Search results

ABSTRAK Terbentuknya BPD bertujuan mendorong terciptanya partnership yang harmonis serta tidak konfrontatif antara kepala desa sebagai kepala pemerintah desa dan BPD sebagai wakil-wakil rakyat desa yang diperagakan oleh lembaga legislatif baik ditingkat kabupaten/kota, provinsi dan pusat.Kembalinya fungsi kontrol atas kekuasaan eksekutif desa, yang selama ini didominasi oleh kepala desa, sekarang fungsi kontrol atas kekuasaan eksekutif desa dijalankan oleh Badan Permusyaratan Desa (BPD) sebagai badan legislatif desa yang merupakan lembaga kepercayaan masyarakat. Lahirnya Badan Permusyaratan Desa (BPD), dinilai sebagai institusi politik demokrasi di masyarakat pedesaaan sebagai pengganti LMD yang memberikan suasana baru dalam kehidupan demokrasi di desa. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji Bagaimana fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD) dalam pelaksanaan kerja pemerintah Desa Bolangitang Satu Kecamatan Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.Menggunakan metode penelitian kualitatif penulis menggali lebih dalam bagaimana fungsi BPD itu sebenarnya di Desa Bolangitang Barat ini. Dari hasil penelitian didapati bahwa fungsi BPD di Desa Bolangitang Barat ini masih lemah dan bahkan dapat dikatakan fungsi pengawasan BPD tidak berpengaruh apa-apa dalam proses pemerintahan dan pembangunan. Disarankan perlu adanya koordinasi yang baik antara pemerintah Desa dan BPD, serta harus adanya anggaran khusus untuk BPD untuk menunjang operasionalnya. Keywords : Fungsi, Badan Permusyawaratan Desa PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Konsekuensi implementasi otonomi daerah, salah satu perubahan yang fundamental adalah terjadinya pergeseran struktur politik pemerintahan desa yang jauh berbeda dibanding sebelumnya. Angin segar yang dibawa arus reformasi adalah lahirnya pelembagaan politik ditingkat desa yang diharapkan memberikan dinamika dan suasana politik yang lebih demokratis, otonom, independent dan sekaligus prospektif dalam pembangunan masyarakat desa. Pengaturan mengenai desa dalam undang-undang ini meliputi peraturan tentang: pembentukan, penghapusan dan pembangunan desa, pemerintahan desa, Badan Permusyaratan Desa, keuangan desa, kerjasama antar desa, Maka yang utama dari undang-undang ini bagi desa adalah kedudukan desa yang tidak lagi dibawah kecamatan. Desa adalah entitas politik yang otonom.Fungsi kecamatan dalam konteks ini adalah sekedar menjalankan fungsi administratif dan koordinasi di wilayah kecamatan, sesuai dengan status kecamatan yang tidak lagi merupakan sebuah wilayah kekuasaan melainkan sebagai perpanjangan tangan dari kabupaten. Untuk memperkuat dasar-dasar operasional pelaksanaan pemerintahan desa, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 2006 tentang pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa.Peraturan pemerintah ini melengkapi peraturan sebelumnya dengan menegaskan kewenangan desa. Badan Permusyaratan Desa (BPD) diharapkan menjadi wadah atau gelanggang politik baru bagi warga desa dan membangun tradisi demokrasi, sekaligus tempat pembuatan kebijakan publik desa serta menjadi alat kontrol bagi proses penyelenggaraanpemerintahan dan pembangunan ditingkat desa. Hal ini bisa terealisasi apabila Badan Permusyaratan Desa (BPD) sebagai mitra Kepala Desa, berperan aktif dalam membangun desa bersama kepala desa dan masyarakat. Lahirnya Badan Permusyaratan Desa (BPD) di Desa Bolangitang Satu Kecamatan Bolangitang Barat, merupakan desa yang baru dimekarkan sejak lima tahun terakhir, merupakan konsekuensi dari implementasi otonomi daerah. Dalam jangka waktu yang relatif cepat lembaga ini dibentuk untuk melakukan pilkades.Lembaga yang masih muda ini adalah lembaga legislatif desa yang baru dalam kehidupan demokrasi di tingkat desa, seharusnya memiliki tanggung jawab penuh untuk menjalankan peranan atau fungsinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap lembaga, termasuk Badan Permusyaratan Desa (BPD) akanseoptimal mungkin melaksanakan peran atau fungsinya secara baik, namun semua itu harus dipersiapkan secara matang dan terencana. Dalam hal ini peneliti sangat tertarik untuk menggambarkan secara maksimal bagaimana pelaksanaan fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD) dalampelaksanaan kerja yang dijalankan oleh kepala desa (sangadi) sebagi pemerintah desa, agar terwujudnya demokratisasi serta semakin baiknya pelayanan terhadap masyarakat didesa sebagai mana yang dicita-citakan dalam otonomi daerah. Berdasarkan pemikiran di atas penulis melakukan penelitian tentang"Pelaksanaan Fungsi Badan Permusyaratan Desa di Desa Bolangitang Satu". Rumusan Masalah Menurut DR. Suharsimi Arikunto (1996:19) dalam penelitian harus dirumuskan masalah dengan jelas agar penelitian dapat di laksanakan dengan sebaik-baiknyya sehingga akan jelas dari mana harus dimulai dan kemana harus pergi. Perumusan masalah juga diperlukan untuk mempermudah menginterpretasikan data dan fakta yang diperlukan dalam suatu penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: "Bagaimana fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD) dalam pelaksanaan kerja pemerintah Desa Bolangitang Satu Kecamatan Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara?" Tujuan dan Manfaat Penelitian Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah pasti mempunyai tujuan yang ingin dicapai.Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah: Untuk mengetahui fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD), implementasinya pada pemerintahan Desa, serta efektif dilaksanakan pada program kerja pemerintahan desa di Desa Bolangitang Satu Kecamatan Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Manfaat Penelitian: Manfaat ilmiah, untuk menjadi khasanah ilmiah tentang pelaksanaan pemerintahan daerah dalam rangka pemberdayaan desa.Manfaat Praktis, Sebagai bahan masukan dalam literatur kepustakaan bagi kalangan yang berkepentingan dan tertarik dengan masalah yang sama. TINJAUAN PUSTAKA A. Fungsi Lembaga Badan Permusyaratan Desa (BPD) Fungsi merupakan tranformasi akibat pemetaan suatu nilai ke nilai lain. Badan Permusyaratan Desa (BPD) merupakan salah satu unsur dalam pemerintahan desa yang diharapkan dapat membantu terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan desa yang demokratis sesuai dengan aspirasi masyarakat. Badan Permusyaratan Desa (BPD) merupakan suatu lembaga yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Anggota Badan Permusyartan Desa (BPD) adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Anggota Badan Permusyaratan Desa ( BPD) terdiri dari ketua rukun warga, pemangku adat, golongan profesi, pemukaagama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota Badan Permusyaratan Desa (BPD) adalah 6 (enam) tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembaliuntuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Jumlah anggota Badan Permusyaratan Desa (BPD) ditetapkan dengan jumlah ganjil, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak11 (sebelas) orang, dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan desa. Peresmian anggota Badan Permusyaratan Desa (BPD) ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota dihadapan masyarakat dan dipandu oleh Pimpinan BPD yang terdri dari 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) orang wakil ketua, dan 1 (satu) orang sekretaris. Pimpinan Badan Permusyaratan Desa (BPD), dipilih dari dan olehanggota Badan Permusyaratan Desa (BPD) secara langsung dalam rapat Badan Permusyaratan Desa (BPD) yang diadakan secara khusus, Rapat pemilihan pimpinan Badan Permusyaratan Desa (BPD) untuk pertama kali dipimpin oleh anggota tertua dan dibantu oleh anggota termuda. Badan Permusyaratan Desa (BPD) berfungsi menetapkanperaturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. B. Tinjauan Tentang Otonomi Daerah Menurut Loggeman dalam tulisannya "Het staatsrecht derzelfregerendaGemenschappe" istilah ototnomi mempunyai makna kebebasan atas kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan terbatas yang harus dipertanggung jawabkan. Dalam pemberian tanggung jawab terkandung dua unsur: a. Pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus dilaksanakan serta kewenangan untuk melaksanakannya. b. Pemberian kepercayaan berupa kewenangan untuk memikirkan dan menetapkan sendiri bagaimana penyelesaian itu. Pemberian kekuasaan dalam istilah otonomi dalam arti bertanggung jawab atas pengaturan dan pengurusan pemerintahan daerah mempunyai sifat mendorong atau memberikan perangsangan untuk berusaha menumbuh dan mengembangkan keinginan sendiri, sifat itu membangkitkan otoaktivitas dan mempertinggi harga diri dalam arti yang sebaik-baiknya (Syafruddin,1984:6).Otonomi daerah secara sederhana dapat diartikan sebagai hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri oleh satuan organisasi pemerintahan di daerah. Menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004 otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan, Sedangkan daerah otonom itu sendiri adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Widjaja,2001:243). C. Tinjauan Tentang Pemerintahan Desa Pemerintah desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah desa dimakani sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai pemerintah desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat. D. Tinjauan Tentang Desa Pengertian desa dari sudut pandang sosial budaya dapat diartikan sebagai komunitas dalam kesatuan geografis tertentu yang antar mereka saling mengenal dengan baik dengan corak kehidupan yang relatif homogen dan banyak bergantung secara langsung pada alam.Oleh karean itu, desa diasosiasikan sebagai masyarakat yang hidup secara sederhana pada sektor agraris, mempunyai ikatan sosial, adat dan tradisi yang kuat, bersahaja, serta tingkat pendidikan yang dikatakan rendah. Sedangkan dari sudut pandang politik dan hukum , desa sering diidentikkan sebagai organisasi kekuasaan. Melalui kaca mata ini, desa dipahami sebagai organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara politis mempunyai wewenang tertentu dalam struktur pemerintahan Negara. (Juliantara,2000:18) F. Defenisi Operasional Defenisi operasional merupakan unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel, dengan kata lain sebagai petunjuk pelaksanaannya. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah operasionalisasi kerangka teori yang telah diajukan sebelumnya (singarimbun 1989:46). Adapun indikator-indikator dari variabel yang diteliti adalah Pelaksanaan Fungsi Badan Permusyaratan Desa di Desa Bolangitang Barat Kecamatan Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara adalah sebagai berikut: Fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD).Peran Badan Permusyaratan Desa (BPD).Kendala, penghalang dalam menjalankan fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD).Usaha-usaha yang dilakukan agar pelaksanaan Badan Permusyaratan Desa BPD) berjalan dengan baik. METODE PENELITIAN A. Bentuk Penelitian Bentuk penelitian yang menggunakan metode deskriptif kualitatif yang maksudnya suatu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan melalui generalisasi yang menjelaskan suatu gejala atau kenyataan sosial yang berlangsung. (faisal, 1995:20) Maka bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif.Penelitian deskriptif ini sebenarnya beragam, banyak ahli yang memberikan pengertian yang lebih luas yaitu segala macam bentuk penelitian kecuali penelitian histories dan eksperimantal.Penelitian deskriptif ini adalah penelitian yang bermaksud untuk membuat deskripsi mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian (Suryabrata, 1987:19). B. Lokasi Penelitian Adapun lokasi penelitian bertempat di kantor Badan Permusyaratan Desa (BPD) Dan Kantor Kepala desa Desa Bolangitang Satu Kecamatan Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. C. Fokus Penelitian Penelitian ini difokuskan pada Pelaksanaan Fungsi Badan Permusyawaratan Desa Bolangitang Satu dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, yang meliputi: Menyerap dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa.Pelaksanaan fungsi pembuat aturan desa (legislasi)Pengawasan penyelenggaraan Pemerintah Desa Bolangitang Satu. Serta hal-hal lain yang akan berkembang saat penelitian ini dilaksanakan. D. Informan Penelitian Penulis menetapkan pihak-pihak yang menjadi informan kunci (key informan), informan biasa pada penelitian ini secara sengaja, yakni dengan perincian sebagai berikut: a. Informan kunci (Key informan) - Kepala Badan Permusyaratan Desa (BPD) - Kepala Desa b. Informan biasa yang terdiri dari 4 orang masyarakat E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang tepat untuk mendapatkan data kualitatif pada umumnya agak berbeda dengan pengumpulan data melalui data kuantitatif.(Ali, 1997:198). Untuk memperoleh data informassi yang dapat dijadikan bahan dalam penelitian ini, maka penulis mengumpulkan data dengan cara melalui: 1. Teknik Pengumpulan Data Primer Dalam hal ini data diperoleh dengan cara-cara sebagi berikut. a. Wawancara, yaitu mendapatkan data dengan cara Tanya jawab dan berhadapan langsung dengan responden. b. Observasi, yaitu melakukan pengamatan langsung terhadap objek penelitian. 2. Teknik Pengumpulan Data Sekunder Yakni data yang diperoleh untuk mendukung data primer. Data sekunder yang digunakan antara lain. a. Studi Kepustakaan b. Dokumentasi F. Teknik Analisa Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian deskriptif adalah teknik analisa data kualitatif, tanpa menggunakan alat bantu rumus statistik.Pengolahan dan penganalisaan data yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif menekankan pada segi pengamatan langsung secara partisipatif dari penelitian. Dengan demikian dapat diungkapakan fenomena-fenomena yang terjadi serta hal-hal yang melatar belakanginya yang pada akhirnya akan menghasilkan gambaran yang jelas, terarah dan menyeluruh dari masalah yang menjadi objek penelitian. Oleh karena analisa dari penelitian kualitatif tidak mendasarkan interpretasi datanya pada perhitungan-perhitungan seperti analisa data penelitian kuantitatif, maka analisa data terletak pada kemampuan nalar peneliti dalam menghubungkan data, fakta, dan informasi yang diperoleh oleh peneliti itu sendiri. (Ali, 1997:151) PEMBAHASAN 1. Analisa Data Tentang Fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD) Dengan berlakunya Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang baru, yaitu UU No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999, fungsi serta kewenangan Badan Perwakilan Desa yang berdasarkan UU 32/2004 diganti nama menjadi Badan Permusyawaratan Desa mengalami penyempitan fungsi dan kewenangan, yaitu hanya berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Meskipun Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan UU 32/2004 tidak memiliki fungsi pengawasan/kontrol terhadap kepala desa, tetapi dari sisi pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan masih terbuka dengan diberikannya dua fungsi kepada Badan Permusyawaratan Desa yang dulu dimiliki oleh BPD berdasarkan UU 22 / 1999, yaitu fungsi: a. Menampng dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Masyarakat diharapkan merasa ikut memiliki pembangunan yang akan dilaksanakan. Apabila Badan Permusyaratan Desa (BPD) Desa Bolangitang tidak menyerap aspirasi masyarakat dan berjalan sediri dalam merencanakan program perencanaan pembangunan.Maka besar kemungkinan tidak akan berjalan dengan baik. Dan besar kemungkinan program, berakibat fatal, karena masyarakat desa merasa bahwa mereka tidak ikut memiliki program perencanaan yang akan dilaksanakan, serta berakibat partisipasi masyarakat untuk ikut mensukseskan program perencanaan dari Sangadi dan aparaturnya sebagai pelaksana perencana pembangunan yang telah mereka susun akan berjalan dan kalaupun berjalan akan berjalan sendiri. Namun pada tahap penyaluran aspirasi masyarakat Badan Permusyaratan Desa (BPD) Desa Bolangitang sering mengabaikan prinsip keterwakilan atau asas menyeluruh bagi setiap kebijakan desa yang dihasilkan.Hal ini berkaitan dengan kinerja Badan Permusyaratan Desa (BPD) Desa Bolangitang yang tidak optimal. Secara sistem keorganisasian lembaga pemerintahan Badan Permusyaratan Desa (BPD) Desa Bolangitang tidak mampu menjalankan fungsi kesekretariatannya maka menjadi faktor penghambat terbesar ketika aspirasi masyarakat hanya diterima melalui lisan tanpa dokumen atau arsip yang dapat diajukan pada rapat antara Pemerintah Desa dengan Badan Permusyaratan Desa (BPD) Desa Bolangitang. Inilah yang mengakibatkan tidak optimalnya fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD) Desa Bolangitang dalam menampung setiap aspirasi masyarakat yang berkembang. b. Legisasi yaitu menetapkan peraturan desa (Perdes). Fungsi legilasi dijalankan dengan baik oleh Badan Permusyaratan Desa (BPD) Desa Bolangitang pada saat perumusan dan penetapan program kerja dan peraturan desa dari Pemerintah Desa Janjiamaria.Berdasarkan hasil data bahwa Badan Permusyaratan Desa (BPD) Desa Bolangitang telah ikut dalam penetapan peraturan desa yang diajukan Pemerintah Desa sebagai suatu sistem pemerintahan desa. Akan tetapi hasil data mengenai proses perumusan program kerja pembangunan Desa Bolangitang didapati ada responden yang menyatakan sering. Hal ini berarti dalam perumusan Badan Permusyaratan Desa (BPD) Desa Bolangitang tidak diikutkan secara penuh. 2. Analisa data tentang pelaksanaan kerja Pemerintah Desa. Dalam amanat Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, secara eksplisit menyantumkan bahwa pemerintahan desa adalah Pemerintah Desa yaitu Kepala Desa dan aparaturnya dan Badan Permusyaratan Desa (BPD). Berarti pemerintah desa adalah Kepala Desa sebagai eksekutif, dan Badan Permusyaratan Desa (BPD) sebagai legislatif. Peran dan fungsi yang telah ditetapkan oleh Undang-undang dan Peraturan Pemerintah menjadikan fungsi Kepala Desa sebagai kepala pemerintahan harus memberi ruang pada partisipasi masyarakat Pembagian peran dan fungsi antara Badan Permusyaratan Desa (BPD) dengan Pemerintah Desa adalah dalam rangka meningkatkan kualitas kerja pada aparatur desa dalam melaksanakan pelayanan masyarakat di Desa Bolangitang. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya, adapun yang menjadi kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Pelaksanaan Fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD) di Desa Bolangitang dalam pemerintahan desa masih lemah. Bahkan boleh dikatakan dalam pelaksanaan dalam sistem pemerintahan desa di Desa Bolangitang Badan Permusyaratan Desa (BPD) tidak mampu memberikan pengaruh pada peningkatan kerja pemerintah desa. Dalam menyerap dan menampung aspirasi yang berkembang di masyarakat desa, Pelaksanaan pembangunan dilakukan oleh aparat pemerintah desa. Sedangkan fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD) dalam tahap pelaksanaan ini hanyalah sebatas mengawasi pelaksanaan pembangunan tersebut sesuai dengan yang direncanakan. 3. Dalam hal kualitas kerja yang dihasilkan oleh aparatur desa sebagai pelaksana pemerintahan juga muncul masalah kesalahan administratif yang menunjukkan adanya kurang profesionalisme. B. Saran Adapun saran yang akan diajukan kepada anggota Badan Permusyaratan Desa (BPD) Bolangitang adalah sebagai berikut: Perlunya ditingkatkan koordinasi antara sesama anggota Badan Permusyaratan Desa (BPD) dengan Kepala Desa dan aparaturnya sebagai pelaksana pemerintahan desa agar pelaksanaan fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD) di Desa Bolangitang dapat terlaksana dengan optimal, dan Harus segera dilakukan Diklat bagi aparatur desa.Perlu diadakannya sosialisasi tentang JUKLAK dan JUKNIS mengenai PP No. 72 tahun 2005 mengenai pemerintahan desa, melalui Perda pemerintah Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. DAFTAR PUSTAKA Ali, Faried Metode penelitian sosial dalam bidang Ilmu Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta 1997 Abe, Alexander, perencanaan daerah partisipatif . Yogyakarta; Pembaharuan 2005 Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Faisal, Sanapiah. Format-format penelitian sosial.PT Raja Grafindo Persada Jakarta. 1995 Garna, Abdul, Tata cara penulisan karya tulis ilmiah, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1991 Hadari, Nawawi. 2007. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Juliantara, Wijaya, Pembaharuan kabupaten arah realisasi di era otonomi Daerah, Yogyakarta, Pembaharuan Nawawi, Hadari. Metode penelitian bidang sosial.UGM press Yogyakarta 1990 Singarimbun Masri, Effendi Sofyan, Metode penelitiian survai, LP3ES,Jakarta 1989 Suharsimi, Arikunto, Prof. Dr,Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktek, PT.Rineka Cipta, Jakarta,1998 Sugiono. 2004. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Soekanto,Soerjono,Sosiologi suatu pengantar, PT.Raja GrafindoPersada, Jakarta, 2003 Wrihatnolo, Randy R, dan Nugroho, Riant. 2006. Manajemen Pembangunan Indonesia: Sebuah Pengantar Panduan. Jakarta: Elekx Media Komputindo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005Tentang pedoman Umum Pengaturan mengenai desa dan Badan Permusyratan Desa Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 1999 tentang pedoman Umum pengaturan mengenai desa Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 65 Tahun 1999 tentang pedoman Umum pengaturan mengenai pembentukan kelurahan Badan Permusyaratan Desa (BPD)

