddens, Anthony. (2000) El mundo desbocado. Madrid: Taurus.Lyon, Gene and Michael Mastanduno, (1995) Beyond Westphalia? State Sovereignty and International intervention. Baltimore, MD, USA: The Johns Hopkins University Press.Rotberg, Robert. (2003) When States fail: Causes and Consequences.Princeton, N.J.: Princeton University Press.Ruggie, John Gerald. (1993) Multilateralism Matters: The Theory and Praxis for an Institutional Form. New York, NY: Columbia University Press.The Responsibility to Protect. (2001) International Commission on Intervention and State Sovereignty. Ottawa, Canada; International Development Research Centre.The Challenges Project, Challenges of Peace Operations: into de 21st Century. (2002) Stockholm: Elanders Gotab.Weiss, Thomas G. (2004) The Sunset of Humanitarian Intervention? The Responsibility to Proterct in a Unipolar Era, Securiy Dialoue. New York: The Graduate Center, The City University of New York. Vol. 35(2).ArtículosRotberg, Robert. (2002) Failed States in a World of Terror, Foreign Affairs, Vol . 81, Nº 4, July / August 2002. pp. 127 – 140.The Status that fail us. (2007) Foreign Policy. July – August. pp. 54 – 63.Publicaciones ElectrónicasAtwood Brian. Security and Development University of Minnesota; Minneapolis, MN US Humphrey Institute of Public Affairs. Recuperado el 27 de octubre de 2007 en http://www.un-globalsecurity.org/pdf/Atwood_paper_security_devlpmt.pdfBattaleme, Juan. Soberanía y amenazas asimétricas: volviendo a pensar el principio de no intervención en los albores del siglo XXI. Argentina Global. Nº 11. Octubre – Diciembre de 2002. Recuperado el 15 de enero de 2004 dehttp://www.geocities.com/globargentina/Batt02.htm.Brahimi Report. Recuperado el 9 de agosto de 2010 dehttp://www.un.org/spanish/peace/operations_report/Carlos Gutiérrez (2001) Concepto de seguridad: más que fronteras, un tema de supervivencia global. Recuperado el 9 de agosto de 2010 dehttp://www.cee-chile.org/publicaciones/revista/rev02/rev2-1.pdfRabimov, Stephan. Threats of Weak, Fragile, Mailing States and Mitigation Strategies. Global Political Risk Consulting, LLC. Recuperado el 27 de febrero de 2005 en www.grprisk.comRojas Aravena, Francisco (1999). América Latina y la seguridad internacional. Contribuciones y desafíos para el siglo XXI. OEA Foro El futuro de la seguridad internacional en el Hemisferio, CP/CSH-INF 2/00 Recuperado el 9 de agosto de 2010 dehttp://www.oas.org/csh/docs/Francisco%20Rojas%20Aravena.pdf
AMÉRICA LATINA La tormenta tropical "Emily" se acerca a las costas de República Dominicana y Haití.Para más información: http://edition.cnn.com/2011/WORLD/americas/08/03/tropical.storm.emily/index.html http://www.msnbc.msn.com/id/43972830/ns/weather/Guatemala condena a 6.060 años de prisión a cuatro ex militares por el asesinato de campesinos.Para más información: http://www.msnbc.msn.com/id/44005630/ns/world_news-americas/ http://www.chinadaily.com.cn/2011-08/03/content_13041314.htm http://www.latimes.com/news/nationworld/world/la-fg-guatemala-dos-erres-20110804,0,5754540.story http://edition.cnn.com/2011/WORLD/americas/08/02/guatemala.human.rights.trial/index.htmlVenezuela planea excarcelar a la mitad de los presos.Para más información: http://www.elpais.com/articulo/internacional/Venezuela/planea/excarcelar/mitad/presos/elpepuint/20110801elpepuint_10/Tes Atentado en Venezuela contra un canal de televisión deja dos heridos.Para más información: http://www.eltiempo.com/mundo/latinoamerica/atentado-a-canal-de-televisin-en-venezuela_10059944-4Chávez aparece sin cabello en la toma de posesión de sus nuevos ministros.Para más información: http://www.elpais.com/articulo/internacional/Chavez/aparece/cabello/toma/posesion/nuevos/ministros/elpepuint/20110801elpepuint_13/Tes http://thelede.blogs.nytimes.com/2011/08/01/chavez-battling-cancer-appears-with-shaved-head/?ref=world http://www.msnbc.msn.com/id/43983189/ns/world_news-venezuela/ Ecuador se debate entre la libertad de prensa y la vigilancia oficial.Para más información: http://www.eltiempo.com/mundo/latinoamerica/ecuador-libertad-de-prensa-y-rafael-correa_10072491-4La corrupción pone a Rousseff entre la espada y la pared.Para más información: http://www.elpais.com/articulo/internacional/corrupcion/pone/Rousseff/espada/pared/elpepuint/20110801elpepuint_15/TesMauricio Macri gana por amplia mayoría su segundo mandato en Buenos Aires.Para más información: http://www.elpais.com/articulo/internacional/Mauricio/Macri/gana/amplia/mayoria/segundo/mandato/Buenos/Aires/elpepuint/20110731elpepuint_7/TesSe elevan a 33 los fallecidos en Ecuador por alcohol adulterado.Para más información: http://www.eltiempo.com/mundo/latinoamerica/se-elevan-a-33-los-fallecidos-en-ecuador-por-alcohol-adulterado_10076884-4Asesinadas dos turistas francesas en la provincia argentina de Salta.Para más información: http://www.eltiempo.com/mundo/latinoamerica/dos-turistas-francesas-asesinadas-en-la-provincia-argentina-de-salta_10055864-4Cae en México el 'Diego', vinculado a unos 1.500 asesinatos.Para más información: http://edition.cnn.com/2011/WORLD/americas/07/31/mexico.drug.arrest/index.html http://www.lanacion.com.ar/1393987-detienen-a-un-lider-del-cartel-de-juarez´http://www.msnbc.msn.com/id/43957458/ns/world_news-americas/ http://www.nytimes.com/2011/08/01/world/americas/01mexico.html?ref=world http://www.eltiempo.com/mundo/latinoamerica/cae-en-mxico-alias-el-diego-vinculado-con-unos-1500-asesinatos_10063055-4Asumió Humala y estalló una polémica.Para más información: http://www.lanacion.com.ar/1393226-asumio-humala-y-estallo-una-polemica http://www.eltiempo.com/mundo/latinoamerica/suspenden-120-das-a-congresista-que-grit-contra-humala_10080127-4 Un avión se parte en dos al aterrizar en Guyana.Para más información: http://www.elpais.com/articulo/internacional/avion/parte/aterrizar/Guyana/elpepiint/20110731elpepiint_9/Tes http://www.lemonde.fr/ameriques/article/2011/08/03/guatemala-6-060-ans-de-prison-pour-les-auteurs-d-un-massacre-durant-la-guerre-civile_1555568_3222.html http://www.eltiempo.com/mundo/latinoamerica/accidente-de-avin-en-guyana_10053684-4Noriega será extraditado a Panamá.Para más información: http://edition.cnn.com/2011/WORLD/europe/08/03/france.noriega.extradition/index.html http://diario.elmercurio.com/2011/08/03/internacional/internacional/noticias/BF80C464-9DF6-4E65-8211-03DF1D26CA7B.htm?id={BF80C464-9DF6-4E65-8211-03DF1D26CA7B} http://www.chinadaily.com.cn/world/2011-08/03/content_13037678.htm Evo Morales anuncia nueva ley para eliminar el latifundio.Para más información: http://www.eltiempo.com/mundo/latinoamerica/evo-morales-anuncia-nueva-ley-para-eliminar-el-latifundio_10077725-4Accidente de avión militar en Brasil deja al menos cinco muertos.Para más información: http://www.eltiempo.com/mundo/latinoamerica/accidente-de-avin-de-la-fuerza-area-de-brasil-deja-al-menos-cinco-muertos_10077207-4María Emma Mejía promueve la cohesión social de las regiones de Unasur.Para más información: http://www.eltiempo.com/mundo/latinoamerica/mara-emma-meja-promueve-la-cohesin-social-de-las-regiones-de-unasur_10051025-4Permiso de tránsito, una solución para la violencia contra migrantes en México.Para más información: http://www.bbc.co.uk/mundo/noticias/2011/08/110802_mexico_migrantes_cidh_irm.shtmlRaúl Castro flexibilizará la política migratoria cubana.Para más información: http://www.lanacion.com.ar/1394475-raul-castro-flexibilizara-la-politica-migratoria-cubanaRaúl Castro pidió al Partido Comunista debatir más.Para más información: http://www.lanacion.com.ar/1394087-raul-castro-pidio-al-partido-comunista-debatir-masSegún estudio la pobreza crece rápidamente en México.Para más información: http://www.latimes.com/news/nationworld/world/la-fg-mexico-poverty-20110730,0,6568710.storyPolicía venezolana captura a líder de revuelta carcelaria de El Rodeo.Para más información: http://www.eltiempo.com/mundo/latinoamerica/polica-venezolana-captura-a-lder-de-revuelta-carcelaria_10076964-4ESTADOS UNIDOS / CANADÁAcuerdo en Estados Unidos para evitar la quiebra.Para más información: http://www.lemonde.fr/international/article/2011/08/03/etats-unis-les-plus-pauvres-vont-faire-les-frais-de-la-crise-de-la-dette_1555892_3210.html http://www.elpais.com/articulo/internacional/Acuerdo/Estados/Unidos/evitar/quiebra/elpepuint/20110801elpepuint_1/Tes http://www.portafolio.co/internacional/obama-anuncio-acuerdo-acabar-crisis-la-deuda http://www.elpais.com/articulo/internacional/duelo/politico/EE/UU/continua/acuerdo/deuda/elpepuint/20110801elpepuint_14/TesImpactante portada de "The New York Times" da la vuelta al mundo.Para más información: http://www.eltiempo.com/mundo/estados-unidos/portada-de-the-new-york-times-sobre-somalia_10081866-4 http://www.lanacion.com.ar/1394398-impactante-portada-del-new-york-times-con-un-nino-somaliLas agencias calificadoras castigan a Washington.Para más información: http://www.lanacion.com.ar/1394467-las-agencias-calificadoras-castigan-a-washingtonEl acuerdo no calma a Wall Street.Para más información: http://www.lanacion.com.ar/1394466-el-acuerdo-no-calma-a-wall-streetGobierno estadounidense enfrenta a hackers.Para más información: http://www.chinadaily.com.cn/world/2011-08/02/content_13033305.htmLas dudas sobre la recuperación en Estados Unidos provocan un fuerte correctivo en los mercados.Para más información: http://www.elpais.com/articulo/economia/dudas/recuperacion/EE/UU/provocan/fuerte/correctivo/mercados/elpepueco/20110801elpepueco_1/TesCerrada la batalla por la deuda de Estados Unidos, parte la guerra por la Casa Blanca en 2012.Para más información: http://diario.elmercurio.com/2011/08/03/internacional/_portada/noticias/6A0C2E79-9C32-4CF0-91C0-5C89A56B30ED.htm?id={6A0C2E79-9C32-4CF0-91C0-5C89A56B30ED}EUROPALa Unión Europea y el FMI analizan sobre el terreno los avances de Portugal para reducir el déficit.Para más información: http://www.elpais.com/articulo/economia/UE/FMI/analizan/terreno/avances/Portugal/reducir/deficit/elpepueco/20110801elpepueco_8/TesUnión Europea pide al Consejo de Seguridad de la ONU intervenir en Siria.Para más información: http://www.eltiempo.com/mundo/medio-oriente/ataques-en-siria-dejan-decenas-de-muertos_10063924-4Los guardacostas italianos hallan 25 cadáveres en una embarcación libia que llevaba a otros 271 subsaharianos.Para más información: http://www.eltiempo.com/mundo/europa/encuentran-25-inmigrantes-muertos-en-barco-que-lleg-a-italia_10064744-4 http://www.elpais.com/articulo/internacional/muerte/desembarca/Lampedusa/elpepuint/20110801elpepuint_4/Tes http://www.nytimes.com/2011/08/02/world/europe/02Italy.html?ref=world http://www.bbc.co.uk/mundo/ultimas_noticias/2011/08/110801_ultnot_italia_inmigrantes_lampedusa_en.shtmlOTAN pide más tropas en Kosovo por auge de tensión en la región.Para más información: http://www.msnbc.msn.com/id/43993640/ns/world_news-europe/ http://www.eltiempo.com/mundo/europa/otan-pide-tropas-suplementarias-en-kosovo-por-auge-de-tensin-en-la-regin_10074124-4Autor de masacre en Noruega llamó a la Policía desde la isla de Utoya.Para más información: http://www.eltiempo.com/mundo/europa/autor-de-masacre-en-noruega-llam-a-la-polica-desde-la-isla-de-utoya_10073104-4Turquía prepara el relevo generacional en su Ejército.Para más información: http://www.elpais.com/articulo/internacional/Turquia/prepara/relevo/generacional/Ejercito/elpepuint/20110801elpepuint_8/Tes Zapatero anunció el adelanto de elecciones.Para más información: http://www.lanacion.com.ar/1393609-anuncio-zapatero-el-adelanto-de-elecciones http://www.time.com/time/world/article/0,8599,2086586,00.html http://www.lemonde.fr/europe/article/2011/08/03/espagne-zapatero-convoque-une-reunion-d-urgence_1555631_3214.htmlAdelanto de elecciones deja al PP con 7 puntos de ventaja en España.Para más información: http://www.eltiempo.com/mundo/europa/adelanto-de-elecciones-deja-al-pp-con-7-puntos-de-ventaja-en-espaa_10054805-4Duelo en Ucrania por víctimas de accidente en mina.Para más información: http://edition.cnn.com/2011/WORLD/europe/07/31/ukraine.mine.explosion/index.html"The Economist" analiza el estado del euro.Para más información: http://www.economist.com/blogs/charlemagne/2011/08/bond-spreads-euro-zoneGrupo de "indignados" toma el centro de Madrid.Para más información: http://www.lanacion.com.ar/1394515-los-indignados-tomaron-otra-vez-madrid http://www.eluniversal.com.mx/notas/783453.html http://www.bbc.co.uk/mundo/ultimas_noticias/2011/08/110803_ultnot_espana_madrid_indignados_en.shtml"BBC" analiza: "España: se cierra una puerta a los rumanos, ¿se abre otra a la xenofobia?".Para más información: http://www.bbc.co.uk/mundo/noticias/2011/08/110726_rumanos_permiso_trabajo_espana_pea.shtmlChoques entre inmigrantes y policía en Italia.Para más información: http://www.bbc.co.uk/mundo/ultimas_noticias/2011/08/110801_ultnot_italia_inmigrantes_protesta_cch.shtml http://www.msnbc.msn.com/id/43987812/ns/world_news-europe/Breivik compró en eBay parte del arsenal para los atentados.Para más información: http://www.elpais.com/articulo/internacional/Breivik/compro/eBay/parte/arsenal/atentados/elpepiint/20110801elpepiint_4/TesASIA- PACÍFICO/ MEDIO ORIENTENuevos brotes de violencia causan 15 muertos en la región autónoma de Xinjiang.Para más información: http://www.nytimes.com/2011/08/02/world/asia/02china.html?ref=world http://www.lemonde.fr/asie-pacifique/article/2011/08/03/xinjiang-les-accusations-du-gouvernement-chinois-sont-peu-credibles_1555627_3216.html http://www.elpais.com/articulo/internacional/Nuevos/brotes/violencia/causan/muertos/region/autonoma/Xinjiang/elpepiint/20110801elpepiint_9/TesEl régimen sirio arremete de nuevo contra la ciudad de Hama.Para más información: http://www.nytimes.com/2011/08/02/world/middleeast/02syria.html?ref=world http://www.eltiempo.com/mundo/medio-oriente/ataque-en-hama-siria-deja-95-muertos_10058364-4 http://www.latimes.com/news/nationworld/world/la-fg-syria-hama-20110804,0,7395291.story http://www.elpais.com/articulo/internacional/regimen/sirio/arremete/nuevo/ciudad/Hama/elpepuint/20110801elpepuint_3/Tes#despiece1Fuerte presión mundial sobre Siria tras la ofensiva.Para más información: http://diario.elmercurio.com/2011/08/03/internacional/internacional/noticias/E8AA4722-09C7-4CE8-A3E0-5777A23770CD.htm?id={E8AA4722-09C7-4CE8-A3E0-5777A23770CD} http://www.lanacion.com.ar/1394474-fuerte-presion-mundial-sobre-siria-tras-la-ofensiva http://www.latimes.com/news/nationworld/world/middleeast/la-fg-syria-hama-20110801,0,1237125.storyTensión entre Japón y Corea del Sur.Para más información: http://www.nytimes.com/2011/08/02/world/asia/02korea.html?ref=worldIraní Ameneh perdonó al hombre que la dejó ciega al arrojarle ácido.Para más información: http://www.eltiempo.com/mundo/medio-oriente/iran-ameneh-perdon-al-hombre-que-la-dej-ciega-al-arrojarle-cido_10063051-4El accidente de tren mina la confianza en los líderes chinos.Para más información: http://www.elpais.com/articulo/internacional/accidente/tren/mina/confianza/lideres/chinos/elpepiint/20110801elpepiint_10/Tes http://www.nytimes.com/2011/08/01/technology/companies/roaming-fees-as-low-as-chinas-wont-be-matched-soon.html?ref=worldOla de violencia deja 35 muertos en Karachi, en el sur de Pakistán.Para más información: http://edition.cnn.com/2011/WORLD/asiapcf/08/02/pakistan.karachi.violence/index.html http://www.eltiempo.com/mundo/asia/ola-de-violencia-deja-35-muertos-en-karachi-en-el-sur-de-pakistn_10073624-4El SIDA se expande por Medio Oriente y el Norte de África.Para más información: http://www.msnbc.msn.com/id/43993976/ns/health-aids/Un sismo de 6,1 grados Richter sacude el centro de Japón sin daños.Para más información: http://www.eltiempo.com/mundo/asia/un-sismo-de-61-grados-richter-sacude-el-centro-de-japn-sin-daos_10065464-4Decenas de muertos por inundaciones en Corea del Norte.Para más información: http://www.bbc.co.uk/mundo/ultimas_noticias/2011/08/110801_ultnot_corea_del_norte_inundaciones_ao.shtmlCorea del Sur ofrece ayuda humanitaria por inundaciones a su vecina del Norte.Para más información:http://www.chinadaily.com.cn/world/2011-08/03/content_13043759.htmMiles de 'indignados' en Israel buscan reivindicaciones económicas.Para más información: http://www.eltiempo.com/mundo/medio-oriente/miles-de-indignados-en-israel-buscan-reivindicaciones-econmicas_10063049-4Disputa entre China y Filipinas por recursos marítimos.Para más información: http://www.msnbc.msn.com/id/44007632/ns/world_news-christian_science_monitor/Torre en Jeddah será la más alta del mundo.Para más información: http://www.eltiempo.com/mundo/asia/torre-en-jeddah-el-edificio-ms-alto-del-mundo_10080685-4En el mundo musulmán comienza el Ramadán.Para más información: http://thelede.blogs.nytimes.com/2011/08/01/in-middle-east-a-restive-first-day-of-ramadan/?ref=world http://edition.cnn.com/2011/WORLD/meast/08/01/ramadan/index.htmlLa revolución egipcia seis meses después.Para más información: http://www.eltiempo.com/mundo/africa/la-revolucin-egipcia-seis-meses-despus_10080186-4ÁFRICAHambruna en el Cuerno de África se está extendiendo.Para más información: http://www.eltiempo.com/mundo/africa/hambruna-en-el-cuerno-de-frica-se-est-extendiendo-dice-la-onu_10073085-4 http://edition.cnn.com/2011/WORLD/africa/08/03/un.somalia.famine/index.html http://www.lemonde.fr/afrique/article/2011/08/03/somalie-etat-de-famine-decrete-dans-trois-nouvelles-regions_1555903_3212.html http://www.time.com/time/world/article/0,8599,2086611,00.html http://www.eluniversal.com.mx/notas/783353.html http://diario.elmercurio.com/2011/08/03/internacional/_portada/noticias/206523DF-C8D2-498B-89EC-01DDF858E0B7.htm?id={206523DF-C8D2-498B-89EC-01DDF858E0B7} http://www.latimes.com/news/nationworld/world/la-fg-africa-famine-camp-20110803,0,4486407.story http://www.economist.com/node/21524864En camilla y dentro de una jaula, arrancó el juicio contra Mubarak.Para más información: http://www.lanacion.com.ar/1394577-arranco-el-juicio-contra-mubarak-que-se-presento-en-camilla http://www.bbc.co.uk/mundo/noticias/2011/08/110803_juicio_mubararak_cr.shtml http://edition.cnn.com/2011/WORLD/meast/08/03/egypt.mubarak.trial/index.html http://www.lemonde.fr/afrique/article/2011/08/03/les-fils-moubarak-autrefois-riches-et-puissants-aujourd-hui-parias_1555651_3212.html http://www.msnbc.msn.com/id/43998161/ns/world_news-mideast_n_africa/ http://www.chinadaily.com.cn/world/2011-08/03/content_13043261.htm http://www.time.com/time/world/article/0,8599,2086688,00.html http://www.latimes.com/news/nationworld/world/la-fg-egypt-mubarak-trial-20110804,0,2267345.storyLa falta de medios de Kenia aloja a refugiados somalíes en un limbo temporal.Para más información: http://www.elpais.com/articulo/internacional/falta/medios/Kenia/aloja/refugiados/somalies/limbo/temporal/elpepuint/20110801elpepuint_9/Tes El Ejército desmantela la acampada de la plaza de Tahrir el primer día de Ramadán.Para más información: http://www.nytimes.com/2011/08/02/world/middleeast/02egypt.html?ref=world http://www.elpais.com/articulo/internacional/Ejercito/desmantela/acampada/plaza/Tahrir/primer/dia/Ramadan/elpepuint/20110801elpepuint_11/Tes Continúa la guerra en Libia.Para más información: http://www.nytimes.com/2011/08/01/world/africa/01libya.html?ref=world http://atwar.blogs.nytimes.com/2011/07/26/reading-the-refuse-counting-col-qaddafis-heat-seeking-missiles-and-tracking-them-back-to-their-sources/?ref=worldUganda podría convertirse en el próximo país que afrontaría hambruna.Para más información: http://www.eltiempo.com/mundo/africa/uganda-podra-ser-el-prximo-pas-que-afrontara-hambruna_10079284-4Libios inician ayuno del mes sagrado de Ramadán en medio del conflicto.Para más información: http://www.eltiempo.com/mundo/africa/libios-inician-ayuno-del-mes-sagrado-de-ramadn-en-medio-del-conflicto_10064366-4Mueren cuatro cascos azules etíopes en Sudán.Para más información: http://www.bbc.co.uk/mundo/ultimas_noticias/2011/08/110802_ultnot_sudan_onu_cascos_azules_mina_az.shtmlMás de 12 millones de personas necesitan alimento en el Cuerno de África.Para más información: http://www.bbc.co.uk/mundo/ultimas_noticias/2011/08/110801_ultnot_cuerno_africa_hambruna_fp.shtmlRey marroquí propone nuevas elecciones parlamentarias.Para más información: http://edition.cnn.com/2011/WORLD/africa/07/30/morocco.parliamentary.elections/index.htmlOTRAS NOTICIASLa ONU condena la violencia gubernamental en Siria.Para más información: http://www.bbc.co.uk/mundo/ultimas_noticias/2011/08/110803_ultnot_siria_onu_consejo_seguridad_condena_az.shtml http://www.msnbc.msn.com/id/44007439/ns/world_news-mideast_n_africa/ http://www.lemonde.fr/proche-orient/article/2011/08/03/le-texte-de-la-declaration-du-conseil-de-securite-sur-la-syrie_1555912_3218.html http://edition.cnn.com/2011/WORLD/meast/08/03/syria.unrest/index.html http://www.eluniversal.com.mx/notas/783445.html HSBC recortará más de 10.000 empleos por el estancamiento de sus resultados.Para más información: http://www.elpais.com/articulo/internacional/HSBC/recortara/10000/empleos/estancamiento/resultados/elpepuint/20110731elpepuint_6/Tes http://www.nytimes.com/2011/08/01/business/global/europes-biggest-bank-hsbc-to-announce-job-cuts.html?ref=world"El Universal" presenta su portal dedicado al cambio climático.Para más información: http://www.eluniversal.com.mx/coberturas/cobertura3.html"The Economist" presenta su informe semanal: "Business this week".Para más información: http://www.economist.com/node/18929578