Researchers increasingly use meta-analysis to synthesize the results of several studies in order to estimate a common effect. When the outcome variable is continuous, standard meta-analytic approaches assume that the primary studies report the sample mean and standard deviation of the outcome. However, when the outcome is skewed, authors sometimes summarize the data by reporting the sample median and one or both of (i) the minimum and maximum values and (ii) the first and third quartiles, but do not report the mean or standard deviation. To include these studies in meta-analysis, several methods have been developed to estimate the sample mean and standard deviation from the reported summary data. A major limitation of these widely used methods is that they assume that the outcome distribution is normal, which is unlikely to be tenable for studies reporting medians. We propose two novel approaches to estimate the sample mean and standard deviation when data are suspected to be non-normal. Our simulation results and empirical assessments show that the proposed methods often perform better than the existing methods when applied to non-normal data. ; anadian Institutes of Health Research (CIHR) KRS-134297 Fonds de recherche du Quebec -Sante (FRQS) Canadian Institutes of Health Research (CIHR) Canadian Institutes of Health Research (CIHR) FRQS Masters Training Awards Vanier Canada Graduate Scholarship FRQS Postdoctoral Training Fellowship Research Institute of the McGill University Health Centre G.R. Caverhill Fellowship from the Faculty of Medicine, McGill University Cumming School of Medicine, University of Calgary Alberta Health Services through the Calgary Health Trust Hotchkiss Brain Institute Senior Health Scholar award from Alberta Innovates Health Solutions Health Research Council of New Zealand Lundbeck International Tehran University of Medical Sciences M-288 Department of Education, National Institute on Disability and Rehabilitation Research, Spinal Cord Injury Model Systems: University of Washington H133N060033 Baylor College of Medicine H133N060003 University of Michigan System H133N060032 National Health and Medical Research Council of Australia 1002160 Safe Work Australia Australian Research Council FT130101444 European Foundation for Study of Diabetes Chinese Diabetes Society Lilly Foundation Asia Diabetes Foundation Liao Wun Yuk Diabetes Memorial Fund United States National Institute of Mental Health (NIMH) grant 5F30MH096664 United States Department of Health & Human Services National Institutes of Health (NIH) - USA United States Department of Health & Human Services National Institutes of Health (NIH) - USA NIH Fogarty International Center (FIC) United States Department of Health & Human Services National Institutes of Health (NIH) - USA National Cancer Center United States Department of Health & Human Services National Institutes of Health (NIH) - USA NIH National Heart Lung & Blood Institute (NHLBI) NIH Office of Research for Women's Health through the Fogarty Global Health Fellows Program Consortium 1R25TW00934001 American Recovery and Reinvestment Act United States Department of Health & Human Services National Institutes of Health (NIH) - USA NIH National Institute of Mental Health (NIMH) R24MH071604 / R34 MH072925/ K02 MH65919 / P30 DK50456 / R24 MH56858 / RO1 MH073687 /RO1-MH069666 / R34MH084673 /R24 MH071604 United States Department of Health & Human Services Centers for Disease Control & Prevention - USA R49 CE002093 St Anne's Community Services, Leeds, UK US National Center for Medical Rehabilitation Research RO1 HD39415 Federal Ministry of Education & Research (BMBF) 01GY1150 United States Department of Health & Human Services National Institutes of Health (NIH) - USA T37 MD001449 / T32 GM07356 Ohio Board of Regents Research and Development Administration Office, University of Macau MYRG2015-00109-FSS Federal Ministry of Education & Research (BMBF) 01 GD 9802/4 ; 01 GD 0101 Federation of German Pension Insurance Institute Federal Ministry of Education & Research (BMBF) Perpetual Trustees Flora and Frank Leith Charitable Trust Jack Brockhoff Foundation Grosvenor Settlement Sunshine Foundation Danks Trust Canadian Institutes of Health Research (CIHR) FRN 83518 Scleroderma Society of Canada Scleroderma Society of Ontario Scleroderma Society of Saskatchewan Sclerodermie Quebec Cure Scleroderma Foundation Inova Diagnostics Inc Euroimmun FRQS Canadian Arthritis Network Lady Davis Institute of Medical Research of the Jewish General Hospital, Montreal, QC FRQS Senior Investigator Award National Strategic Reference Framework European Union (EU) Greek Ministry of Education, Lifelong Learning and Religious Affairs (ARISTEIA-ABREVIATE) 1259 Ministry of Health, Labour and Welfare, Japan UK National Institute for Health Research under its Programme Grants for Applied Research Programme RP-PG-0606-1142 Canada Research Chair in Neurological Health Services Research AIHS Population Health Investigator Award National Health and Medical Research Council of Australia 1088313 Netherlands Organization for Health Research and Development 945-03-047 National Health Research Institutes - Taiwan NHRI-EX97-9706PI Faculty of Medicine, Ramathibodi Hospital, Mahidol University, Bangkok, Thailand 49086 Reitoria de Pesquisa da Universidade de Sao Paulo 09.1.01689.17.7 Banco Santander 10.1.01232.17.9 Pfizer medical faculty of the University of Heidelberg, Germany 121/2000 Research University Grant Scheme from Universiti Putra Malaysia, Malaysia Postgraduate Research Student Support Accounts of the University of Auckland, New Zealand National Program for Centers of Excellence (PRONEX/FAPERGS/CNPq, Brazil) Pfizer US Pharmaceutical Inc. PQ-CNPq-2 301321/2016-7 Belgian Ministry of Public Health and Social Affairs Pfizer Ministry of Health, Italy UK National Health Service Lothian Neuro-Oncology Endowment Fund Universiti Sains Malaysia United States Department of Health & Human Services United States Health Resources & Service Administration (HRSA) R40MC07840 United States Department of Health & Human Services Agency for Healthcare Research & Quality R36 HS018246 United States Department of Health & Human Services National Institutes of Health (NIH) - USA NIH National Center for Research Resources (NCRR) TL1 RR024135 University of Melbourne Hunter Medical Research Institute Innovatiefonds Zorgverzekeraars Netherlands Organization for Health Research and Development (ZonMw) Mental Health Program 100.003.005 100.002.021 Academic Medical Center/University of Amsterdam Fund for Innovation and Competitiveness of the Chilean Ministry of Economy, Development and Tourism, through the Millennium Scientific Initiative IS130005 US Department of Veteran Affairs US Department of Veteran Affairs United States Department of Health & Human Services National Institutes of Health (NIH) - USA NIH National Heart Lung & Blood Institute (NHLBI) R01 HL079235 American Federation for Ageing Research Robert Wood Johnson Foundation (RWJF) Ischemia Research and Education Foundation

Abstract Background: DNA methylation at the GFI1-locus has been repeatedly associated with exposure to smoking from the foetal period onwards. We explored whether DNA methylation may be a mechanism that links exposure to maternal prenatal smoking with offspring's adult cardio-metabolic health. Methods: We meta-analysed the association between DNA methylation at GFI1-locus with maternal prenatal smoking, adult own smoking, and cardio-metabolic phenotypes in 22 population-based studies from Europe, Australia, and USA (n = 18,212). DNA methylation at the GFI1-locus was measured in whole-blood. Multivariable regression models were fitted to examine its association with exposure to prenatal and own adult smoking. DNA methylation levels were analysed in relation to body mass index (BMI), waist circumference (WC), fasting glucose (FG), high-density lipoprotein cholesterol (HDL—C), triglycerides (TG), diastolic, and systolic blood pressure (BP). Findings: Lower DNA methylation at three out of eight GFI1-CpGs was associated with exposure to maternal prenatal smoking, whereas, all eight CpGs were associated with adult own smoking. Lower DNA methylation at cg14179389, the strongest maternal prenatal smoking locus, was associated with increased WC and BP when adjusted for sex, age, and adult smoking with Bonferroni-corrected P < 0·012. In contrast, lower DNA methylation at cg09935388, the strongest adult own smoking locus, was associated with decreased BMI, WC, and BP (adjusted 1 × 10⁻⁷ < P < 0.01). Similarly, lower DNA methylation at cg12876356, cg18316974, cg09662411, and cg18146737 was associated with decreased BMI and WC (5 × 10⁻⁸ < P < 0.001). Lower DNA methylation at all the CpGs was consistently associated with higher TG levels. Interpretation: Epigenetic changes at the GFI1 were linked to smoking exposure in-utero/in-adulthood and robustly associated with cardio-metabolic risk factors. Fund: European Union's Horizon 2020 research and innovation programme under grant agreement no. 633595 DynaHEALTH.

Few genome-wide association studies (GWAS) account for environmental exposures, like smoking, potentially impacting the overall trait variance when investigating the genetic contribution to obesity-related traits. Here, we use GWAS data from 51,080 current smokers and 190,178 nonsmokers (87% European descent) to identify loci influencing BMI and central adiposity, measured as waist circumference and waist-to-hip ratio both adjusted for BMI. We identify 23 novel genetic loci, and 9 loci with convincing evidence of gene-smoking interaction (GxSMK) on obesity-related traits. We show consistent direction of effect for all identified loci and significance for 18 novel and for 5 interaction loci in an independent study sample. These loci highlight novel biological functions, including response to oxidative stress, addictive behaviour, and regulatory functions emphasizing the importance of accounting for environment in genetic analyses. Our results suggest that tobacco smoking may alter the genetic susceptibility to overall adiposity and body fat distribution. ; A full list of acknowledgments appears in the Supplementary Note 4. Co-author A.J.M.d.C. recently passed away while this work was in process. This work was performed under the auspices of the Genetic Investigation of ANthropometric Traits (GIANT) consortium. We acknowledge the Cohorts for Heart and Aging Research in Genomic Epidemiology (CHARGE) Consortium for encouraging CHARGE studies to participate in this effort and for the contributions of CHARGE members to the analyses conducted for this research. Funding for this study was provided by the Aase and Ejner Danielsens Foundation; Academy of Finland (41071, 77299, 102318, 110413, 117787, 121584, 123885, 124243, 124282, 126925, 129378, 134309, 286284); Accare Center for Child and Adolescent Psychiatry; Action on Hearing Loss (G51); Agence Nationale de la 359 Recherche; Agency for Health Care Policy Research (HS06516); ALF/LUA research grant in Gothenburg; ALFEDIAM; ALK-Abelló A/S; Althingi; American Heart Association (13POST16500011); Amgen; Andrea and Charles Bronfman Philanthropies; Ardix Medical; Arthritis Research UK; Association Diabète Risque Vasculaire; Australian National Health and Medical Research Council (241944, 339462, 389875, 389891, 389892, 389927, 389938, 442915, 442981, 496739, 552485, 552498); Avera Institute; Bayer Diagnostics; Becton Dickinson; BHF (RG/14/5/30893); Boston Obesity Nutrition Research Center (DK46200), Bristol-Myers Squibb; British Heart Foundation (RG/10/12/28456, RG2008/08, RG2008/014, SP/04/002); Medical Research Council of Canada; Canadian Institutes for Health Research (FRCN-CCT-83028); Cancer Research UK; Cardionics; Cavadis B.V., Center for Medical Systems Biology; Center of Excellence in Genomics; CFI; CIHR; City of Kuopio; CNAMTS; Cohortes Santé TGIR; Contrat de Projets État-Région; Croatian Science Foundation (8875); Danish Agency for Science, Technology and Innovation; Danish Council for Independent Research (DFF-1333-00124, DFF-1331-00730B); County Council of Dalarna; Dalarna University; Danish Council for Strategic Research; Danish Diabetes Academy; Danish Medical Research Council; Department of Health, UK; Development Fund from the University of Tartu (SP1GVARENG); Diabetes Hilfs- und Forschungsfonds Deutschland; Diabetes UK; Diabetes Research and Wellness Foundation Fellowship; Donald W. Reynolds Foundation; Dr Robert Pfleger-Stiftung; Dutch Brain Foundation; Dutch Diabetes Research Foundation; Dutch Inter University Cardiology Institute; Dutch Kidney Foundation (E033); Dutch Ministry of Justice; the DynaHEALTH action No. 633595, Economic Structure Enhancing Fund of the Dutch Government; Else Kröner-Fresenius-Stiftung (2012_A147, P48/08//A11/08); Emil Aaltonen Foundation; Erasmus University Medical Center Rotterdam; Erasmus MC and Erasmus University Rotterdam; the Municipality of Rotterdam; Estonian Government (IUT20-60, IUT24-6); Estonian Research Roadmap through the Estonian Ministry of Education and Research (3.2.0304.11-0312); European Research Council (ERC Starting Grant and 323195:SZ-245 50371-GLUCOSEGENES-FP7-IDEAS-ERC); European Regional Development Fund; European Science Foundation (EU/QLRT-2001-01254); European Commission (018947, 018996, 201668, 223004, 230374, 279143, 284167, 305739, BBMRI-LPC-313010, HEALTH-2011.2.4.2-2-EU-MASCARA, HEALTH-2011-278913, HEALTH-2011-294713-EPLORE, HEALTH-F2-2008-201865-GEFOS, HEALTH-F2-2013-601456, HEALTH-F4-2007-201413, HEALTH-F4-2007-201550-HYPERGENES, HEALTH-F7-305507 HOMAGE, IMI/115006, LSHG-CT-2006-018947, LSHG-CT-2006-01947, LSHM-CT-2004-005272, LSHM-CT-2006-037697, LSHM-CT-2007-037273, QLG1-CT-2002-00896, QLG2-CT-2002-01254); Faculty of Biology and Medicine of Lausanne; Federal Ministry of Education and Research (01ZZ0103, 01ZZ0403, 01ZZ9603, 03IS2061A, 03ZIK012); Federal State of Mecklenburg-West Pomerania; Fédération Française de Cardiologie; Finnish Cultural Foundation; Finnish Diabetes Association; Finnish Foundation of Cardiovascular Research; Finnish Heart Association; Fondation Leducq; Food Standards Agency; Foundation for Strategic Research; French Ministry of Research; FRSQ; Genetic Association Information Network (GAIN) of the Foundation for the NIH; German Federal Ministry of Education and Research (BMBF, 01ER1206, 01ER1507); GlaxoSmithKline; Greek General Secretary of Research and Technology; Göteborg Medical Society; Health and Safety Executive; Healthcare NHS Trust; Healthway; Western Australia; Heart Foundation of Northern Sweden; Helmholtz Zentrum München—German Research Center for Environmental Health; Hjartavernd; Ingrid Thurings Foundation; INSERM; InterOmics (PB05 MIUR-CNR); INTERREG IV Oberrhein Program (A28); Interuniversity Cardiology Institute of the Netherlands (ICIN, 09.001); Italian Ministry of Health (ICS110.1/RF97.71); Italian Ministry of Economy and Finance (FaReBio di Qualità); Marianne and Marcus Wallenberg Foundation; the Ministry of Health, Welfare and Sports, the Netherlands; J.D.E. and Catherine T, MacArthur Foundation Research Networks on Successful Midlife Development and Socioeconomic Status and Health; Juho Vainio Foundation; Juvenile Diabetes Research Foundation International; KfH Stiftung Präventivmedizin e.V.; King's College London; Knut and Alice Wallenberg Foundation; Kuopio University Hospital; Kuopio, Tampere and Turku University Hospital Medical Funds (X51001); La Fondation de France; Leenaards Foundation; Lilly; LMUinnovativ; Lundberg Foundation; Magnus Bergvall Foundation; MDEIE; Medical Research Council UK (G0000934, G0601966, G0700931, MC_U106179471, MC_UU_12019/1); MEKOS Laboratories; Merck Santé; Ministry for Health, Welfare and Sports, The Netherlands; Ministry of Cultural Affairs of Mecklenburg-West Pomerania; Ministry of Economic Affairs, The Netherlands; Ministry of Education and Culture of Finland (627;2004-2011); Ministry of Education, Culture and Science, The Netherlands; Ministry of Science, Education and Sport in the Republic of Croatia (108-1080315-0302); MRC centre for Causal Analyses in Translational Epidemiology; MRC Human Genetics Unit; MRC-GlaxoSmithKline pilot programme (G0701863); MSD Stipend Diabetes; National Institute for Health Research; Netherlands Brain Foundation (F2013(1)-28); Netherlands CardioVascular Research Initiative (CVON2011-19); Netherlands Genomics Initiative (050-060-810); Netherlands Heart Foundation (2001 D 032, NHS2010B280); Netherlands Organization for Scientific Research (NWO) and Netherlands Organisation for Health Research and Development (ZonMW) (56-464-14192, 60-60600-97-118, 100-001-004, 261-98-710, 400-05-717, 480-04-004, 480-05-003, 481-08-013, 904-61-090, 904-61-193, 911-11-025, 985-10-002, Addiction-31160008, BBMRI–NL 184.021.007, GB-MaGW 452-04-314, GB-MaGW 452-06-004, GB-MaGW 480-01-006, GB-MaGW 480-07-001, GB-MW 940-38-011, Middelgroot-911-09-032, NBIC/BioAssist/RK 2008.024, Spinozapremie 175.010.2003.005, 175.010.2007.006); Neuroscience Campus Amsterdam; NHS Foundation Trust; National Institutes of Health (1RC2MH089951, 1Z01HG000024, 24152, 263MD9164, 263MD821336, 2R01LM010098, 32100-2, 32122, 32108, 5K99HL130580-02, AA07535, AA10248, AA11998, AA13320, AA13321, AA13326, AA14041, AA17688, AG13196, CA047988, DA12854, DK56350, DK063491, DK078150, DK091718, DK100383, DK078616, ES10126, HG004790, HHSN268200625226C, HHSN268200800007C, HHSN268201200036C, HHSN268201500001I, HHSN268201100046C, HHSN268201100001C, HHSN268201100002C, HHSN268201100003C, HHSN268201100004C, HHSN271201100004C, HL043851, HL45670, HL080467, HL085144, HL087660, HL054457, HL119443, HL118305, HL071981, HL034594, HL126024, HL130114, KL2TR001109, MH66206, MH081802, N01AG12100, N01HC55015, N01HC55016, N01C55018, N01HC55019, N01HC55020, N01HC55021, N01HC55022, N01HC85079, N01HC85080, N01HC85081, N01HC85082, N01HC85083, N01HC85086, N01HC95159, N01HC95160, N01HC95161, N01HC95162, N01HC95163, N01HC95164, N01HC95165, N01HC95166, N01HC95167, N01HC95168, N01HC95169, N01HG65403, N01WH22110, N02HL6‐4278, N01-HC-25195, P01CA33619, R01HD057194, R01HD057194, R01AG023629, R01CA63, R01D004215701A, R01DK075787, R01DK062370, R01DK072193, R01DK075787, R01DK089256, R01HL53353, R01HL59367, R01HL086694, R01HL087641, R01HL087652, R01HL103612, R01HL105756, R01HL117078, R01HL120393, R03 AG046389, R37CA54281, RC2AG036495, RC4AG039029, RPPG040710371, RR20649, TW008288, TW05596, U01AG009740, U01CA98758, U01CA136792, U01DK062418, U01HG004402, U01HG004802, U01HG007376, U01HL080295, UL1RR025005, UL1TR000040, UL1TR000124, UL1TR001079, 2T32HL007055-36, T32GM074905, HG002651, HL084729, N01-HC-25195, UM1CA182913); NIH, National Institute on Aging (Intramural funding, NO1-AG-1-2109); Northern Netherlands Collaboration of Provinces; Novartis Pharma; Novo Nordisk; Novo Nordisk Foundation; Nutricia Research Foundation (2016-T1); ONIVINS; Parnassia Bavo group; Pierre Fabre; Province of Groningen; Päivikki and Sakari Sohlberg Foundation; Påhlssons Foundation; Paavo Nurmi Foundation; Radboud Medical Center Nijmegen; Research Centre for Prevention and Health, the Capital Region of Denmark; the Research Institute for Diseases in the Elderly; Research into Ageing; Robert Dawson Evans Endowment of the Department of Medicine at Boston University School of Medicine and Boston Medical Center; Roche; Royal Society; Russian Foundation for Basic Research (NWO-RFBR 047.017.043); Rutgers University Cell and DNA Repository (NIMH U24 MH068457-06); Sanofi-Aventis; Scottish Government Health Directorates, Chief Scientist Office (CZD/16/6); Siemens Healthcare; Social Insurance Institution of Finland (4/26/2010); Social Ministry of the Federal State of Mecklenburg-West Pomerania; Société Francophone du 358 Diabète; State of Bavaria; Stiftelsen för Gamla Tjänarinnor; Stockholm County Council (560183, 592229); Strategic Cardiovascular and Diabetes Programmes of Karolinska Institutet and Stockholm County Council; Stroke Association; Swedish Diabetes Association; Swedish Diabetes Foundation (2013-024); Swedish Foundation for Strategic Research; Swedish Heart-Lung Foundation (20120197, 20150711); Swedish Research Council (0593, 8691, 2012-1397, 2012-1727, and 2012-2215); Swedish Society for Medical Research; Swiss Institute of Bioinformatics; Swiss National Science Foundation (3100AO-116323/1, 31003A-143914, 33CSCO-122661, 33CS30-139468, 33CS30-148401, 51RTP0_151019); Tampere Tuberculosis Foundation; Technology Foundation STW (11679); The Fonds voor Wetenschappelijk Onderzoek Vlaanderen, Ministry of the Flemish Community (G.0880.13, G.0881.13); The Great Wine Estates of the Margaret River Region of Western Australia; Timber Merchant Vilhelm Bangs Foundation; Topcon; Tore Nilsson Foundation; Torsten and Ragnar Söderberg's Foundation; United States – Israel Binational Science Foundation (Grant 2011036), Umeå University; University Hospital of Regensburg; University of Groningen; University Medical Center Groningen; University of Michigan; University of Utrecht; Uppsala Multidisciplinary Center for Advanced Computational Science (UPPMAX) (b2011036); Velux Foundation; VU University's Institute for Health and Care Research; Västra Götaland Foundation; Wellcome Trust (068545, 076113, 079895, 084723, 088869, WT064890, WT086596, WT098017, WT090532, WT098051, 098381); Wissenschaftsoffensive TMO; Yrjö Jahnsson Foundation; and Åke Wiberg Foundation. The views expressed in this manuscript are those of the authors and do not necessarily represent the views of the National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI); the National Institutes of Health (NIH); or the U.S. Department of Health and Human Services. ; Peer Reviewed