Desde hace algún tiempo (aproximadamente un par de décadas atrás) y con más intensidad en los últimos años, progresivamente, cada vez mayor cantidad de juristas, académicos, profesores e investigadores, que conforman la comunidad académico-científica del área del derecho y de lo jurídico (entendido como algo más abarcativo que el derecho positivo vigente), se preocupan por la práctica cotidiana, el contexto, las opciones y los efectos de la disciplina. El derecho en práctica, en acción, en conflicto, en funcionamiento. En ese derrotero despiertan interés epistémico, en primera instancia, los conflictos sociales, económicos, políticos que merecen intervención de las agencias estatales y, más específicamente, las agencias vinculadas al mundo del derecho. La visibilidad de algunos de los conflictos, la invisibilidad de otros y las razones de ello. Luego, el interés se dirige a las opciones y variadas soluciones posibles, que se pueden pergeñar normativamente para esos conflictos, y para detectar porqué se opta por una u otra vía normativa resolutiva. Después la preocupación se orienta a diseñar la estructura institucional adecuada para que la creación normativa opere sobre la realidad y por designar al personal más idóneo y pertinente en su formación, a fin de obtener eficacia en los resultados de la aplicación de las soluciones jurídicas propuestas. Finalmente, el interés deriva en los efectos de todas las operaciones anteriores, sus resultados, para corroborar si los problemas se han encaminado en vías de las soluciones previstas. Lo que los investigadores del área, principalmente pero no exclusivamente, en los Estados Unidos y Canadá, denominan the everyday of law o, de otro modo, law in practice, not law in the books. Y no exclusivamente porque los cambios de paradigma, en la generación de conocimiento científico en la disciplina jurídica, se van expandiendo con relativa rapidez, tecnología disponible mediante, y programas de formación, especialización e investigación que se extienden y que cuentan con una gran demanda de expertos y estudiosos de distintas latitudes que buscan su perfeccionamiento, si es necesario, fuera de sus países de origen. En España y Latinoamérica el análisis del derecho suele emprenderse, tradicionalmente, y aún hoy con frecuencia, de una manera prescriptiva y filosófica más relacionada al campo del "deber ser". Se privilegia el discurso abstracto y normativista en desmedro de la generación de datos e insumos de conocimiento básico para, a partir de allí, plantearse prospectivas, recomendaciones o intervenciones sobre las instituciones. En países anglosajones, en particular Estados Unidos y Canadá, se producen una gran cantidad de estudios empíricos sobre derecho, la mayoría de ellos estudios cuantitativos. Se interesan particularmente por las relaciones interpoderes a partir de datos e insumos materiales sobre la producción de las agencias estatales, la performance de instituciones y del personal que desempeña los roles institucionales, por ejemplo tribunales y jueces, los sesgos, tendencias o comportamientos más comunes y/o repetidos de esas producciones, y luego, detectados esos patrones, se orientan a la búsqueda de las variables explicativas de esos comportamientos. A partir de allí, los análisis agregados y cualitativos, las hipótesis complejas e interrelacionadas, las prospectivas y recomendaciones operativas o de intervención estatal. Este tipo de mirada, más desagregada y microscópica, sobre el quehacer cotidiano de las agencias y los funcionarios judiciales, permite ver cosas no visibles para doctrinas demasiado generalistas, o prescriptivistas, o en exceso sesgadas a lo filosófico.1 La generación de conocimiento riguroso, en términos empírico-cuantitativos, nos aproxima a la realidad de los conflictos sobre los que opera el derecho y sus agencias. Situarnos frente a la realidad nos enfrenta a otras perspectivas que nos indican que los conflictos suelen decidirse por cuestiones que no se relacionan con los tópicos filosóficos, prescriptivos y doctrinarios o, al menos, no sólo por ellos y que, más aún, suelen disimularse los verdaderos motivos que existen detrás de una decisión, normativa o judicial, con argumentos eufemísticamente jurídico- técnicos y/o filosóficos. Es que si se sabe poco sobre las instituciones y agencias estatales, sobre lo qué producen, sobre el personal que desempeña los roles decisorios en ellas y sobre las características de los conflictos en los que operan, no se sabrá qué cambiar para mejorarlas o, peor aún, basados en diagnósticos errados, sólo sustentados en intuiciones, creencias, impresiones, principios ideológicos o prejuicios de cualquier tipo, se promoverán reformas, acciones y decisiones que producirán efectos institucionales y sociales no queridos e imprevisibles.2 1 Barrera Leticia, La Corte Suprema en escena. Una etnografía del mundo judicial, págs. 14 y 15, Siglo XXI, Buenos Aires, 2012. 2 En este sentido, Molinelli N. Guillermo, Valeria Palanza y Gisela Sin, Congreso, Presidencia y Justicia en Argentina. Materiales para su estudio, pág. 21, Temas, 1999. El derecho constitucional, y las disciplinas afines, no son ajenas a estas preocupaciones. El estudio de la constitución no puede ser entendido al margen de las teorías sobre el Estado, o ignorando el conocimiento sobre la producción de sus agencias e instituciones, y sin el auxilio inter y multidisciplinario de perspectivas politológicas y de sociología jurídica sobre los fenómenos en los que opera. A tal fin, resulta muy importante la generación de conocimiento y el análisis crítico de la jurisprudencia constitucional, como producto final del juicio de constitucionalidad de la actividad de los poderes públicos y los particulares, y como referencia de interpretación y aplicación de la Constitución por los jueces, los cuales resultan actores principalísimos del proceso.3 La investigación que se presenta ha generado conocimiento estadístico y cuantitativo complejo y relacionado, en torno a la actividad y producción del Tribunal Constitucional de España (TC) en el ejercicio del control de constitucionalidad. El conocimiento básico generado y los insumos recolectados y sistematizados permiten la detección de comportamientos, sesgos y tendencias específicos en la performance del TC, y la enunciación de hipótesis explicativas certeras y relevantes relacionadas a esa producción, para su verificación o refutación total o parcial articulando variables diversas, y el desarrollo posterior de análisis agregado teórico sustentable y consistente respecto al ejercicio efectivo del control de constitucionalidad y a las características del mismo por parte del TC. Como forma plausible para la recolección y captura de datos y para el conocimiento del comportamiento de la institución, se ha adoptado una metodología empírico-cuantitativa- descriptiva-comparatista, con análisis cualitativo agregado. Ello, pues la investigación ofrece una cantidad de variables y desagregaciones que permiten adquirir a los datos estadísticos un nivel explicativo-cualitativo, que define el carácter mixto, descriptivo-explicativo, del trabajo. La existencia de datos sobre el ejercicio del control de constitucionalidad y la desagregación de sus características, permite también establecer las características de la relación existente entre el TC y los otros poderes políticos del Estado. Como variada doctrina sostiene y recomienda, el análisis de la jurisprudencia de los tribunales es la unidad analítica adecuada para abrir juicios objetivos sobre la performance de las agencias judiciales. A tal fin, el desafío es diseñar un proyecto de investigación sólido y sustentable, que sistematice el conocimiento generado, de modo tal que permita realizar análisis retrospectivos y recomendaciones prospectivas consistentes, verificables y explicativas sobre el objeto de estudio de la investigación. 3 De Esteban J., Curso de derecho constitucional español, III, Madrid, pág. 28, 1994. Además de las clásicas lecciones dogmáticas de los constitucionalistas, se conocen trabajos teórico-históricos y también existen análisis casuísticos del accionar del TC a través del hilo conductor de sus decisiones más salientes. También se han producido algunos trabajos muy rigurosos sobre aspectos muy desagregados y específicos de la producción del TC, y que han sido consultados, utilizados y citados debidamente en los apartados pertinentes de este trabajo. Aun así, no se conocen estudios empíricos cuantitativamente suficientes -ya sea por la cantidad de casos consultados y recolectados para recoger información, ya sea por la cantidad de años-períodos tomados en series diacrónicas extensas- que permitan desarrollar criterios de valoración y análisis objetivos y sistemáticos, basados en el comportamiento y accionar concreto del TC, a partir del análisis de sus decisiones, de sus sentencias. El presente trabajo analiza la producción que ha tenido el TC, desde su creación en 1980 hasta Diciembre de 2011, fecha en la que se cerró la etapa de recolección de datos, a través de la verificación empírica de su accionar, consultando todas las sentencias que sobre control de constitucionalidad ha emitido resolviendo las impugnaciones interpuestas por las vías procesales conducentes a tal fin. La compulsa y construcción de la base de datos se llevó a cabo revisando las resoluciones que están publicadas y disponibles en la página-web del TC. Para ello, se han revisado todas las sentencias y resoluciones producidas por el TC en materia de recurso de inconstitucionalidad, cuestión de inconstitucionalidad y conflicto positivo de competencia.4 El control de constitucionalidad es la facultad-atribución más política y relevante en términos de relaciones institucionales que desarrolla el TC, por la cual puede inhibir y, con efectos erga omnes, anular la validez y aplicabilidad de una decisión normativa de los otros poderes políticos del Estado. A partir de la compulsa de autos y sentencias realizado en esta investigación, se ha construido una base de datos cuantitativos suficientes, en una significativa serie diacrónica que abarca desde el propio origen del TC, y que permite como objetivo principal, en vía exploratoria y descriptiva, observar si, efectivamente, ese control de constitucionalidad se ha llevado a cabo. Y en el caso afirmativo, en el que el TC haya ejercido debidamente su función de control, detectar: en qué medida y con qué frecuencia, sobre qué tipo de normas, en qué períodos con 4 De acuerdo a las pautas metodológicas debidamente explicitadas en el Capítulo 1, b.- Qué información y cómo se la buscó, capturó y sistematizó. Especificaciones metodológicas. Se han detectado 81 sentencias, declarando normas inconstitucionales, por la vía procesal del conflicto positivo de competencia. Se hace esta aclaración pues, prima facie, no es un instrumento procesal de control constitucional mayor o menor intensidad, en relación a qué materias jurídicas, sobre qué jurisdicción, para normas nacionales o autonómicas, y con qué actitudes por parte de los magistrados, con sentencias unánimes o con disidencias, sobre qué bienes jurídicos tutelados por la Constitución española (CE) con más asiduidad; entre otras características y variables plausibles de ser cuantificadas, detectadas y analizadas, merced al estudio empírico-cuantitativo producido. Además podrán realizarse análisis cualitativos, generando hipótesis explicativas sobre el sensible tema de las relaciones interpoderes del Estado, de la independencia del TC respecto de los otros poderes políticos institucionales o, como actualmente se propone en la comunidad académica, sobre los niveles posibles y alcanzados de diálogo, cooperación e interdependencia del sistema político e institucional. El aporte de insumos y materiales objetivos de conocimiento básico sobre el comportamiento efectivo del TC, permite producir análisis e hipótesis más objetivas, superando el sesgo "prescriptivista" en la crítica de su performance, ante la falta de referencias empíricas suficientes para el estudio del ejercicio del control de constitucionalidad y de las características de las relaciones de independencia y/o cooperación e interdependencia entre el TC y los poderes ejecutivo y legislativo, tanto estatales como autonómicos. La base de datos y cuadros estadísticos generados con variada información aportan material objetivo para que el análisis no sólo se base en especulaciones políticas, ideológicas o históricas, o en opiniones subjetivas, intuiciones, creencias o juicios impresionistas. Por supuesto que la investigación no se agota aquí, más bien se inicia, ya que este estudio de tipo descriptivo, exploratorio, cuantitativo, podrá ser refinado y profundizado por otros investigadores mediante análisis más cualitativos, sustentados en la información y cuadros generados en este trabajo o en articulación con otros. Pues, además de las conclusiones o comportamientos del TC suficientemente verificados en este trabajo, existen otras vías sugeridas de profundización que deben continuarse por expertos de otras áreas del derecho, aprovechando la información producida. Por ello, estimo que este trabajo presenta el valor de las verificaciones e hipótesis corroboradas, pero, tan valioso como ello, son las vías posibles de investigación a desarrollar con el material generado y puesto a disposición de la comunidad académico-científica del área. 5 5 Modelo de investigación compatible y adecuado, a efectos de estudios comparados, con el desarrollado por el autor en, Bercholc Jorge O., La independencia de la Corte Suprema a través del control de constitucionalidad. Respecto a los otros poderes políticos del Estado (1935-1998)", Ediar, 2004, Buenos Aires. También es el esquema y modelo de trabajo de un estudio mayor, que contempla la performance de tribunales de similar relevancia en otros países. Se trata del proyecto de investigación UBACyT, acreditado por la Universidad de Buenos Aires, Secretaría de Ciencia y Técnica, convocatoria 2010/2012 y 2013/2016, n° Proyecto 20020120100031, Resolución Conclusiones. Verificación de hipótesis Se presenta aquí un listado de conclusiones e hipótesis debidamente verificadas y consistentes, como inventario y síntesis de lo ya desarrollado en profundidad en los capítulos y apartados pertinentes de esta investigación. Las conclusiones e hipótesis verificadas se sustentan en los insumos básicos generados en la investigación que conforman a su vez la información y cuadros estadísticos vertidos en el capítulo anterior. Por ello, todas las conclusiones que se enumeran adquieren solidez científica sustentable en datos empíricos- cuantitativos. En su caso, refutables pero con instrumentos de similar rigurosidad y solidez. Por supuesto que el nivel de análisis cualitativo agregado de los datos que reflejan la producción del TC pueden transitar vías diferentes a las aquí transitadas, pero la agenda de temas y datos emergentes, como característicos de la producción del TC resultan insoslayables. 1.- Se ha verificado debidamente la hipótesis principal de la investigación. El TC ha ejercido activamente la facultad del control de constitucionalidad de los actos normativos de los otros poderes políticos del Estado. Se sustenta tal conclusión, en el análisis agregado de los cuadros estadísticos generados donde se verifica que, i) se han declarado inconstitucionalidades en importante cantidad y proporcionalidad, tanto considerando la variable resoluciones (autos y sentencias), como la variable normas; ii) durante todos los gobiernos desde la existencia del TC, aunque con variados matices desagregados y con distinto grado de intensidad; iii) sobre todo nivel de normas -leyes y decretos-; iv) tanto de jurisdicción nacional como autonómica; v) sobre normas sancionadas contemporáneamente y con anterioridad a la formación del TC que dictó la resolución; vi) sobre normas patrimoniales en mayor medida, pero también en otro tipo de normas, vii) sobre normas de materias variadas, aunque autonómicas y administrativas en una notoria mayor proporción, lo que demuestra que el TC es más activo y con menor self restraint ante los gobiernos autonómicos; viii) con un alto porcentaje de sentencias unánimes. 2.- Dado lo expuesto en el punto anterior, también se verifica la hipótesis accesoria; el TC ha tenido durante el período investigado, un nivel relativo importante de independencia respecto de los otros poderes políticos del Estado. En especial, se sustenta esta conclusión, en los resultados comparados obtenidos tanto interna como externamente al objeto de estudio, que demuestran que la producción del TC muestra datos similares a los tribunales comparados de otros sistemas político-jurídicos en declaraciones de inconstitucionalidad, tanto considerando sentencias como normas. 3.- Corroborada la existencia de las hipótesis principal y accesoria, se observa que el cruce de la información obtenida, a través de las variables compulsadas y las diversas verificaciones de las hipótesis secundarias, permiten sustentar los enunciados más desagregados que detallamos a continuación, y que resultan conclusiones independientes suficientemente probadas. a.- Sobre la actividad del TC: La excesiva carga de trabajo del TC, provocada, en especial, por la ola de amparos, que en su amplísima mayoría son inadmitidos por carecer de fundamentos, implican un dispendio de actividad jurisdiccional del TC irracional en términos materiales, y una exposición pública innecesaria que lesiona su legitimidad social, la que debería resguardarse a efectos de que el TC confronte eficazmente y con poder decisorio intacto, casos muy conflictivos y politizados que hacen a la naturaleza de su rol institucional. No resulta gratuita para el TC la sobrecarga de trabajo estéril que implica rechazar miles de recursos de amparo, retrasando así el tratamiento y la resolución de otros asuntos de alta importancia jurídico- política e institucional. La accesibilidad a la justicia y a la alta instancia del TC, implicada en la política visible y transparente del tribunal a efectos del acceso a la protección de los derechos fundamentales, se transforma en frustración jurídica, pérdida de legitimidad y autoridad de la institución, cuando se verifica que la inmensa mayoría de los amparos son inadmitidos. b.- El ejercicio del control de constitucionalidad: El TC ha hecho un ejercicio intenso y consistente del control de constitucionalidad. Ello nos lleva a la constatación de que el TC ha tenido una producción con un nivel relativo importante de independencia respecto de los otros poderes políticos del Estado. Obsérvese que declaró inconstitucionalidades en 331 decisiones, un 24% del total de las decisiones capturadas y se declararon inconstitucionales 304 normas distintas. b.i.- También se ejerció control por parte del TC sobre normas contemporáneas: Refuerza lo expuesto en el apartado precedente que el TC declaró inconstitucionales, 54 leyes y reales decretos nacionales contemporáneos (sobre un total de 142), ello implica que el 38% del total de normas nacionales inconstitucionales fueron contemporáneas. Debe tenerse en consideración que esa performance se produjo, principalmente, entre 1980 y Diciembre de 1998. Ello sin perjuicio de que utilizó el polémico mecanismo de las sentencias interpretativas, para salvar de la inconstitucionalidad a otras 36 normas nacionales contemporáneas, el 53% del total de sentencias interpretativas emitidas sobre normas nacionales. b.ii.- Más sentencias sobre normas nacionales, más inconstitucionalidades sobre normas autonómicas: El TC declara en mucha mayor proporción inconstitucionalidades sobre normas autonómicas que nacionales, a pesar de que los planteos de inconstitucionalidad cuestionan en mucha mayor proporción y cantidad a normas nacionales. El TC se muestra más activo en declarar inconstitucionalidades de normas autonómicas que de normas nacionales. b.iii.- ¿Qué clase de normas se cuestionan ante el TC, patrimoniales o no patrimoniales? Ello depende de la vía procesal utilizada: A mayor legitimación activa de los ciudadanos, y a mayor receptividad jurisdiccional directa de las demandas de los recurrentes, mayores equerimientos de tipo patrimonial a los tribunales. A mayores filtros jurisdiccionales de admisibilidad, y/o, a mayores restricciones de legitimación para acceder a los más altos tribunales, disminuyen las demandas patrimoniales y se observa mayor producción en el control de normas no patrimoniales. Es la hipótesis que se corrobora observando las performances comparadas de varios tribunales considerando la variable patrimonialidad de las normas cuestionadas. Dicho de otro modo, los ciudadanos, individual y subjetivamente, tienen como principal preocupación que los impulsa a demandar la vía jurisdiccional del Estado, los temas económicos y patrimoniales que los afectan. b.iv.- Las normas sobre temas administrativos han sido las más conflictivas, tanto en la jurisdicción nacional como en la autonómica: Notoriamente la materia administrativa es ampliamente mayoritaria entre las normas cuestionadas por inconstitucionalidad ante el TC. El 47% de los autos y sentencias se emitieron respecto de normas sobre temas administrativos. Se trata de 579 sentencias. El resto de las materias sobre las que tratan las normas quedan en un rango a partir del 12%, para el caso de las de materia tributaria y, en orden decreciente, normas sobre temas penales, civiles, comerciales. Considerando como unidad de análisis las normas declaradas inconstitucionales, 188 fueron en materia administrativa, el 62% del total general de 304 normas, lo que indica también, mediante otra unidad de análisis, que el conflicto constitucional predominante en el TC fue, para el período relevado, en torno a la materia administrativa. Queda claramente corroborado, a través de diferentes unidades de análisis y considerando distintas variables, que las normas de materia administrativa son las más de mayor conflictividad constitucional sobre las que debe resolver el TC. El conflicto constitucional administrativo resulta de absoluta relevancia en su producción y evidencia las aristas salientes, en términos jurídicos, del conflicto político e institucional español. Los datos estadísticos analizados muestran al TC como una institución con una enorme responsabilidad en el rediseño de la ingeniería institucional estatal española, en la distribución de competencias entre el Estado central y las CCAA y en el desarrollo de las autonomías. b.v.- El Artículo 149.1 C.E. es el más frecuentemente invocado como violado por las normas cuestionadas: Prácticamente todas las competencias exclusivas del Estado enumeradas en el art. 149.1 han sido invocadas ante el TC como violadas. Pero, claramente el más invocado es el 149.1.1ª que se repite en decenas de sentencias como materia supuestamente violada de la CE por las normas cuestionadas. b.vi.