Identifying the underlying genetic drivers of the heritability of breast cancer prognosis remains elusive. We adapt a network-based approach to handle underpowered complex datasets to provide new insights into the potential function of germline variants in breast cancer prognosis. This network-based analysis studies ~7.3 million variants in 84,457 breast cancer patients in relation to breast cancer survival and confirms the results on 12,381 independent patients. Aggregating the prognostic effects of genetic variants across multiple genes, we identify four gene modules associated with survival in estrogen receptor (ER)-negative and one in ER-positive disease. The modules show biological enrichment for cancer-related processes such as G-alpha signaling, circadian clock, angiogenesis, and Rho-GTPases in apoptosis. ; BCAC: We thank all the individuals who took part in these studies and all the researchers, clinicians, technicians, and administrative staff who have enabled this work to be carried out. We acknowledge all contributors to the COGS and OncoArray study design, chip design, genotyping, and genotype analyses. ABCFS: Maggie Angelakos, Judi Maskiell, Gillian Dite. ABCS: Frans Hogervorst, Sten Cornelissen and Annegien Broeks. ABCTB Investigators: Rosemary Balleine, Robert Baxter, Stephen Braye, Jane Carpenter, Jane Dahlstrom, John Forbes, Soon Lee, Debbie Marsh, Adrienne Morey, Nirmala Pathmanathan, Rodney Scott, Allan Spigelman, Nicholas Wilcken, Desmond Yip. BBCS: Eileen Williams, Elaine Ryder-Mills, Kara Sargus. BCINIS: Dr. K. Landsman, Dr. N. Gronich, Dr. A. Flugelman, Dr. W. Saliba, Dr. E. Liani, Dr. I. Cohen, Dr. S. Kalet, Dr. V. Friedman, Dr. O. Barnet. BIGGS: Niall McInerney, Gabrielle Colleran, Andrew Rowan, Angela Jones. BREOGAN: Manuela Gago-Dominguez, Jose Esteban Castelao, Angel Carracedo, Victor Munoz Garzon, Alejandro Novo Dominguez, Maria Elena Martinez, Sara Miranda Ponte, Carmen Redondo Marey, Maite Pena Fernandez, Manuel Enguix Castelo, Maria Torres, Manuel Calaza, Jose Antunez, Maximo Fraga; Joaquin Gonzalez-Carrero and the Department of Pathology and Biobank of University Hospital Complex of Vigo, Instituto de Investigacion Biomedica Galicia Sur, SERGAS. BSUCH: Peter Bugert, Medical Faculty Mannheim. CCGP: Styliani Apostolaki, Anna Margiolaki, Georgios Nintos, Maria Perraki, Georgia Saloustrou, Georgia Sevastaki, Konstantinos Pompodakis. CGPS: Dorthe Uldall Andersen, Maria Birna Arnadottir, Anne Bank, Dorthe Kjeldgard Hansen, and the Danish Cancer Biobank. CNIO-BCS: Guillermo Pita, Charo Alonso, Nuria Alvarez, Pilar Zamora, and Primitiva Menendez. CPS-II: Centers for Disease Control and Prevention National Program of Cancer Registries. The National Cancer Institute Surveillance Epidemiology, and End Results program. CTS: Leslie Bernstein, Susan Neuhausen, James Lacey, Sophia Wang, Huiyan Ma, and Jessica Clague DeHart. Dennis Deapen, Rich Pinder, and Eunjung Lee, Pam Horn-Ross, Peggy Reynolds, Christina Clarke Dur and David Nelson, Hoda Anton-Culver, Argyrios Ziogas, and Hannah Park and Fred Schumacher. DIETCOMPLYF: charity Against Breast Cancer (Registered Charity Number 1121258) and the NCRN. Participants and the investigators of EPIC (European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition). ESTHER: Hartwig Ziegler, Sonja Wolf, Volker Hermann, Christa Stegmaier, Katja Butterbach. FHRISK: NIHR for funding. GC-HBOC: Stefanie Engert, Heide Hellebrand, Sandra Krober and LIFE. Markus Loeffler, Joachim Thiery, Matthias Nuchter, Ronny Baber. GENICA: Dr. Margarete Fischer-Bosch [HB, Wing-Yee Lo], German Cancer Consortium (DKTK), and German Cancer Research Center (DKFZ) [HB], gefordert durch die Deutsche Forschungsgemeinschaft (DFG) im Rahmen der Exzellenzstrategie des Bundes und der Lander -EXC 2180 -390900677 [HB], Evangelische Kliniken Bonn gGmbH, Johanniter Krankenhaus, [Yon-Dschun Ko, Christian Baisch], University of Bonn, Germany [Hans-Peter Fischer], Deutsches Krebsforschungszentrum (DKFZ), Heidelberg, Germany [UH], Institute for Prevention and Occupational Medicine of the German Social Accident Insurance, Institute of the Ruhr University Bochum (IPA), Bochum, Germany [Thomas Bruning, Beate Pesch, Sylvia Rabstein, Anne Lotz]; University Medical Center Hamburg-Eppendorf, Germany [Volker Harth]. HABCS: Michael Bremer. HEBCS: Rainer Fagerholm, Kirsimari Aaltonen, Karl von Smitten, Irja Erkkila. HUBCS: Shamil Gantsev. KARMA and SASBAC: Swedish Medical Research Counsel. KBCP: Eija Myohanen, Helena Kemilainen. kConFab/AOCS: Eveline Niedermayr, Family Cancer Clinics and the Clinical Follow Up Study (received funding from the NHMRC, the National Breast Cancer Foundation, Cancer Australia, and the National Institute of Health (USA)). LMBC: Gilian Peuteman, Thomas Van Brussel, EvyVanderheyden and Kathleen Corthouts. MARIE: Petra Seibold, Judith Heinz, Nadia Obi, Sabine Behrens, Ursula Eilber, Muhabbet Celik and Til Olchers. MBCSG: Paolo Radice, Jacopo Azzollini, Bernardo Bonanni, Bernard Peissel, Roberto Villa, Giulia Cagnoli, Irene Feroce, and Cogentech Cancer Genetic Test Laboratory. NBCS: Kristine K. Sahlberg (PhD), Lars Ottestad (MD), Rolf Karesen (Prof. Em.) Dr. Ellen Schlichting (MD), Marit Muri Holmen (MD), Toril Sauer (MD), Vilde Haakensen (MD), Olav Engebraten (MD), Bjorn Naume (MD), Alexander Fossa (MD), Cecile E. Kiserud (MD), Kristin V. Reinertsen (MD), Aslaug Helland (MD), Margit Riis (MD), Jurgen Geisler (MD) and OSBREAC. NHS/NHS2: AL, AZ, AR, CA, CO, CT, DE, FL, GA, ID, IL, IN, IA, KY, LA, ME, MD, MA, MI, NE, NH, NJ, NY, NC, ND, OH, OK, OR, PA, RI, SC, TN, TX, VA, WA, WY. OBCS: Arja Jukkola-Vuorinen, Mervi Grip, Saila Kauppila, Meeri Otsukka, Leena Keskitalo and Kari Mononen. OFBCR: Teresa Selander, Nayana Weerasooriya. ORIGO: E. Krol-Warmerdam, and J. Blom. PBCS: Louise Brinton, Mark Sherman, Neonila Szeszenia-Dabrowska, Beata Peplonska, Witold Zatonski, Pei Chao, Michael Stagner. The ethical approval for the POSH study is MREC/00/6/69, UKCRN ID: 1137. Experimental Cancer Medicine Centre (ECMC) supported Faculty of Medicine Tissue Bank and the Faculty of Medicine DNA Banking resource. PREFACE: Sonja Oeser and Silke Landrith. PROCAS: NIHR for funding. RBCS: Petra Bos, Jannet Blom, Ellen Crepin, Elisabeth Huijskens, Anja Kromwijk-Nieuwlaat, Annette Heemskerk, the Erasmus MC Family Cancer Clinic. SBCS: Sue Higham, Helen Cramp, Dan Connley, Ian Brock, Sabapathy Balasubramanian and Malcolm W.R. Reed. We thank the SEARCH and EPIC teams. SKKDKFZS: SUCCESS Study teams in Munich, Duessldorf, Erlangen and Ulm. SZBCS: Ewa Putresza. UCIBCS: Irene Masunaka. UKBGS: Breast Cancer Now and the Institute of Cancer Research and NHS funding to the Royal Marsden/ICR NIHR Biomedical Research Centre. WHI: investigators and staff for their dedication. BCAC is funded by Cancer Research UK [C1287/A16563, C1287/A10118], the European Union's Horizon 2020 Research and Innovation Programme (grant numbers 634935 and 633784 for BRIDGES and B-CAST respectively), and by the European Community ' s Seventh Framework Programme under grant agreement number 223175 (grant number HEALTH-F2-2009-223175) (COGS). The EU Horizon 2020 Research and Innovation Programme funding source had no role in study design, data collection, data analysis, data interpretation or writing of the report. Genotyping of the OncoArray was funded by the NIH Grant U19 CA148065, and Cancer UK Grant C1287/A16563 and the PERSPECTIVE project supported by the Government of Canada through Genome Canada and the Canadian Institutes of Health Research (grant GPH-129344) and, the Ministere de l'Economie, Science et Innovation du Quebec through Genome Quebec and the PSRSIIRI-701 grant, and the Quebec Breast Cancer Foundation. Funding for the iCOGS infrastructure came from: the European Community's Seventh Framework Programme under grant agreement no 223175 (HEALTH-F2-2009-223175) (COGS), Cancer Research UK (C1287/A10118, C1287/A10710, C12292/A11174, C1281/A12014, C5047/A8384, C5047/A15007, C5047/A10692, C8197/A16565), the National Institutes of Health (CA128978) and Post-Cancer GWAS initiative (1U19 CA148537, 1U19 CA148065 and 1U19 CA148112 -the GAME-ON initiative), the Department of Defence (W81XWH-10-1-0341), the Canadian Institutes of Health Research (CIHR) for the CIHR Team in Familial Risks of Breast Cancer, and Komen Foundation for the Cure, the Breast Cancer Research Foundation, and the Ovarian Cancer Research Fund. The DRIVE Consortium was funded by U19 CA148065. ABCFS was supported by grant UM1 CA164920 from the National Cancer Institute (USA). The content of this manuscript does not necessarily reflect the views or policies of the National Cancer Institute or any of the collaborating centers in the in the Breast Cancer Family Registry (BCFR), nor does mention of trade names, commercial products, or organizations imply endorsement by the USA Government or the BCFR. The ABCFS was also supported by the National Health and Medical Research Council of Australia, the New South Wales Cancer Council, the Victorian Health Promotion Foundation (Australia) and the Victorian Breast Cancer Research Consortium. J.L.H. is a National Health and Medical Research Council (NHMRC) Senior Principal Research Fellow. M.C.S. is a NHMRC Senior Research Fellow. The ABCS study was supported by the Dutch Cancer Society [grants NKI 2007-3839; 2009-4363; 2015-7632]. The ABCTB was supported by the National Health and Medical Research Council of Australia, The Cancer Institute NSW and the National Breast Cancer Foundation. The work of the BBCC was partly funded by ELANFond of the University Hospital of Erlangen. The BBCS is funded by Cancer Research UK and Breast Cancer Now and acknowledges NHS funding to the NIHR Biomedical Research Centre, and the National Cancer Research Network (NCRN). For the BCFRNY, BCFR-PA, BCFR-UT this work was supported by grant UM1 CA164920 from the National Cancer Institute. For BIGGS, ES is supported by NIHR Comprehensive Biomedical Research Centre, Guy's & St. Thomas' NHS Foundation Trust in partnership with King's College London, United Kingdom. IT is supported by the Oxford Biomedical Research Centre. The BREOGAN is funded by Accion Estrategica de Salud del Instituto de Salud Carlos III FIS PI12/02125/Cofinanciado FEDER; Accion Estrategica de Salud del Instituto de Salud Carlos III FIS PI17/00918/Cofinanciado FEDER; Accion Estrategica de Salud del Instituto de Salud Carlos III FIS Intrasalud (PI13/01136); Programa Grupos Emergentes, Cancer Genetics Unit, Instituto de Investigacion Biomedica Galicia Sur. Xerencia de Xestion Integrada de Vigo-SERGAS, Instituto de Salud Carlos III, Spain; Grant 10CSA012E, Conselleria de Industria Programa Sectorial de Investigacion Aplicada, PEME I + D e I + D Suma del Plan Gallego de Investigacion, Desarrollo e Innovacion Tecnologica de la Conselleria de Industria de la Xunta de Galicia, Spain; Grant EC11-192. Fomento de la Investigacion Clinica Independiente, Ministerio de Sanidad, Servicios Sociales e Igualdad, Spain; and Grant FEDER-Innterconecta. Ministerio de Economia y Competitividad, Xunta de Galicia, Spain. The BSUCH study was supported by the Dietmar-Hopp Foundation, the Helmholtz Society and the German Cancer Research Center (DKFZ). CCGP is supported by funding from the University of Crete. The CECILE study was supported by Fondation de France, Institut National du Cancer (INCa), Ligue Nationale contre le Cancer, Agence Nationale de Securite Sanitaire, de l'Alimentation, de l'Environnement et du Travail (ANSES), Agence Nationale de la Recherche (ANR). The CGPS was supported by the Chief Physician Johan Boserup and Lise Boserup Fund, the Danish Medical Research Council, and Herlev and Gentofte Hospital. The CNIO-BCS was supported by the Instituto de Salud Carlos III, the Red Tematica de Investigacion Cooperativa en Cancer and grants from the Asociacion Espanola Contra el Cancer and the Fondo de Investigacion Sanitario (PI11/00923 and PI12/00070). The American Cancer Society funds the creation, maintenance, and updating of the CPS-II cohort. The CTS was initially supported by the California Breast Cancer Act of 1993 and the California Breast Cancer Research Fund (contract 97-10500) and is currently funded through the National Institutes of Health (R01 CA77398, UM1 CA164917, and U01 CA199277). Collection of cancer incidence data was supported by the California Department of Public Health as part of the statewide cancer reporting program mandated by California Health and Safety Code Section 103885. The University of Westminster curates the DietCompLyf database funded by Against Breast Cancer Registered Charity No. 1121258 and the NCRN. The coordination of EPIC is financially supported by the European Commission (DG-SANCO) and the International Agency for Research on Cancer. The national cohorts are supported by: Ligue Contre le Cancer, Institut Gustave Roussy, Mutuelle Generale de l'Education Nationale, Institut National de la Sante et de la Recherche Medicale (INSERM) (France); German Cancer Aid, German Cancer Research Center (DKFZ), Federal Ministry of Education and Research (BMBF) (Germany); the Hellenic Health Foundation, the Stavros Niarchos Foundation (Greece); Associazione Italiana per la Ricerca sul Cancro-AIRC-Italy and National Research Council (Italy); Dutch Ministry of Public Health, Welfare and Sports (VWS), Netherlands Cancer Registry (NKR), LK Research Funds, Dutch Prevention Funds, Dutch ZON (Zorg Onderzoek Nederland), World Cancer Research Fund (WCRF), Statistics Netherlands (The Netherlands); Health Research Fund (FIS), PI13/00061 to Granada, PI13/01162 to EPIC-Murcia, Regional Governments of Andalucia, Asturias, Basque Country, Murcia and Navarra, ISCIII RETIC (RD06/0020) (Spain); Cancer Research UK (14136 to EPIC-Norfolk; C570/A16491 and C8221/A19170 to EPICOxford), Medical Research Council (1000143 to EPIC-Norfolk, MR/M012190/1 to EPICOxford) (United Kingdom). The ESTHER study was supported by a grant from the Baden Wurttemberg Ministry of Science, Research and Arts. Additional cases were recruited in the context of the VERDI study, which was supported by a grant from the German Cancer Aid (Deutsche Krebshilfe). FHRISK is funded from NIHR grant PGfAR 0707-10031. Prof D Gareth Evans is supported by the NIHR Manchester Biomedical Research Centre (IS-BRC-1215-20007). The GC-HBOC is supported by the German Cancer Aid (grant no 110837, coordinator: Rita K. Schmutzler, Cologne). This work was also funded by the European Regional Development Fund and Free State of Saxony, Germany (LIFE -Leipzig Research Centre for Civilization Diseases, project numbers 713241202, 713-241202, 14505/2470, 14575/2470). The GENICA was funded by the Federal Ministry of Education and Research (BMBF) Germany grants 01KW9975/5, 01KW9976/8, 01KW9977/0, and 01KW0114, the Robert Bosch Foundation, Stuttgart, Deutsches Krebsforschungszentrum (DKFZ), Heidelberg, the Institute for Prevention and Occupational Medicine of the German Social Accident Insurance, Institute of the Ruhr University Bochum (IPA), Bochum, as well as the Department of Internal Medicine, Evangelische Kliniken Bonn gGmbH, Johanniter Krankenhaus, Bonn, Germany. The GESBC was supported by the Deutsche Krebshilfe e. V. [70492] and the German Cancer Research Center (DKFZ). The HABCS study was supported by the Claudia von Schilling Foundation for Breast Cancer Research, by the Lower Saxonian Cancer Society, and by the Rudolf Bartling Foundation. The HEBCS was financially supported by the Helsinki University Central Hospital Research Fund, Academy of Finland (266528), the Finnish Cancer Society, and the Sigrid Juselius Foundation. The HUBCS was supported by a grant from the German Federal Ministry of Research and Education (RUS08/017), and by the Russian Foundation for Basic Research and the Federal Agency for Scientific Organizations for support the Bioresource collections and RFBR grants 14-04-97088, 1729-06014 and 17-44-020498. Financial support for KARBAC was provided through the regional agreement on medical training and clinical research (ALF) between Stockholm County Council and Karolinska Institutet, the Swedish Cancer Society, The Gustav V Jubilee foundation and Bert von Kantzows foundation. The KARMA study was supported by Marit and Hans Rausings Initiative Against Breast Cancer. The KBCP was financially supported by the special Government Funding (EVO) of Kuopio University Hospital grants, Cancer Fund of North Savo, the Finnish Cancer Organizations, and by the strategic funding of the University of Eastern Finland. kConFab is supported by a grant from the National Breast Cancer Foundation, and previously by the National Health and Medical Research Council (NHMRC), the Queensland Cancer Fund, the Cancer Councils of New South Wales, Victoria, Tasmania and South Australia, and the Cancer Foundation of Western Australia. LMBC is supported by the "Stichting tegen Kanker." The MARIE study was supported by the Deutsche Krebshilfe e.V. [70-2892-BR I, 106332, 108253, 108419, 110826, 110828], the Hamburg Cancer Society, the German Cancer Research Center (DKFZ) and the Federal Ministry of Education and Research (BMBF) Germany [01KH0402]. MBCSG is supported by grants from the Italian Association for Cancer Research (AIRC) and by funds from the Italian citizens who allocated the 5/1000 share of their tax payment in support of the Fondazione IRCCS Istituto Nazionale Tumori, according to Italian laws (INT-Institutional strategic projects "5x1000"). The MCBCS was supported by the NIH grants CA192393, CA116167, CA176785 an NIH Specialized Program of Research Excellence (SPORE) in Breast Cancer [CA116201], and the Breast Cancer Research Foundation and a generous.pngt from the David F. and Margaret T. Grohne Family Foundation. MCCS cohort recruitment was funded by VicHealth and Cancer Council Victoria. The MCCS was further supported by Australian NHMRC grants 209057 and 396414, and by infrastructure provided by Cancer Council Victoria. Cases and their vital status were ascertained through the Victorian Cancer Registry (VCR) and the Australian Institute of Health and Welfare (AIHW), including the National Death Index and the Australian Cancer Database. The MEC was supported by NIH grants CA63464, CA54281, CA098758, CA132839 and CA164973. The MISS study is supported by funding from ERC-2011294576 Advanced grant, Swedish Cancer Society, Swedish Research Council, Local hospital funds, Berta Kamprad Foundation, Gunnar Nilsson. The MMHS study was supported by NIH grants CA97396, CA128931, CA116201, CA140286 and CA177150. The NBCS has received funding from the K.G. Jebsen Centre for Breast Cancer Research; the Research Council of Norway grant 193387/V50 (to A-L Borresen-Dale and V.N. Kristensen) and grant 193387/H10 (to A-L Borresen-Dale and V.N. Kristensen), South Eastern Norway Health Authority (grant 39346 to A-L Borresen-Dale) and the Norwegian Cancer Society (to A-L Borresen-Dale and V.N. Kristensen). The NC-BCFR and OFBCR were supported by grant UM1 CA164920 from the National Cancer Institute (USA). The NCBCS was funded by Komen Foundation, the National Cancer Institute (P50 CA058223, U54 CA156733, U01 CA179715), and the North Carolina University Cancer Research Fund. The NHS was supported by NIH grants P01 CA87969, UM1 CA186107, and U19 CA148065. The NHS2 was supported by NIH grants UM1 CA176726 and U19 CA148065. The OBCS was supported by research grants from the Finnish Cancer Foundation, the Academy of Finland (grant number 250083, 122715 and Center of Excellence grant number 251314), the Finnish Cancer Foundation, the Sigrid Juselius Foundation, the University of Oulu, the University of Oulu Support Foundation and the special Governmental EVO funds for Oulu University Hospital-based research activities. The ORIGO study was supported by the Dutch Cancer Society (RUL 19971505) and the Biobanking and Biomolecular Resources Research Infrastructure (BBMRINL CP16). The PBCS was funded by Intramural Research Funds of the National Cancer Institute, Department of Health and Human Services, USA. Genotyping for PLCO was supported by the Intramural Research Program of the National Institutes of Health, NCI, Division of Cancer Epidemiology and Genetics. The PLCO is supported by the Intramural Research Program of the Division of Cancer Epidemiology and Genetics and supported by contracts from the Division of Cancer Prevention, National Cancer Institute, National Institutes of Health. The POSH study is funded by Cancer Research UK (grants C1275/A11699, C1275/C22524, C1275/A19187, C1275/A15956 and Breast Cancer Campaign 2010PR62, 2013PR044. PROCAS is funded from NIHR grant PGfAR 0707-10031. PROCAS is funded from NIHR grant PGfAR 0707-10031. The RBCS was funded by the Dutch Cancer Society (DDHK 2004-3124, DDHK 2009-4318). The SASBAC study was supported by funding from the Agency for Science, Technology and Research of Singapore (A*STAR), the US National Institute of Health (NIH) and the Susan G. Komen Breast Cancer Foundation. The SBCS was supported by Sheffield Experimental Cancer Medicine Centre and Breast Cancer Now Tissue Bank. SEARCH is funded by Cancer Research UK [C490/A10124, C490/A16561] and supported by the UK National Institute for Health Research Biomedical Research Centre at the University of Cambridge. The University of Cambridge has received salary support for PDPP from the NHS in the East of England through the Clinical Academic Reserve. SKKDKFZS is supported by the DKFZ. The SMC is funded by the Swedish Cancer Foundation and the Swedish Research Council (SIMPLER, VR 2017-00644). The SZBCS was supported by Grant PBZ_KBN_122/P05/2004. The UCIBCS component of this research was supported by the NIH [CA58860, CA92044] and the Lon V Smith Foundation [LVS39420]. The UKBGS is funded by Breast Cancer Now and the Institute of Cancer Research (ICR), London. ICR acknowledges NHS funding to the NIHR Biomedical Research Centre. The USRT Study was funded by Intramural Research Funds of the National Cancer Institute, Department of Health and Human Services, USA. The WHI program is funded by the National Heart, Lung, and Blood Institute, the US National Institutes of Health and the US Department of Health and Human Services (HHSN268201100046C, HHSN268201100001C, HHSN268201100002C, HHSN268201100003C, HHSN268201100004C, and HHSN271201100004C). This work was also funded by NCI U19 CA148065-01. ; Sí

Background: The European Union (EU) aims to optimize patient protection and efficiency of health-care research by harmonizing procedures across Member States. Nonetheless, further improvements are required to increase multicenter research efficiency. We investigated IRB procedures in a large prospective European multicenter study on traumatic brain injury (TBI), aiming to inform and stimulate initiatives to improve efficiency. Methods: We reviewed relevant documents regarding IRB submission and IRB approval from European neurotrauma centers participating in the Collaborative European NeuroTrauma Effectiveness Research in Traumatic Brain Injury (CENTER-TBI). Documents included detailed information on IRB procedures and the duration from IRB submission until approval(s). They were translated and analyzed to determine the level of harmonization of IRB procedures within Europe. Results: From 18 countries, 66 centers provided the requested documents. The primary IRB review was conducted centrally (N = 11, 61%) or locally (N = 7, 39%) and primary IRB approval was obtained after one (N = 8, 44%), two (N = 6, 33%) or three (N = 4, 23%) review rounds with a median duration of respectively 50 and 98 days until primary IRB approval. Additional IRB approval was required in 55% of countries and could increase duration to 535 days. Total duration from submission until required IRB approval was obtained was 114 days (IQR 75-224) and appeared to be shorter after submission to local IRBs compared to central IRBs (50 vs. 138 days, p = 0.0074). Conclusion: We found variation in IRB procedures between and within European countries. There were differences in submission and approval requirements, number of review rounds and total duration. Research collaborations could benefit from the implementation of more uniform legislation and regulation while acknowledging local cultural habits and moral values between countries. ; Peer reviewed