- Se ha registrado un alto grado de sentencias unánimes en la performance del TC: El TC mantuvo una performance muy pareja en los porcentajes de unanimidades obtenidos en las sentencias durante toda su existencia. Siempre se ha mantenido en un piso alto de unanimidades en torno del 80%, y dentro de un rango máximo de hasta el 92%, salvo en un período del TC en el que las unanimidades bajaron notoriamente a un 64%, entre el año 2004 y 2010, por diversas causas que se analizan en el capítulo pertinente. Esa crisis de consenso en el TC se hace más notoria cuando se trata la inconstitucionalidad de normas nacionales, en particular durante los años 1980 a 1989 y 1998 a 2010. c.- Las características técnicas y personales de los magistrados del TC: i.- Los académicos han sido y son clara mayoría en el TC por sobre los magistrados de carrera. ii.- Los magistrados académicos han sido mayormente progresistas (de acuerdo a la caracterización que se ha hecho para esta variable), los provenientes de la carrera judicial (jueces o magistrados de carrera) han sido mayormente conservadores. iii.- El dominio de los magistrados publicistas es manifiesto, han sido absoluta mayoría en el TC. iv.- Si bien se observa un dominio de administrativistas y constitucionalistas, se detecta un déficit en el tipo de especialidad verificado en los magistrados en relación a la producción del TC en el control de constitucionalidad. v.- Hay tendencia progresista entre los magistrados del TC. Los magistrados progresistas son mayormente académicos y expertos en derecho constitucional. Los magistrados conservadores son mayormente jueces de carrera y provenientes del fuero contencioso administrativo o expertos en derecho administrativo. vi.- El déficit de representación femenina es evidente. Sólo 5 magistradas mujeres han sido designadas en el TC. Todas ellas académicas y publicistas, ninguna conservadora. vii.- La procedencia regional ha sido variada en los magistrados del TC. Pero se observa una fuerte influencia de la Universidad Complutense de Madrid como alma mater. viii.- El identikit del magistrado del TC español arroja que: es por amplia mayoría varón y publicista. Predominantemente son académicos, progresistas y expertos en derecho administrativo y constitucional. De variada procedencia regional, pero con una impronta e influencia madrileña a través, como alma mater, de la Universidad Complutense. d.- La performance de los Magistrados del TC a través de sus voto s: i.- Se verifica que los magistrados emiten más votos por la constitucionalidad de las normas cuestionadas cuando están más identificados ideológicamente con el gobierno. A contrario sensu, se observan menos votos constitucionalistas cuando están menos identificados ideológicamente con el gobierno. Una relación directamente proporcional ii.- Por el contrario se da una performance inversamente proporcional en el caso de los votos por la inconstitucionalidad. Los magistrados emiten más votos inconstitucionalistas cuando menos identificados ideológicamente con el gobierno. Otra vez, a contrario sensu, son menos inconstitucionalistas cuando más identificados ideológicamente con el gobierno. iii.- Las inadmisiones en casos impulsados para obtener una inconstitucionalidad mediante las vías procesales pertinentes, pueden ser utilizadas como un modo encubierto de rechazo a fin de evitar pronunciamientos comprometedores para el TC, evitando producir una declaración de inconstitucionalidad que pudiera provocar rispideces con el ejecutivo y/o el legislativo, dada la eventual trascendencia política de la norma en cuestión, y/o necesidad del gobierno de turno de que la misma no sea invalidada. iv.- Se verifican datos muy contundentes que nos muestran, en general, una producción muy prudente y cuidadosa de los magistrados del TC, en orden a producir sentencias unánimes. Solo 6 magistrados (sobre un total de 50) han votado en disidencia por sobre el 10% de los votos que emitieron durante sus estancias en el TC. Los indicadores responden satisfactoriamente a los datos comparados externos al TC. v.- El rol de los presidentes del TC en la obtención de sentencias unánimes : Los presidentes del Tribunal Constitucional español han asumido ese papel de liderazgo y procuran las sentencias unánimes. Por ello no registran votos en disidencia durante sus presidencias o disminuyen notoriamente esos votos si se compara su performance como magistrados, con la que les cupo como presidentes. Salvo el llamativo caso de Casas Baamonde, única magistrada que accedió a la presidencia, que tiene la mayoría de sus votos en disidencia durante el período de su presidencia. Ello, sin duda, es un reflejo de una compleja etapa en la vida del TC y de un deficitario liderazgo de Casas Baamonde en su rol de presidente. vi.- El Great Dissenter del TC: Jorge Rodriguez Zapata, magistrado entre 2002 y 2010, fue el Great Dissenter del TC. Su performance fue de 84 votos en disidencia, el 24% del total de sus votos emitidos. Los otros magistrados que lideran el ranking de disidencias del TC fueron: Conde Martín de Hijas, Rodríguez Arribas, Garcia Calvo, Delgado Barrio y Fernández Viagas. Presentan disidencias superiores al 10% de los votos emitidos durante sus estadías en el TC. e.- El TC y las CCAA: i.- El 64% de las sentencias sobre normas de jurisdicción autonómica, se emiten en el marco de recursos de inconstitucionalidad, incoados a través de los órganos políticos legitimados por el 162.1.a CE, a contrario sensu de lo que se observa en la jurisdicción nacional. Lo que también permite corroborar que la conflictividad constitucional en normas de jurisdicción autonómica está fuertemente influenciada por la puja política y competencial entre las CCAA y el Estado central. Sólo el 28% de las sentencias del TC sobre normas autonómicas se emite ante cuestiones de inconstitucionalidad. ii.- Sin perjuicio del desarrollo autonómico sostenido y de la conflictividad competencial creciente, la legislación nacional continúa siendo el sustento mayoritario y dominante del derecho común en el sistema jurídico español. Ello es también demostrativo de que las competencias administrativas, jurisdiccionales y políticas continúan con preponderancia en manos del Estado central. iii.- La puja competencial entre el Estado central y las CCAA es el conflicto más relevante que debe resolver el TC, por lo que su performance se ve envuelta en una conflictividad de alto voltaje político. Del total de inconstitucionalidades (tanto en jurisdicción nacional como autonómica) declaradas por el TC, el 68% fue en recursos de inconstitucionalidad y conflictos de competencia, esto es, en conflictos competenciales donde confrontan los órganos políticos legitimados por el 162.1.a CE. Sólo el 32% de declaraciones de inconstitucionalidades se produce ante cuestiones de inconstitucionalidad. iv.- Refuerza sólidamente lo expuesto que el 72% de las sentencias para normas autonómicas se producen en recursos de inconstitucionalidad y conflictos de competencia, porcentual que aumenta al 82% en sentencias que declaran inconstitucionalidades, ello significa que la conflictividad autonómica es mayoritariamente competencial y entre los órganos políticos legitimados por el 162.1.a CE. v.- Tanto en recursos de inconstitucionalidad como en conflictos de competencia, el Gobierno fue el más activo órgano impulsor (art. 162.1.a CE) de los procesos, lo fue en un 57% y un 46% respectivamente. En los conflictos de competencia siguen como impulsores Cataluña con el 28% y el País Vasco con el 22%. vi.- Las declaraciones de inconstitucionalidades de normas autonómicas que son, proporcionalmente, casi el doble que para las nacionales, demuestra que esa puja competencial y política entre las CCAA y el Estado nacional se resuelve, mayoritariamente, a favor del Estado nacional. Esta conclusión es también sustentable de acuerdo a lo observado a través del índice de conflictividad y éxito autonómico (ICEA) que demuestra que el Gobierno posee un índice de éxitos ante el TC muy superior a las CCAA. vii.- El País Vasco y Cataluña, como es sabido, son las CCAA más conflictivas en su relación con el Estado central y reivindicativas de sus competencias y su autonomía. Las estadísticas no hacen más que confirmar la especie. País Vasco y Cataluña son las CCAA que han sufrido mayor cantidad de declaración de inconstitucionalidades. También se diferencian claramente del resto de las CCAA, por la mayor cantidad de casos en los que fueron cuestionadas sus normas. El País Vasco y Cataluña tuvieron casi un centenar de autos y sentencias del TC en que fueron cuestionadas sus normas autonómicas. viii.- El conflicto político-competencial-jurídico-constitucional entre el Gobierno nacional y Cataluña se ha judicializado notoriamente por una serie de acciones de ambos actores. Y se ha judicializado en medida mayor que cualquier otro conflicto entre el Gobierno nacional y las CCAA, incluso el que involucra al País Vasco, que parece transitar por canales más políticos que jurídicos, al menos en comparación a las opciones catalanas. ix.- Lo expuesto nos lleva a esgrimir otra hipótesis sólida, de tipo secundario, en el marco de la judicialización del conflicto entre el Gobierno y Cataluña. El Gobierno basó su estrategia en la actividad del TC vía recursos de inconstitucionalidad y el uso de lo dispuesto por el art.161.2 CE. Cataluña también fue activa en el uso del TC vía recursos de inconstitucionalidad, pero con una actitud del poder judicial ordinario en Cataluña muy sugestiva, hiperactiva en plantear ante el TC cuestiones de inconstitucionalidad sobre normas nacionales, y muy pasiva en hacerlo sobre normas de la propia Cataluña. x.- El TC ha sido restrictivo en declarar inconstitucionalidades por la vía procesal de las cuestiones de inconstitucionalidad, vía mayoritariamente utilizada por tribunales autonómicos. xi.- El País Vasco proporcionalmente, y Cataluña nominalmente, son las CCAA que han logrado con más suceso, la declaración de inconstitucionalidades por el TC cuando han impulsado el cuestionamiento de normas. xii.- Todas las CCAA han tenido declaraciones de inconstitucionalidad de sus normas, mayoritariamente, en materia administrativa. xiii.- Cataluña tiene el mejor índice de éxitos considerando las variables computadas, con una diferencia notoria respecto a las demás CCAA. Además es también la CA que muestra la mayor actividad judicial ante el TC, de una intensidad muy superior en relación al resto de las CCAA, incluso al País Vasco. El índice -ICEA- refleja un coeficiente que relaciona los éxitos y la densidad e intensidad de la actividad judicial ante el TC en pos de dirimir los conflictos que involucran al Gobierno y a las CCAA. Ello implica que la judicialización del conflicto le ha significado a Cataluña un relativo éxito, en términos comparados al resto de las CCAA, en su puja político-competencial-jurídico-constitucional con el Gobierno nacional. xiv.- El Gobierno presenta un ICEA muy superior a todas las CCAA, incluso notoriamente más exitoso que Cataluña, lo que demuestra, a su vez, que la jurisdicción constitucional le resulta muy favorable como ámbito de resolución del conflicto político-competencial-jurídico- constitucional, que lo confronta con las CCAA. f.- La performance del TC desagregada por Formaciones: i.- Formación TC nº 1. Período 1980-1986 (Presidencia García Pelayo) a.- A este período fundacional del TC suele atribuírsele una gran fecundidad pues, el TC se enfrentó a una tarea excepcional, que excedió lo estrictamente jurídico y aún la normal carga política que, se sabe, debe soportar un tribunal que ejerce el control de constitucionalidad. La transición democrática, las incertidumbres políticas, sociales y culturales, las ambigüedades juridicas de la CE, producto de las limitaciones políticas del momento constituyente, generaron un marco de excepcionales desafíos para el TC y para los magistrados pioneros de aquel entonces. b.- El TC en sus primeros años estuvo conformado mayoritariamente por magistrados de centro y otros sin definición detectada. Hubo también una buena porción de magistrados del sector conservador. También fueron mayoría, desde el inicio del TC, los publicistas y los académicos. c.- Esta formación del TC, resulta la más inconstitucionalista de todo el período (cuadros n° 6 y 7), entiéndase, la que más declaraciones de inconstitucionalidad produjo. También registra un uso activo de las suspensiones del art. 161.2 CE, y de las SI (sentencias interpretativas).Todos ellos indicadores de una formación activa, creativa, y que asumió con vigor la fuerte carga política que implicaba poner en funcionamiento la jurisdicción constitucional. ii- Formación TC nº 2 y 3. Período 1986-1992 (Presidencia Tomás y Valiente) a.- Estas dos formaciones, bajo la presidencia de Tomás y Valiente, presentan tres indicadores muy relevantes que corroboran el activismo, creatividad, independencia y carácter fundacional que, a la jurisdicción constitucional, le imprimió el TC en sus primeros años. Entiéndase en sentido descriptivo, no axiológico, pues ello implicaría otros análisis y valoraciones, pero es consistente la información que verifica el carácter de actor institucional muy activo del TC, en su compleja tarea de dar andamiento a su jurisdicción, y de completar los vacios y ambigüedades de la flamante CE. b.- Sustentando lo anterior, se verifica que estas formaciones presentan: 1) la mayor cantidad de normas nacionales contemporáneas declaradas inconstitucionales, y en el marco político de un gobierno con mayorías parlamentarias sólidas; 2) también la mayor cantidad de suspensiones de normas autonómicas decretadas según el procedimiento del art. 161.2 CE; y, finalmente, 3) la mayor cantidad de sentencias interpretativas. El uso de las tres variables por el TC, en sus formaciones n° 2 y 3, fue el más activo e intenso de todo el período investigado. c.- Paulatinamente fue aumentando, desde fines de los ´80 y en la década del '90, el sector de magistrados progresistas, conviviendo con un sector minoritario conservador y debilitándose el sector de centro más alejado de los "extremos" del sistema político español. iii.- Formación TC nº 4. Período 1992-1995 (Presidencia Rodríguez Piñero) a.- Fue la formación con mayor cantidad de normas autonómicas declaradas inconstitucionales. b.- A partir de este período aumentó la cantidad de magistrados de carrera. A su vez, aumentaron los magistrados de filiación ideológica progresista a un 75%, el porcentual más alto de todas las formaciones del TC. iv.- Formación TC nº 5, 6 y 7 Período 1995-2004 (Presidencias Rodríguez Bereijo, Cruz Villalón y Jiménez de Parga) a.- Han sido las formaciones n° 5 y 6 las de menor porcentual de constitucionalidades, 29% y 31% respectivamente. También las formaciones que registran menor porcentual de declaración de inconstitucionalidades de todo el período investigado, 17%, 22% y 19% para las tres formaciones (n° 5, 6 y 7) respectivamente. Bajan notoriamente las normas inconstitucionales contemporáneas, especialmente durante la formación n° 6, iniciando una tendencia marcada de escaso porcentaje en esta variable. Paulatinamente, bajan también las sentencias unánimes cuando se declaran inconstitucionalidades, del 77% en la formación n° 5, al 53% en la formación n° 7. La tendencia se observa, particularmente, en las sentencias que declaran inconstitucionalidades y también para inconstitucionalidades de normas nacionales (cuadros n° 61 y sigtes.). Además, el porcentaje de inadmisiones durante esas formaciones, duplica el porcentual promedio de todo el período y triplica a casi todas las otras formaciones consideradas individualmente. Semejante disparidad amerita análisis más cualitativos pues son diferencias notables, que ocurren en períodos bien delimitados. Parece haber operado, en este período, un exceso de judicialización en el conflicto por el reparto territorial del poder, vía los planteos de cuestiones de inconstitucionalidad incoados por jueces ordinarios que correspondieron mayoritariamente a jueces autonómicos contra normas nacionales. Ante ese activismo, el TC puede haber utilizado la inadmisión como mecanismo de auto-restricción y defensa. b.- La combinación de las siguientes variables: a) bajos porcentuales de inconstitucionalidades, b) altos porcentajes de inadmisiones, y c) escasas declaraciones de inconstitucionalidad de normas contemporáneas, nos está indicando una tendencia notoria hacia una pérdida de activismo por parte del TC y una producción en la que aumenta el self restraint, evitando confrontar con los otros poderes políticos del Estado. Ello es indicativo de una relativa debilidad del TC o, dicho de otro modo, de una pérdida de legitimidad o autoridad política del TC, y de un avance sobre la institución por parte de los otros poderes políticos del Estado, y/o de los partidos políticos a través de las vías institucionales que puedan utilizar a tal fin. c.- Una lectura ex post facto de lo ocurrido en los años venideros, permite identificar a estas formaciones n° 5, 6 y 7, para el período 1995-2004, como las de un período de transición en la historia del TC; desde los inicios, con marcado protagonismo, autoridad jurisdiccional, activismo, creatividad y fuerte incidencia en el diseño institucional dejado pendiente por la CE; hacia un periodo marcado por las disidencias entre los magistrados, la excesiva "partidización" del TC, la judicialización de temas eminentemente políticos, la pérdida de legitimidad política y social, y los alineamientos partidarios de los magistrados. v.- Formación TC nº 8. Período 2004-2010 (Presidencia Casas Baamonde) a.- Promediando esta década, el TC se polarizó entre un sector progresista mayoritario y un sector conservador minoritario, pero consistente y más concentrado en detrimento del centro. En especial durante esta formación, el empate de fuerzas se hizo evidente y entorpeció el proceso de decisiones generando serios conflictos en el seno del TC. b.- Los académicos fueron, en esta formación, el 50% de los magistrados, el porcentual más bajo de académicos de todo el período investigado. Los publicistas, como en toda la historia del TC, fueron amplia mayoría. c.- En el conflictivo período 2004-2010 de la formación n° 8, hubo un alineamiento por filiación ideológica que produjo una performance diferenciada con un sesgo de votos por la mayoría y por la constitucionalidad en los magistrados progresistas, y en disidencia y por la inconstitucionalidad entre los magistrados conservadores. Esta formación fue contemporánea del gobierno de Rodriguez Zapatero por ello, el sesgo referido, responde a las hipótesis formuladas en el apartado 4.a.- del capítulo 2: d.- Las unanimidades bajaron, para esta formación, notoriamente a un 64% (cuadros n° 61 y 64). Un indicador de ello es la inédita y llamativa performance de la presidenta en materia de disidencias pues, Casas Baamonde ha sido, de los magistrados que han llegado a la presidencia del TC, la única que tiene la mayoría de sus votos en disidencia durante el período de su presidencia. Ello nos indica escaso liderazgo. Es una época compleja para el TC por varias razones que tienen un hilo conductor, su excesiva "partidización" o judicialización de cuestiones de alto voltaje político. vi.- Formación TC nº 9. Período 2011 (Presidencia Sala Sánchez) a.- El TC en la formación n° 9, hasta fines del 2011, subió notablemente su performance de votos unánimes. Aún mucho más que el promedio histórico. Esta formación presenta un piso-promedio del 90% de sentencias unánimes, que es aún superior, 95% y 90%, en las dos variables mensuradas que contemplan sentencias por la inconstitucionalidad en general y para normas nacionales. b.- La formación n° 9 muestra una conformación mayoritariamente progresista y una sólida minoría conservadora, manteniendo una conformación polarizada aunque menos confrontativa que en la formación anterior (cuadro n° 60). Prácticamente todos los magistrados registrados en este período fueron publicistas, y se mantuvo muy equilibrado, el plantel de magistrados, entre académicos y magistrados de carrera, con predominio de los primeros. 4.- En relación a estas conclusiones deben aclararse los siguientes aspectos metodológicos: a.- La solidez en la corroboración de las hipótesis se sustenta en la cantidad de datos capturados, las diversas mediciones y desagregaciones efectuadas, y la aplicación del método comparado tanto interna como externamente, respecto al objeto de estudio. Así se obtienen juicios objetivos relativos a los parámetros comparables. b.- El control comparativo interno al objeto de estudio se satisface con la cantidad de datos recolectados y cuadros estadísticos generados, -aproximadamente 3.630 resoluciones consultadas; 1.341 autos y sentencias capturadas y de ellas extraídos las distintas variables útiles ya enumeradas- y la secuencia temporal extendida de la investigación -abarcativa de treinta y un años de actividad del TC, 1980 a 2011-. Ello permite diferentes estadísticas comparadas sobre el propio objeto de estudio. c.- El control comparado externo se satisface con los datos comparados de Tribunales Constitucionales y Cortes Supremas pertenecientes a sistemas políticos extranjeros (Alemania, Argentina, Canadá y EEUU). Por supuesto, esta vía del método comparado presenta no pocas dificultades, ya que requiere buscar estudios que hayan generado estadísticas metodológicamente compatibles a efectos de la comparación o, como en este caso, elaborar las pautas de medición específicas que compatibilicen los datos detectados en trabajos comparados con los que fueron generados para éste. d.- Respecto a la hipótesis accesoria, se ha transitado una de las vías propuestas por los autores que sustentan el método de determinación relativo de independencia judicial a través del examen de las sentencias. Recuérdese que, tal cual la doctrina citada, el examen de las sentencias es la más definitoria a tal fin. En su caso esta vía es condición necesaria para la corroboración de la hipótesis, sólo puede ser refutada por insuficiente en tanto el tránsito por otras demuestre tal cosa.
2008/2009 ; L'ecologia è una disciplina storica: i processi ecologici in corso sono il risultato di quello che è accaduto nel passato. Non conosciamo però quando e con che intensità l'uomo ha iniziato ad alterare l'ambiente marino, e non conosciamo lo stato "naturale" degli ecosistemi. L'ecologia storica ha come obiettivo lo studio degli ecosistemi e delle sue componenti a posteriori, attraverso il recupero e la meta-analisi di documenti del passato. La ricostruzione dello stato passato (historical baseline) degli ecosistemi è essenziale per la definizione di punti di riferimento (reference points) e direzioni di riferimento (reference directions) per valutare i cambiamenti e per stabilire obiettivi di ripristino. Basare gli studi di biomonitoraggio solo su dati recenti può, infatti, indurre la sindrome del "shifting baseline", ovvero uno spostamento di generazione in generazione del punto di riferimento cui confrontare i cambiamenti, con la conseguenza di sottostimare eventuali processi di degrado in atto. Inoltre, i processi ecologici agiscono su scale temporali diverse (da anni a decenni), e per capirne le dinamiche è quindi necessario considerare un'adeguata finestra temporale. Studiare le dinamiche a lungo termine delle comunità marine permette quindi di monitorare e valutare lo stato e i cambiamenti degli ecosistemi rispetto ad un adeguato riferimento, in cui le comunità marine sono usate come indicatori. La raccolta e lo studio di documentazione storica rappresentano, quindi, un'attività imprescindibile nell'ambito del monitoraggio ambientale. La pesca rappresenta uno dei principali fattori di alterazione negli ecosistemi marini, ed è considerata la principale causa di perdita di biodiversità e del collasso delle popolazioni. I suoi effetti, diretti e indiretti, costituiscono una fonte di disturbo ecologico in grado di modificare l'abbondanza delle specie, gli habitat, la rete trofica e quindi la struttura e il funzionamento degli ecosistemi stessi. Essa rappresenta una fonte "storica" di disturbo, essendo una delle prime attività antropiche di alterazione dell'ambiente marino. Inoltre, la sovra-pesca (overfishing) sembra essere un pre-requisito perché altre forme di alterazione, come l'eutrofizzazione o la diffusione di specie alloctone, si manifestino con effetti più pervicaci. La pesca rappresenta però anche una sorta di campionamento estensivo non standardizzato delle popolazioni marine. Dal momento che dati raccolti ad hoc per il monitoraggio delle risorse alieutiche (fishery-independent) sono disponibili solo dopo la seconda metà del 20° secolo, e in alcuni casi (come in Mediterraneo) solo per le ultime decadi, lo studio delle dinamiche a lungo termine richiede il recupero di informazioni che sostituiscono le osservazioni strumentali moderne e possono essere comunque considerati descrittori dei processi di interesse (proxy). La principale criticità nel ricostruire serie storiche a lungo termine nasce dall'eterogeneità dei dati storici e dalla necessità di elaborare metodologie per l'analisi e l'integrazione dei dati qualitativi o semi-quantitativi del passato con i dati moderni. A seconda del periodo considerato e dell'ampiezza della finestra temporale di studio, quindi, è necessario applicare diverse metodologie d'analisi. La gestione sostenibile dello sfruttamento delle risorse alieutiche è un tema sempre più rilevante nel contesto della pesca mondiale, come conseguenza del progressivo aumento della capacità e dell'efficenza di pesca stimolati dal progresso tecnologico. Ciò ha portato all'impoverimento delle risorse ittiche determinando effetti negativi sia in termini ecologici che socio-economici. Tradizionalmente la gestione della pesca si è basata sulla massimizzazione delle catture di singole specie bersaglio, ignorando gli effetti sugli habitat, sulle interazioni trofiche tra le specie sfruttate e le specie non bersaglio, e su altre componenti dell'ecosistema. Questo ha portato al depauperamento delle risorse e all'alterazione della struttura e funzionamento degli ecosistemi, rendendo le misure gestionali spesso inefficaci. Per questo motivo è necessario applicare una gestione della pesca basata sull'ecosistema (Ecosystem-based fishery management), che ha come obiettivi: prevenire o contenere l'alterazione indotta dalla pesca sull' ecosistema, valutata mediante l'applicazione di indicatori; tenere in considerazione gli effetti indiretti del prelievo sull'insieme delle componenti dell'ecosistema e non solo sulle specie bersaglio (cascading effect); proteggere habitat essenziali per il completamento del ciclo vitale di diverse specie; tutelare importanti componenti dell'ecosistema (keystone species) da pratiche di pesca distruttive; monitorare affinchè le attività antropiche non compromettano le caratteristiche di struttura delle comunità biotiche, per preservare caratteristiche funzionali quali la resilienza e la resistenza dell'ecosistema, prevenendo cambiamenti che potrebbero essere irreversibili (regime-shifts). A tale scopo è necessario essere in possesso di adeguate conoscenze relative alle caratteristiche ecologiche ed allo stato degli stock sfruttati, monitorandone le dinamiche e consentendo l'applicazione di modalità gestionali adeguate. L'approccio ecosistemico alla gestione della pesca prevede l'applicazione di indicatori che siano in grado di descrivere lo stato degli ecosistemi marini, le pressioni antropiche esercitate su di essi e gli effetti di eventuali politiche gestionali sull'ambiente marino e sulla società. Nell'ambito dell'ecologia storica l'Alto Adriatico rappresenta un caso di studio interessante, sia per la disponibilità di fonti storiche, sia perché è un ecosistema che nei secoli ha subito diversi impatti ed alterazioni. La presente tesi di dottorato si inserisce nell'ambito del progetto internazionale History of Marine Animal Populations (HMAP), la componente storica del Census of Marine Life (CoML), uno studio decennale (che si concluderà nel 2010) per valutare e spiegare i cambiamenti della diversità, della distribuzione e dell'abbondanza della vita negli oceani nel passato, nel presente e nel futuro. HMAP è un progetto multidisciplinare che, attraverso una lettura in chiave ecologica delle interazioni storiche tra uomo e ambiente, ha come obiettivo la ricostruzione delle dinamiche a lungo termine degli ecosistemi marini e delle forzanti (sia naturali che antropiche) che li hanno influenzati. Tale ricostruzione permette di migliorare la nostra comprensione dei processi ecologici, di ridefinire i punti di riferimento sullo stato dell'ecosistema (historical baseline), e di valutare la variabilità naturale su ampia scala temporale (historical range of variation). Gli obiettivi del presente progetto di dottorato sono: i) descrivere le attività di pesca in Alto Adriatico negli ultimi due secoli, quale principale forzante che ha agito sull'ecosistema; ii) analizzare i cambiamenti a lungo termine della struttura della comunità marina; iii) valutare ed interpretare i cambiamenti intercorsi mediante applicazione di indicatori. Allo scopo è stata condotta un'estensiva ricerca bibliografica nei principali archivi storici e biblioteche di Venezia, Chioggia, Trieste, Roma e Spalato al fine di individuare, catalogare e acquisire informazioni e dati sulle popolazioni marine e le attività di pesca nell'Alto Adriatico nel 19° e 20° secolo. La tipologia delle fonti raccolte include documenti storici e archivistici, cataloghi di specie, fonti statistiche come i dati di sbarcato dei mercati ittici e informazioni sulla consistenza delle flotte e gli attrezzi da pesca utilizzati. Si rileva come la ricerca d'archivio abbia evidenziato un'ampia disponibilità di documenti storici, inerenti sia le popolazioni marine che le attività di pesca. La tesi è organizzata in tre capitoli. Il primo è parzialmente tratto dal libro "T. Fortibuoni, O. Giovanardi, e S. Raicevich, 2009. Un altro mare. Edizioni Associazione Tegnue di Chioggia – onlus, 221 pp." e ricostruisce la storia della pesca in Alto Adriatico negli ultimi due secoli; il secondo rappresenta una versione estesa del manoscritto "T. Fortibuoni, S. Libralato, S. Raicevich, O. Giovanardi e C. Solidoro. Coding early naturalists' accounts into historical fish community changes" (attualmente sottomesso presso rivista internazionale ISI), e ricostruisce, attraverso l'intercalibrazione ed integrazione di fonti qualitative e quantitative, i cambiamenti della struttura della comunità ittica avvenuti tra il 1800 e il 2000; il terzo capitolo analizza, mediante l'applicazione di indicatori, i cambiamenti qualitativi e quantitativi della produzione alieutica dell'Alto Adriatico dal secondo dopoguerra ad oggi (1945-2008), inferendo informazioni sui cambiamenti cui è stata sottoposta la comunità marina alla luce di diverse forzanti (manoscritto in preparazione). L'obiettivo del primo capitolo è descrivere l'evoluzione della capacità di pesca, principale forzante che storicamente ha interagito con l'ecosistema marino, in Alto Adriatico dal 1800 ad oggi. La diversificazione, sia per varietà di attrezzi utilizzati che per la molteplicità delle specie sfruttate, delle attività di pesca storicamente condotte in Alto Adriatico è un tratto caratteristico di tale area. Le differenze morfologiche e biologiche delle due sponde, occidentale e orientale, e le diverse vicende storiche e politiche, hanno portato infatti ad uno sviluppo delle attività di pesca nettamente diversificato. Sulla sponda orientale la pesca ha rappresentato, almeno fino all'inizio del 20° secolo, un'attività di sussistenza. Era praticata quasi esclusivamente nelle acque costiere, con un'ampia varietà di attrezzi artigianali e mono-specifici, concepiti cioè per lo sfruttamento di poche specie e adattati a particolari ambienti. Al contrario, lungo la costa occidentale operavano flotte ben sviluppate, come quella di Chioggia, che si dedicavano alla pesca in mare su entrambe le sponde adriatiche con attrezzi a strascico, compiendo migrazioni stagionali tra le due sponde per seguire le migrazioni del pesce. La capacità di pesca in Alto Adriatico è aumentata a partire dalla seconda metà del 19° secolo, periodo in cui si è osservato uno sviluppo sia in termini di numero di imbarcazioni che di addetti, grazie ad una congiuntura economica, sociale e storica favorevole. Fino alla I Guerra Mondiale, però, le tecniche di pesca sono rimaste pressoché invariate, e le attività erano condotte con barche a vela o a remi. Già all'inizio del 20° secolo l'Alto Adriatico era sottoposto ad un'intensa attività di pesca che, compatibilmente con le tecnologie disponibili all'epoca, riguardava principalmente le aree costiere, mentre l'attività era più moderata in alto mare. Durante la II Guerra Mondiale si è assistito al fermo quasi totale della pesca, con conseguente disarmo della maggior parte dei pescherecci. Nell'immediato dopoguerra il numero di imbarcazioni è aumentato molto velocemente, e sono state introdotte alcune innovazioni che in breve tempo hanno cambiato radicalmente le attività di pesca tradizionali (industrializzazione della pesca). Innanzitutto l'introduzione del motore, con conseguente espansione delle aree di pesca ed aumento delle giornate in mare, grazie all'indipendenza della navigazione dalle condizioni di vento. Il motore ha anche permesso l'introduzione di nuovi attrezzi da pesca, più efficienti ma al contempo più impattanti, che richiedono un'elevata potenza per essere manovrati (ad esempio il rapido e la draga idraulica). Altre innovazioni hanno determinato un miglioramento delle condizioni dei pescatori e un aumento consistente delle catture. Analizzando la storia della pesca in Alto Adriatico negli ultimi due secoli si possono quindi distinguere principalmente due periodi diversi: pre-1950, quando aveva notevole importanza su entrambe le coste la pesca strettamente costiera, praticata con attrezzi artigianali e mono-specifici, mentre la pesca a strascico in mare aperto era prerogativa delle flotte italiane (ed in particolare di Chioggia) ed era praticata con barche a vela; il periodo successivo al 1950, che ha visto l'introduzione del motore, un aumento esponenziale del tonnellaggio e del numero di barche e la sostituzione graduale di attrezzi artigianali mono-specifici con attrezzi multi-specifici ad elevato impatto. Se nel primo periodo la pesca si basava sulle conoscenze ecologiche del pescatore, che adattava le proprie tecniche in funzione della stagione, dell'habitat e degli spostamenti delle specie, nel secondo si è visto un maggior investimento nella tecnologia e nell'utilizzo di attrezzi multi-specifici. Negli ultimi vent'anni la capacità di pesca delle principali flotte italiane operanti in Alto Adriatico si è stabilizzata su valori elevati, e in alcune marinerie all'inizio del 21° secolo è iniziata una lieve diminuzione, in linea con i dettami della Politica Comune della Pesca dell'Unione Europea. A tutt'oggi comunque lo sforzo di pesca in questo ecosistema è molto elevato; ad esempio, alcuni fondali possono essere disturbati dalla pesca a strascico con intensità superiori a dieci volte in un anno, determinando un disturbo cronico su habitat e biota. Il secondo capitolo presenta una nuova metodologia per intercalibrare ed integrare informazioni qualitative e quantitative sull'abbondanza delle specie, per ottenere una descrizione semi-quantitativa della comunità ittica su ampia scala temporale. La disponibilità di dati quantitativi sulle popolazioni marine dell'Alto Adriatico prima della seconda metà del 20° secolo è, infatti, scarsa, e la ricostruzione di cambiamenti a lungo termine richiede l'integrazione e l'analisi di dati provenienti da altre tipologie di fonti (proxy), tra cui i cataloghi dei naturalisti e le statistiche di sbarcato dei mercati ittici. Le opere dei naturalisti rappresentano la principale e più completa fonte d'informazione sulle popolazioni ittiche dell'Alto Adriatico nel 19° secolo e almeno fino alla seconda metà del 20° secolo. Consistono in cataloghi di specie in cui ne vengono descritte l'abbondanza (in termini qualitativi: ad esempio raro, comune, molto comune), le aree di distribuzione, la taglia, gli aspetti riproduttivi e altre informazioni ancillari. Sono stati raccolti trentasei cataloghi di specie per il periodo 1818-1956, in cui sono descritte un totale di 255 specie ittiche. I dati di sbarcato costituiscono l'unica fonte quantitativa per un elevato numero di specie disponibile per l'Alto Adriatico a partire dalla fine del 19° secolo. I dati utilizzati nel presente lavoro sono riferiti ai principali mercati e aree di pesca dell'Alto Adriatico e coprono il periodo 1874-2000, e sono espressi come peso umido di specie o gruppi di specie commerciate in un anno (kg/anno). Poiché i naturalisti basavano le proprie valutazioni sull'abbondanza delle specie su osservazioni fatte presso mercati ittici, porti e interviste a pescatori, è stato possibile sviluppare una metodologia per intercalibrare ed integrare le due fonti di dati, permettendo un'analisi di lungo periodo dei cambiamenti della comunità ittica. L'intercalibrazione e l'integrazione dei due datasets ha infatti permesso di descrivere, con una scala semi-quantitativa, l'abbondanza di circa 90 taxa nell'arco di due secoli (1800-2000). Mediante l'applicazione di indicatori basati sulle caratteristiche ecologiche dei taxon è stato così possibile analizzare cambiamenti a lungo termine della comunità ittica. Sono stati evidenziati segnali di cambiamento che precedono l'industrializzazione della pesca, con una diminuzione significativa dell'abbondanza relativa dei predatori apicali (pesci cartilaginei e specie di taglia elevata) e delle specie più vulnerabili (specie che raggiungono la maturità sessuale tardi). Questo lavoro rappresenta uno dei pochi casi in cui è stato studiato il cambiamento della struttura di un'intera comunità ittica su un'ampia scala temporale (due secoli), e presenta una nuova metodologia per l'intercalibrazione ed integrazione di dati qualitativi e quantitativi. In particolare le testimonianze dirette dei naturalisti – considerate per molto tempo dai biologi della pesca "aneddoti" e non "scienza" – si sono rilevate un'ottima fonte per ricostruire cambiamenti a lungo termine delle comunità marine. La metodologia elaborata in questo lavoro può essere estesa ad altri casi-studio in cui è necessario integrare informazioni qualitative e quantitative, permettendo di estrarre nuove informazioni da vecchie – e talvolta sottovalutate – fonti, e riscoprire l'importanza delle testimonianze di naturalisti, viaggiatori e storici. Il terzo capitolo affronta un'analisi quantitativa dei cambiamenti ecologici dell'Alto Adriatico, condotta mediante analisi dello sbarcato del Mercato Ittico di Chioggia tra il 1945 e il 2008 e l'applicazione di indicatori. È stato scelto questo mercato per la disponibilità di dati per un ampio periodo storico (circa 60 anni), che ha permesso di valutare i cambiamenti avvenuti in un arco di tempo in cui si è assistito all'industrializzazione, ad una rapida ascesa e al successivo declino della pesca. Chioggia rappresenta il principale mercato ittico dell'Alto Adriatico rifornito dalla più consistente flotta peschereccia dell'area, che sfrutta sia zone costiere che di mare aperto. Oltre ad un'analisi dell'andamento temporale dello sbarcato totale, sono stati applicati alcuni indicatori trofodinamici (livello trofico medio, Fishing-in-Balance, Relative Price Index e rapporto Pelagici/Demersali) e indicatori basati sulle caratteristiche di life-history delle specie (lunghezza media della comunità ittica e rapporto Elasmobranchi/Teleostei). L'utilizzo complementare di più indicatori, sensibili in misura diversa alle fonti di disturbo ecologico e riferite a diverse proprietà emergenti dell'ecosistema e delle relative caratteristiche strutturali, ha permesso di descrivere i cambiamenti avvenuti dal secondo dopoguerra ad oggi e identificare le potenziali forzanti che hanno agito sull'ecosistema. Ad una rapida espansione della pesca, cui è conseguito un aumento significativo delle catture (che hanno raggiunto il massimo negli anni '80), è seguita una fase di acuta crisi ambientale. L'effetto sinergico di diverse forzanti (pesca, eutrofizzazione, crisi anossiche, fioriture di mucillaggini) ha modificato la struttura e la composizione della comunità biologica, inducendo una graduale semplificazione della rete trofica. Fino agli anni '80 l'aumento della produttività legato all'incremento di apporto di nutrienti ha sostenuto l'elevata e crescente pressione di pesca, malgrado progressivi cambiamenti strutturali della comunità (regime-shifts), rendendo l'Adriatico il più pescoso mare italiano. Successivamente il sistema sembra essere entrato in una situazione di instabilità, manifestatasi con un drastico calo della produzione alieutica, bloom di meduse (soprattutto Pelagia noctiluca), maree rosse (fioriture di dinoflagellati potenzialmente tossici), crisi anossiche e conseguenti mortalità di massa, regressione di alcune specie importanti per la pesca come la vongola (Chamelea gallina), e fioriture sempre più frequenti di mucillaggini. L'analisi conferma che la sovra-pesca ha agito da pre-requisito perché altre forme di alterazione si manifestassero, e attualmente non sono evidenti segnali di recupero, probabilmente a causa sia di una diminuzione della produttività primaria che della pressione cronica e tuttora crescente indotta dalla pesca. L'approccio di ecologia storica utilizzato ha permesso di ricostruire la storia della pesca in Alto Adriatico, evidenziandone le dinamiche di sviluppo, i cambiamenti tecnologici, strutturali e di pressione ambientale. L'insieme delle analisi e delle fonti raccolte ha permesso di ricostruire - in termini semi-quantitativi - le attività di pesca in Alto Adriatico dal 19° secolo a oggi, analizzare i cambiamenti della comunità ittica nell'arco di due secoli, e infine approfondire le analisi per gli ultimi sessanta anni attraverso l'applicazione di indicatori quantitativi. Da questo studio emerge come già all'inizio del 20° secolo la pesca fosse pienamente sviluppata nell'area, causando cambiamenti strutturali nella comunità ittica, ben prima dell'industrializzazione. Dal secondo dopoguerra si è verificato un rapido incremento dell'intensità delle diverse forzanti antropiche, il cui effetto sinergico ha alterato profondamente l'ecosistema portandolo ad uno stato di inabilità, culminato in gravi crisi ambientali e un netto calo della produzione alieutica. ; XXII Ciclo ; 1979