ABSTRAKSI Pemekaran Wilayah kecamatan Tombariri Timur menjadi sebuah kecamatan sangat berdampak pada pelayanan public di wilayah tersebut. Hal itu terlihat khususnya dalam hal administrasi pengurusan Kartu Keluarga yang menjadi objek penelitian tulisan ini. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang akan menggambarkan proses administrasi pembuatan Kartu Keluarga di kecamatan Tombariri Timur serta memperbandingkannya dengan proses yang sama pada saat sebelum di mekarkan. Untuk menganalisa tulisan ini akan menggunakan konsep pemerintah tentang pelayanan public yang tertuang dalam Kepmenpan No. 63 Tahun 2003. Kata Kunci : Pemekaran Wilayah, Dampak dan Pelayanan Publik PENDAHULUAN Memasuki era reformasi pemekaran wilayah atau pembentukan daerah otonomi baru semakin marak sejak disahkanya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa pemekaran wilayah ini jelas mempunyai dampak pada pelayanan public. Tuntutan dari pemekaran wilayah yang terjadi selama ini pada umumnya didasari oleh ketidakterjangkauan pemerintah dalam menjalankan fungsi pelayanan yang maksimal sebagai akibat dari luasnya wilayah dan perkembangan jumlah penduduk disamping sarana dan prasarana penunjang lainnya. Hal itu mengakibatkan terjadinya kesenjangan dalam masyarakat, dimana masyarakat yang posisinya relative dekat dengan pusat pemerintahan dengan masyarakat yang relative jauh dari pusat pemerintahan. Seiring dengan era reformasi tersebut pelayanan public juga perlu dilakukan reformasi, baik dari segi paradigma, visi, misi, kebijakan/strategi, hingga konsep pelayanan publik yang prima dan implementasinya. Di beberapa daerah memang hal itu sudah dilakukan walaupun dalam kenyataannya masih berupa langkah awal yang masih memerlukan tindak lanjut dan kerja keras untuk mewujudkannya secara nyata. Fungsi utama pemerintah daerah menurut Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yakni sebagai pelayan masyarakat. Berdasarkan peradigma tersebut aparat pemerintah daerah termasuk aparat pemerintah kecamatan dituntut untuk dapat memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat. Sebagai konsekuensi dari ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dimana Pemerintah Daerah diberikan kewenangan yang demikian luas oleh Pemerintah Pusat untuk mengatur rumah tangga daerahnya sendiri, termasuk didalamnya adalah pemberian pelayanan kepada masyarakat di daerahnya. Namun berbagai isu yang muncul di kalangan masyarakat, ternyata hak pelayanan yang diterima oleh masyarakat atau perorangan terasa belum memenuhi harapan semua pihak baik dari kalangan masyarakat umum maupun dari kalangan pemerintah sendiri. Pelayanan masyarakat yang diberikan oleh aparatur pemerintah seringkali cenderung rumit dan memiliki masalah seperti : Tata cara pelayanan, rendahnya pendidikan aparat, kurangnya sarana dan prasarana, dan disiplin kerja. Hal tersebut jelas sangat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan umum di daerah termasuk di kecamatan Tombariri Timur. Kecamatan Tombariri Timur ini merupakan wilayah yang baru dimekarkan pada tahun 2012 dari wilayah induk yaitu kecamatan Tombariri. Pemekaran wilayah ini diperkuat dengan Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa No. 3 Tahun 2012, tentang Pembentukan Kecamatan Tombariri Timur. Seperti yang terjadi pada wilayah-wilayah yang baru dimekarkan, pelayanan public yang sebenarnya menjadi alasan untuk dilakukan pemekaran tersebut justru menjadi masalah yang krusial. Demikian halnya yang terjadi di wilayah kecamatan Tombariri Timur. Hal ini bagi penulis cukup menarik untuk dielaborasi lebih lanjut untuk mengetahui kenapa itu bisa terjadi. Sehingga penulis tertarik melakukan penelitian tentang dampak dari pemekaran wilayah Kecamatan Tombariri Timur terhadap pelayanan public di wilayah ini, khususnya dalam hal pelayanan administrasi pengurusan Kartu Keluarga. Perumusan Masalah Melihat latarbelakang yang sudah diuraikan diatas maka penulis merumuskan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut : "Bagaimanakah Dampak Pemekaran Terhadap Pelayanan Publik di Kecamatan Tombariri Timur Khususnya Dalam Pelayanan Administrasi Pengurusan Kartu Keluarga? Tujuan Penelitian Untuk mengetahui bagaimanakah dampak dari pemekaran Wilayah Tombariri Timur terhadap pelayanan aparatur pemerintahan Kecamatan Tombariri Timur, khususnya dalam hal proses pelayanan administrasi pengurusan Kartu Keluarga (KK) kepada Masyarakat. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat : 1. Manfaat Praktis: Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi, masukan/ sumbangan bagi Aparatur Pemerintah Kecamatan dalam memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat. 2. Manfaat Teoritis: Diharapkan hasil penelitian ini akan menambah referensi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dibidang sosial politik khususnya menyangkut dampak pemekaran wilayah khususnya pemekaran wilayah kecamatan terhadap pelayanan public. TINJAUAN PUSTAKA A. Dampak Secara etimologis pengertian dampak adalah pengaruh kuat yang mendatangkan akibat baik negative maupun positif. Dampak negative adalah pengaruh kuat yang mendatangkan akibat yang negative, sedangkan dampak positif merupakan sebaliknya yaitu pengaruh kuat yang mendatangkan akibat positif. ( W.J.S Poerwadarminta, Kamus besar Bahasa Indonesia, 2005). B. Pemekaran Pemekaran adalah sesuatu bagian yang utuh atau suatu kesatuan yang dibagi atau dipisahkan menjadi beberapa bagian yang berdiri sendiri. (Poerwadarminta, 2005). Jadi dengan demikian daerah/wilayah pemekaran adalah suatu daerah/wilayah yang sebelumnya satu kesatuan yang utuh yang kemudian di bagi atau dimekarkan menjadi beberapa bagian untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri. Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah mengisyaratkan perlunya pembentukan daerah baru yang dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pamudji (2000) mengatakan bahwa dalam rangka pembentukan suatu daerah atau wilayah pemekaran diperlukan adanya suatu ukuran sebagai dasar penetapan. Pembentukan dan pemekaran wilayah yang baru harus didasarkan atas pembagian-pembagian yang bersifat objektif dengan memperhatikan segi pembiayaan sumber daya manusia serta sarana penunjang lainnya. Gie (2002) menyebutkan lima factor yang harus diperhatikan dalam pembentukan / pemekaran suatu wilayah yaitu : Luas daerah suatu wilayah sedapat mungkin merupakan suatu kesatuan dalam perhubungan, pengairan dan dari segi perekonomian dan juga harus diperhatikan keinginan penduduk setempat, persamaan adat istiadat serta kebiasaan hidupnya.Pembagian kekuasaan pemerintahan dalam pembentukan/pemekaran hendaknya diusahakan agar tidak ada tugas dan pertanggungjawaban kembar dan harus ada keseimbangan antara beratnya kewajiban yang diserahkan dengan struktur di daerah.Jumlah penduduk tidak boleh terlampau kecil.Pegawai daerah sebaiknya mempunyai tenaga-tenaga professional dan ahli.Keuangan daerah yang berarti terdapat sumber-sumber kemakmuran yang dimilikki oleh daerah itu sendiri. Menurut Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2007, pemekaran daerah/wilayah adalah pemecahan suatu pemerintah baik propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa / Kelurahan menjadi dua daerah atau lebih. Menurut Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000, tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan pengabungan daerah, pada pasal 2 menyebutkan pemekaran daerah/wilayah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui : Percepatan pelayanan kepada masyarakatPercepatan pertumbuhan kehidupan demokrasiPercepatan pertumbuhan pembangunan ekonomi daerahPercepatan pengelolaan potensi daerahPeningkatan keamanan dan ketertibanPeningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Maarif (2003) merumuskan tujuan dan manfaat kebijakan pemekaran wilayah sebagai berikut : Secara Politis adalah untuk menjaga tetap tegak dan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang dikonstruksikan dalam system pemerintahan pusat dan daerah yang memberi peluang turut sertanya rakyat dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.Secara Formal/Konstitusional adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah di daerah terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan pemerintahan didaerah terutama dalam peningkatan pelaksanaan pelayanan terhadap masyarakat serta meningkatkan kestabilan politik dan kesatuan bangsa.Secara Administratif Pemerintahan, adalah untuk memperlancar dan menertibkan pelaksanaan tata pemerintahan sehingga dapat terselenggara secara efektif, efisien dan produktif. T Liang Gie (2003), mengemukakan beberapa alasan mengapa kebijakan pemekaran wilayah harus diberlakukan, yaitu : Dilihat dari sudut politik, pembentukan suatu daerah/wilayah yang baru dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang bisa menimbulkan tirani.Dalam bidang politik sebagai tindakan pendemokrasian untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi. Dari sudut teknik organisasi pemekaran daerah/wilayah adalah untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien.Dari sudut kultur diharapkan perhatian dapat sepenuhnya dilimpahkan pada kekhususan suatu daerah seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakan sejarahnya.Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih bnyak dan secara langsung membantu pembangunan. C. Kecamatan Menurut Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008, tentang Kecamatan, pada Bab 1, pasal 1 ayat 5 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kecamatan adalah wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten kota. Pembentukan sebuah kecamatan menurut Peraturan ini, dapat berupa pemekaran 1 (satu) kecamatan menjadi 2 (dua) kecamatan atau lebih, dan/atau penyatuan wilayah desa dan/atau kelurahan dari beberapa kecamatan. Selain itu pembentukan sebuah Kecamatan harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu : syarat Administratif, syarat Teknis dan syarat Fisik Kewilayahan. Yang dimaksud dengan syarat administrative, seperti yang diisyaratkan dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008, tentang Kecamatan, pada Bab II dipasal 4 dinyatakan bahwa : Batas usia penyelenggaraan pemerintahan minimal 5 (lima) tahun;Batas usia penyelenggaraan pemerintah desa dan atau kelurahan yang akan dibentuk menjadi kecamatan minimal 5 (lima) tahun;Keputusan BAdan Permusyawaratan Desa (BPD) atau nama lain untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan diseluruh wilayah kecamatan baik yang menjadi calon cakupan wilayah kecamatan baru maupun kecamatan induk tentang persetujuan pembentukan kecamatan.Keputusan Kepala Desa atau nama lain untuk Desa dan Keputusan Lurah atau nama lain untuk kelurahan di seluruh wilayah kecamatan baik yang menjadi calon cakupan wilayah kecamatan baru maupun kecamatan induk tentang persetujuan pembentukan kecamatanRekomendasi Gubernur. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat fisik kewilayahan, seperti yang diisyaratkan dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008, tentang Kecamatan, pada Bab II dipasal 5, dinyatakan bahwa : syarat fisik kewilayahan meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan. Cakupan wilayah dimaksud adalah jumlah desa dan kelurahan yang ada diwilayah yang akan dimekarkan, sementara menyangkut lokasi calon ibukota harus diperhatikan aspek tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesbilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan, social ekonomi, social politik, dan social budaya. Sedangkan yang dimaksud dengan sarana dan prasarana disini meliputi bangunan dan lahan untuk kantor camat yang dapat digunakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Disamping 2 persyaratan yang sudah dijelaskan tersebut maka terdapat satu syarat lagi yaitu syarat teknis, yang meliputi jumlah penduduk, luas wilayah, rentang kendali penyelenggaraan pelayanan pemerintahan, aktifitas perekonomian dan ketersediaan sarana dan prasarana. Persyaratan teknis tersebut harus berdasarkan hasil kajian yang sudah dilakukan pemerintah kabupaten/kota sesuai indicator yang sudah ditetapkan. D. Pelayanan Publik Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Menurut Lay, sebagaimana dikemukakan oleh Ratminto dan Atik Septi Winarsih (2005 : 56), dalam ilmu politik dan administrasi publik, pelayanan publik atau pelayanan umum merupakan istilah yang mengambarkan bentuk dan jenis pelayanan pemerintah kepada masyarakat atas dasar kepentingan umum. Pengertian pelayanan umum menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/&/2003 adalah segala kegiatan pelayanan yang dimaksudkan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan perundang-undangan. Adapun yang dimaksud penyelenggaraan pelayanan publik adalah Instansi Pemerintah. Pada hakekatnya Pemerintahan adalah pelayanan kepada masyarakat, oleh karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan baik dan profesional. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi public adalah merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara dengan maksud untuk mensejahterakan masyarakat. Menurut Kamus Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa pelayanan ialah suatu usaha untuk membantu menyiapkan atau mengurus apa yang diperlukan orang lain. Dalam pelayanan yang disebut konsumen (customer) adalah masyarakat yang mendapat manfaat dari aktifitas yang dilakukan oleh organisasi atau petugas organisasi pemberi pelayanan. Selanjutnya, pelayanan publik berdasarkan SK MenPan No.81/1993 adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan BUMN/D dalam bentuk barang dan jasa, baik kebutuhan masyarakat, maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. E. Administrasi Kependudukan Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006, Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran penduduk, pencatatan sipil dan pengelolaan informasi serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan. Dimana pendaftaran penduduk adalah pencatatan biodata penduduk, pencatatan atas pelaporan peristiwa kependudukan. Dokumen kependudukan dapat berupa kartu indentitas atau surat keterangan kependudukan. Dokumen kependudukan merupakan dokumen resmi yang diterbitkan oleh instansi pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Peristiwa kependudukan meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap yang dialami penduduk harus dilaporkan karena membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan kartu keluarga, kartu tanda penduduk dan/atau surat keterangan kependudukan lainnya. Pendaftaran penduduk dilakukan pada instansi pelaksana yang daerah tugasnya meliputi domisili atau tempat tinggal penduduk. Pendaftaran penduduk melayani Penerbitan Kartu Keluarga (KK), melayani penerbitan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan melayani peristiwa kependudukan/mutasi penduduk. F. Kartu Keluarga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, tentang Administrasi Kependudukan serta Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008, tentang persyaratan tata cara pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil, dikatakan Kartu Keluarga adalah Kartu Identitas Keluarga yang memuat data tentang susunan hubungan dan jumlah anggota keluarga. Kartu Keluarga wajib dimiliki oleh setiap keluarga. Kartu ini berisi data lengkap tentang identitas Kepala Keluarga dan anggota keluarganya. Kartu keluarga dicetak rangkap 3 yang masing-masing dipegang oleh Kepala Keluarga, Ketua RT dan Kantor Kelurahan. Kartu Keluarga (KK) adalah Dokumen milik Pemda Propinsi setempat dan karena itu tidak boleh mencoret, mengubah, mengganti, menambah isi data yang tercantum dalam Kartu Keluarga. Setiap terjadi perubahan karena mutasi data dan mutasi biodata, wajib dilaporkan kepada Lurah dan akan diterbitkan Kartu Keluarga (KK) yang baru. Pendatang baru yang belum mendaftarkan diri atau belum berstatus penduduk setempat, nama dan identitasnya tidak boleh dicantumkan dalan Kartu Keluarga. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini disusun berdasarkan metode kualitatif yang lebih bersifat deskriptif. Metode kualitatif digunakan untuk meneliti kondisi objek alamiah yang yang didasarkan pada fakta-fakta yang ada (Sugioyono,2006). Sebagaimana suatu penelitian dibidang pengetahuan sosial maka model penelitian ini dinyatakan dalam ciri-ciri sebagai berikut : Memusatkan perhatian pada masalah yang ada saat penelitian dilakukan atau masalah-masalah aktual.Menggambarkan tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interpretasi rasional yang cermat dan teliti (Nawawi,1995). B. Fokus Penelitian Dalam penelitian kualitatif terdapat fokus penelitian yang membatasi masalah untuk diteliti. Pada penelitian ini fokus yang ditetapkan adalah melihat dampak pemekaran wilayah kecamatan Tombariri Timur terhadap pelayanan public khususnya pelayanan administrasi pengurusan Kartu Keluarga di kantor kecamatan Tombariri Timur. C. Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini, yang menjadi instrumen penelitian adalah peneliti itu sendiri. Menurut Sugioyono (2006), pada penelitian kualitatif peneliti sebagai human instrumen berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan dan membuat kesimpulan atas temuannya. D. Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan observasi, wawancara langsung dengan informan kunci dan triangulasi. Pendekatan yang diajukan dalam wawancara yakni menggunakan petunjuk umum wawancara dengan membuat kerangka dan garis-garis besar pokok-pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara yang terfokus pada permasalahan penelitian (Patton dalam Moleong, 2001). Disamping kedua tehnik ini digunakan juga studi kepustakaan untuk memperoleh data sekunder yang berasal dari berbagai laporan, terbitan, buletin dan sebagainya yang dianggap relevan dengan penelitian ini. F. Teknik Analisis Data Data yang berhasil dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan tahapan-tahapan sebagai berikut : Mengedit data, pada tahapan ini seluruh data sudah terkumpul baik melalui wawancara maupun pengamatan, langsung diadakan pengeditan. Pengeditan dilakukan pada akhir-akhir proses pengamatan dan wawancara.Reduksi data, dilakukan setelah data dibaca, dipelihara dan diteliti kembali dengan cara membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman inti penelitian.Mengkategorikan dalam satuan-satuan, pengkategorian ini berdasarkan sumber-sumber data, teristimewa data yang diperoleh dari hasil wawancara dan pengamatan. Selanjutnya data tersebut disusun dalam bentuk satuan-satuan yang menyangkut sumber, jenis informan, lokasi da memilah-milah menjadi kategori tertentu atas dasar pemikiran, intuisi dan pendapat berdasarkan fokus penelitian kemudian diberikan kode untuk menjaga kerahasiaan informan.Penafsiran data, dilakukan sepanjang penelitian, dimana setiap data yang terkumpul langsung dilakukan penafsiran. Data kegiatan ini dilakukan setelah proses wawancara dan pengamatan diklasifikasikan untuk memperjelas data agar setiap data yang diperoleh dianggap bermakna.Menguji keabsahan data, ini dilakukan dengan cara membaca kembali dokumen-dokumen tertulis yang dikumpulkan kemudian dibandingkan dengan data yag diperoleh dari hasil wawancara dan pengamatan.Penarikan kesimpulan, diawali dengan menetapkan pola hubungan lain dan lain-lain yang terfokus pada jawaban atas permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya sekaligus menjawab tujuan penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN A.1. Pemekaran Wilayah Dan Pelayanan Publik Pemekaran wilayah pada dasarnya bertujuan untuk lebih mendekatkan jarak antara pemerintah sebagai pelaksana pelayanan public dengan masyarakat sebagai penerima pelayanan. Pemekaran wilayah juga bertujuan untuk menjadikan pelayanan public bisa menjadi lebih efektif dan efisien. Namun yang sebenarnya yang menjadi tujuan utama dari pemekaran wilayah adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah yang dimekarkan. Ironisnya, tidak sedikit yang terjadi pada wilayah yang baru dimekarkan justru beberapa fungsi pelayanan public tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal diantaranya kesiapan dari aparatur yang ditempatkan diwilayah yang baru dimekarkan itu. Salah satu masalah utama yang sering ditemui di wilayah-wilayah yang baru dimekarkan biasanya adalah kendala dalam mengisi struktur-struktur pemerintahan yang berfungsi melakukan pelayanan public. Hal ini jelas berdampak pada penyelenggaraan pelayanan public bagi masyarakat. Masyarakat sebagai pihak yang dilayani tentunya mengharapkan bisa mendapatkan pelayanan yang maksimal dari pihak-pihak yang sudah diberikan wewenang untuk itu. Pihak-pihak dimaksud adalah aparat pemerintah khususnya dalam hal ini yaitu aparatur pemerintah kecamatan termasuk di Kecamatan Tombariri Timur. Pemekaran wilayah selayaknya sudah melalui pertimbangan-pertimbangan disamping memperhatikan persyaratan yang sudah diatur pemerintah dalam PP No. 129 tahun 2000 yang telah disempurnakan dengan PP No. 17 Tahun 2008 tentang pembentukan suatu daerah otonom. Dalam peraturan pemerintah tersebut sudah diatur bahwa pembentukan daerah otonom yang baru dimungkinkan dan harus memenuhi faktor-faktor antara lain : kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah disamping factor lain yaitu keamanan dan ketertiban, sarana dan prasarana, rentang kendali yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah seperti yang diharapkan. Dalam melakukan penelitian tentang dampak pemekaran wilayah Tombariri Timur terhadap pelayanan public, penulis melakukan wawancara mendalam (deep interview) dengan beberapa pihak yang penulis anggap bisa memberikan data tentang objek yang diteliti. Pihak-pihak yang dimaksud selain dari pemerintah kecamatan sebagai penyedia pelayanan di kecamatan Tombariri Timur, juga beberapa pihak yang merupakan penerima layanan di kecamatan yang dalam hal ini anggota masyarakat. Dari hasil wawancara yang dilakukan diperoleh kesimpulan : - Informan FT. (42 tahun), tingkat pendidikan S1, selaku Camat Kecamatan Tombariri Timur Berdasarkan hasil wawancara untuk mengetahui bagaimanakah dampak pemekaran wilayah Kecamatan Tombariri Timur terhadap pelayanan public khususnya pelayanan administrasi kependudukan yang dalam penelitian ini di fokuskan pada pembuatan Kartu Keluarga yang dilakukan aparat pemerintah kecamatan Tombariri Timur kepada masyarakat, FT mengatakan : " Setelah ditetapkan menjadi kecamatan, warga Tombariri Timur jelas terbantu, karena jarak menuju kantor untuk mereka mengurus administrasi kependudukan termasuk Kartu Keluarga menjadi lebih dekat. Sebagai pemerintah yang diamanatkan rakyat, kami berusaha menjalankan tugas kami dengan semaksimal mungkin sesuai dengan peraturan yang ada. Dalam melayani masyarakat khususnya dalam setiap pengurusan hal-hal yang menyangkut administrasi kependudukan, kami berusaha memenuhi akan setiap kebutuhan masyarakat tentunya dengan mekanisme dan ketentuan yang ada. Dalam proses pembuatan Kartu Keluarga, sebagai pelayan masyarakat kami selalu mengsosialisasikan pada pada masyarakat akan persyaratan yang dibutuhkan dan ini juga berlaku untuk setiap pengurusan administrasi kependudukan yang lain, agar supaya dalam proses pembuatannya tidak mengalami hambatan-hambatan yang ada. Selaku aparatur pemerintah yang salah satu tugasnya melayani masyarakat, kami berusaha untuk melayani masyarakat semaksimal mungkin, dan saya selalu menginstruksikan pada seluruh staf saya, untuk menjadi pelayan masyarakat yang baik, agar proses penyelenggaraan pemerintahan yang baik dapat dicapai. Mengenai biaya dan waktu penyelesaian, hanya berupa biaya partisipasi pembuatan sebesar Rp 10.000 dan waktu penyelesaian dapat dilakukan secepat mungkin". - Informan VL, (48 tahun), tingkat pendidikan S1, salah seorang staf kecamatan Tombariri Timur. Berdasarkan hasil wawancara untuk mengetahui bagaimanakah dampak pemekaran wilayah Kecamatan Tombariri Timur terhadap pelayanan public khususnya pelayanan administrasi kependudukan yang dalam penelitian ini di fokuskan pada pembuatan Kartu Keluarga yang dilakukan aparat pemerintah kecamatan Tombariri Timur kepada masyarakat, VL mengatakan : " Dalam proses pembuatan kartu keluarga tidaklah memiliki banyak persyaratan, adapun persyaratan-persyaratan yang harus disediakan masyarakat hanyalah surat keterangan dari kepala desa/lurah, akte perkawinan, dan mengisi formulir permohonan pembuatan kartu keluarga yang disediakan oleh pemerintah kecamatan, selanjutnya pemerintah kecamatan meneruskan permohonan pembuatan kartu keluarga, dalam hal ini di dinas capil. Dalam proses pembuatan kartu keluarga sampai selesai memakan waktu 3hari, namun agar proses pembuatan dapat dengan cepat, masyarakat dapat membuatnya langsung di dinas capil. Dan untuk biaya administrasi dalam proses pembuatan kartu keluarga yaitu Rp 10.000. didalam menjawab akan setiap kebutuhan masyarakat, tentunya kami sebagai pemerintah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan peraturan yang ada untuk melayani akan setiap kebutuhan masyarakat dengan sebaik-baiknya". - Informan SY, (30 tahun), tingkat pendidikan S1, salah seorang warga Tombariri Timur. "Memang setelah sudah ada kantor kecamatan yang lebih dekat seperti sekarang jelas sudah lebih enak untuk mengurus surat-surat di kecamatan. Cuma kalau menyangkut aspek-aspek dalam pelayanan itu masih relative. Karena yang berubah cuma jarak dari rumah dengan kantor kecamatan saja". A.2. Aspek-Aspek Dalam Pelayanan Publik. Kepuasan dan kenyamanan atas sebuah layanan publik tentunya tidak mutlak hanya milik segelintir orang saja selayaknya hal itu menjadi milik semua pihak. Penyelenggaraan pelayanan publik yang berkeadilan sudah menjadi dambaan dan harapan serta dinantikan oleh warga masyarakat sebagai pengguna layanan. Sudah menjadi sebuah keharusan bagi para elit birokrasi dan aparatur pemerintah untuk terus menapaki proses belajar sosial yang mengarah pada kualitas layanan publik sesuai dengan apa yang telah diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Pelayanan publik yang dilakukan juga harus berdasarkan pada prinsip-prinsip penyelenggaran pelayanan publik di Indonesia yang diatur dalam Kepmenpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik yakni prinsip kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu, akurasi, keamanan, tanggung jawab, kelengkapan sarana dan prasarana kerja, kemudahan akses, K3 (kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan), dan kenyamanan. Kecamatan Tombariri Timur sebagai salah satu wilayah yang baru dimekarkan, dalam menjalankan fungsi pelayanan publiknya juga dituntut agar dapat memperhatikan aspek-aspek tersebut karena hal itu menyangkut efektif dan efisiennya sebuah pelayanan public. Untuk mengetahui hal ini penulis melakukan wawancara dengan beberapa pihak yang dianggap memiliki kapasitas dalam pemberian data yang diteliti. Dari hasil wawancara yang dilakukan, untuk apakah prinsip-prinsip pelayanan seperti yang disyaratkan oleh Kepmenpan No. 63 Tahun 2003, tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, sudah dijalankan sebagaimana dengan seharusnya, diperoleh kesimpulan yang dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Aspek Kesederhanaan, Aspek kesederhanaan yang dimaksud disini adalah apakah tatacara pelayanan yang dilakukan bersifat mudah, lancar, tepat, tidak berbelit-belit serta mudah dipahami oleh masyarakat. Dari aspek ini setelah dianalisa berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, bahwa pelayanan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah Kecamatan Tombariri Timur dalam proses pembuatan Kartu Keluarga sudah dilakukan dengan baik, dengan memberikan pelayanan dengan baik sesuai dengan ketentuan yang ada, dan tidak mempersulit warga masyarakat. Hal ini dibuktikan lewat wawancara yang dilakukan pada Informan VR (45 tahun), salah satu staf kantor kecamatan Tombariri Timur, dimana hasil yang didapatkan : "Dalam memberikan pelayanan pada masyarakat kami selalu melakukannya dengan sebaik mungkin dengan tidak mempersulit setiap masyarakat yang membutukan pelayanan kami, dalam proses pelayanan yang menyangkut administasi kependudukan, menyangkut Kartu Keluarga misalnya masyarakat hanya perlu menyediakan syarat-syarat yait:, surat keterangan dari kepala desa, akte nikah, dan mengisi formulir permohonan pembuatan kartu keluarga yang disediakan oleh kecamatan, dan didalam pelayanan yang ada kami tidak melakukan pungutan selain biaya adminitrasi yang ada". Pernyatan salah satu staf tersebut kembali dibuktikan lewat wawancara yang dilakukan pada informan TP (47 tahun) salah seorang warga Tombariri Timur, yang mengatakan : "Pelayanan yang diberikan pada saya oleh petugas kecamatan menurut saya sudah baik, dimana pada saat saya menyediakan syarat-syarat administrasi untuk membuat Kartu Keluarga, secara lengkap, petugas pun dengan sigap melayani saya dengan segera memberikan formulir untuk di isi dan memberikan arahan-arahan bagaimana mengisi formulir dengan baik agar tidak terjadi kesalahan dalam pengisian". Dengan demikian dapat dikatakan pelayanan yang diberikan dilihat dari aspek kesederhanaan sudah baik, dimana pelayanan mudah, yang tidak melalui proses yang rumit serta lancar tanpa adanya sikap yang berbelit-belit, sehingga masyarakat pun merasa nyaman dan puas terhadap pelayanan yang diberikan. b. Aspek Kecakapan Dan Kehandalan Petugas Pelayanan Suatu pelayanan agar bisa maksimal tentunya dipengaruhi oleh bagaimana kecakapan dan kehandalan petugas yang menjalankan pelayanan. Artinya petugas yang berfungsi melakukan pelayanan hendaknya menguasai keterampilan serta pengetahuan pelayanan yang dibutuhkan, sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan. Dari hasil wawancara yang dilakukan pada informan ER (37 tahun), salah satu petugas kecamatan Tombariri Timur : "Pada saat masyarakat akan melakukan pembuatan kartu keluarga, aparat/petugas segera memberitahu persyaratan yang ada dan proses yang akan dilalui oleh masyarakat, dengan demikian masyarakat pun mengetahui dan mengerti mengenai layanan yang dia butuhkan, disamping itu juga bagaimana aparat/petugas selalu memberi tahu masyarakat mengenai jenis pelayanan dan apa saja yang harus disediakan masyarakat misalnya didalam pembuatan kartu keluarga, masyarakat harus menyediakan surat keterangan dari kepala desa, akte nikah, dan nantinya akan mengisi formulir permohonan kartu keluarga". Dari aspek ini, dapat dikatakan bahwa keterampilan dan keahlian aparat/petugas Kecamatan dalam memberikan pelayanan pada masyarakat sudah baik, hal ini dibuktikan dengan keterampilan dan pelayanan sesuai dengan yang dibutuhkan, dimana dalam proses pembuatan Kartu Keluarga aparat mengetahui segala jenis persyaratan yang dibutuhkan dan juga semua persyaratan yang lain sesuai dengan jenis pelayanan. c. Aspek Keramahan Suatu aspek penting yang juga menentukan apakah pelayanan yang diberikan sudah berkualitas adalah sikap yang ditunjukan atau bagaimana perlakuan petugas pelayanan didalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, baik dari kesabaran menghadapi masyarakat, penuh perhatian, empati dan persahabatan, sehingga pelayanan yang bersifat ramah terhadap masyarakat dapat terwujud. Dari hasil wawancara yang dilakukan pada informan RM ( 32 tahun), salah seorang warga masyarakat, pada saat akan mengurus proses administrasi untuk membuat Kartu Keluarga, di kantor kecamatan Tombariri Timur, mengatakan : "Sikap yang ditunjukan oleh petugas yang ada, dengan memberikan salam yang menandakan sikap persahabatan, dan juga bagaimana tutur kata saat melakukan komunikasi dengan masyarakat, dan juga cara pelayanan yang dilakukan pada saat masyarakat belum jelas dan mengerti mengenai persyaratan yang dibutuhkan, dengan sikap yang sopan dengan tutur kata yang baik, petugas pun memberikan penjelasan dengan baik dan masyarakat pun merasa nyaman merasa bahwa dirinya dihargai dan dihormati lewat sikap yang ditunjukan." Dari aspek ini, dapat disimpulkan bahwa, pelayanan yang dilakukan oleh aparatur Pemerintah Kecamatan Tombariri Timur dalam proses pembuatan Kartu Keluarga sudah baik dengan menunjukan sikap yang ramah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. d. Aspek Kejelasan Dan Kepastian Pelayanan Aspek kejelasan dan kepastian dalam pelayanan khususnya yang menyangkut biaya atau ongkos dalam memperoleh pelayanan merupakan hal yang penting dalam sebuah proses pelayanan. Di kecamatan Tombariri Timur, dari aspek ini dapat disimpulkan bahwa kejelasan mengenai biaya pelayanan dalam mengurus Kartu Keluarga masih pada taraf yang wajar tanpa ada pungutan atau apapun itu yang harus dibayarkan oleh masyarakat. Kesimpulan tersebut diperoleh penulis setelah melakukan wawancara dengan informan FR (43 tahun), salah satu petugas kecamatan dimana ia mengatakan: "Biaya administrasi yang dikenakan pada masyarakat masih pada taraf yang wajar yaitu Rp10.000 dan tidak ada pungutan lain selain biaya administasi tersebut. Pendapat yang sama juga dikatakan oleh informan KM (27 tahun) salah seorang warga masyarakat yang ketika penulis melakukan penelitian kebetulan sedang mengurus Kartu Keluarga di Kecamatan Tombariri Timur, menurutnya pengakuannya : " Biaya yang saya bayar pada saat proses administrasi untuk pembuatan Kartu Keluarga sebesar Rp 10.000 dan aparat atau petugas kecamatan tidak melakukan pungutan-pungutan lain selain biaya administrasi tersebut." Hal yang sama juga dikatakan oleh beberapa warga masyarakat yang sempat ditemui penulis saat melakukan penelitian. Namun mengenai waktu selesai dalam proses pembuatan Kartu Keluarga perlu mendapat perhatian oleh pemerintah. Hal itu terkait dari hasil penelitian yang dilakukan, belum ditemukannya kejelasan dan kepastian pelayanan mengenai waktu selesai. Dari wawancara yang dilakukan pada beberapa warga masyarakat diperoleh waktu yang bervariasi. Menurut pengakuan informan NU (45 tahun), salah seorang warga yang mengurus Kartu Keluarga ketika di wawancara penulis, mengatakan : " waktu yang yang dibutuhkan ada yang 1 jam, 45 menit, bahkan ada yang sampai 2 jam". Padahal dari wawancara yang dilakukan pada petugas kecamatan, mereka mengatakan bahwa waktu yang dibutuhkan dalam proses administrasi pembuatan Kartu Keluarga yaitu hanya 15 sampai 20 menit saja. Terdapat variasai waktu yang ditemukan, namun menurut mereka hal itu masih pada taraf yang wajar karena tidak sampai berhari-hari. e. Aspek Ekonomis Aspek ekonomis di sini yang dimaksud adalah berapa biaya dan tenaga yang dibutuhkan dalam pengurusan administrasi Kartu Keluarga. Biaya menyangkut ongkos yang diperlukan dalam mengurus administrasi Kartu Keluarga. Tenaga di sini dimaksudkan adalah berapa pihak yang harus dilalui dalam pengurusan adminstrasi Kartu Keluarga tersebut. Dapat dikatakan bahwa pelayanan yang diberikan oleh aparatur Pemerintah Kecamatan Tombariri Timur dalam proses pembuatan Kartu Keluarga sudah sesuai dengan ketentuan yang ada dan pengenaan biaya pada taraf yang wajar dan sesuai dengan ketentuan yang ada, namun tidak bisa dipungkiri bahwa, dalam proses pelayanan yang ada, masyarakat masih ada yang memberikan uang kepada petugas dengan harapan petugas bisa memberikan layanan ekstra. Padahal menyangkut biaya sebagaimana yang sudah dijelaskan dari aspek kejelasan mengenai biaya administrasi yang dikenakan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada masyarakat dan petugas kecamatan yaitu sebesar Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah), tanpa ada pungutan lain atau biaya lain diluar biaya administrasi tersebut. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh AR : "Sebenarnya menyangkut prosedur dan biaya pengurusan sudah jelas diatur bahkan sudah ditempel di dinding, namun terkadang masih ada saja masyarakat yang mencoba untuk menyogok petugas agar mendapat pelayanan ekstra". f. Kelengkapan sarana dan prasarana kerja Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis terlihat bahwa sarana dan prasarana pendukung kantor sudah cukup tersedia. Ketersediaan sarana dan prasarana seperti alat tulis kantor, meja, kursi, telepon, komputer, dan printer yang berada pada kantor dirasakan sudah cukup untuk membantu penyelesaian pekerjaan sehingga tidak ada pekerjaan yang terbengkalai akibat tidak adanya peralatan yang dibutuhkan segera. Hal ini seperti pengakuan dari salah seorang petugas DT kepada peneliti : "Kalau sarana prasarana yang tersedia di kantor sudah cukup sehingga tidak ada alasan untuk menghambat proses pelayanan". g. Kemudahan Akses - Ketersediaan Angkutan Umum Menuju Lokasi Kantor Pengguna pelayanan umumnya mengatakan ketersediaan angkutan umum sudah cukup, dikarenakan untuk perjalanan dari tempat tinggalnya umumnya sudah ada. Hal ini seperti yang diakui oleh JR : "Jika dibandingkan dengan sebelum dimekarkan untuk mencapai lokasi kantor tempat pengurusan relatif lebih dekat dan kendaraan umum yang lewat dikantor ini banyak". - Kondisi Jalan Menuju Kantor Masyarakat pengguna pelayanan menyatakan bahwa kondisi jalan menuju kantor sudah cukup baik, walaupun pada beberapa koridor jalan masih ada jalan yang rusak. Namun perbaikan jalan menuju lokasi banyak dijalankan seperti penambalan lubang, penambahan lebar jalan, atau pengaspalan walaupun belum menjangkau seluruh koridor jalan yang ada. Hal ini juga sesuai dengan hasil observasi yang penulis lakukan. Selain itu hal ini sejalan dengan pengakuan dari RM : "Walaupun kondisi jalan ini belum dapat dikatakan baik, namun terlihat berbagai usaha pemerintah untuk melakukan perbaikan sudah dilakukan, seperti pelabaran dan penambalan lubang-lubang yang ada". h. Kenyamanan Keyamanan merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam suatu proses pelayanan public. Hal itu bisa tercermin diantaranya dari : - Kondisi kantor yang berkaitan dengan kebersihan dan keindahan. Pengguna pelayanan menyatakan bahwa kondisi kantor seperti kebersihan dan keindahan, secara keseluruhan sudah baik, hal ini dikarenakan kondisi bangunan kantor yang masih baru dibangun dan digunakan. Akan tetapi, pemeliharaan kondisi kantor sangat diperlukan lebih lanjut dikarenakan pada kantor sudah mulai terlihat kotoran tinta dan kertas, dinding sudah mulai ada yang retak, dan kaca yang berdebu. Mengenai kondisi kantor yang terkait dengan kebersihan juga diakui oleh beberapa masyarakat yang sempat ditemui oleh peneliti, seperti JK yang mengatakan : " Kebersihan kantor sangat baik walaupun dibeberapa dinding sudah terlihat agak kotor. Ini kan masih kantor baru, jadi masih kelihatan bersih" - Ketersediaan fasilitas pendukung seperti ruang tunggu, parkir, toilet. Pengguna pelayanan beranggapan bahwa ketersediaan fasilitas pendukung seperti ruang tunggu, parkir, toilet, dan tempat ibadah dirasakan oleh pengguna sudah cukup. Akan tetapi, pengguna banyak yang complain/mengeluh terhadap ruang tunggu yang minim atau tempat duduk yang dirasakan masih kurang banyak untuk memfasilitasi pengguna pelayanan yang datang. Pengakuan terkait dengan hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh beberapa anggota masyarakat yang sempat ditemui oleh peneliti, diantaranya FR, yang mengatakan : " Ini kantor so bagus cuma kwa de pe ruang tunggu kacili deng de pe kursi masih kurangcaba lia banya orang yang dating baurus so nyanda dapa tampa dudu for batunggu. Seharusnya rupa itu kursi harus tamba supaya masyarakat yang datang ba urus bisa antri sesuai dengan de no antrian deng supaya tertib nyanda kaluar maso seperti sekarang". B. PEMBAHASAN Seperti yang diungkapkan oleh Maarif (2003) bahwasanya Pemekaran wilayah secara Formal/Konstitusional adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah di daerah terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan pemerintahan didaerah terutama dalam peningkatan pelaksanaan pelayanan terhadap masyarakat serta meningkatkan kestabilan politik dan kesatuan bangsa. Dari hasil temuan di lapangan yang diperoleh, dampak dari pemekaran wilayah kecamatan Tombariri Timur terhadap pelayanan public sudah dapat dikatakan tidak ada masalah walaupun dibeberapa aspek pelayanan masih belum sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat, apalagi sesuai dengan konsep pelayanan public yang ideal. Namun begitu berbagai usaha pemerintah daerah dalam upaya peningkatan kaulitas pelayanan sudah terlihat dan dilakukan dengan bersungguh-sungguh walaupun masih jauh dari sempurna. Hal tersebut juga diakui oleh beberapa informan yang sempat ditemui oleh peneliti mereka pada dasarnya dapat memaklumi hal tersebut karena pemekaran wilayah ini masih baru dilakukan ketika peneliti melakukan penelitian. Hal itu seperti yang diungkapkan oleh MT (45) ketika ditanya oleh peneliti mengenai pelayanan yang masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Menurut MT : Kalo dilihat dari pelayanan yang diberikan oleh petugas saat pengurusan Kartu Keluarga memang masih jauh dari sempurna, karena seringkali waktu menjadi masalah terbesar yang sering dialami oleh masyarakat. Namun hal itu dapat dipahami oleh masyarakat karena jumlah petugas yang ada juga terkait dengan pengalaman dari petugas yang melayani. Selain MT sebagian besar informan yang ditemui peneliti mempunyai pendapat serupa mengenai dampak pemekaran wilayah mereka menjadi kecamatan sendiri terhadap pelayanan public yang tersedia sekarang. Sebagian besar mengatakan bahwa pelayanan public sudah lebih baik dari sebelum wilayah mereka di mekarkan. Walaupun demikian, menurut mereka masih ada beberapa aspek pelayanan yang memerlukan perbaikan seperti dari aspek kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu, dan kemudahan akses dalam proses pelayanan public khususnya dalam pengurusan administrasi pembuatan Kartu Keluarga. Penilaian masyarakat terhadap kualitas penyelenggaraan pelayanan public yang menurut mereka sudah baik tersebut, didasarkan pada penilainan mereka terhadap prosedur pelayanan yang mudah dipahami dan dilaksanakan, pengetahuan petugas bagian yang akan mengurusi, pegawai berkompeten terhadap tugas dan fungsinya, pegawai mudah ditemui, urusan sesuai dengan yang dikehendaki, adanya bukti tanda terima yang diberikan, pegawai bertanggung jawab terhadap penyelesaiaan urusan, keluhan mengenai proses pelaksanaan urusan diterima dan diproses lebih lanjut, ketersediaan sarana dan prasarana pendukung kantor yang cukup, ketersediaan angkutan umum menuju lokasi kantor cukup, kondisi jalan menuju lokasi kantor cukup, penampilan pegawai kantor bersih dan rapih, perilaku pegawai ramah dan sopan, kondisi kantor seperti kebersihan, keindahan, dan kenyamanan yang baik, dan ketersediaan fasilitas pendukung yang cukup. PENUTUP A. Kesimpulan Dampak dari pemekaran wilayah Tombariri Timur terhadap pelayanan public sudah dapat dikatakan baik walaupun masih jauh dari ideal.Berbagai usaha untuk meningkatkan pelayanan public oleh pemerintah daerah sudah dapat dikatakan berjalan baik namun masih diperlukan berbagai usaha maksimal untuk lebih mendekatkan tujuan pemekaran wilayah ini dengan pelayanan public.B. Saran 1. Perlu adanya kejelasan prosedur pelayanan publik sehingga tidak ada kesan kalau pegawai berusaha untuk mempersulit prosedur pelayanan. 2. Adanya transparansi biaya yang dikeluarkan sehingga pada akhir pelayanan tidak ada pungutan liar yang tidak sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya. 3. Adanya kepastian waktu penyelesaiaan urusan sesuai waktu yang telah dijanjikan jangan melewati waktu yang dijanjikan atau bahkan lebih cepat dari waktu yang dijanjikan. 4. Adanya kejelasan dalam hal persyaratan teknis dan administratif yang diberikan oleh pegawai sehingga masyarakat pengguna menjadi jelas dan mengerti. 5. Pegawai sebaiknya berkomitmen dan berkompeten dalam menyelesaikan urusan sesuai dengan yang dikehendaki pengguna pelayanan. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Dan Artikel G T Liang (2003), Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Negara RI, Liberti Yogyakarta. Maarif, S, (2003), Strategi Peningkatan Kompetensi Aparatur Guna Mengantisipasi Kebutuhan Sektor Pelayanan Publik, STIA LAN, Bandung. Moleong. L.T, (2001), Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Rineka Rosda Karya Bandung. Nawawi. H, (1995), Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press, Yokyakarta. Pamudji (2000), Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Balai Pustaka Indonesia, Jakarta. Ratminto dan Atik Septi Winarsih. (2005), Manajemen Pelayanan, Yogyakarta: Pustaka Belajar. Sugioyono, (2006), Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif R&D Pitabeta, Bandung. W.J.S Poerwadarminta, (2005), Kamus besar Bahasa Indonesia. B. Peraturan Perundangan : UU No. 22 Tahun 1999, Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, Tentang Administrasi Kependudukan UU No. 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2008 tentang pembentukan suatu daerah otonom Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008, tentang Kecamatan Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2007, pemekaran daerah/wilayah Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000, tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan pengabungan daerah Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008, tentang persyaratan tata cara pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/&/2003 Tentang Pengertian Pelayanan Umum Surat Keputusan Menteri Pendayaan Aparatur Negara No.81 Tahun 1993, Tentang Pelayanan Publik Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa No. 3 Tahun 2012, tentang Pembentukan Kecamatan Tombariri Timur.