La clave geopolítica número uno se llama recursos naturales.Eje central es la existencia de yacimientos petrolíferos y la posibilidad tecnológica, inexistente en los 80, de explotarlos de manera rentable. Este eje central tiene en su vértice otro elemento ausente en 1982, un Brasil poseedor de uno de los mantos petrolíferos más grandes mundo y que lo pone en una posición muy expectante en el mercado mundial de los hidrocarburos, así como también, aunque en menor medida por ahora, la positiva impresión que han dejado las prospecciones costa afuera de Uruguay, que están ejecutando empresas británicas. Un eje secundario, pero no menor, en lo relacionado con la relevancia de los recursos naturales, es la riqueza ictiológica de la zona adyacente la cual, poco a poco, se ha ido situando en un lugar preponderante en la vida económica de los habitantes de las islas e interesando a empresas de distintos países a participar en tan floreciente negocio (1).En efecto, el revival del interés argentino por las islas se produce en 2010 de forma coetánea a las primeras confirmaciones de existencias de petróleo susceptibles de ser explotadas en gran escala, y que empezaron a cambiar las apreciaciones sobre el valor comercial de las islas. El proceso se inicia en 1993 con el interés de Shell y varias otras petroleras tras conocerse los primeros estudios geológicos del British Geological Survey, que advertían sobre las posibilidades de que 200.000 km2 alrededor de las islas contuviesen petróleo. En 1996 surgen nuevas evidencias y el gobierno británico procede a licitar 19 áreas, otorgando licencias de exploración off shore a Shell, Amerada Hess, Rockhopper Exploration, Lasmo, Falklands Oil & Gas, International Petroleum Corporation y Desire Petroleum, entre otras. Varias de ellas se crearon ex profeso para estas exploraciones, pero no todas tuvieron éxito y fueron retirándose producto de los elevados costos.Sin embargo, desde 2008, gracias a nuevos estudios se visualizó la posibilidad teórica, de obtener 60 billones de barriles off shore, lo que significaba existencias potenciales superiores a las reservas que el Reino Unido tiene en el Mar del Norte. Ahí se desató un renovado interés que alcanza un peak en febrero de 2010 cuando Londres autoriza a Desire, Falkland Oil y Rockhopper que realicen más prospecciones centrándose en la costa norte de las islas, el sector más promisorio. Tan solo un año más tarde, en septiembre de 2011, Rockhopper Exploration, una de las que más había invertido en las etapas previas, anunció que en las cuatro áreas adjudicadas, al norte de las islas, habría existencias superiores a los 400 mil millones de barriles, o sea 15% de las disponibilidades británicas en el Mar del Norte. Confirmó los rumores que la explotación comenzará a más tardar en 2016, con cerca de 12 mil millones de barriles por día, y que alcanzará una cota de 120 mil barriles por día en 2018 (2).Los pronósticos más favorables señalan que las islas podrían ubicarse entre los grandes exportadores del oro negro del mundo y que las reservas superarían en un 300% a las de la Argentina. Los kelpers pasarían a ser una de las poblaciones más ricas del planeta.En la actualidad los 3.145 isleños disfrutan ya de US$ 35 mil de ingreso per capita que los ubica en cuarto lugar en el mundo (únicamente por debajo de Qatar, Liechtenstein y Luxemburgo), pese a que se explican solo por dos actividades comerciales que, si bien no son las principales (la ganadería ovina sigue siendo la más extendida con unas 500.000 cabezas de ganado ovino), son las que están generando mayores réditos: las licencias de pesca y el turismo, a través del recale de cruceros. Según datos del gobierno de las islas compilados en el "Economic Briefing & Forecast for the Falklands", entre 2009 y 2010, visitaron las islas 62.500 personas. Puesto de otro modo, desde el 2009 a la fecha ha habido un incremento del 200% de turistas (3).En tanto, el negocio de la pesca es inmensamente beneficioso para los isleños. Únicamente por concepto de licencias entregadas a terceros países por 30 y hasta 40 años, el fisco en Port Stanley recauda sobre US$ 70 millones. Los principales interesados en adquirir, aumentar e ir renovando estas licencias son los españoles, los taiwaneses y surcoreanos. Solamente de España hay 116 navíos con derechos. Si a esto se le suman beneficios adicionales a partir de las capturas (otros impuestos, participación en la comercialización, servicios y otros) la recaudación se eleva a cerca de los US$ 1.600 millones (un octavo de los cuales se destina a financiar el ítem Defensa). La tendencia es tan positiva que las previsiones para el presente indican que el conjunto de beneficios a partir de la pesca rozará los US$ 2 mil millones. En el mercado internacional, por ejemplo, cada vez son más apreciados el illex y el coligo, dos variedades de calamar por el que en Europa se llega a pagar hasta seis euros por kilo, sus capturas, solo hasta 1992, eran 10 veces mayores a las realizadas en la Zona Económica Exclusiva de Argentina (4). A modo comparativo, en 1985, es decir poco después de la guerra, esta cantidad apenas se empinaba por sobre los US$ 8 millones. Nuevamente, a modo de comparación, la pesca en Argentina alcanza 900 mil toneladas, en las islas poco más de 200 mil toneladas, con una tendencia al alza notoriamente superior. En definitiva, el potencial ictiológico en los 320 kms en torno a las islas es enorme, tanto en cantidad como en variedad de recursos.Sin embargo, es la explotación del petróleo la que está aumentando la importancia geopolítica de las islas, estimándose que hacia el 2016 ese será por lejos el foco central de la disputa. La tendencia al escalamiento se observa al ver la evolución cualitativa de esta variable, que se detalla en Anexo, que alcanza una primera cota máxima a inicios de 2010 cuando la empresa Argos Resources hizo importantes anuncios y una segunda a principios de 2011, cuando se instalan dos plataformas petroleras, la Ocean Guardian y Leiv Eriksson, ambas de la Falkland Oil que, por la proximidad de sus operaciones con la costa argentina, causan el mayor escozor en la Casa Rosada y que desemboca en la dura reacción de canciller Héctor Timmerman. El alto funcionario de la administración cristinista indica que su país ha intentado disuadir "de forma pacífica" la ejecución de estas actividades en plataformas, agregando la posibilidad de "otra forma de interferencia", con lo que coquetea por primera vez con el eventual uso del instrumento armado. Timmerman también insinuó que bancos y sociedades de accionistas estarían actuando en complicidad, cuando no directamente "de mala fe", y que sufrirían consecuencias (5).Los blancos hacia donde apuntan los dardos argentinos son los siguientes: a) Desire Petroleum plc. Empresa de gas y petróleo fundada en 1996 por antiguos ejecutivos de la Royal Dutch. En ese año comenzó sus tareas de prospección al participar como subcontratista de Rockhopper y FOGL. En tal condición fue la primera en comprobar existencias de gas y petróleo. Posteriormente se adjudicó derechos en la cuenca del norte de las islas, tanto en joint venture con la australiana Arcadia Energy como propios. Y más tarde se adjudicó otras en el sur, donde opera junto a Rockhopper. Se encuentra enlistada en la London Stock Exchanges. Ahí sus acciones se triplicaron entre septiembre de 2011 y marzo de 2012, justo en el período en que confirmó el monto de las existencias, viabilidad comercial y técnica para su extracción. En prácticamente todos sus proyectos se encuentra asociado con el banco Barclays, el que además oficia como colocador de deuda argentina en el exterior. Ha hecho estimaciones del orden de 3,5 mil millones de barriles como existencias totales en su sector (6).b) Falkland Oil & Gas Limited (7): empresa de gas y petróleo fundada en 2004. Opera derechos adjudicados en la zona sur y este de las islas. Su plataforma principal es la Leiv Eriksson. Su partner principal es la australiana BHP Billiton, empresa que posee, además, yacimientos de variados minerales en el norte argentino y a lo largo de la frontera con Chile. En un estudio efectuado en 2010, FOGL estimó las reservas en sus áreas licitadas en 8 billones de barriles y en 60 billones la totalidad de reservas off shore en las islas. Información de prensa indica que la Falkland Oil Gas es la empresa que habría presentado los primeros síntomas de sensibilidad ante las advertencias de la administración cristinista y habría puesto a la venta algunos de sus derechos (8).c) Rockhopper Exploration (9): empresa de gas y petróleo fundada en 2004. Se adjudicó cuatro derechos de exploración y explotación principalmente en la parte más septentrional de las islas (PLO 32, PL033, PLO23, PLO24) aunque también participa como socio minoritario de Desire en dos concesiones en la zona sur (PL03 y PL04). Ambas comparten en la zona norte una misma plataforma de perforación, la Ocean Guardian llevada a las islas en febrero de 2010. Fue la primera en comprobar, en mayo de 2010, la existencia de grandes reservas de hidrocarburos en la parte norte de las islas, denominada Sea Lion. Su accionista principal es HSBC, el cual además elabora estudios geológicos en el Atlántico sur. Está enlistada en London Stock Exchanges.d) Borders & Southern Petroleum: empresa de gas y petróleo fundada en 2004. Se adjudicó cinco derechos de exploración y explotación en la parte meridional de las islas. Pese a ser la más reciente en estas tareas, ha comprobado la existencia de al menos 760 millones de barriles. Ha instalado varias plataformas, algunas con mayor proximidad con la costa argentina que las de las otras empresas. Su plataforma Darwin, a 140 kms de la costa de las Falkland, debía presentar sus evaluaciones finales a inicios de marzo de 2012, pero anunció "problemas técnicos" y la suspensión de tales entregas públicas hacia inicios de mayo del mismo año. Estimaciones de prensa señalan que las advertencias pudieron haber influido en la postergación. Igualmente es probable que busque matizar los últimos descubrimientos de su plataforma Stebbing, que inicialmente cifra su manto en 1.300 millones de barriles. Entre sus principales accionistas está la Minera Alumbrera poseedora de varios yacimientos de oro y plata en Argentina (10). e) Argos Resources Limited (11): es una empresa de gas y petróleo fundada en 1995, como subsidiaria de Argos Exploration, y conocida posteriormente como Argos Evergreen. A inicios de los 90 comenzó a participar en las primeras prospecciones en la cuenca del norte de las islas, asociada a Amerada Hess y a Lasmos. Se adjudicó en 1997 la licencia de producción PLO01 en esa zona de las islas. En 2010 fue severamente reprendida por el gobierno argentino por sus actividades de prospección (12).Un elemento adicional que debe ser tomado en cuenta en esta confluencia de variables geopolíticas es Brasil, cuyos intereses han ido aumentando sustancialmente en los últimos años. Sin ser un actor directamente involucrado en esta disputa británico- argentina, sí parece más sensible a los reclamos argentinos a juzgar por sus declaraciones. En este punto se observa una diferencia importante con lo ocurrido durante la "Guerra de los 73 Días", en que la administración de Joao B. Figueiredo, si bien apoyó retóricamente a los argentinos, optó por la distancia e incluso prestó apoyo a la Fuerza Aérea británica en dos casos de accidentes menores ocurridos en el transcurso de las acciones bélicas. Sin embargo, también ha sido revelado que Figueiredo advirtió a Washington que su posición cambiaría drásticamente si los británicos atacaban territorio continental argentino. En ese caso, Brasil se reservaba el derecho a intervenir (13).Es probable que ahora la estatal brasileña Petrobras no desee tener competencia de otras empresas en zonas relativamente cercanas, dado que avizora convertirse en una de las grandes petroleras a escala mundial en los próximos años. Tal suposición es coherente con las aspiraciones de presencia hegemónica de Brasil en el Atlántico sur. A tono con lo precedente deben tenerse presente dos asuntos nada triviales: uno, que Brasil siempre se ha mostrado receloso ante cualquier presencia no-regional en el Atlántico sur, y dos, relacionado con lo anterior, que flota en el aire cierto orgullo brasileño por sus logros en explotación off shore. Además, la variable brasileña irá adquiriendo o perdiendo peso a medida que se materialicen las prospecciones off shore en Uruguay, asignadas a empresas británicas lo que complejiza sustancialmente la situación descrita.En tanto, el tráfico marítimo y aéreo en torno a las islas pasará a ser una vía más utilizada que ahora cuando entren de lleno al mercado mundial de hidrocarburos. Asimismo, a medida que el tamaño de los buques no permita el uso del canal de Panamá, el tránsito por el Atlántico Sur debería aumentar. Es probable que surja un triángulo estratégico en el Cono Sur (Falkland-Malvinas, Tierra del Fuego y costas antárticas).Finalmente debe señalarse que tanto estudios argentinos como británicos coinciden en que el valor "geoeconómico" (como lo señala el propio Informe Rattenbach) es necesariamente mayor a lo que se ha supuesto hoy debido a que las islas son continuación de plataformas sudamericanas y/o africanas y debería contener silicio ferroso, diamantes, cobalto, níquel, cromo, manganeso. Por el lado argentino existen depósitos submarinos (frente a la provincia de Santa Cruz) de nódulos polimetálicos compuestos de magnesio y manganeso.La clave geopolítica número dos se denomina proyección antártica.El continente helado representa otro de los grandes intereses en juego, en el escalamiento del conflicto es su necesaria vinculación con la Antártica. Gran Bretaña (14) y Argentina (15) tienen pretensiones sobre el territorio antártico que se sobreponen casi totalmente entre sí y parcialmente con la de Chile (16).En la actualidad este traslape no representa una fuente de conflictividad. Sin embargo, los precedentes de tipo geopolítico que se establezcan en el Ártico, junto a la actitud general de los países respecto a la Antártica (no debe perderse de vista que el Tratado Antártico ha sido suscrito solo por 48 países, o sea faltan dos tercios aproximadamente) más las existencias de hidrocarburos que se vayan cuantificando y, last but not least, los efectos del cambio climático, no auguran una perspectiva amistosa ni menos un clima benigno para ir resolviendo los diferendos que plantean las pretensiones. Claramente, el ir situando piezas con antelación forma parte de las configuraciones geopolíticas que se avecinan. En este sentido, el Atlántico sur y la Antártica tendrán una gravitación con claras líneas de interdependencia de una con la otra.Rosendo Fraga explica que esta línea analítica, que visualiza la convergencia entre el actual conflicto en el Atlántico sur y las proyecciones antárticas futuras, está acorde a la estrategia desarrollada por la administración de Cristina Fernández, que apuntan a sudamericanizar el conflicto apoyándose decisivamente en Mercosur y Unasur (17), así como de forma más atenuada en los países ALBA. A su juicio, la política exterior argentina ha conseguido alinear a los países del Mercosur (miembros plenos y asociados) en una condena pública al Reino Unido y establecer con ellos un boicot a los buques que porten bandera de las Falklands. El supuesto basal de esta estrategia es que los países sudamericanos, y por extensión latinoamericanos, se alinearán con fuerza tras los reclamos de Buenos Aires tanto por una cuestión epidérmica anti- colonialista (de cuyas reminiscencias Londres difícilmente puede sustraerse) como por el sentido común de región. Subyace en el texto de Fraga que en esta clave radica una postura chilena necesariamente cautelosa. En tal sentido, es probable que Fraga no haya querido ahondar en su reflexión para no tener que admitir que, por las mismas razones de sobreposición de pretensiones mencionadas anteriormente, se trata más bien de una cautela con tendencia a crecer en el tiempo, por lo que la estrategia cristinista tendrá en Chile una excepción insoslayable. Hay un cierto sustrato histórico que emana de las reflexiones de Cañas Montalva, "la Antártica es el natural complemento de nuestras tierras fueguinas" (18).Finalmente, la clave geopolítica número tres es el control efectivo del archipiélago.Las capacidades militares británicas (en las islas) son holgadamente superiores a las argentinas, especialmente en el aspecto tecnológico. Se trata de potencialidades civiles y militares que se esparcen por todo el archipiélago de manera efectiva y regular. Nadie podría cuestionar que el ejercicio de soberanía sobre las islas es cumplido a cabalidad por los británicos.La fuerza disuasiva tiene un punto central, Mount Pleasant, una base moderna que alberga cuatro Eurofighter Typhoon, diez aeronaves-tanque más un avión Hércules de transporte. La base dispone en estos críticos momentos de 1.200 efectivos y se ha emplazado en diversos puntos del archipiélago un número indeterminado de baterías antiaéreas del tipo Rapier. La Armada Real ha dispuesto el despliegue a esa zona del moderno destructor Dauntless que alterna misiones con la fragata Montrose; además de un patrullero, un submarino y una nave de apoyo. En otro aspecto, Mount Pleasant dispone de equipamiento sofisticado que le permite monitorear, de manera satelital, una amplia extensión mucho más allá del territorio de archipiélago, compuesto por 340 islas, islotes y cayos.Quizás el único tema que plantea una vulnerabilidad es la escasa densidad poblacional. Hay preocupación por la falta de personas para poblar los 11.400 kilómetros cuadrados. Continuamente se observan anuncios de prensa para llenar vacantes en la prestación de servicios, por lo general ocupadas por sudamericanos o los santa-helénicos, y también en las áreas de salud y educación. Sin embargo, es difícil pensar que esta vulnerabilidad esté pasando inadvertida a los círculos de decisión política y militar de Londres.ConclusionesDe los antecedentes expuestos deriva que este conflicto seguirá escalando. El control de los recursos de que disponen las islas, especialmente el petróleo, constituye la principal variable de carácter geopolítico.La imposibilidad argentina de recurrir al instrumento militar (por la acción sinérgica de: falta de inversiones en el sector Defensa, una política exterior pacifista, ausencia de apoyo ciudadano a una nueva aventura militar y ausencia total del factor Goa,1961) implica que la escalada será básicamente político-diplomática.Las características épicas que Argentina busca darle a su demanda traerá consigo un previsible deterioro de la relación del Reino Unido con América Latina, y una tensión adicional en la relación de Estados Unidos con el resto del hemisferio. Más allá de las fragmentaciones que vive la región sudamericana, se aprecia una tendencia a la solidaridad con la postura argentina.Para Chile la agudización de este conflicto no puede ser indiferente por varias razones. Primero, por el impacto que la controversia genere al interior de UNASUR y, segundo, ya que podría repercutir en su condición de país antártico. No solo se abrirá un diferendo por la superposición de las pretensiones de los tres países, sino que podría impactar en el régimen jurídico mismo que rige para el continente helado. Un asunto adicional es la presencia de una comunidad de chilenos residentes en las islas. En cuanto al petróleo mismo, la eventual accesibilidad a las exportaciones de crudo extraído de las islas no podría ser indiferente para un país (Chile) con estrechez energética evidente. Tampoco el transporte del mismo hacia terceros mercados, que podría provocar un cambio cualitativo estratégico en el triángulo formado por las costas antárticas, las islas y el extremo sur de Chile. Referencias: (1) Como advertencia conceptual se señala que para referirse al problema en su conjunto se ha optado por las nociones neutras de "Atlántico sur" o "disputa británico-argentina", mientras que para referirse a alguna cuestión específica desde la perspectiva argentina se utiliza "Malvinas" y en el caso desde la óptica británica, "Falkland". Igualmente, dentro de lo posible se privilegia la expresión "isleños" por sobre la de "kelpers". (2) Información corporativa en http://www.rockhoppercorporation.co.uk(3) Información más detallada en sitio del gobierno isleño http://www.falkland.gov.fk (4) Más información sobre este punto en Wurfgaft, Romy, "La pesca, clave en el alto PIB per cápita de los habitantes de las Malvinas", El Mundo, s.p. (5) ARGENTINA amenaza a las empresas que buscan petróleo en las Malvinas, El Mundo, s.p. (6) El nombre de esta empresa recuerda la denominación del barco que descubrió las islas en 1592. Información corporativa en http://www.desireplc.co.uk (7) Información corporativa en http://www.fogl.com (8) PETROLERA británica vende licencia para buscar petróleo en las Malvinas La Nación, s.p. (9) Información corporativa, viz nota 13 (10) Información corporativa en http://www.bordersandsouthern.co.uk (11) Información corporativa en http://www.argosresources.com (12) Argos warned by Argentina to abstain from drilling in the Falklands or. Mercopress, s.p. (13) En el sitio http://www.zonamilitar.com.ar se encuentran materiales estadounidenses recientemente desclasificados que se refieren a este punto. (14) Meridianos 20° O y 60° O, el paralelo 80° S y el Polo Sur, comprendiendo 1.709.400 km2. (15) Meridianos 25° O y 74° O, el paralelo 60° S y el Polo Sur, comprendiendo 1.461.597 km2. (16) 27Meridianos 53° O y 90° O, el paralelo 60° S y el Polo Sur, comprendiendo 1.250.257.6 km2. (17) FRAGA, Rosendo, "Hay un rearme argentino?", Nueva Mayoría, s.p. Agrega que el gran tema de largo plazo en el Atlántico sur son los recursos naturales de la Antártida, aunque ésta esté internacionalizada y recuerda que este Tratado está firmado solo por 48 naciones y no lo han firmado más de dos tercios, incluidas potencias importantes.(18) Op. Cit. , p.193.Anexo Hitos relevantes1975. Gobierno británico envía sucesivas misiones de geólogos a las islas con la finalidad de hacer prospecciones. Una de las misiones es encabezada por el parlamentario e ingeniero de la Shell, Colin Phipps quien, años más tarde, pasó a ser asesor en materias de hidrocarburos de la premier Margaret Thatcher. Una de las misiones que insinuó la posibilidad real de existencias de yacimientos petrolíferos en las islas es la que se denominó Shackleton. El 4 de febrero de ese año se produce un incidente, cuando un navío argentino lanza un cañonazo de advertencia a otro navío británico, que formaba parte de estas misiones científicas. 1982. Tras el fin de la guerra, la empresa argentina YPF pierde los derechos monopólicos de suministro de energía y la empresa aérea LADE pierde también los derechos que poseía para volar el tramo Port Stanley- Comodoro Rivadavia (que ejercía también de forma monopólica desde 1971). 1986. Gobierno británico define unilateralmente una zona de exclusión marítima de 200 millas alrededor de las islas. 1990. Se reanudan las relaciones diplomáticas entre Reino Unido y Argentina. Como parte de un criterio compartido, al menos tácitamente, aproximadamente 900 efectivos británicos son emplazados de manera estable en las islas, teniendo como base principal la recién construida Mount Pleasant, cerca de Port Stanley. Los dos países firman una serie de acuerdos comerciales entre los que destaca uno sobre explotación marina. 1995. Londres y Buenos Aires firman un acuerdo para fijar términos de referencia en materia de exploración y explotación petrolera en los sectores adyacentes a las islas. 