Sexual Objectification in Mo Yan's Big Breasts and Wide Hips Vianey Paramitha English Literature Faculty of Languages and Arts State University of Surabaya helenavianey23@gmail.com Dr. Ali Mustofa, SS., M.Pd. English Department Faculty of Languages and Arts State University of Surabaya ali_mustofa2005@yahoo.co.uk Abstrak Penelitian ini memfokuskan pada penggambaran objektifikasi seksual yang dialami oleh tokoh utama dan apa efek yang timbul sebagai akibat dari objektifikasi seksual. Fitur objektifikasi seksual ditampilkan untuk memberikan pemahaman tentang klasifikasi objektifikasi seksual. Untuk menjawab masalah pertama, penelitian ini menggunakan teori objektifikasi seksual oleh Fredrickson dan Roberts dan didukung oleh beberapa filsuf dan fitur objektifikasi seksual yang dikemukakan oleh Martha Nussbaum dan Rae Langton. Masalah kedua dijawab dengan menggunakan konsep dari Fredrickson dan Roberts dan filsuf lainnya tentang efek objektifikasi seksual. Data ini menyajikan objektifikasi seksual yang dialami oleh Shangguan Lu dan apa efek dari pengalaman objektifikasi seksual tersebut. Analisis ini mengungkapkan objektifikasi seksual yang dialami Shangguan Lu dan faktor-faktor yang menyebabkan objektifikasi seksual. Fitur dari objektifikasi seksual digunakan untuk menggambarkan bentuk objektifikasi seksual yang dialami Shangguan Lu. Selanjutnya, pengalaman objektifikasi seksual membawa efek di dalam hidupnya. Shangguan Lu mengalami kecemasan terhadap penampilan, disfungsi seksual, kemarahan, depresi, keinginan untuk bunuh diri, kepemilikan terhadap anak-anak, dan sikap seksual. Efek tersebut muncul karena pengalaman objektifikasi seksual. Kata Kunci: objektifikasi seksual, objektifikasi diri. Abstract This study focuses on depicting sexual objectification performed by the main character and what the effect arising as result of sexual objectification. Features of sexual objectification occur to give understanding about classification of sexual objectification. To answer the first problem, this study uses the theory of sexual objectification by Fredrickson and Roberts and supported by several philosophers and the features of sexual objectification offered by Martha Nussbaum and Rae Langton. The second problem is answered by using the concept from Fredrickson and Roberts and other philosopher about the effects of sexual objectification. The data presents Shangguan Lu's sexual objectification and what the effect of her sexual objectification experiences. The analysis reveals Shangguna Lu's sexual objectification and factors which causes sexual objectification. The features of sexual objectification are used to describe the shape of sexual objectification in Shangguan Lu. Furthermore, her sexual objectification experiences bring effect in her life. Shangguan Lu experiences appearance anxiety, sexual dysfunction, anger, depression, willing for suicide, property of children, and sexual attitude. Those effects arise because of her sexual objectification experiences. Keywords: sexual objectification, self objectification. INTRODUCTION Mo Yan is known as great Chinese writer. Many of his works are approved in the world. He is regarded as the winner of Noble Prize in Literature in 2012. The one of his novels which brings him gets the prize is Big Breasts and Wide Hips. This epic novel story is first and foremost about women, with the female body serving as the object for man sexual desire. The story is about the protagonist, Mother, is born in 1900 and married at seventeen into the Shangguan family. She has nine children, only one of whom is a boy. The boy becomes the narrator of the novel. A spoiled and ineffectual child, he stands in stark contrast to his eight strong and forceful female siblings (Mo Yan, 1996). The story begins when she was child, she called as Xuan'er, survives meanwhile her parents are die. She brought up by her aunt and uncle. She grows up, bound feet frowned upon, and so the blacksmith dares to propose marriage between Xuan'er and his son, Shangguan Shouxi. Her name becomes Shangguan Lu. This is reluctantly accepted and Shangguan Lu has to go and live with her despotic mother-in-law and her husband. Her mother-in-law starts becoming even more despotic when Shangguan Lu does not produce any children. However, she and her family eventually realize that it is her husband who is infertile, not her (Mo Yan, 1996: 48-54). Shangguan Lu has sex with other men to get a baby boy. First, she is fertilized by her uncle and gets two daughters. Further, she has sex with duck peddler, monk, dog butcher, even worse, rape by four men. Every time the result is a girl. Finally, Pastor Malory, the local priest who claims to be Swedish, though he speaks the local dialect perfectly, falls in love with her. From Pastor Malory, she manages to deliver another girl and then, immediately after, a son, Jintong (Mo Yan, 1996: 58-75). In 1900s, women in China are still exploited and follow the custom tightly. They have to follow the rules. Shangguan Lu lives between dynasty changing, the glory and collapse of dynasty Qing. When she still five years old, she must binding her feet. Binding feet is shape feet smaller. The smaller the size of their feet, they are considered more beautiful. In marriage, women usually betrothed to increase their level, as requirement, they must look beautiful in front of public. Shangguan Lu shapes her feet tiny in order to make people look her as beautiful woman and the scholar will marry her. Unfortunately, when she is seventeen years old, Qing dynasty is collapse. Binding feet becomes prohibited and tiny feet don't become benchmark of beauty. Her aunt accepts Shangguan family's marriage proposal because she is afraid of no man purpose Shangguan Lu who has tiny feet (Mo Yan, 1996: 48-50). Sexual objectification through Shangguan Lu begin when her mother in law, Shangguan Lü suppress her to have a baby boy. When Shangguan Lu doesn't give any child yet, Shangguan Lü starts to blame her and treat her rude. She concludes that her daughter in law is barren. The objectification between Shangguan Lu and her mother-in-law represents Sarah Gervais's words. Women also objectify woman as more of a comparison with themselves (Sarah Gervais's research article, 2012). Her aunt and uncle are disappointed with Shangguan family and check Shangguan Lu up in doctor. The result is nothing wrong with Shangguan Lu, so that actually Shangguan Shaoxi who is barren. They keep that fact secret in order not to make conflict with Shangguan family (Mo Yan, 1996: 58). Her aunt helps her. She makes Shangguan Lu unconscious and makes her husband have sex with Shangguan Lu. From her uncle, Shangguan Lu gets two daughters, but it can't make Shangguan Lü satisfied (Mo Yan, 1996: 58). Having a son moreover he is the first child in family in China is very important, it gives you pride because in China, men control is very strong. Heir of family is in the son's hand. A daughter is considered as a disgrace. So, Shangguan Lu begins to have sex with other men who is she meet with. She makes her body become an instrument as sex machine in order to fulfill her mother in law will. Objectification theory by Fredrickson and Roberts (1997: 173) postulates that many women are sexually objectified and treated as an object to be valued for its use by others. Her action has effects especially in her psychology. She must bear the burden alone. She keeps her husband disgrace, having sex with other men secretly, and takes care of her children alone. Her husband is not helping at all; he is too submissive with his mother and often treated Shangguan Lu rude. Women, in the other hand according to Evangelia Papadaki, who studies Mackinnon and Dworkin (2007: 344), may have the desire to change reality, but they certainly do not have the power required for such changes. In this case, Shangguan Lu can't rebel and denied Shangguan family's treatments. She wants to get respect from Shangguan family, in contrast, she does not get it even sacrifice her self-regard to other men in order to get baby boy (Mo Yan, 1996: 66). Discussing about woman often followed by stereotype that woman is a sexual object. The study about sexual objectification posted by Frederickson and Roberts is related to explore more about woman as sexual object. The theory of sexual objectification by Fredrickson and Roberts in Psychology of Women Quarterly will also support with other feminists theory likes, Kant in Lectures on Ethics, Dworkin in Pornography: Men Possessing Women, Sandra Bartky in Femininity and Domination: Studies in the Phenomenology of Oppression, Herman in Could It Be Worth Thinking About Kant on Sex and Marriage?, etc. Also this thesis contain of features of sexual objectification and the factor to make the reader understand more about sexual objectification. The psychology effects of sexual objectification will explain with theory by Fredrickson and Roberts Psychology of Women Quarterly, Harry Mills's article, Locke from Reason Paper no. 18, etc. Sexual objectification according Fredrickson and Roberts defined as the seeing and/or treating a person as an object. In this entry, the focus is primarily on sexual objectification. Sexual objectification theory suggests both direct and indirect consequences of objectification to women. Sexual objectification theory provides a useful model for understanding how socio cultural factors may give effects for women who experience sexual objectification (Fredrickson and Roberts, 1997: 174). Based on those perceptions it can be conclude that sexual objectification theory are the proper approaches to analyze the sexual objectification and its effects in the character Shangguan Lu in Mo Yan's Big Breasts and Wide Hips. RESEARCH METHOD This thesis uses the novel as object of research. The novel reads many times for properly understanding. The next step is finding appropriate theory for the novel and collecting the data through noting the quotation related with the theory. It is include in words, sentences, and discourse that can represent sexual objectification and its effect in Mo Yan's Big Breasts and Wide Hips. Classification data is important to answer the statement of problems. To make it easier, tabling the data occurs to simplify reading the analysis. SEXUALITY According to Richard A. Posner in Sex and Reason, sexuality is term social attitudes that make sex problematic, self-conscious, rather than just "natural" or biological. Sexual power is something special and comes with its own strings attached. In famous stereotype, men have been the experts in sex. They become the teacher of inexperienced female partners. It means men have sexual power through their female partners (Richard A. Posner, 1994: 13). SEXUAL ACT IN MEN AND WOMEN According to Richard A. Posner in Sex and Reason, woman who lives in sexual abstinence usually has depressions which are same with organic sexual tension. They are manifestation not from a physical urge, but of erotic yearning, narcissistic willing to be loved, and masochistic struggling to give. Even in wives of impotent husbands, the typical irritability and aggressive mood express disappointment, injury, vexation, and contempt rather than a state of somatic excitability. Once the pleasure has been enjoyed, the wish for repetition is naturally intensified (1994: 92). In many women, bourgeois morality or their mother malicious frigidity has created the idea that coitus is a sacrifice they must fulfill dirty needs of men. They must dutifully let it happen to them (Richard A. Posner, 1994: 95). SEXUAL OBJECTIFICATION According to Fredrickson and Roberts in Psychology of Women Quarterly, objectification theory provides a framework for understanding the experience of being female in a socio cultural context that sexually objectifies the female body. Objectification theory postulates that many women are sexually objectified and treated as an object to be valued for its use by others (1997: 173). Sexual objectification occurs when a woman's body or body parts are separated from her as human being and then she is viewed primarily as a physical object for satisfy male sexual desire (Kant, 1963: 165). Sexuality is not an inclination which one human being has for another. It is an inclination for the sex of another. It becomes a principle of degradation of human nature. It gives rise to the preference of one sex to the other, and to the dishonouring of that sex through the satisfaction of desire. A man has desire for woman is not directed towards her because she is human being, but it's because she is woman. The man has no concern because she is human being, only her sex is the object of man sexual desire (Kant, 1963: 164). According to Fredrickson and Roberts in Psychology of Women Quarterly, many woman experience more extreme forms of sexual objectification. It is sexual victimization such as rape, sexual assault, and sexual harassment. With these forms of victimization, a woman's body is literally treated as not more than instrument or thing by her perpetrator (1997: 186). Sexual objectification that forms sexual victimization and harassment experiences women at much higher rates than men (Fredrickson and Roberts, 1997: 189). Bartky says the psychological oppression of women consists of women being stereotyped, culturally dominated, and sexually objectified (1990: 23). According to Bartky, there are those practices that aim to produce a body of a certain size and shape: women must conform to the body ideal of their time (1990: 65–67). The very contours a woman's body takes on as she matures -the fuller breasts and rounded hips- have become distasteful (Bartky, 1990: 101). K. Martin also says within pubertal changes, a girl becomes more fully started enter to the culture of sexual objectification (1996: 31). Evangelia Papadaki, who studies MacKinnon and Dworkin, in Sexual Objectification: From Kant to Contemporary Feminism concludes women, on the other hand, may have the desire to change reality, but they certainly do not have the power required for such changes. This means that women are fifty-fifty to act in order to fight sexual objectification. It can be conclude that women are not fully responsible for their objectified fate. Women represent of powerless and victimized person. (2007: 344). Sarah Gervais, assistant professor of psychology at the University of Nebraska-Lincoln says that people can't just appoint to the men. Women see other women this way too. This happen related to different motives. Men might be doing it because they're interested in potential mates. Meanwhile women may do it as more of a comparison with themselves. In marriage, a woman is nothing more than an object for her husband's use and abuse. Dworkin posts his pessimistic language. Wife beating and marital rape are belief as a man's ownership of his wife licenses whatever he wishes to do to her. Her body belongs to him to use for his own impingement, to beat, her body belongs to him to use for his own release, to beat, to impregnate" (Dworkin, 1989: 34). According to Dawn M. Syzmanski et al in Sexual Objectification of Women: Advances to Theory and Research, drawing from feminist, vocational, and organizational psychology, the cores criteria for sexual objectification environment are ones in which: a) Traditional gender roles exist, b) a high probability of male contact exists (physically speaking, a male dominated environment), c) women typically hold less power than men in environment, d) high degree of attention is drawn to sexual/physical attributes of women's bodies, e) there is approval and acknowledgement of male gaze (2011: 20). Dawn M. Syzmanski, reading Worell and Remer, says that traditional gender role socialization encourages many men to be powerful, controlling, and dominant; see women as sex objects, view sex as a conquest; and believe that women are their property (2011: 21). Martha Nussbaum in Objectification (1995: 257) has identified seven features that are involved in the idea of treating a person as an object: 1) instrumentality: the treatment of a person as a tool for the objectifiers purposes; 2) denial of autonomy: the treatment of a person as lacking in autonomy and self-determination; 3) inertness: the treatment of a person as lacking in agency, and perhaps also in activity; 4) fungibility: the treatment of a person as interchangeable with other objects; 5) violability: the treatment of a person as lacking in boundary-integrity; 6) ownership: the treatment of a person as something that is owned by another (can be bought or sold); 7) denial of subjectivity: the treatment of a person as something whose experiences and feelings (if any) need not be taken into account. Rae Langton in Sexual Solipsism: Philosophical Essays on Pornography and Objectification (2009: 228–229) has added three more features to Nussbaum's list: 8) reduction to body: the treatment of a person as identified with their body, or body parts; 9) reduction to appearance: the treatment of a person primarily in terms of how they look, or how they appear to the senses; 10) silencing: the treatment of a person as if they are silent, lacking the capacity to speak. THE EFFECTS OF SEXUAL OBJECTIFICATION Appearance anxiety, according to medical dictionary, is social anxiety surrounding overall appearance, including body shape, and fear of negative evaluation by others. It likes the environment only looked someone by physical appearance. Commonly, it happens to woman who always worries with physical appearance. Fredrickson and Roberts posts in Psychology of Women Quarterly that self-objectification can increase women's anxiety about physical appearance, fear about when and how woman will be looked or evaluated, and reduce opportunities for gain position in states. It also diminishes awareness of internal bodily sensations and increase women's opportunities for body shame. Woman has emotion that results because of measure standard with other women. This self-objectification can increase women's physical safety in which can lead to depression and sexual dysfunction (1997: 180-181). Fredrickson and Roberts in Psychology of Women Quarterly also say that sexual dysfunctionorsexual malfunctionrefers to a difficulty experienced by an individual or a couple during any stage of a normalsexual activity, includingdesire, preference, arousal or orgasm. There are many factors which may result in a person experiencing a sexual dysfunction. These may result from emotional or physical causes. Emotional factors include in interpersonal or psychological problems. Emotional factors can be the result of depression, sexual fears or guilt, past sexual trauma, and sexual disorders. Sexual dysfunction is especially common among people who haveanxiety disorders (1997: 190). Anger can occur when people don't feel well, feel rejected, feel threatened, or experience some loss. Pain alone is not enough to cause anger. Anger occurs when pain is combined with some anger-triggering thought. Thought that can trigger anger is personal assessment, assumptions, evaluations, or interpretations of situations that makes people think that someone else is attempting, consciously or not, to hurt them. In this sense, anger is a social emotion. Sometimes people make themselves angry so that they don't have to feel pain. People change their feelings of pain into anger because it feels better to be angry than it does to be in pain (Harry Mills's article Psychology of Anger, 2005). According to Mental Health Foundation, depression can happen suddenly as a result of physical illness, experiences dating back to childhood, unemployment, bereavement, family problems or other life-changing events. Having a female body, according to Fredrickson and Roberts in Psychology of Women Quarterly, gives girls and women plenty worry about and little to control. A woman's body generates feeling of helplessness. It can also result of depression (1997: 188). Dawn M. Szymanski, reading Clark et al, adds that individuals who deal with oppressive events may have feelings of anger and depression. It continues to other negative substances to manage these feelings (2011: 18). Suicide, according to Oxford dictionary, is the action of killing oneself intentionally. Suicide is often committed out of despair, the cause of which is frequently attributed to a mental disorder such as depression, bipolar disorder, schizophrenia, alcoholism, or drug abuse (Keith Hawton's article Suicide, 2009). Common methods include: hanging, pesticide poisoning, and firearms. According to suicide case data from 1978–2008, China has one of the highest female suicide rates in the world and is the only country where it is higher than that of men (World Health Organization, 2011). Xu Rong, head of the Suicide Prevention Project at the Beijing Cultural Development Centre for Rural Women, explains this emotionally taxing situation so many Chinese women encounter: "They have their father-in-law to deal with, their mother-in-law, various uncles, sisters-in-law and so on. She's got to gain everyone's acceptance. When there are conflicts, she's the weakest." There are places in the world today where children are regarded more or less as property, and the results are not pretty. In some places parents do sell children, and especially daughters, into slavery, or otherwise exploit them for the parents' advantage. Mothers own their children (Reason Papers no. 18, 1993: 191). Okin in Justice, Gender, and the Family says that a woman presumably would be entitled to use her children in any way she wishes, to keep it in a cage to amuse her. It looks like as some people keep bird. She feels free to eat it or kill it if she were so inclined (1989: 84). Women have babies, and babies come into the world dependent and incomplete. They require years of parental nurturing, a huge investment of resources. The effect is women offer in return. It is legal contract as the return of parental nurturing (Reason Papers no. 18 Who Owns the Children? Libertarianism, Feminism, and Property, 1993). According to Greg R. Foster, we do not inherit sexual attitude. Rather than inherit, our attitudes evolve from social, economic, and political necessity. Often they evolve out of fear, guilt, or shame (1968: 317). The mothers are reluctant to talk about sexuality to their daughters as they find it embarrassing to discuss these issues even daughters want to discuss about such issues with their mothers but feel hesitant to ask fearing their curiosity may be rebuffed as 'too much interest'. In the absence of a cultural framework of communication both mothers and daughters are faced with a dilemma – whereas the culture and traditions advice against it, the time demands it. The adolescent girls do not get information from their mothers due to this. The social taboos surrounding sexuality are so great that young adolescent girls usually do not share their sexuality views with their mothers and they are misguided and hence indulge in pre- marital sex (from neerusha.wordpress.com, posted in 2008). SEXUAL OBJECTIFICATION IN SHANGGUAN LU Binding feet in order to make women looked beautiful is one of the example sexual objectification. Because of her gender and position, Xuan'er (childhood name of Shangguan Lu) who is innocent follows the old tradition and start to binding her feet. Her aunt utilizes her innocence to create Xuan'er future, marrying with rich or high social class man. Her aunt uses Xuan'er as an asset which can be exchange with another material. Xuan'er produces a feminine body which learn to see themselves as objects for gaining scholar men (based on Bartky, 1990: 65-67). By looking Xuan'er from her body shape and makes her body adorable as the society accept, her aunt and uncle do sexual objectification indirectly to her. According to K. Martin (1996: 31), with her pubertal changes, Xuan'er becomes more fully initiated into the culture of sexual objectification. Her mother-in-law also the person who makes Shangguan Lu experiences sexual objectification. As the theory women who objectify woman by Sarah Gervais's research article in 2012, women are perceiving women this way, too. It could be related to different motives. Men might be doing it because they're interested in potential mates, while women may do it as more of a comparison with themselves. Shangguan Lü can give a son to her family, so she compares her own pride to her daughter-in-law. Shangguan Lü feels valuable than Shangguan Lu because she can produce a son. Shangguan Shouxi only looks Shangguan Lu as the object of his desire. He has no role as husband who supposed to protect and take care of his wife. He exploits Shangguan Lu to fulfil his sexual desire. It means Shangguan Lu humanity is not respected. Shangguan Shouxi has no concern about Shangguan Lu's feeling. All he cares is whenever he wants to do sex, she must serving him, whether she wants or not. Sexual objectification puts wife as the object of husband. There is no protection to wife. Shangguan Shouxi makes Shangguan Lu not only as object for his sexual desire but also object to beat whenever he wants. Her body belongs to him, so Shangguan Shouxi feels free to do whatever he wants including beat his wife's body. Shangguan Lu is powerless person, Shangguan Shouxi can do anything rude to her freely. As Evangelia Papadaki's conclusion (reading MacKinnon and Dworkin), Shangguan Lu presented as completely powerless and victimized (2007: 344). Shangguan Lu experiences extreme forms of sexual objectification. She Lu is being rape by four men Four men have objectified Shangguan Lu. She becomes sexual victim. Shangguan Lu has less power, so she can't rebel or out from that situation. She never wants to be raped although she utilizes herself for sex (based on Fredrickson and Roberts, 1997: 186). There are factors why she is objectified by the men. Shangguan Lu portrays as the exotic women with big breasts and wide hips. Men bring high degree of attention by their body. Also, Shangguan Lu typically holds less power than the men in environment. Shouxi and other men become the ones who are powerful, controlling, and dominant (2011: 20-21). One of seven features idea of treating a person as an object by Martha Nussbaum (1995, 257) implies in Big Paw Yu attitude toward Xuan'er. It is ownership which is the treatment of a person as something that is owned by another (can be bought or sold). Matchmaking is one of the methods in selling human. Xuan'er's owner is her aunt and uncle.Big Paw Yu likes to exchange Xuan'er beauty with appropriate price for grown up Xuan'er. Big Paw Yu feels dominate Xuan'er as his own treasure because he deserves for raising Xuan'er. The way Pastor Malory describes Shangguan Lu's body also can be the example of Rae Langton (2009: 228-229) about the features of sexual objectification. It is reduction to body which is the treatment of a person as identified with their body, or body parts. Pastor Milory's description about Shangguan Lu waist and breasts means that Shangguan Lu identified through her sexual parts of her body. THE EFFECTS OF SEXUAL OBJECTIFICATION Shangguan Lu gets appearance anxiety as the effect of her sexual objectification. She anxiety about how society, especially men, value and pay attention in her. Shangguan Lu compares her feet with her aunt. In that time, a woman looks beautiful from the size of her feet. Woman with tinier feet values as the most beautiful women. Based on that stereotype, Shangguan Lu feels anxiety about her feet size. She wants to value as beautiful woman. Shangguan Lu does not enjoy at all doing sex with Dabiao. It may happen because Dabiao has no appeal, he describes as ugly man. Shangguan Lu who describes as beautiful woman with big breasts and wide hips is worth for better man than Dabiao. It influences her sexual activity, she does sex with no attractive and desire. Shangguan Lu keeps her anger inside to make her feel better. Even it is not move out, it can decrease her pain. Her anger occurs because she feels threatened to have baby boy, her efforts to become appropriate wife and daughter-in-law are not appreciated by Shangguan family, and the pain for what they do. Mostly, she keeps her anger inside because she doesn't want worse condition. If she disapprove, Shangguan family treatments to her will be getting worse. Cry is one of Shangguan Lu's emotions to decrease her depression. In fact, she cannot handle all of her disappointment, burden, and pain as a result of sexual objectification. Sexual objectification experiences make her weak, not only physically but also mentally. Dawn M. Szymanski, reading Clark et al, adds that individuals who deal with oppressive events may have feelings of anger and depression, which may then lead to coping via use of alcohol or other substances to manage these feelings (2011: 18). Passed out is one of the substances to manage her feeling. Shangguan Lu keeps many problems by herself. It makes her helplessness. Fredrickson and Roberts (1997: 188) also say that sexual objectification may result of depression. Shangguan Lu experiences sexual objectification, even sexual rape which also the shape of sexual objectification. Shangguan Lu has depression inside her. It leads to a will of suicide. According to Xu Rong's explanation, Shangguan Lu represents a Chinese woman with many problems. When Shangguan Lu is in conflict, she is the weakest. The biggest problem is the difficulties in producing son. Her willing for suicide is because of marital conflict. A woman, according Okin, presumably would be entitled to use her children in any way she wishes (1989: 84). Shangguan Lu who becomes a mother, entitled to use her daughter in any way she wishes for, including sell them. The reason of sell her child is because she is not capable for raising nine children and one granddaughter. The only way to survive this condition is sell her children so her daughter will raise appropriate with adoptive mother. Daughters of Shangguan Lu do not inherit Shangguan Lu's sexual attitude. Likes Greg R. Foster, their attitude evolve from social and fear (1968: 317). Her daughters don't know how sexual objectification experiences in their mother. Xiangdi knows her mother and sisters live poorly. They often have no food for eat. She is afraid if her family increasingly displaced. Her fear encourages to self objectify. She sold herself to give money for her mother and sister so they can live well. She sacrifices herself by objectify herself. She feels that she meritorious to her family. Greg R. Foster's theory implies that Xiangdi's fear about her family financial condition leads her to experience sexual objectification (1968: 37). CONCLUSION AND SUGGESTION Sexual objectification is treating or seeing person as sexual object to fulfill one's sexual desire. This person also evaluates only by her physical appearance. Based on Sarah Gervais's statement, sexual objectification commonly happens in woman's life. Woman and man have probability to objectify woman, but they will not objectify man. This study describes about sexual objectification experiences and the effects to Shangguan Lu in Mo Yan's Big Breasts and Wide Hips. Her mother-in-law's attitude toward her implies Sarah Gervais's statement about woman who objectify woman as comparison for herself. Shangguan Lu also experiences the extreme form of sexual objectification as Fredrickson and Roberts's theory such as rape and sexual harassment. The factors encourage sexual objectification experiences is Shangguan Lu are based on Dworkin and Syzmanski. Those are because men are human centre of the world and he is powerful, controlling, and dominant. Woman, likes Shangguan Lu, is typically hold less power. Based on Martha Nussbaum and Rae Langton's theory about features of sexual objectification, Shangguan Lu includes in instrumentality, ownership, and reduction to body. The sexual objectification in Shangguan Lu brings effects in her life and personality. They are appearance anxiety, sexual dysfunction, anger, depression, willing for suicide, property of children, and sexual attitude. Appearance anxiety is fear about how her body be evaluated with another. Appearance anxiety happens when Shangguan Lu makes decision to binding her feet. She does it to evaluate as beautiful woman. Sexual dysfunction occurs when she has no desire in sexual activity with Gao Dabiao. Anger appears because Shangguan Lu has pain of sexual objectified combined with disappointment. She mostly keeps her anger inside herself. Shangguan Lu who feels helpless because of sexual objectification often gets depression. Her depression expresses by surrender to condition and cry. The worse of her depression is when she passed out. Also, the extreme way of Shangguan Lu's sexual objectification experiences is takes shortcuts to suicide in order to free from her suffer. The other effects are her attitude towards her daughters. Okin gives thought that woman presumably would be entitled to use her children in any way she wishes, even if Shangguan Lu wishes her daughter to be sold. Shangguan Lu has full will in property her children. The last is her daughter sexual attitude. Daughters of Shangguan Lu do not inherit her sexual attitude. Xiangdi, who is afraid if her family displaced, sells her body to get money for her family. Shangguan Lu who experiences sexual objectification also hides her sexual activity from her daughter. Even though she is sexually objectify, she does not want her daughters get same experiences. This study gives contribution in sexual and gender study. Big Breasts and Wide Hips gives portrait of woman who looks by physical, sexual, and gender. Shangguan Lu's life story gives description how Chinese woman who has no social class treats unfair by the society especially men in that era. This novel brings knowledge about how hard to born as a woman in China at that time. The story in Big Breasts and Wide Hips also has other aspects beside sexual and gender study. In future, this novel worth to discuss in other issues viewpoints. REFERENCES Bartky, Sandra Lee. 1990. Femininity and Domination: Studies in the Phenomenology of Oppression. New York: Routledge. Brake, Elizabeth. 2005. Justice and Virtue in Kant's Account of Marriage in Kantian Review. Dallas: Spence Publishing Company. Dworkin, Andrea. 1989. Pornography: Men Possessing Women, New York: E.P. Dutton. Dworkin, Andrea. 1997. Intercourse. New York: Free Press Paperbacks. Foster, Greg R. 1968. Considerations in a Philosophy of Sex Education. Winchester Community School: A Laboratory of Ideas. Fredrickson, Barbara L. and Tomi-Ann Roberts. 1997. Objectification Theory in Psychology of Women Quarterly. Cambridge: Cambridge University Press. Herman, Barbara.1993. Could It Be Worth Thinking About Kant on Sex and Marriage? in A Mind of One's Own: Feminist Essays on Reason and Objectivity. Boulder: Westview Press. Kant, Immanuel. 1963. Lectures on Ethics. New York: Harper and Row Publisher. Langton, Rae. 2009. Sexual Solipsism: Philosophical Essays on Pornography and Objectification. Oxford: Oxford University Press. MacKinnon, Catharine. 1987. Feminism Unmodified. London: Harvard University Press. MacKinnon, Catharine. 1989. Towards a Feminist Theory of the State. London: Harvard University Press. MacKinnon, Catherine. 1989. Sexuality, Pornography, and Method: Pleasure under Patriarchy in Ethics volume 2. Chicago: The University of Chicago Press. Martin, K. 1996. Puberty, Sexuality, and the Self: Boys and Girls at Adolescence. New York: Routledge Nussbaum, Martha. 1995. Objectification in Philosophy and Public Affairs. New Jersey: Princeton University Press. Okin, Susan Moller. 1989. Justice, Gender, and the Family. New York: Basic Books. Papadaki, Evangelia. 2007. Sexual Objectification: From Kant to Contemporary Feminism. New York: Palgrave Macmillan. Posner, Richard A. 1994. Sex and Reason. Cambridge: Harvard University Press. Syzmanski, Dawn M. et all. 2011. Sexual Objectification of Women: Advances to Theory and Research. CA: Sage Publications. Vaughn, Karen I. 1993. Who Owns the Children? Libertarianism, Feminism, and Property in Reason Papers no. 18. Los Angeles: Nash Publishing. Yan, Mo. 1996. Big Breasts and Wide Hips. New York: Arcade Publishing. INTERNET SOURCES http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/literature/laureates/2012/bio-bibl.html downloaded on December 20th, 2013 http://indiatoday.intoday.in/story/mo-yan-the-beacon-of-chinese-literature/1/224329.html downloaded on December 20th, 2013 http://www.mentalhealth.org.uk/help-information/mental-health-a-z/D/depression/ downloaded on April 9th, 2013 http://womanobjectification.blogspot.com/ downloaded on April 9th, 2013 http://www.mentalhelp.net/poc/view_doc.php?type=doc&id=5804 downloaded on April 9th, 2013 http://www.dekcsb.org/116-anger-management/article/5804-psychology-of-anger downloaded on April 9th, 2013 http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S014067360960372X downloaded on April 9th, 2013 http://www.cdc.gov/violenceprevention/pdf/suicide-factsheet-a.pdf downloaded on April 9th, 2013 http://rebekahnydam.hubpages.com/hub/The-Problem-of-Female-Suicide-in-China downloaded on April 9th, 2013 http://neerusha.wordpress.com/attitude-of-mothers-and-daughters-towards-sexuality-effect-of-mothers-work/ downloaded on April 9th, 2013

Many functions that at one time could only be performed by humans can nowadays be carried out by machines. Automation impacts many areas of life including work, home, communication and mobility. In the driving context, in-vehicle automation is considered to provide solutions for environmental, economic, safety and societal challenges. However, automation changes the driving task and the human-machine interaction. Thus, the expected benefit of in-vehicle automation can be undermined by changes in drivers' behaviour, i.e. behavioural adaptation. This PhD project focuses on motivational as well as higher cognitive processes underlying behavioural adaptation when interacting with in-vehicle automation. Motivational processes include the development of trust and acceptance, whereas higher cognitive processes comprise the learning process as well as the development of mental models and Situation Awareness (SA). As an example for in-vehicle automation, the advanced driver assistance system Adaptive Cruise Control (ACC) was investigated. ACC automates speed and distance control by maintaining a constant set cruising speed and automatically adjusting vehicle's velocity in order to provide a specified distance to the preceding vehicle. However, due to sensor limitations, not every situation can be handled by the system and therefore driver intervention is required. Trust, acceptance and an appropriate mental model of the system functionality are considered key variables for adequate use and appropriate SA. To systematically investigate changes in motivational and higher cognitive processes, a driving simulator as well as an on-road study were carried out. Both of the studies were conducted using a repeated-measures design, taking into account the process character, i.e. changes over time. The main focus was on the development of trust, acceptance and the mental model of novice users when interacting with ACC. By now, only few studies have attempted to assess changes in higher level cognitive processes, due to methodological difficulties posed by the dynamic task of driving. Therefore, this PhD project aimed at the elaboration and validation of innovative methods for assessing higher cognitive processes, with an emphasis on SA and mental models. In addition, a new approach for analyzing big and heterogeneous data in social science was developed, based on the use of relational databases. The driving simulator study investigated the effect of divergent initial mental models of ACC (i.e., varying according to correctness) on trust, acceptance and mental model evolvement. A longitudinal study design was applied, using a two-way (3×3) repeated measures mixed design with a matched sample of 51 subjects. Three experimental groups received (1) a correct ACC description, (2) an incomplete and idealised account omitting potential problems, and (3) an incorrect description including non-occurring problems. All subjects drove a 56-km track of highway with an identical ACC system, three times, and within a period of 6 weeks. Results showed that after using the system, participants' mental model of ACC converged towards the profile of the correct group. Non-experienced problems tended to disappear from the mental model network when they were not activated by experience. Trust and acceptance grew steadily for the correct condition. The same trend was observed for the group with non-occurring problems, starting from a lower initial level. Omitted problems in the incomplete group led to a constant decrease in trust and acceptance without recovery. This indicates that automation failures do not negatively affect trust and acceptance if they are known beforehand. During each drive, participants continuously completed a visual secondary task, the Surrogate Reference Task (SURT). The frequency of task completion was used as objective online-measure for SA, based on the principle that situationally aware driver would reduce the engagement in the secondary task if they expect potentially critical situations. Results showed that correctly informed drivers were aware of potential system limitations and reduced their engagement in the secondary task when such situations arose. Participants with no information about limitations became only aware after first encounter and reduced secondary task engagement in corresponding situations during subsequent trials. However, trust and acceptance in the system declined over time due to the unexpected failures. Non occurring limitations tended to drop from the mental model and resulted in reduced SA already in the second trial. The on-road study investigated the learning process, as well as the development of trust, acceptance and the mental model for interacting with ACC in real conditions. Research questions aimed to model the learning process in mathematical/statistical terms, examine moments and conditions when these processes stabilize, and assess how experience changes the mental model of the system. A sample of fifteen drivers without ACC experience drove a test vehicle with ACC ten consecutive times on the same route within a 2-month period. In contrast to the driving simulator study, all participants were fully trained in ACC functionality by reading the owner's manual in the beginning. Results showed that learning, as well as the development of acceptance and trust in ACC follows the power law of learning, in case of comprehensive prior information on system limitations. Thus, the major part of the learning process occurred during the first interaction with the system and support in explaining the systems abilities (e.g. by tutoring systems) should therefore primarily be given during this first stage. All processes stabilized at a relatively high level after the fifth session, which corresponds to 185 km or 3.5 hours of driving. No decline was observable with ongoing system experience. However, in line with the findings from the simulator study, limitations that are not experienced tended to disappear from the mental model if they were not activated by experience. With regard to the validation of the developed methods for assessing mental models and SA, results are encouraging. The studies show that the mental model questionnaire is able to provide insights into the construction of mental models and the development over time. Likewise, the implicit measurement approach to assess SA online in the driving simulator is sensitive to user's awareness of potentially critical situations. In terms of content, the results of the studies prove the enduring relevance of the initial mental model for the learning process, SA, as well as the development of trust, acceptance and a realistic mental model about automation capabilities and limitations. Given the importance of the initial mental model it is recommended that studies on system trust and acceptance should include, and attempt to control, users' initial mental model of system functionality. Although the results showed that also incorrect and incomplete initial mental models converged by experience towards a realistic appreciation of system functionality, the more cognitive effort needed to update the mental model, the lower trust and acceptance. Providing an idealised description, which omits potential problems, only leads to temporarily higher trust and acceptance in the beginning. The experience of unexpected limitations results in a steady decrease in trust and acceptance over time. A trial-and-error strategy for in-vehicle automation use, without accompanying information, is therefore considered insufficient for developing stable trust and acceptance. If the mental model matches experience, trust and acceptance grow steadily following the power law of learning – regardless of the experience of system limitations. Provided that such events are known in advance, they will not cause a decrease in trust and acceptance over time. Even over-information about potential problems lowers trust and acceptance only in the beginning, and not in the long run. Potential problems should therefore not be concealed in over-idealised system descriptions; the more information given, the better, in the long run. However, limitations that are not experienced tend to disappear from the mental model. Therefore, it is recommended that