1996. Londres autoriza unilateralmente a ciudadanos y empresas británicas a operar en lo que denomina Zona Económica Exclusiva con un radio de 320 kilómetros. Entrega seis licencias de exploración off shore. 1998.Tras recriminaciones mutuas, la comisión ad hoc para monitorear acuerdo sobre materias petrolíferas de ja de funcionar. Londres acusa a Buenos Aires de falta de interés. Casa Rosada asegura que rompimiento fue unilateral pues los británicos desean seguir licitando pozos. 1999. Acuerdo entre las partes, que permite conexión aérea semanal operada por LAN Chile entre Punta Arenas y Port Stanley, con escala técnica en Río Gallegos. 2000. Gobierno de las islas solicita a expertos a la Oficina Hidrográfica de Londres y el Centro Oceanográfico de Southampton estudios que permitan fundamentar la existencia de una misma plataforma submarina entre las Falkland y las Georgias del Sur. 2007. El gobierno de Néstor Kirchner decide desahuciar definitivamente acuerdo sobre los términos de referencia en materia de exploración y explotación petrolera en los sectores adyacentes a las islas y anuncia acciones contra empresas interesadas en el negocio petrolero. 2009 (Febrero). Gobierno británico señala que no habrá diálogo con Buenos Aires debido a que los isleños no desean formar parte de Argentina. 2010 (18 enero). Argentina cierra sus puertos a naves procedentes de las islas. 2010 (12 febrero). Un barco que asistía logísticamente tareas de prospección petrolera es retenido en el puerto de La Campana mientras se reaprovisionaba. 2010 (13 febrero). Sectores de la oposición argentina solicitan a la Casa Rosada retirar la licencia del banco Barclays por participar en empresas petroleras activas en las islas (1). 2010 (22 febrero). La presidenta argentina, Cristina Fernández de Kirchner obtiene que la Declaración Final de la Cumbre de Cancún (México) de jefes de Estado de los otros 32 países latinoamericanos y caribeños (incluidos los integrantes de la Commonwealth) incluya una mención a favor de "los legítimos derechos argentinos" sobre las Malvinas. "El gobierno argentino agotará todas las disposiciones que tiendan a reafirmar nuestra soberanía sobre los archipiélagos del Sur", aclaró Fernández al hacer uso de la palabra ante los mandatarios reunidos en México. La mandataria también agradeció el apoyo para crear una mesa de negociación con Gran Bretaña. Argentina pide un diálogo directo con Londres. 2010 (23 febrero). La plataforma Ocean Guardian inicia sus trabajos (2). 2011 (Diciembre). Gobierno argentino condena trabajos de prospección petrolífera y anuncia que entra en vigor prohibición de recale en puertos argentinos de navíos procedentes de y con destinos a las islas. Pide a países de Mercosur y Unasur solidarizar con medidas semejantes, petición que es aceptada por Brasil, Chile, Uruguay y otros. 2012 (19 enero). El Premier David Cameron califica de "colonialista" la intención argentina de retomar el control sobre las islas. 2012 (4 febrero). Reunión cumbre de países ALBA en Caracas con el conflicto en el Atlántico Sur como tema principal. Acuerdan "analizar la posibilidad de sancionar a Gran Bretaña por rehusar el diálogo". Las expresiones más duras, con fuertes alusiones al anti-colonialismo, provienen del Presidente ecuatoriano Rafael Correa. 2012 (10 febrero). Canciller argentino eleva reclamo a ONU ante lo que califica de "militarización" del área en torno a las islas y señala que "es un riesgo para la seguridad internacional". Londres reacciona señalando que despliegue del destructor "Dauntless", de un submarino y del escuadrón de aviones "Typhoon" corresponden a maniobras "rutinarias", y que el viaje por seis semanas del príncipe Guillermo a la base de Mount Pleasant es parte de su entrenamiento en operaciones de búsqueda y rescate de la RAF. Contra-reacción argentina califica de "provocación" la conducta británica en estas materias. Medios de prensa británicos señalan que el submarino enviado no es uno del tipo "Vanguard" con ojivas nucleares, como señaló Timmerman ante la ONU, sino uno del tipo Trafalgar sin capacidad de transporte de armas nucleares. 2012 (22 febrero). Un grupo de 17 intelectuales liderado por Beatriz Sarlo solicita al gobierno de Cristina Fernández tener en consideración la opinión de los isleños a la hora de reclamar soberanía sobre las Malvinas (3). 2012 (2 marzo). Buenos Aires anuncia su intención de reemplazar el vuelo semanal de LAN Chile por tres, desde Buenos Aires y operados por Aerolíneas Argentinas. La materialización ha sido postergada sin explicaciones oficiales. 2012 (14 marzo). Canciller Timmerman anuncia acciones legales contra empresas que participen la búsqueda y explotación de napas petrolíferas en el Atlántico sur "por estar contraviniendo la Resolución 625 de la ONU". De forma críptica advierte que "es significativo también el rol que desempeñan las consultoras y analistas de riesgo, por ser las mismas que censuran a Argentina por el manejo de su economía y ocultan información. En sus informes, ellas omiten las resoluciones de referentes a las Malvinas e inducen a los accionistas a cometer un delito" (4). 2012 (19 marzo). Se inicia la explotación de una las plataformas petroleras instaladas en la zona norte de las islas. 2012 (30 marzo). Canciller uruguayo Luis Almagro reitera apoyo a reclamo argentino, pero alerta sobre la eventualidad de que la acción termine en un bloqueo similar al que está sometido Cuba. 2012 (2 abril). Acto oficial en conmemoración del desembarco argentino en las islas en Usuahia. 2012 (8 abril). Argentina, con apoyo de países ALBA, solicita incluir tema Malvinas en Declaración Final de la VI Cumbre Hemisférica de las Américas en Cartagena de Indias, Colombia. Tres días más tarde cancillería colombiana en su calidad de anfitriona anuncia que tema de Malvinas será tema de los debate, pero no se incluirá en Declaración Final por falta de unanimidad entre los participantes.Referencias de Anexo: (1) Los datos de las dos últimas notas al pie provienen de THEURER, Marcus y MOSES, Carl "Der Krieg, das Öl und die Insel" (La guerra, el petróleo y las islas), Frankfurter Allgemeine Zeitung, s.p. (2) Desire alquiló de forma compartida con Falkland Oil and Gas los servicios del Ocean Guardian, una plataforma petrolera con el pabellón de las islas Marshall, que llegó a Malvinas tras tres meses de viaje. Tras prestar servicios a Desire, ésta se desplazó al sur de las islas, área licitada a Falkland Oil and Gas. (3) ROMERO, Luis Alberto "¿Son realmente nuestras las Malvinas?", s.p. Agrega: "no habrá solución argentina a la cuestión de Malvinas hasta que sus habitantes quieran ser argentinos e ingresen voluntariamente como ciudadanos a su nuevo Estado. Es imposible no tenerlos en cuenta, como lo hace el gobierno argentino". (4) WURFGAFT, Romy "Argentina amenaza a las empresas que buscan petróleo en las Malvinas". El Mundo, s.p. Información adicional sobre este punto en MOSES, Carl y THEURER, Marcus "Erdöl auf die alten Wunden" (Petróleo sobre viejas heridas), Frankfurter Allgemeine Zeitung, s.p. FUENTE: BASADA EN PRENSA ARGENTINA, ESPAÑOLA, ALEMANA, URUGUAYA, BRITÁNICA Y ESTADOUNIDENSE. BibliografíaAguiar, Felix R. (editor) Operaciones terrestres en las islas Malvinas Biblioteca del Oficial, Bs.As., 1983.ARGENTINA amenaza a las empresas que buscan petr�leo en las Malvinas, El Mundo, [En l�nea], [consulta: 3.5.2012]. Disponible en: http://www.elmundo.es ARGENTINA no es amenaza militar, DEF [En l�nea] [consulta: 23.4.2012]. Disponible en: http://www.defonline.com.arARGOS warned by Argentina to abstain from drilling in the Falklands or. Mercopress, [En l�nea], [consulta: 3.4.2012]. Disponible en http://www.en.mercopress.comAuel, Heriberto Justo "La situaci�n estrat�gica del Atl�ntico sur en el a�o 2012", Revista Digital N° 791, [En l�nea], [consulta: 3.5.2012]. Disponible en: http://www.1884editorial.com.arBalza, Martin Malvinas, la gesta incompleta, Atl�ntida, Bs.As., 2003. Barre, Le�n "Zoolog�as cristinistas", El Mostrador, [En l�nea], [consulta 3.4.2012]. Disponible en http://www.elmostrador.cl .Bilbao Richter, Jos� "En b�squeda de principios estrat�gicos coherentes" Revista Digital N° 791, [En l�nea], [consulta: 3.5.2012]. Disponible en: http://www.1884editorial.com.arBriley, Harold "Yes, they have not bananas (in Falkland and in Buenos Aires)", Mercopress, [consulta: 3.4.2012]. Disponible en http://www.en.mercopress.comCa�as Montalva, Ram�n Geopol�tica oce�nica y austral, Academia de Guerra del Ej�rcito de Chile, Santiago de Chile, 2008.Castro Jorge "Malvinas: ¿Regionalizaci�n del conflicto?" (entrevista) Revista Digital N° 791, [En l�nea], [consulta: 3.5.2012]. Disponible en: http://www.1884editorial.com.arCoconi, Luciana "¿Islas Malvinas o Falkland Islands?. La cuesti�n de la soberan�a sobre las islas del Atl�ntico sur", Universidad de Barcelona, Barcelona, 2010.Cox, Robert "Put the Islanders first: key to the Malvinas/Falkland dispute", Mercopress , [En l�nea] [consulta: 3.4.2012]. Disponible en http://www.en.mercopress.comDe los Reyes, Marcelo Javier "Las islas Malvinas y el Atl�ntico sur", Revista Digital N° 791, [En l�nea], [consulta: 3.5.2012]. Disponible en: http://www.1884editorial.com.ar_____________ "Las islas Malvinas y el Atl�ntico sur: configuraciones estrat�gicas y econ�micas" de Marcelo Javier de los Reyes, Revista Digital N° 791, [En l�nea], [consulta: 3.5.2012]. Disponible en: http://www.1884editorial.com.arDozer, Rudolf, "The territorial status of the Falkland (Malvinas): past and present", Oceana Publications Inc, N.Y., 2000.Escud�, Carlos "Un experimento pacifista: las pol�ticas exteriores y de seguridad de Argentina en el siglo XXI", Documentos de Trabajos N° 426, Universidad del CEMA, Bs.As., 2010.Espinosa Moraga, Oscar La cuesti�n de las islas Malvinas, 1492-1982, Biblioteca del Oficial, Santiago de Chile, 1983.ESTADOS UNIDOS. Oficina de Asuntos P�blicos de la Secretar�a de Estado La Crisis del Atl�ntico sur, antecedentes, consecuencias y documentaci�n, Washington DC, 1982.Fleischmann, Luis "The Falkland/Malvinas Islands: another case of regional Chauvinism", Organizaci�n Latinoamericana para la Defensa de la Democracia, OLADD. [En l�nea], [consulta: 3.4.2012]. Disponible en http://www.ciempre.comFraga, Rosendo "La globalizaci�n de la estrategia argentina por Malvinas", [En l�nea], [consulta: ]. Disponible en: __________ "Malvinas: Pasado y futuro", Nueva Mayor�a [En l�nea], [consulta: 2.4.2012]. Disponible en: http://www.nuevamayoria.com__________ "¿Hay un rearme argentino?", Nueva Mayor�a [En l�nea]. [ consulta: 30.3.2012]. Disponible en:Freedmann, Lawrence y Gamba-Stonehouse, Victoria Se�ales de guerra, Vergara Editores, Bs.As., 1992.Jastreblansky, Maia "La propuesta secreta de los ingleses a Per�n por las Malvinas", La Naci�n [En l�nea] [consulta: 30.3.2012]. Disponible en http://www.lanacion.com.arKlare, Michael, "Resource wars. The new global landscape of global conflict", Owl Books, NY., 2012.Kon, Daniel Los Chicos de la guerra Galerna, Bs.As., 1982. MALVINAS es una causa sudamericana, DEF [En l�nea], [consulta: 5.4.2012]. Disponible en: http://www.defonline.com.arMoses, Carl y Marcus Theurer "Erd�l auf die alten Wunden" (Petr�leo sobre viejas heridas), Frankfurter Allgemeine Zeitung, [En l�nea], [consulta: 5.4.2012]. Disponible en: http://www.faz.de______ "Der Krieg, das �l und die Insel" (La guerra, el petr�leo y las islas), Frankfurter Allgemeine Zeitung, [En l�nea], [consulta: 5.4.2012]. Disponible en: http://www.faz.de Mu�oz Azpiri, Jos� Luis "La herida abierta: nuestras Malvinas" Revista Digital N° 791, [En l�nea], [consulta: 3.5.2012]. Disponible en: http://www.1884editorial.com.arPalermo, Vicente, "Sal en las heridas. Las Malvinas en la cultura argentina y contempor�nea", Sudamericana, Bs.As., 2007.PETROLERA brit�nica vende licencia para buscar petr�leo en las Malvinas, La Naci�n, [En l�nea], [consulta: 15.3.2012]. Disponible en: http://www.lanacion.com.arRECLAMO brit�nico, DEF [En l�nea], [consulta: 23.4.2012]. Disponible en http://www.defonline.com.arRomero, Luis Alberto "Las Malvinas no visi�n alternativa" La Naci�n, [En l�nea], [consulta: 15.3.2012]. Disponible en: http://www.lanacion.com.arWest, Nigel "La guerra secreta por las Malvinas", Sudamericana, Bs.As, 1997.Wurgaft, Romy "Argentina amenaza a las empresas que buscan petr�leo en las Malvinas", El Mundo, [En l�nea] [consulta: 15.3.2012]. Disponible en: http://www.elmundo.es________"La pesca, clave en el alto PIB per capita de los habitantes de las Malvinas", El Mundo, [En l�nea] [consulta: 15.3.2012]. Disponible en http://www.elmundo.es Sobre el autorProfesor de Universidad Alberto Hurtado (Chile) Ph.D. en Comunicación (Universidad Carlos IV, República Checa)
Implementación del proyecto SNAP por el PNUD UruguayDesde el período de Post-Guerra, a partir de la creación de la Organización de Naciones Unidas en 1945, ha ido creciendo la trascendencia de la cooperación internacional "en la solución de problemas internacionales de carácter económico, social, cultural o humanitario, y en el desarrollo y estímulo del respeto a los derechos humanos y a las libertades fundamentales de todos" (Carta de las Naciones Unidas; 1945; artículo 1). Así es que la responsabilidad de los organismos que se fueron creando con dicho propósito ha ido aumentando, debido a la gran cantidad de fondos que disponen y la influencia que tienen sobre la vida de muchas otras entidades y personas.Hoy en día, las organizaciones internacionales de cooperación presentan mecanismos de accountability, es decir, de transparencia y rendición de cuentas en sus políticas y prácticas, frente a distintos stakeholders. Éstos son los "individuos o grupos que pueden afectar o son afectados por las políticas o/y las acciones de una organización" (Blagescu y otros; 2005; 20), también denominados "contrapartes" o "actores" de la organización. Los stakeholders de un organismo tienen capacidades desiguales en cuanto a recursos financieros y know-hows, distintas posibilidades de acceso a información confiable, así como necesidades y expectativas dispares. Estas diferencias son la traducción de niveles desparejos de influencia, lo que conlleva a la existencia de procesos de rendición de cuentas variables en la práctica de la organización en cuestión.La comunidad internacional ha desarrollado la idea de que la existencia de mayoraccountability es positivo para las instituciones y la sociedad civil. Sin embargo, es recurrente la publicación de críticas realizadas a organismos de cooperación acerca de falta de transparencia durante la implementación de proyectos o en misiones de ayuda, particularmente en países subdesarrollados. A su vez, gran parte de los trabajos académicos existentes sobre accountability en las entidades internacionales se centran principalmente en el estudio de la cantidad o calidad de mecanismos de rendición de cuentas, así como de su efectividad, poniéndola muchas veces en tela de juicio. En cambio, el trabajo aquí presentado busca entender cómo se efectúan los procesos de accountability de una organización de cooperación dependiendo específicamente de quién sea el destinatario de ésta. Así es que se introdujo una nueva variable en la investigación sobre accountability de los organismos internacionales: sus stakeholders.Los hallazgos de la investigación se obtuvieron a partir del estudio de un caso único de agencia de cooperación, el Programa de Naciones Unidas para el Desarrollo (PNUD) en Uruguay (1). Esta metodología apuntó a captar las circunstancias y condiciones de una situación cotidiana, asumiéndose que los aprendizajes obtenidos del estudio de caso dan pautas acerca de la realidad y las situaciones existentes en las organizaciones internacionales para el desarrollo en general, que pueden presentar diferentes dinámicas y modalidades de funcionamiento entre ellas pero enfrentarse a problemáticas similares. El PNUD tiene una larga trayectoria de trabajo en el país y, por ende, presenta mecanismos de accountability bien definidos. Se distingue como órgano de cooperación para el desarrollo en que gran parte de sus programas son de interés y ejecución nacional, dándole así al Gobierno una participación sustancial en muchos aspectos.La investigación se acotó a uno de los proyectos llevados a cabo por el PNUD en el país en el área de Medio Ambiente desde el año 2005, el de "Fortalecimiento del Proceso de Implementación del Sistema Nacional de Áreas Protegidas (SNAP) de Uruguay", proyecto complejo que cuenta con una cantidad importante de contrapartes, a quienes se les debe rendir cuentas. Comprende varios donantes y lo ejecuta una Unidad especializada dentro del MVOTMA, en conjunto con el PNUD como Agencia de Implementación, por lo que la organización de cooperación y el Ministerio se encuentran en constante interacción.El marco teórico utilizado para el estudio fue el institucionalismo neoliberal de Robert O. Keohane, quién hace una distinción entre las contrapartes que tiene un organismo internacional. Califica de stakeholders "internos" a la organización, a los grupos que son parte de ella o a los donantes formalmente vinculados a ella. En este caso, las principales contrapartes internas de la Oficina del PNUD en Uruguay son la Sede central del PNUD, que se encuentra en Nueva York, y el GEF (Fondo Mundial para el Medio Ambiente), el mayor donante para el proyecto. Por otro lado, los stakeholders "externos" son los grupos o individuos que se ven afectados por las decisiones y actividades de la organización pero no son parte de la misma. En este proyecto, los más destacados son dos entes gubernamentales: la Oficina de Planeamiento y Presupuesto (OPP), contraparte principal en todo lo relevante a la cooperación internacional en nuestro país, y el Ministerio de Vivienda, Ordenamiento Territorial y Medio Ambiente (el MVOTMA), Organismo Nacional de Ejecución del proyecto. Cabe aclarar que la sociedad civil no fue considerada como actor externo al PNUD porque la forma de cooperar de la organización en este proyecto es apoyar al Gobierno a ejecutarlo. Entonces, canaliza los distintos fondos, participa en su administración y brinda mucho apoyo con su know-how, pero la ejecutora del proyecto es la Unidad creada por el Gobierno en el MVOTMA. Por ende, la sociedad civil sería más bien un stakeholder del Gobierno.En su desarrollo teórico, Keohane explica que los procesos de accountability están estrechamente vinculados a las relaciones de poder. El autor define el poder como"la habilidad que tiene un actor de lograr que otro haga algo que en otras circunstancias no haría" (Keohane; 1988;11) y, como una institución no brindaaccountability por sí misma ya que hacerlo restringiría su autonomía, asegura que algunos stakeholders reciben mayor accountability que otros según el poder que tengan dentro de la organización. Keohane sostiene que son las contrapartes internas quienes tienen mayor poder y, por lo tanto, siempre recibirán mayoraccountability por parte del organismo internacional que las externas.Las hipótesis que guiaron el estudio están derivadas de dicho marco teórico. Por lo tanto, la investigación buscó comprobar o refutar el supuesto de que losstakeholders internos a la Oficina del PNUD en Uruguay reciben mayoraccountability que las contrapartes externas debido a que tienen mayor poder sobre la agencia de cooperación. Se utilizaron determinados criterios para evaluar los mecanismos de accountability brindada a los stakeholders por el organismo, que incluyen la transparencia de la agencia, la participación de las contrapartes, las instancias de evaluación y los mecanismos de quejas y respuestas que presenta el PNUD hacia cada actor.La exploración de los procesos de accountability presentados por la Oficina del PNUD a sus principales contrapartes a lo largo del proyecto se centró en la revisión de documentos y la realización de entrevistas a funcionarios de la organización y a representantes de los stakeholders involucrados. La agencia destina diversos mecanismos de accountability a los distintos stakeholders en la implementación del proyecto, como por ejemplo informes, instancias de participación o consulta para las distintas contrapartes, acceso a la información.Para contrastar las expectativas teóricas planteadas con la realidad empírica del caso de estudio, fue indispensable realizar una comparación entre lo pautado formalmente y lo que ocurre en la práctica. Cada actor involucrado tiene un rol diferente en el proyecto, pero el foco de análisis del trabajo fue en qué forma y en qué medida éstos reciben accountability por parte del PNUD.El GEF y la Sede de la organización, contrapartes internas, son efectivamente las que reciben mayor accountability, agregando que las instancias de rendición de cuentas destinadas a ellas son más formales que las presentadas a los dos órganos gubernamentales. Tanto la Sede central como el GEF tienen manuales de monitoreo y seguimiento detallados para controlar las actividades de la Oficina en Uruguay, le exigen que presente informes con requisitos muy específicos y plazos que cumplir y cuentan con órganos o personal técnico para evaluar el cumplimiento de estas instancias. La Oficina del PNUD en Uruguay también ingresa y actualiza constantemente todos los datos relevantes de sus proyectos en un sistema informático, llamado "Atlas", al que tienen acceso todas las demás oficinas de la organización, incluyendo la Oficina Regional para América Latina (intermediario entre las Oficinas Nacionales de la región y la Sede) y la misma Sede central. Estas instancias de accountability que reciben las contrapartes externas, no solo se ven plasmadas en documentos normativos, sino que están institucionalizadas en el funcionamiento diario de la organización.En cambio, los stakeholders externos a la organización, la OPP y el MVOTMA, no tienen realmente institucionalizados mecanismos de carácter formal destinados a controlar la actuación del PNUD. Por ejemplo, no presentan manuales de procedimiento para el monitoreo ni personal técnico que se dedique exclusivamente a estudiar las evaluaciones que se le puedan realizar a la agencia de cooperación. Sí existen mecanismos que, a grandes rasgos, le otorgan a ambos entes gubernamentales las facultades para obtener accountabilty. Por ejemplo, elAcuerdo entre la República y el Programa de las Naciones Unidas para el Desarrollo es el marco legal que rige la relación entre la organización y el Gobierno, pero plasma ideas muy abstractas sin especificar de qué forma se llevarán a cabo. Por otra parte, las instancias de rendición de cuentas que se les brinda a las contrapartes internas no se basan en lo que éstas exijan sino que son iniciativa de la propia organización o fueron demandadas por otros actores.Al contrastar estas observaciones con las hipótesis iniciales, lo primero que pudo notarse fue que en este caso de estudio los stakeholders internos efectivamente reciben mayor accountability. Sin embargo, la investigación no permitió verificar que esto se explicase en base al poder de las contrapartes sobre la organización. Todos los actores, tanto la Sede y el principal donante para el proyecto (el GEF), como los dos órganos de Gobierno involucrados, tienen poder sobre la actividad del PNUD Uruguay en este proyecto y tienen la potestad de que ésta les rinda cuentas. Esta oficina representa a la Sede y depende de ella, por lo que debe seguir todos sus reglamentos e indicaciones; a la vez, el GEF es un fondo que financia muchos proyectos en los que coopera el PNUD en el mundo y es el mayor donante para el Proyecto SNAP. Por otra parte, como la agencia cobra por sus actividades de cooperación para sustentarse, es de su conveniencia participar en la mayor cantidad de proyectos posibles, para los que la debe elegir el Gobierno como Agencia de Implementación. El MVOTMA es el Órgano de Ejecución del proyecto, tomando las decisiones y siendo otro importante financiador de éste, y la OPP es la coordinadora de la cooperación internacional en el país. Entonces, si bien losstakeholders externos se ven evidentemente beneficiados por el apoyo de la agencia en la implementación del proyecto SNAP, éstos también tienen poder sobre la Oficina de País.A pesar de no encontrarse fundamentos que permitieran afirmar que las contrapartes que recibían mayor rendición de cuentas eran las más poderosas, la investigación permitió sugerir otra explicación para la diferencia de accountabilitydestinada a unos u otros stakeholders, más bien basada en la exigencia que tiene cada uno para con el organismo. Se pudo observar que la Sede y el GEF pautan y demandan mayores instancias de rendición de cuentas al PNUD en la implementación del proyecto de las que le piden la OPP y el MVOTMA. Un hallazgo a destacar es que el Gobierno, la OPP y el MOVTMA, no parecen tener tan interiorizado el demandar accountability como sí lo tienen los stakeholdersinternos a la organización. La agencia no cuenta con mecanismos deaccountability claros destinados hacia el Gobierno, pero éste tampoco los pide.Entonces, el estudio llevó a observar que la falta de exigencia de instancias de monitoreo y evaluación del PNUD por ambos stakeholders externos, se debe en parte a una carencia de capacidad institucional para hacerlo. Incluso, el actual Oficial del PNUD que fue entrevistado hizo referencia a esta falta de capacidad institucional de los entes gubernamentales, declarando que:"(…) preocupa como el Estado no genera las capacidades para exigir esa accountability. Ahí hay un problema también…porque un país como Uruguay debería tener niveles superiores de desarrollo institucional. Es decir, aplicar exigencias mayores a los organismos de los que tienen."Lo relevante de este hallazgo es que el Gobierno no demanda mayoraccountability. Esto no sucede porque no cuente con la potestad de hacerlo, sino debido a una falta de capacidad institucional. Luego, se desprende que la variable de poder no es la más relevante para entender la dinámica entre los stakeholders y el PNUD en este caso.A su vez, otro dato que aporta cierta explicación a la poca exigencia por parte del Gobierno es el alto grado de confianza que pudo observarse que todos losstakeholders tienen en el PNUD. Efectivamente, debido al estrecho vínculo que han generado durante todos los años de trabajo en conjunto, el Gobierno y el PNUD han forjado una confianza mutua. También, el GEF confía en que éste, como agencia de implementación de los proyectos, realizará los procedimientos estipulados de la forma correcta. Sin embargo, a pesar de la confianza que ambos grupos de contrapartes tienen en la forma de funcionar de la agencia, las agencias internas siguen controlando las actividades de la organización y esperando que les sea accountable, mientras que las externas – que están además presentes diariamente en todos los ámbitos del proyecto – no ven la utilidad de un mayor control.La investigación no permite definir todas las variables que influyen en la cantidad y en la forma en que se brinda accountability a ambos grupos de stakeholders, pero introduce un nuevo parámetro de análisis. Éste consiste en la cantidad deaccountability que cada una de las contrapartes exige a la agencia de cooperación. El Gobierno cuenta con ámbitos que le permitirían demandar accountability al PNUD, pero no los pone realmente en práctica. Entonces, la organización internacional, "acostumbrada" a que sean los actores internos los que exijan mayoraccountability, basa el sistema de rendición de cuentas y transparencia que genera en lo que éstos solicitan. Es decir que la carencia de exigencia por parte de losstakeholders externos lleva al PNUD a desarrollar sus procesos de accountabilityen un "lenguaje" destinado a ser comprendido casi solo por los internos.Finalmente, puede concluirse que la forma en que la agencia internacional brindaaccountability a sus stakeholders no depende únicamente del poder que éstos tengan sobre ella, sino de que ejerzan dicho poder para exigirle que les seaaccountable. El ejercicio efectivo de poder de un stakeholder está ligado a que éste presente las capacidades institucionales para llevarlo a cabo. En este aspecto es que se hacen notar las mencionadas deficiencias institucionales del gobierno uruguayo para generar mayores instancias de exigencia de accountability. Entonces, podemos suponer que los países con características similares a Uruguay, con estabilidad democrática y socio-económica, se encuentran con este tipo de desafíos en lo que refiere a los mecanismos de accountability que demandan a los organismos internacionales en su cooperación.No se pretende afirmar que la variable que podemos calificar como "exigencia deaccountability" es la de mayor trascendencia para el análisis de los procesos deaccountability, ya que la investigación realizada expuso la gran complejidad existente en las relaciones entre las contrapartes y el organismo internacional. Sí es válido destacar la importancia de que se amplíe el espectro de parámetros a considerar en el análisis de los procesos de accountability en la implementación de proyectos de cooperación internacional, para así ampliar en un futuro el alcance de la teoría de Keohane sobre los procesos de accountability y los stakeholders.(1)La página principal en español es http://www.beta.undp.org/undp/en/home.html. La página sobre Uruguay es http://www.undp.org.uy/. *Estudiantes de la Licenciatura en Estudios InternacionalesDepto de Estudios InternacionalesFACS – Universidad ORT UruguayREFERENCIAS BIBLIOGRÁFICASAcuerdo entre el Gobierno de la República Oriental del Uruguay y el Programa de las Naciones Unidas para el Desarrollo 1985 y ratificado por la Ley Nacional Nº 15.957. 1988.BLAGESCU, Mónica; DE LAS CASAS, Lucy; LLOYD, Robert. Pathways to Accountability. The GAP Framework. En: One World Trust [online]. 2005. Disponible en internet: KEOHANE, Robert O.; NYE, Joseph S. 1988. Poder e interdependencia. Serie: La política mundial en transición. Buenos Aires: Grupo Editor Latinoamericano (GEL).KEOHANE, Robert O.; RUTH, Grant. Accountability and Abuse of Power in World Politics. En: Princeton University. [online]. 2005. Disponible en Internet: MO, Macarena; PERRONE, Sofía; TECHERA, Maia. 2011 Monografía: Los procesos de accountability en los organismos internacionales de cooperación. Universidad ORT UruguayUNITED NATIONS. 1945. Carta de las Naciones Unidas. [online]. Disponible en Internet:
En la experiencia cotidiana del aula, es frecuente que el estudiante de diseño de indumentaria se vea problematizado a la hora de abordar un ejercicio proyectual. Suele adoptar una metodología que permite revelar un modo determinado de enfoque: ya sea, priorizando la materialidad por sobre la técnica y la forma, o bien preponderando la forma por sobre la técnica y la materialidad, o también introduciendo una determinada técnica que sugiera cierta materialidad y a la vez propicie su aplicación a la forma. Un ejemplo para el primer enfoque es el siguiente: el docente propone un tejido determinado para diseñar una pieza alrededor de un maniquí y en tamaño real, sin la posibilidad de recurrir a accesorios externos como pueden ser ballenas de sujeción o miriñaques. Se trata de contar con la materialidad, es decir, con un material textil específico dado y un cuerpo en tres dimensiones: el maniquí. En este caso, forma y técnica surgirían en una segunda instancia. Se prepondera así, la materialidad en primer lugar, ya que la forma surgirá teniendo en cuenta sus particularidades físicas vinculadas con el tacto y la caída de la tela. Influirá considerablemente en la forma si dicha materialidad es rígida u orgánica, liviana o pesada, lisa o rugosa, si es áspera o suave, si posee una trama abierta o cerrada entre otras características físicas. Así, nunca podría lograrse alrededor del maniquí una estructura rígida y volumétrica con un tejido liviano y abierto sin ayuda de ballenas de sujeción o de un miriñaque. Vale decir, la técnica surge influida por el material propuesto. Por su parte, tanto la moldería a plantear como las máquinas de costura a implementar para la posterior construcción del diseño serán en función de la propia materialidad en cuestión.
Distinto sería el ejemplo que se da a continuación, de modo de ilustrar el segundo enfoque, a través del cual se partiría de la forma. En este caso se recurriría directamente a la ilustración. Esto es el dibujo sobre papel, que es planteado en primer lugar. En este ejemplo metodológico el maniquí no es una herramienta necesariamente utilizada y mucho menos en la etapa inicial del ejercicio. El estudiante plantearía un dibujo a color de su diseño en un figurín en un tamaño aproximado de veinte o veinticinco centímetros con vistas de frente, espalda y perfiles. Este es el caso más popularizado y utilizado en las clases de diseño. Metodología que prepondera la forma por sobre la técnica y la materialidad, ambas variables que, en esta metodología son tomadas en cuenta en una segunda instancia, a veces inclusive, son sugeridas por una modelista que el estudiante contrata.
Por último, citando un caso para entender el tercer método de abordaje, se plantearía la siguiente situación: el encargo incluiría una premisa técnica de la cual partir que constaría de pensar en una prenda confeccionada con máquinas de costuras rectas y moldería de líneas rectas, sin posibilidad de incluir curvas. A partir de este modo de abordar el ejercicio se suscitarían formas predeterminadas específicas para materialidades particulares que habiliten dichas formas. Es decir, aquí, las variables forma y materialidad derivan como resultantes de la técnica específica inicialmente propuesta.
De esta manera, estos tres casos citados evidencian variadas metodologías para abordar un ejercicio de diseño en las cuales el tratamiento de las variables materialidad, técnica y forma se presenta de manera escindida. Es frecuente hallar propuestas para resolver ejercicios de diseño desde una óptica fragmentada, en la cual se exponen casos a seguir con un orden específico. Se trata de circunstancias procesales en las cuales una variable se sitúa y en consecuencia, es abordada, antes que las otras; de modo que una mirada integral, transversal de dichas variables, resulta abstracta y lejana. Ahora bien, ¿es alguna de estas variables, materialidad, técnica, forma más importante que las otras? ¿Cómo arribar a un buen resultado de diseño? ¿Hay resultados mejores que otros, dependiendo de cómo se priorizan estas variables? El sendero hacia respuestas certeras para un problema de diseño se presenta sinuoso. La teoría del diseño es un campo en construcción. Sus postulados y fronteras están en la actualidad en constante debate y sus sustentos teóricos provienen frecuentemente de otras disciplinas. El ejercicio del diseño ha devenido en una actividad de espectro sumamente amplio y el campo disciplinar un universo muy vasto. Desde fines del siglo XX hasta la actualidad, ya habiendo sido transitada la primer década del siglo XXI, se ha podido documentar un gran número de investigaciones sobre diseño1 . Todas ellas han contribuido al ejercicio de la disciplina y a la reflexión acerca de la multiplicidad de aplicaciones y diversificaciones que el diseño tiene, factor que invita a profundizar en especificidades cada vez más minuciosas2 .
Es oportuno mencionar que, si bien puede evidenciarse una fuerte actividad investigativa en el ámbito educativo desde el punto de vista teórico, también existe un interés creciente en atender problemáticas inherentes estrictamente a los procesos de diseño y la fabricación, la construcción de los productos, es decir hacer hincapié y ahondar en el estudio de estos procesos desde el punto de vista práctico. Así, pues surge la necesidad de cuestionar y profundizar sobre factores inherentes a la enseñanza y el aprendizaje de la disciplina en términos de procesos como respuesta a las inquietudes propias de docentes que a diario intentan mejorar las metodologías proyectuales implementadas en el aula como así también como un aporte a los estudiantes que intentan formarse y superarse permanentemente.
En esta instancia, es preciso distinguir el área y objeto de estudio que será comprendida: la relación pedagógica que se produce en el aula –especialmente en el ámbito universitario– y, como consecuencia, la manera en que los procesos proyectuales de estudiantes de diseño de indumentaria se llevan a cabo en ese espacio y que forman parte sustancial de la práctica de aprendizaje de la disciplina.
De esta manera, surgen nuevos interrogantes: ¿es posible pensar las variantes materialidad, técnica y forma de manera simultánea? O, acaso ¿es, inclusive, necesario un abordaje donde todas sean tomadas transversalmente de manera tal que se retroalimenten en forma conjunta, como en una relación sinérgica en favor de un proceso proyectual determinado? En ese caso, ¿es posible implementar una metodología interdisciplinaria dentro del aula? ¿De qué manera? Han sido citados tres ejemplos con abordajes metodológicos diferentes. Sin embargo, no es posible aseverar que, en la tarea de diseñar del estudiante, uno se más pertinente que otro.
Por el contrario, todos estos casos, permiten identificar distintos caminos procesales para concretar diversos resultados. Desde esta perspectiva, se hace pertinente profundizar sobre el estudio de la relación pedagógica que se da en el aula entre el docente y el estudiante y dentro de la misma, por ende, la relación entre las variables que se ponen en juego en la actividad proyectual como la materialidad, la técnica y la forma. Paralelamente también, las diversas posiciones y miradas que puede plantear el estudiante frente a dichas variables en su proceso de aprendizaje en el espacio áulico para la confección de una pieza de indumentaria. Dentro del marco de la carrera de Diseño de Modas, en la Facultad de Diseño y Comunicación de la Universidad de Palermo puede verse el resultado de gran parte del trabajo realizado en el aula reflejado en una muestra que involucra a una cantidad de piezas de indumentaria diseñadas por los estudiantes. El problema que ocupa a la presente investigación surge de la experiencia obtenida a partir de la labor en la coordinación de dicha muestra denominada "Moda en Palermo". Más aún, "Moda en Palermo" no es sólo una muestra, sino un proyecto pedagógico que congrega a todas las cátedras de las asignaturas de la carrera de Diseño de Modas en un ciclo de desfiles, video instalaciones y performances que tiene lugar al término de cada cuatrimestre en la Facultad de Diseño y Comunicación de la Universidad de Palermo. La posibilidad de llevar el mundo de las ideas al campo de lo posible, lo materializable, es parte de la metodología propuesta en dicha facultad. El proceso de aprendizaje de los estudiantes no finaliza en el aula, sino que toma cuerpo y puede apreciarse en esta muestra multidisciplinaria. En "Moda en Palermo" pueden verse las ideas materializadas.
"Materializadas" expresado como modo de llevar a cabo estas ideas a partir de la confección de una pieza, de un modelo en tres dimensiones. En el lenguaje académico y dentro del marco de la carrera de Diseño de Modas, este modelo tridimensional es denominado prototipo. Dentro del contexto que involucra el mencionado proyecto pedagógico, el concepto prototipo se encuentra estrechamente vinculado al diseño. Así, construir un prototipo es una forma de "hacer" diseño. Es oportuno introducir una definición de Joan Costa referida a diseño, dado que en ella es incluido el término prototipo. En dicha definición, Costa incluye el prototipo como parte del diseño. Asimismo, define al diseño como un "conjunto de actos (…)", por lo que se podría inferir que, según Costa, en lugar de diseño, se plantea el acto de diseñar. El diseño como acción.
Así, Joan Costa, refiriéndose al diseño, expresa:
(…) conjunto de actos de reflexión y formalización material que interviene en el proceso creativo de una obra original (gráfica, arquitectónica, objetual, ambiental) la cual es fruto de una combinatoria particular, mental y técnica de planificación ideación, proyección y desarrollo creativo en forma de un modelo o prototipo destinado a su reproducción, producción y disfunción por medios industriales.
En "Moda en Palermo", los proyectos devienen en prototipos tangibles que son presentados a la comunidad educativa la cual comprende docentes de diversas cátedras de las materias Diseño y materias afines como Moldería y Técnicas de Producción y también estudiantes de niveles iniciales y avanzados de las carreras Diseño de Indumentaria y Producción de Modas. Los proyectos de diseño gestados en el aula cada cuatrimestre toman cuerpo a modo de modelos realizados en escala real que se exhiben en esta muestra multidisciplinaria. La primera inquietud surge a partir de percibir ciertas problemáticas constructivas dadas en la resolución de algunos de estos prototipos. Esta observación incentivó a iniciar un camino de búsqueda despertando así muchos interrogantes que motivaron dicha investigación. En este sentido, una vez acabada la construcción del modelo prototipo es frecuente escuchar, por parte de los estudiantes, apreciaciones tales como: "el diseño no me quedó con la silueta que yo quería", o "Esto lo pensé más volumétrico pero no sé por qué no quedó así", o "Esta forma debió quedar sostenida y rígida pero se cae" o "Explíqueme cómo logro que este cuello me quede como en el dibujo". Dichas apreciaciones despertaron el interés en esta investigación al comprender que, en los procesos de diseño, los estudiantes dan la pauta de tener cierto desconocimiento acerca de materiales, sus capacidades y posibilidades técnico-constructivas y en consecuencia, las prestaciones que ofrecen. En los procesos de diseño suele prevalecer la forma por sobre los materiales y la técnica, como si la propuesta proyectual no necesitara incluir todas las variables tratadas integralmente como un abordaje necesario para la definición del diseño y la construcción de un modelo prototipo. Por ejemplo, en la práctica del diseño en el aula es frecuente la recurrencia al dibujo, al boceto bidimensional que suele expresarse a través de la fotocomposición y el collage. Así, la forma bidimensional, expresada a través de la ilustración, es la variable que vehiculiza la definición de la propuesta. La técnica y la materialidad a implementar suelen considerarse propias de una fase secundaria, de una instancia posterior al bocetado, el cual, espontá- neamente, surge en la fase inicial. De esta manera, la forma bidimensional no es situada por el estudiante como parte de un abordaje de resolución proyectual integral que surja como consecuencia de ensayos que incluyan propuestas vinculadas a la utilización de determinados materiales textiles y una técnica definida haciendo uso de máquinas diversas. Cabe preguntarse, en consecuencia, la forma en que el diseño es planteado paso a paso en la enseñanza, si es que hay un paso a paso. ¿Qué elementos intervienen en el acto pedagógico y la metodología proyectual implementados en el aula para la concreción de una pieza de diseño de indumentaria? Este último interrogante sintetiza el mencionado objeto de estudio que guía el presente trabajo: la relación pedagógica que se establece en el aula. Los interrogantes por parte de los estudiantes no surgen sólo con el resultado de las propuestas acabadas de diseño, como se ha ejemplificado anteriormente. Sino también, en los procesos proyectuales, en los caminos de construcción de las ideas que se dan previamente a la tarea de materialización. Interrogantes que invitan a reflexionar, incentivan a investigar y estimulan a abordar la problemática proponiendo una perspectiva desde la cual instancias que tienen que ver con el acto de resolver constructivamente una idea de diseño, puedan percibirse y entenderse como parte del acto mismo de diseñar. En dicho contexto, se considera el hecho de construir como instancia fundamental en el proceso proyectual. Así pues, esta investigación se propone estudiar sobre aquello que al estudiante le falta a la hora de concretar una idea, entendiéndose por concretar al hecho de materializar a través de la confección de un prototipo de diseño de indumentaria.
Ahora bien, claro está que resulta imposible ver materializados a través de la confección de prototipos todos los proyectos de diseño que el estudiante presenta a lo largo de un ciclo cuatrimestral, dado que estos son numerosos y el tiempo, muy escaso.
Sin embargo, cabe mencionar que incluir en el proceso de aprendizaje para el quehacer del estudiante instancias relacionadas con resolver constructivamente, parcial o totalmente, una pieza de indumentaria puede estimular, simultáneamente a la toma de determinadas decisiones relacionadas con la estética, como así también con la cuestión formal de dicha pieza en el propio proceso creativo. En este sentido, se toma la idea de hacer lugar a diná- micas de integración en las cuales las diversas variables como la materialidad, la técnica y la forma se yuxtaponen para afrontar global e integralmente las problemáticas de diseño y, en consecuencia, despertar nuevas consideraciones en términos de propuestas proyectuales en el aula. Así, pues, esta idea de abordaje integral para la resolución constructiva de un prototipo de indumentaria y el accionar transversal de las variables mencionadas pretenden ser estudiadas en mayor profundidad y eventualmente, pensar acerca de la posibilidad de incorporar nuevas actividades pedagógicas alineadas con esta perspectiva integradora como una de las herramientas viables para el aprendizaje en el aula.
De este modo, y a través de las variables de materialidad, técnica y forma se plantea el análisis de los diversos procesos creativos de diseño de indumentaria que se dan en el aula, planteando, como se ha mencionado, dos miradas: la del docente y la del estudiante, revelando así, tanto metodologías de enseñanza como maneras en las que el estudiante percibe aquello que aprende. Se intenta profundizar especialmente en las estrategias heurísticas que guían en el acto creativo y que se proponen en el aula, estrategias relacionadas con formas de proceder, con tácticas para hallar posibles respuestas a problemáticas concretas de diseño y que contribuyen a achicar el abismo entre el pensar y el hacer. Siendo el espacio áulico, entonces, el contexto tomado como objeto de estudio para la presente investigación por resultar escenario propicio para ahondar en las prácticas del diseño, se propone profundizar sobre el concepto de taller, según Ander-Egg (1994). Se trata de una metodología activa en el sistema de enseñanza-aprendizaje en la que se reemplaza el hablar y la argumentación teórica por un hacer de índole productivo, en el que se aprende haciendo, a través de una experiencia realizada conjuntamente, y en la que están implicados tanto los estudiantes como el docente. El taller es un lugar de conocimiento e intercambio de experiencias en el proceso pedagógico, es un espacio heurístico donde acontecen procesos de aprendizaje vinculados tanto con lo creativo como con lo técnico en el campo del diseño cuya dinámica se centra en el que aprende.
Así, en un taller se trabaja, se elabora, se piensan y se plantean procesos a partir del hacer. Se trata de un enseñar y aprender haciendo en grupo. Dado que, en el sistema de taller queda comprendida la práctica de una actividad que se lleva a cabo conjuntamente, resulta pertinente ahondar en aspectos vinculados con el término de grupo. El reconocido psiquiatra argentino Enrique Pichon-Rivière (1985) plantea que el pensar siempre es en grupo y caracteriza al grupo como:
Conjunto restringido de personas que, ligadas por constantes de tiempo y espacio y articuladas por su mutua representación interna se propone, en forma explícita o implícita, una tarea que constituye su finalidad, interactuando a través de complejos mecanismos de asunción y adjudicación de roles.
A partir del concepto de Pichon-Rivière, en el marco del presente trabajo se define el término grupo para referirse al conjunto de personas, docente y estudiantes que se vinculan didácticamente para el desarrollo de una actividad específica en el taller. Se trata de un grupo de enseñanza y de aprendizaje. Del grupo lo que se pretende es específicamente indagar, como objeto teórico de la didáctica, el acto pedagógico en la enseñanza de diseño y la manera en que los procesos proyectuales se llevan a cabo dentro de un grupo, específicamente, en el trabajo de taller. Así, los términos grupo y taller son claves para comprender la dinámica pedagógica propia del área de estudio, el aula, y serán profundizados oportunamente.
Por un lado, se propone comparar las perspectivas de los docentes en relación con la importancia que le otorgan los estudiantes a los materiales en los procesos creativos, junto a las posibilidades técnico-constructivas que éstos tienen y las prestaciones que ofrecen. Por el otro, se intenta identificar y estudiar desde ambas perspectivas, la del docente y la del estudiante, las problemáticas que se evidencian en dichos procesos para establecer si la consideración de los materiales es importante y en tal caso, en qué medida.
En este sentido, a través de ahondar en el estudio de lo que acontece en el taller y a partir del trabajo en grupo, esta investigación se propone pensar y profundizar sobre una perspectiva que pone de manifiesto el proceso de integración de dos grandes aspectos: el creativo y el técnico. Se plantea a raíz de visualizar una usual escisión de ambos conceptos a la hora de plantear un proyecto de diseño de indumentaria. El estudiante de diseño los aborda como si se tratara de dos universos ajenos entre sí, ambos pertenecientes a disciplinas diferentes. Es así que es frecuente hallar que el estudiante identifique y asocie el diseño con una disciplina perteneciente a un campo más creativo que técnico. Esta visión conduce a la imposibilidad de resolver constructivamente una idea de diseño y al descreimiento acerca de que técnica y materialidad son dos variables difícilmente escindibles. Más aún, variables facilitadoras y, tratadas conjunta y sinérgicamente, contribuyentes a la definición de una forma específica del objeto a diseñar. Por ende, podría pensarse en la eventualidad de un posible camino hacia diversas propuestas de diseño tratados los aspectos creativo y técnico, integral y transversalmente.
El concepto de heurística es tomado como apoyo teórico para comprender de qué trata el diseño en aula, de qué trata el diseño en términos de enseñanza y aprendizaje.
En este marco, docentes y estudiantes trabajan conjuntamente en el taller para abordar el diseño, que puede ser entendido en términos de una idea, un plan o un proyecto para la solución de un problema de diseño determinado. La heurística es definida por el Arquitecto Gastón Breyer (2007) como una disciplina vinculada a la teoría del problema, a la ciencia de la pregunta y al posicionamiento del sujeto. Así, considerado el diseño como proceso heurístico, se plantea en él, el desarrollo de la capacidad de problematizar.
Desde este punto de vista, es válido preguntar: ¿de qué manera se construye un proyecto?, ¿cómo se practica el diseño en un grupo de taller?, ¿cómo se halla la solución al problema planteado, especialmente, teniendo en cuenta que puede haber varias soluciones posibles en tanto existen diversas metodologías proyectuales de abordaje? La existencia de múltiples propuestas metodológicas válidas se manifiesta debido a que pueden desarrollarse variadas prácticas en la enseñanza y aprendizaje del diseño. Así, se propone el estudio de los fenómenos evidenciados en esas prácticas. Se refiere, en este sentido, a un acercamiento a la comprensión de aquello que acaece en el seno de la enseñanza del diseño a partir del análisis de los fenómenos evidenciados en sus prácticas heurísticas en el grupo de taller pensando en términos de dar una mirada integral. Surgen así otros interrogantes cuyas respuestas intentan ser un aporte al desarrollo y profundización de la disciplina en términos de contribuir a calidad académica: ¿Cuáles son las condiciones de producción, es decir, las posibilidades técnico-constructivas que hacen a la materialización, esto es, las técnicas de concreción implementadas en esas prácticas, ya sea en su generación, en términos de instancia procesal o en sus efectos, en términos de resultados? ¿Cómo se relacionan los estudiantes con los materiales en la práctica del diseño? ¿De qué manera influyen los docentes en dicha relación? ¿Qué relaciones se establecen entre el material y otras variables como la tecnología que posibilita la instancia técnico-constructiva y la forma en el proceso de la práctica proyectual? Y por último, ¿de qué manera la metodología proyectual propia del taller infiere en la concreción de un proyecto de diseño de indumentaria, en la construcción del prototipo? En el marco académico en el cual se lleva a cabo la relación pedagógica de enseñanza y aprendizaje y no obstante se percibe una clara dificultad para vincular los universos creativo y técnico, tanto docentes como estudiantes esperan que al finalizar la carrera de Dise- ño de Indumentaria el estudiante los integre. Ambos aspectos integrados, el creativo y el técnico, son necesarios para que el futuro diseñador pueda desenvolverse confiadamente y resolver problemáticas propias de la vida profesional, en la cual difícilmente la creatividad se ve aislada de la técnica. Así pues, la presente investigación propone analizar en paralelo ambos aspectos, junto a los conceptos de materialidad, técnica y forma y la posición que docentes y estudiantes, sobre todo, los primeros tienen del proceso que involucra al diseño y al rol del diseñador de indumentaria.
En términos de antecedentes, se registran en el ámbito académico, trabajos de investigación que revisan la naturaleza del actual sistema de formación de los estudiantes de diseño y que evidencian numerosas metodologías de enseñanza del diseño. La Universidad de Palermo cuenta con un vasto volumen de publicaciones de trabajos escritos por profesionales que revelan investigación acerca de una multiplicidad de líneas temáticas que incluyen a la pedagogía del diseño y al estudio del diseño como disciplina. Dichas publicaciones testimonian experiencias de docentes de diversas carreras de la Facultad de Diseño y Comunicación. En relación a los abordajes que propone el presente trabajo existen acercamientos fragmentarios, aunque no reúnen la especificidad que en este caso se presenta. Por ejemplo, Acerca de la enseñanza del diseño, reflexiones sobre una experiencia metodológica en la FADU (2007), escrito por María Carmen Frigerio, Silvia Pescio y Lucrecia Piattelli, aunque resultó de utilidad para profundizar sobre el sentido de la tarea en el denominado taller de diseño, específicamente referido a la transmisión y a la enseñanza del diseño, no se aboca a las problemáticas propias de las prácticas de estudiantes de indumentaria las cuales son abordadas en esta investigación.
Otro escrito referido a la enseñanza del diseño, en este caso, de diseño de indumentaria, fue Sobre la enseñanza del diseño de indumentaria. El desafío creativo (enseñanza del método) (2014), de Patricia Doria, docente de la Universidad de Palermo, en el cual profundiza sobre los distintos pasos propios de un método en un proceso proyectual para el diseño de una pieza de indumentaria. No obstante, la autora no se acerca a los puntos de vista que se plantean en este trabajo, ya que, por ejemplo, no explora problemáticas vinculadas con la integración de los aspectos creativo y técnico en la enseñanza y el aprendizaje.
Por otro lado, no se encontró material específico que evidenciara testimonio acerca de problemáticas vinculadas con la materialización de planteos proyectuales en diseño de indumentaria, tema central en este trabajo. No ha sido hallada referencia de estudios sobre los elementos que intervienen en la metodología proyectual que se implementa, dentro del espacio áulico, el taller, en los procesos de enseñanza y aprendizaje para la concreción de una pieza de diseño de indumentaria, específicamente.
Tampoco se registran casos que exploren la actividad vinculada a la dinámica de grupo en el taller de diseño de indumentaria y tampoco, que contemplen una mirada de abordaje integral del diseño para la construcción de una pieza prototipo dentro del marco de la carrera de diseño de indumentaria.
En conclusión, existe un vacío acerca del punto de vista que se trata la problemática en el presente trabajo. Así, esta investigación reviste un nivel de especificidad inédito al mismo tiempo que aporta un panorama actual propio de una problemática vigente en el ámbito educativo universitario. Contribuye con un abordaje específico al estudio de aquello que acontece dentro del aula, el denominado taller, contemplando ambas miradas, tanto la de estudiantes como la de docentes. Por tal motivo, resulta de utilidad para unos y otros, revelando nuevas propuestas de abordaje de la disciplina, no sólo desde el punto de vista proyectual sirviendo como guía para el planteo de proyectos a abordar, sino también desde la didáctica universitaria, aportando nuevas alternativas para una educación de calidad valorizando a sus actores, docentes y estudiantes que contribuyen a diario en sus prácticas de enseñar y aprender.
Tanto la metodología utilizada para el abordaje de la problemática que dio lugar al presente trabajo como las herramientas elaboradas, resultan de utilidad para investigaciones futuras; esencialmente, aquellas que se vinculen al estudio de la práctica áulica y a la integración de métodos diversos para el aprendizaje de la disciplina.
Asimismo, dicho trabajo resulta valioso para docentes y estudiantes de diversas disciplinas vinculadas con el diseño de indumentaria como son el diseño de vestuario, el diseño de calzado y el diseño de accesorios. Docentes y estudiantes que se interesan por reflexionar y profundizar sobre la práctica enseñanza-aprendizaje durante la formación académica, una práctica en permanente desarrollo y continuo devenir.
En este sentido, en la actualidad, transitando la segunda década del siglo XXI, la actualización de los saberes para la formación universitaria se torna indispensable en un contexto donde el conocimiento en las disciplinas del diseño requiere movilidad, evolución y reajuste permanente. Así, distintas acciones orientadas a enriquecer la relación enseñanzaaprendizaje no son sólo propicias, sino necesarias. El presente trabajo pretende ser de aporte poniendo al alcance de docentes y estudiantes herramientas metodológicas para el abordaje del diseño como una forma de afianzar la actualización de los campos disciplinares en el ámbito académico. La propuesta de estrategias pedagógicas y la generación de recursos didácticos son parte de dicha actualización y constituye un material provechoso orientado a facilitar avances en acciones propias de la formación de futuros profesionales del diseño y la comunicación.
De esta manera, dicho trabajo está enmarcado dentro de la línea temática Pedagogía del diseño y las comunicaciones.
La Universidad de Palermo resulta un ámbito académico propicio para investigar los distintos aspectos anteriormente planteados dado que es un lugar de intercambio permanente de saberes vinculados con el diseño como así también de experiencias profesionales y pedagógicas que tienen lugar y se comparten a través de diversos encuentros y muestras organizadas y llevadas a cabo por dicha universidad como el Encuentro Latinoamericano de Diseño y el Congreso Latinoamericano de Enseñanza del Diseño. Estos saberes y experiencias se divulgan en "Actas de Diseño", la única publicación académica de carácter periódico en el campo del diseño de alcance latinoamericano que la Facultad de Diseño y Comunicación de la Universidad de Palermo edita semestralmente desde el año 2006 en su rol de institución coordinadora del Foro de Escuelas de Diseño. Este marco de intercambio es ciertamente motivador para el desarrollo de la presente investigación. La Universidad de Palermo es un espacio académico productivo y valioso donde se construye conocimiento de adentro hacia fuera de la institución educativa y permite a los profesionales estar en permanente movimiento de interacción con especialistas y aficionados del diseño en general como una forma de contribuir a la disciplina. En términos específicos vinculados con el diseño de indumentaria, la Facultad de Diseño y Comunicación de la Universidad de Palermo considera, como se ha mencionado anteriormente, de particular importancia la posibilidad de llevar el mundo de las ideas al campo de lo posible. Es decir, ver materializadas las ideas de sus estudiantes y en ese sentido, investigar para mejorar los procesos de enseñanza y aprendizaje de modo de optimizar los resultados tiene un particular valor pedagógico. Así, el proyecto pedagógico "Moda en Palermo" es de vital importancia en la formación de los estudiantes. En las muestras que se llevan a cabo en "Moda en Palermo" se ven los resultados de un proceso de aprendizaje gestado en el aula. Dichos resultados devienen de un exhaustivo trabajo manifestado a través del proceso creativo. Generar ideas que devienen en un objeto de diseño materializado, en un prototipo, es una forma de hacer diseño. El resultado sintetiza la consolidación de un proceso de búsqueda constante y se hace visible en tanto la idea se materializa. Así, la Universidad de Palermo contribuye con una gran cantidad de espacios para la exploración y el desarrollo de estudios vinculados a la enseñanza y el aprendizaje, a la comprensión de aspectos relacionados con aquello que es hacer diseño, de vital importancia para la concreción de dicha investigación.
Desde el punto de vista pedagógico se pretende, en este sentido, conocer los fenómenos que se plantean en el trabajo de grupo en el denominado taller de manera tal de entender los resultados relacionados al núcleo sustancial de la propuesta pedagógica de la carrera de Diseño de Indumentaria de la Universidad de Palermo: como se ha expresado con anterioridad, trasladar el plano de las ideas al campo de lo posible y materializable.
Hipótesis
La hipótesis plantea que en el proceso de enseñanza y aprendizaje de diseño de indumentaria en el espacio áulico, la materialidad condiciona los aspectos técnico-constructivos y morfológicos e influye en la definición de un diseño concebido como prototipo.
Objetivo general
Como objetivo general se propone estudiar los elementos que intervienen en la metodología proyectual que se implementa, dentro del espacio áulico, en los procesos de enseñanza y aprendizaje para la concreción de una pieza de diseño de indumentaria en relación con la materialidad.
Objetivos específicos
Los objetivos específicos planteados son explorar la incidencia de la materialidad, según la óptica del estudiante, en el proceso de diseño; detectar e indagar acerca de la relación que el estudiante establece entre materialidad, técnica y forma en el proceso de diseño; comparar las visiones de los docentes en relación a la importancia que le dan los estudiantes a la materialidad en los procesos proyectuales; y analizar la perspectiva que le transmiten los docentes a sus estudiantes en cuanto a la relación entre materialidad, técnica y forma.
El trabajo está organizado en cinco capítulos. En el primer capítulo, La metodología proyectual para la concreción de una pieza de diseño de indumentaria, se exponen las perspectivas vinculadas a actividades relacionadas con la enseñanza y el aprendizaje del diseño de indumentaria en la universidad, sus alcances y límites. Específicamente, se profundiza sobre en la propuesta pedagógica de la Facultad de Diseño y Comunicación de Universidad de Palermo que radica en "hacer posible lo pensable". Se recurre al marco teórico de Bernhard Bürdek, Esther Díaz y al testimonio de una estudiante que expone sus preocupaciones en torno al tema tratado.
En el segundo capítulo, Heurística e interdisciplinariedad en la práctica de la enseñanza y el aprendizaje, se reflexiona sobre los elementos que intervienen en el acto pedagógico y la metodología proyectual implementados en el aula para la concreción de una pieza de diseño de indumentaria. Así, este capítulo examina el trabajo áulico en el marco heurístico. Para profundizar en el concepto de la heurística, se recurre a la fuente teórica del arquitecto Gastón Breyer. De modo de contribuir a la comprensión de estas prácticas, asimismo, se consideran y desarrollan los términos grupo y taller, según Enrique Pichon-Rivière y Ezequiel Ander-Egg, respectivamente, conceptos tan vitales en la cotidianeidad del trabajo áulico. Desde este encuadre, asimismo, con el aporte teórico del pensador contemporáneo Víctor Margolin, se ahonda sobre la posibilidad de favorecer y alinear la práctica de dise- ñar con una perspectiva de enseñanza multidisciplinaria, integral, que contemple variables transversales abiertas a revisión permanente. Se propone así, contribuir a la construcción de diversas perspectivas, incluyendo testimonios de docentes que sugieren diversos puntos de vista.
En el tercer capítulo, Diseño, metodología y Complejidad, se plantea una aproximación al diseño a partir de la Complejidad. Desde este prisma, se recurre, por un lado, al aporte del pensador austríaco Paul Feyerabend, quien difunde en Contra el método la ausencia de un método con principios inalterables en torno al diseño y, por el otro, a la contribución del filósofo y sociólogo francés, Edgar Morin, quien con su trabajo Introducción al pensamiento complejo contribuye en la construcción de modos de pensar.
Así, su aporte es parte sustancial de este capítulo que pretende dar lugar a la consideración de un pensamiento complejo –un abordaje transversal– para comprender y abordar las problemáticas expuestas, específicamente, relativas a los elementos que intervienen en el abordaje de la construcción de un prototipo de indumentaria.
En el cuarto capítulo, Materialidad, técnica y forma en la práctica proyectual, deja al descubierto un contexto de realidad virtual que aparenta alejar al estudiante de la realidad material. En este aspecto, Ezio Manzini hace por un lado, un aporte valioso para pensar la práctica del diseño a partir de la virtualidad de los materiales y por el otro, contribuye a reflexionar acerca del objeto como la "materialización de algo pensable posible" estableciendo en el objeto un punto de intersección entre las líneas del pensamiento y las del desarrollo técnico. Además, este capítulo profundiza sobre el funcionamiento de las variables y expone una mirada responsable crítica de docentes entrevistados en el marco de esta investigación acerca de su incidencia en los procesos de aprendizaje. Con el aporte teórico de Richard Buchanan y Víctor Margolin, se propone pensar en la materialidad como una variable que define a la forma a partir del hacer. En este sentido, se introduce el espacio de taller técnico como escenario posible para interiorizarse de recursos constructivos y pensar la materialidad con la intervención de la técnica, un recurso con el que cuenta la Universidad de Palermo para la construcción de prototipos. Se incluye una serie de imágenes que da cuenta de la perspectiva de trabajo planteada. Por último, a partir de la perspectiva docente, toma la idea de hacer lugar a dinámicas de integración en las cuales las diversas variables se yuxtaponen para afrontar global e integralmente las problemáticas de diseño y, en consecuencia, despertar nuevas consideraciones en términos de propuestas proyectuales en el aula para la construcción de un prototipo.
Finalmente, en el quinto y último capítulo, se detalla el planteamiento metodológico y los resultados obtenidos a través del trabajo de campo realizado.
Notas
1. Entre las organizaciones dedicadas a difundir los avances al respecto y a realizar conferencias de diseño con temáticas muy amplias se encuentran la European Academy of Design, Japanese Society for the Science of Design y Design Research Society (Margolin, 2009).
2. En Las rutas del diseño (2009), libro que comprende un compilado de trabajos que tratan diversos temas vinculados a la investigación sobre diseño, se enfatiza sobre el lineamiento de Víctor Margolin, investigador que se ha dedicado a la enseñanza del diseño en la Universidad de Illinois en la ciudad de Chicago desde 1982. Margolin profundiza sobre el planteo del diseño como una disciplina holística e interdisciplinaria, concepto que resulta revelador para el abordaje de las problemáticas expuestas en la presente investigación.