users be periodically reminded of system limitations to make sure that corresponding knowledge becomes re-activated. Intelligent tutoring systems incorporated in automated systems could provide a solution. In the driving context, periodic reminders about system limitations could be shown via the multifunction displays integrated in most modern cars. Tutoring systems could also be used to remind the driver of the presence of specific in-vehicle automation systems and reveal their benefits.:Table of contents LIST OF FIGURES I LIST OF TABLES II LIST OF ABBREVIATIONS III ACKNOWLEDGEMENTS IV SUMMARY V ZUSAMMENFASSUNG VIII 1 INTRODUCTION 12 2 THEORETICAL BACKGROUND 14 2.1 BEHAVIOURAL ADAPTATION AND HIGHER COGNITIVE PROCESSES 14 2.2 VEHICLE AUTOMATION AND ADAPTIVE CRUISE CONTROL 17 2.3 MENTAL MODELS 20 2.3.1 Definition 20 2.3.2 Mental model construction and update 20 2.3.3 Discussion of existing measures 21 2.3.4 Development of the mental model questionnaire 23 2.4 SITUATION AWARENESS 24 2.4.1 Definition 24 2.4.2 Relationship between mental models and Situation Awareness 26 2.4.3 Situation Awareness as comprehension process 27 2.4.4 Discussion of existing measures 27 2.4.5 Development of the Situation Awareness measurement technique 29 2.5 LEARNING, ACCEPTANCE AND TRUST IN AUTOMATION 30 2.5.1 Power law of learning 30 2.5.2 Acceptance 31 2.5.3 Trust in automation 31 2.5.4 Related research on learning, acceptance and trust in ACC 32 3 OVERALL RESEARCH QUESTIONS 34 4 OVERALL METHODOLOGICAL CONSIDERATIONS 35 4.1 DRIVING SIMULATOR STUDIES AND ON-ROAD TESTS 35 4.2 DATABASE-FRAMEWORK FOR DATA STORAGE AND ANALYSIS 37 5 DRIVING SIMULATOR STUDY 42 5.1 AIMS AND RESEARCH QUESTIONS 42 5.2 METHOD AND MATERIAL 43 5.2.1 Sampling and participants 43 5.2.2 Research design and procedure 44 5.2.3 Facilities and driving simulator track 45 5.2.4 Secondary task SURT 46 5.2.5 System description 46 5.2.6 Dependent variables trust, acceptance and mental model 47 5.2.7 Contrast analysis 48 5.3 RESULTS 49 5.3.1 Mental model 49 5.3.2 Trust and acceptance 51 5.3.3 Situation Awareness 52 5.4 DISCUSSION 56 6 ON-ROAD STUDY 59 6.1 AIMS AND RESEARCH QUESTIONS 59 6.2 METHOD AND MATERIAL 59 6.2.1 Research design and procedure 59 6.2.2 Sampling and participants 60 6.2.3 Facilities and apparatus 60 6.2.4 Dependent variables mental model, trust, acceptance, learning and ACC usage 62 6.3 RESULTS 63 6.3.1 ACC usage 63 6.3.2 Trust and acceptance 64 6.3.3 Learning 65 6.3.4 Mental model 67 6.4 DISCUSSION 68 7 GENERAL DISCUSSION AND CONCLUSIONS 70 7.1 THEORETICAL AND PRACTICAL CONSIDERATIONS 70 7.2 METHODOLOGICAL CONSIDERATIONS 71 7.3 LIMITATIONS AND DIRECTIONS FOR FUTURE RESEARCH 74 8 REFERENCES 76 9 APPENDIX 88 9.1 QUESTIONNAIRES USED IN THE DRIVING SIMULATOR STUDY 88 9.1.1 Original German version 88 9.1.2 English translation 91 9.2 ACC DESCRIPTIONS USED IN THE DRIVING SIMULATOR STUDY 94 9.2.1 Correct description 94 9.2.2 Incomplete description 95 9.2.3 Incorrect description 96 9.3 SCHEMATIC OVERVIEW OF THE DRIVING SIMULATOR TRACK 97 9.4 QUESTIONNAIRES USED IN THE ON-ROAD STUDY 99 9.4.1 Original German version 99 9.4.2 English translation 103 9.5 SEMINAR PROGRAMME: DATABASES AS ANALYSIS TOOL IN SOCIAL SCIENCE 107 9.6 CURRICULUM VITAE AND PUBLICATIONS 109 ; Viele Aufgaben, die ehemals von Menschen ausgeführt wurden, werden heute von Maschinen übernommen. Dieser Prozess der Automatisierung betrifft viele Lebensbereiche von Arbeit, Wohnen, Kommunikation bis hin zur Mobilität. Im Bereich des Individualverkehrs wird die Automatisierung von Fahrzeugen als Möglichkeit gesehen, zukünftigen Herausforderungen wirtschaftlicher, gesellschaftlicher und umweltpolitischer Art zu begegnen. Allerdings verändert Automatisierung die Fahraufgabe und die Mensch-Technik Interaktion im Fahrzeug. Daher können beispielsweise erwartete Sicherheitsgewinne automatisch agierender Assistenzsysteme durch Veränderungen im Verhalten des Fahrers geschmälert werden, was als Verhaltensanpassung (behavioural adaptation) bezeichnet wird. Dieses Dissertationsprojekt untersucht motivationale und höhere kognitive Prozesse, die Verhaltensanpassungen im Umgang mit automatisierten Fahrerassistenzsystemen zugrunde liegen. Motivationale Prozesse beinhalten die Entwicklung von Akzeptanz und Vertrauen in das System, unter höheren kognitiven Prozessen werden Lernprozesse sowie die Entwicklung von mentalen Modellen des Systems und Situationsbewusstsein (Situation Awareness) verstanden. Im Fokus der Untersuchungen steht das Fahrerassistenzsystem Adaptive Cruise Control (ACC) als ein Beispiel für Automatisierung im Fahrzeug. ACC regelt automatisch die Geschwindigkeit des Fahrzeugs, indem bei freier Fahrbahn eine eingestellte Wunschgeschwindigkeit und bei einem Vorausfahrer automatisch ein eingestellter Abstand eingehalten wird. Allerdings kann ACC aufgrund von Einschränkungen der Sensorik nicht jede Situation bewältigen, weshalb der Fahrer übernehmen muss. Für diesen Interaktionsprozess spielen Vertrauen, Akzeptanz und das mentale Modell der Systemfunktionalität eine Schlüsselrolle, um einen sicheren Umgang mit dem System und ein adäquates Situationsbewusstsein zu entwickeln. Zur systematischen Erforschung dieser motivationalen und kognitiven Prozesse wurden eine Fahrsimulatorstudie und ein Versuch im Realverkehr durchgeführt. Beide Studien wurden im Messwiederholungsdesign angelegt, um dem Prozesscharakter gerecht werden und Veränderungen über die Zeit erfassen zu können. Die Entwicklung von Vertrauen, Akzeptanz und mentalem Modell in der Interaktion mit ACC war zentraler Forschungsgegenstand beider Studien. Bislang gibt es wenige Studien, die kognitive Prozesse im Kontext der Fahrzeugführung untersucht haben, unter anderem auch wegen methodischer Schwierigkeiten in diesem dynamischen Umfeld. Daher war es ebenfalls Teil dieses Dissertationsprojekts, neue Methoden zur Erfassung höherer kognitiver Prozesse in dieser Domäne zu entwickeln, mit Fokus auf mentalen Modellen und Situationsbewusstsein. Darüber hinaus wurde auch ein neuer Ansatz für die Analyse großer und heterogener Datenmengen im sozialwissenschaftlichen Bereich entwickelt, basierend auf dem Einsatz relationaler Datenbanken. Ziel der der Fahrsimulatorstudie war die systematische Erforschung des Effekts von unterschiedlich korrekten initialen mentalen Modellen von ACC auf die weitere Entwicklung des mentalen Modells, Vertrauen und Akzeptanz des Systems. Eine Stichprobe von insgesamt 51 Probanden nahm an der Studie teil; der Versuch wurde als zweifaktorielles (3x3) gemischtes Messwiederholungsdesign konzipiert. Die 3 parallelisierten Versuchsgruppen zu je 17 Personen erhielten (1) eine korrekte Beschreibung des ACC, (2) eine idealisierte Beschreibung unter Auslassung auftretender Systemprobleme und (3) eine überkritische Beschreibung mit zusätzlichen Hinweisen auf Systemprobleme, die nie auftraten. Alle Teilnehmer befuhren insgesamt dreimal im Zeitraum von sechs Wochen dieselbe 56 km lange Autobahnstrecke im Fahrsimulator mit identischem ACC-System. Mit zunehmendem Einsatz des ACC zeigte sich im anfänglich divergierenden mentalen Modell zwischen den Gruppen eine Entwicklung hin zum mentalen Modell der korrekt informierten Gruppe. Nicht erfahrene Systemprobleme tendierten dazu, im mentalen Modell zu verblassen, wenn sie nicht durch Erfahrung reaktiviert wurden. Vertrauen und Akzeptanz stiegen stetig in der korrekt informierten Gruppe. Dieselbe Entwicklung zeigte sich auch in der überkritisch informierten Gruppe, wobei Vertrauen und Akzeptanz anfänglich niedriger waren als in der Bedingung mit korrekter Information. Verschwiegene Systemprobleme führten zu einer konstanten Abnahme von Akzeptanz und Vertrauen ohne Erholung in der Gruppe mit idealisierter Beschreibung. Diese Resultate lassen darauf schließen, dass Probleme automatisierter Systeme sich nicht zwingend negativ auf Vertrauen und Akzeptanz auswirken, sofern sie vorab bekannt sind. Bei jeder Fahrt führten die Versuchsteilnehmer zudem kontinuierlich eine visuell beanspruchende Zweitaufgabe aus, die Surrogate Reference Task (SURT). Die Frequenz der Zweitaufgabenbearbeitung diente als objektives Echtzeitmaß für das Situationsbewusstsein, basierend auf dem Ansatz, dass situationsbewusste Fahrer die Zuwendung zur Zweitaufgabe reduzieren wenn sie potentiell kritische Situationen erwarten. Die Ergebnisse zeigten, dass die korrekt informierten Fahrer sich potentiell kritischer Situationen mit möglichen Systemproblemen bewusst waren und schon im Vorfeld der Entstehung die Zweitaufgabenbearbeitung reduzierten. Teilnehmer ohne Informationen zu auftretenden Systemproblemen wurden sich solcher Situationen erst nach dem ersten Auftreten bewusst und reduzierten in entsprechenden Szenarien der Folgefahrten die Zweitaufgabenbearbeitung. Allerdings sanken Vertrauen und Akzeptanz des Systems aufgrund der unerwarteten Probleme. Erwartete, aber nicht auftretende Systemprobleme tendierten dazu, im mentalen Modell des Systems zu verblassen und resultierten in vermindertem Situationsbewusstsein bereits in der zweiten Fahrt. Im Versuch unter Realbedingungen wurden der Lernprozesses sowie die Entwicklung des mentalen Modells, Vertrauen und Akzeptanz von ACC im Realverkehr erforscht. Ziele waren die statistisch/mathematische Modellierung des Lernprozesses, die Bestimmung von Zeitpunkten der Stabilisierung dieser Prozesse und wie sich reale Systemerfahrung auf das mentale Modell von ACC auswirkt. 15 Versuchsteilnehmer ohne ACC-Erfahrung fuhren ein Serienfahrzeug mit ACC insgesamt 10-mal auf der gleichen Strecke in einem Zeitraum von 2 Monaten. Im Unterschied zur Fahrsimulatorstudie waren alle Teilnehmer korrekt über die ACC-Funktionen und Funktionsgrenzen informiert durch Lesen der entsprechenden Abschnitte im Fahrzeughandbuch am Beginn der Studie. Die Ergebnisse zeigten, dass der Lernprozess sowie die Entwicklung von Akzeptanz und Vertrauen einer klassischen Lernkurve folgen – unter der Bedingung umfassender vorheriger Information zu Systemgrenzen. Der größte Lernfortschritt ist am Beginn der Interaktion mit dem System sichtbar und daher sollten Hilfen (z.B. durch intelligente Tutorsysteme) in erster Linie zu diesem Zeitpunkt gegeben werden. Eine Stabilisierung aller Prozesse zeigte sich nach der fünften Fahrt, was einer Fahrstrecke von rund 185 km oder 3,5 Stunden Fahrzeit entspricht. Es zeigten sich keine Einbrüche in Akzeptanz, Vertrauen bzw. dem Lernprozess durch die gemachten Erfahrungen im Straßenverkehr. Allerdings zeigte sich – analog zur Fahrsimulatorstudie – auch in der Realfahrstudie ein Verblassen von nicht erfahrenen Systemgrenzen im mentalen Modell, wenn diese nicht durch Erfahrungen aktiviert wurden. Im Hinblick auf die Validierung der neu entwickelten Methoden zur Erfassung von mentalen Modellen und Situationsbewusstsein sind die Resultate vielversprechend. Die Studien zeigen, dass mit dem entwickelten Fragebogenansatz zur Quantifizierung des mentalen Modells Einblicke in Aufbau und Entwicklung mentaler Modelle gegeben werden können. Der implizite Echtzeit-Messansatz für Situationsbewusstsein im Fahrsimulator zeigt sich ebenfalls sensitiv in der Erfassung des Bewusstseins von Fahrern für potentiell kritische Situationen. Inhaltlich zeigen die Studien die nachhaltige Relevanz des initialen mentalen Modells für den Lernprozess sowie die Entwicklung von Situationsbewusstsein, Akzeptanz, Vertrauen und die weitere Ausformung eines realistischen mentalen Modells der Möglichkeiten und Grenzen automatisierter Systeme. Aufgrund dieser Relevanz wird die Einbindung und Kontrolle des initialen mentalen Modells in Studien zu automatisierten Systemen unbedingt empfohlen. Die Ergebnisse zeigen zwar, dass sich auch unvollständige bzw. falsche mentale Modelle durch Erfahrungslernen hin zu einer realistischen Einschätzung der Systemmöglichkeiten und -grenzen verändern, allerdings um den Preis sinkenden Vertrauens und abnehmender Akzeptanz. Idealisierte Systembeschreibungen ohne Hinweise auf mögliche Systemprobleme bringen nur anfänglich etwas höheres Vertrauen und Akzeptanz. Das Erleben unerwarteter Probleme führt zu einem stetigen Abfall dieser motivationalen Faktoren über die Zeit. Ein alleiniges Versuchs-Irrtums-Lernen für den Umgang mit automatisierter Assistenz im Fahrzeug ohne zusätzliche Information wird daher als nicht ausreichend für die Entwicklung stabilen Vertrauens und stabiler Akzeptanz betrachtet. Wenn das initiale mentale Modell den Erfahrungen entspricht, entwickeln sich Akzeptanz und Vertrauen gemäß einer klassischen Lernkurve – trotz erlebter Systemgrenzen. Sind diese potentiellen Probleme vorher bekannt, führen sie nicht zwingend zu einer Reduktion von Vertrauen und Akzeptanz. Auch zusätzliche überkritische Information vermindert Vertrauen und Akzeptanz nur am Beginn, aber nicht langfristig. Daher sollen potentielle Probleme in automatisierten Systemen nicht in idealisierten Beschreibungen verschwiegen werden – je präzisere Information gegeben wird, desto besser im langfristigen Verlauf. Allerdings tendieren nicht erfahrene Systemgrenzen zum Verblassen im mentalen Modell. Daher wird empfohlen, Nutzer regelmäßig an diese Systemgrenzen zu erinnern um die entsprechenden Facetten des mentalen Modells zu reaktivieren. In automatisierten Systemen integrierte intelligente Tutorsysteme könnten dafür eine Lösung bieten. Im Fahrzeugbereich könnten solche periodischen Erinnerungen an Systemgrenzen in Multifunktionsdisplays angezeigt werden, die mittlerweile in vielen modernen Fahrzeugen integriert sind. Diese Tutorsysteme können darüber hinaus auch auf die Präsenz eingebauter automatisierter Systeme hinweisen und deren Vorteile aufzeigen.:Table of contents LIST OF FIGURES I LIST OF TABLES II LIST OF ABBREVIATIONS III ACKNOWLEDGEMENTS IV SUMMARY V ZUSAMMENFASSUNG VIII 1 INTRODUCTION 12 2 THEORETICAL BACKGROUND 14 2.1 BEHAVIOURAL ADAPTATION AND HIGHER COGNITIVE PROCESSES 14 2.2 VEHICLE AUTOMATION AND ADAPTIVE CRUISE CONTROL 17 2.3 MENTAL MODELS 20 2.3.1 Definition 20 2.3.2 Mental model construction and update 20 2.3.3 Discussion of existing measures 21 2.3.4 Development of the mental model questionnaire 23 2.4 SITUATION AWARENESS 24 2.4.1 Definition 24 2.4.2 Relationship between mental models and Situation Awareness 26 2.4.3 Situation Awareness as comprehension process 27 2.4.4 Discussion of existing measures 27 2.4.5 Development of the Situation Awareness measurement technique 29 2.5 LEARNING, ACCEPTANCE AND TRUST IN AUTOMATION 30 2.5.1 Power law of learning 30 2.5.2 Acceptance 31 2.5.3 Trust in automation 31 2.5.4 Related research on learning, acceptance and trust in ACC 32 3 OVERALL RESEARCH QUESTIONS 34 4 OVERALL METHODOLOGICAL CONSIDERATIONS 35 4.1 DRIVING SIMULATOR STUDIES AND ON-ROAD TESTS 35 4.2 DATABASE-FRAMEWORK FOR DATA STORAGE AND ANALYSIS 37 5 DRIVING SIMULATOR STUDY 42 5.1 AIMS AND RESEARCH QUESTIONS 42 5.2 METHOD AND MATERIAL 43 5.2.1 Sampling and participants 43 5.2.2 Research design and procedure 44 5.2.3 Facilities and driving simulator track 45 5.2.4 Secondary task SURT 46 5.2.5 System description 46 5.2.6 Dependent variables trust, acceptance and mental model 47 5.2.7 Contrast analysis 48 5.3 RESULTS 49 5.3.1 Mental model 49 5.3.2 Trust and acceptance 51 5.3.3 Situation Awareness 52 5.4 DISCUSSION 56 6 ON-ROAD STUDY 59 6.1 AIMS AND RESEARCH QUESTIONS 59 6.2 METHOD AND MATERIAL 59 6.2.1 Research design and procedure 59 6.2.2 Sampling and participants 60 6.2.3 Facilities and apparatus 60 6.2.4 Dependent variables mental model, trust, acceptance, learning and ACC usage 62 6.3 RESULTS 63 6.3.1 ACC usage 63 6.3.2 Trust and acceptance 64 6.3.3 Learning 65 6.3.4 Mental model 67 6.4 DISCUSSION 68 7 GENERAL DISCUSSION AND CONCLUSIONS 70 7.1 THEORETICAL AND PRACTICAL CONSIDERATIONS 70 7.2 METHODOLOGICAL CONSIDERATIONS 71 7.3 LIMITATIONS AND DIRECTIONS FOR FUTURE RESEARCH 74 8 REFERENCES 76 9 APPENDIX 88 9.1 QUESTIONNAIRES USED IN THE DRIVING SIMULATOR STUDY 88 9.1.1 Original German version 88 9.1.2 English translation 91 9.2 ACC DESCRIPTIONS USED IN THE DRIVING SIMULATOR STUDY 94 9.2.1 Correct description 94 9.2.2 Incomplete description 95 9.2.3 Incorrect description 96 9.3 SCHEMATIC OVERVIEW OF THE DRIVING SIMULATOR TRACK 97 9.4 QUESTIONNAIRES USED IN THE ON-ROAD STUDY 99 9.4.1 Original German version 99 9.4.2 English translation 103 9.5 SEMINAR PROGRAMME: DATABASES AS ANALYSIS TOOL IN SOCIAL SCIENCE 107 9.6 CURRICULUM VITAE AND PUBLICATIONS 109

Den Kern der hier vorliegenden Arbeit bildet die Gliederung der Keramikfunde von drei Siedlungshügeln aus den Tonebenen (auch firki genannt) des südwestlichen Tschadbeckens Nordost- Nigerias. Obwohl das Gebiet in den 60er Jahren bereits archäologisch erschlossen wurde, waren die keramikchronologischen Aspekte nur oberflächlich abgehandelt worden. Ziel der Arbeit war somit die Erstellung einer grundlegenden Keramikchronologie anhand der sehr umfangreichen Fundmengen aus den Siedlungshügeln Kursakata, Mege und Ndufu. Ihre Stratigraphien erlaubten es, eine Keramikchronologie für die letzten 3000 Jahre zu erstellen. Das Gebiet der dem Tschadsee vorgelagerten firki-Tonebenen konnte erst ab 3000 BP besiedelt werden, wie die C14-Datierungen der Fundplätze bezeugen. Vorher war der auch als Chad Lagoonal Complex bezeichnete Raum von den Wassern des Mega-Tschadsees bedeckt. Diese sogenannte 3000- Jahresgrenze gilt aber nur für die firki-Region, denn in den westlich angrenzenden Sandebenen (Bama Deltaic Complex) war eine Besiedlung um 1000 Jahre früher möglich. Das Siedlungsmaterial der drei Hügel wurde mittels Veränderungen in der Keramik in Bezug auf Verzierung und Form sowie mehrerer C14-Daten in verschiedene Perioden gegliedert: Later Stone Age (1000-500 cal BC), Early Iron Age (500 cal BC-500 cal AD), Late Iron Age (500- 1600 cal AD), Historisch (16.-19 Jh. AD), Subrezent (19.-20. Jh. AD). Later Stone Age und Early Iron Age zeigen in der Keramikentwicklung eine Früh- und Spätphase. Den wichtigsten chronologischen Faktor bilden die Verzierungstechniken, denn vom Later Stone Age bis zur subrezenten Periode ist eine Abnahme von unverzierten Scherben im Verhältnis zu verzierten Scherben zu beobachten, d. h. größere Flächen wurden auf der Keramik verziert. Der Keramikhorizont von Ritz-, Stich- und Wiegebandtechnik im Later Stone Age wandelt sich über das Early Iron Age zu einem Matten- und Roulettehorizont schließlich zu einem Roulettehorizont im Late Iron Age. Den Entwicklungen in der Verzierung lassen sich Veränderungen bei den Gefäßformen gegenüberstellen, die sich von geschlossenen zu offenen Formen wandeln. Das Later Stone Age ist durch Kümpfe, dagegen das Early Iron Age durch Töpfe geprägt. Offene Schalen-Schüsseln bestimmen das Gefäßinventar ab dem Late Iron Age, aber auch verschiedene neue Gefäßtypen wie So-pots, Dreifußgefäße, Gefäße mit flachem Boden sowie solche mit langen konischem Rand treten jetzt in Erscheinung. Die zunehmende Bedeutung der Verzierungstechniken Matte und Roulette in den Fundplätzen spiegelt sich in ihrer Variationsbreite wider. Einzelne Matten- und Roulettetypen nehmen die Stellung von Leitformen ein. Im Later Stone Age sind nur Randparallele/Diagonale Geflechte und kombinierte Roulettes (cord wrapped stick roulette) vorhanden. Ab dem Early Iron Age wird das Formenspektrum erweitert. Zwirnbindige Geflechte und gezwirnte Schnurroulettes (twisted string roulette) bilden die charakteristischen Arten in der Frühphase des Early Iron Age, aber ab der Spätphase des Early Iron Age gewinnen die kombinierten Roulettes (cord-wrapped stick with spacing roulette) wieder an Bedeutung. Danach treten nur noch Roulettearten neu hinzu. Im Late Iron Age ist es das Schnitzroulette (carved roulette) und gegen Ende des Late Iron Age, aber vor allem ab der historischen Periode das gezwirnte Bandroulette (twisted strip roulette). Anders als bei den Roulettetechniken ist das Vorkommen von Matten an bestimmte Herstellungstechniken von Gefäßen gebunden, vorausgesetzt die Matten wurden nicht nach der Herstellung in die Oberfläche des Gefäßes eingeklopft. Ihr flächendeckender oder auf das Gefäßunterteil beschränkter Auftrag auf der Keramik der untersuchten Fundplätzen deutet auf die Anwendung von Treibtechnik zur Herstellung der Gefäße hin. Die begrenzte Handhabung der Matten und ihre primär technische Bedeutung (Oberflächenbehandlung) spielten vermutlich eine Rolle bei ihrer Verdrängung durch die Roulettetechnik. Insgesamt zeigt die chronologische Entwicklung der Keramik, daß die Tonebenen ohne längere Unterbrechung kontinuierlich besiedelt waren. Der Übergang von einer Periode zur nächsten ist zwar durch Veränderungen im Keramikmaterial gekennzeichnet, es werden aber immer auch verschiedene Merkmale aus der vorangegangenen Periode übernommen. Am markantesten stellt sich der Übergang vom Later Stone Age zum Early Iron Age dar. Hier finden Entwicklungen in der Keramik statt, die heute noch ihren Niederschlag (Roulettetechnik) finden. Die politischen Veränderungen im Gebiet der firki zu Beginn der sogenannten historischen Periode (Integration in das Kanem-Bornu-Reich) fallen keramiktypologisch betrachtet weniger ins Gewicht, d. h. die bestehende Keramiktradition wurde nicht vollständig durch eine andere ersetzt. Das Keramikmaterial aus den firki-Tonebenen Nordost-Nigerias zeigt, wie zu erwarten, die größten Übereinstimmungen zu dem anderer Fundplätze aus den Tonebenen der heute angrenzenden Staaten Kamerun und Tschad. Mit den Fundinventaren aus der südlich angrenzenden Mandara-Region in Kamerun und Nigeria haben unsere Keramikinventare die Entwicklung zu vorwiegend Rouletteverzierter Keramik (genauer gesagt Schnurroulette) in der Eisenzeit gemeinsam. In der nördlichen Mandara-Region scheint die Keramikentwicklung allerdings statischer verlaufen zu sein, da hier die markanten Veränderungen aus der firki während der Eisenzeit fehlen. Dennoch läßt das Keramikmaterial auf Beziehungen zwischen beiden Regionen schließen, die nach der Fundlage im Handel von Steinen und vermutlich auch Eisenerzen und Metallobjekten bestanden. Ebenso ist die politische Entwicklung in den Tonebenen (Integration in das Kanem-Bornu Reich) eng mit der in der nördlichen Mandara-Region (Bildung des Wandala-Reiches) verknüpft, was sich auch im Keramikmaterial widerspiegelt. Dagegen offenbaren die Fundstellen des östlichen Tschadbeckens in der Republik Tschad gänzlich andere Keramiktraditionen. Typische Keramikelemente aus der firki treten dort erst später oder gar nicht auf. Die Integration der firki Nordost-Nigerias in das Kanem-Bornu-Reich stellt sich als eine Verbreitung bestimmter Keramikelemente (twisted strip roulette, Sgraffito) westlich des Tschadsees (Yobe Valley) weiter nach Süden dar, wobei diese Keramikmerkmale von der autochthonen Bevölkerung westlich des Tschadsees schon vor der Ankunft der Kanuri verwendet wurden. Dies bedeutet, daß die Kanuri die Keramikmerkmale entweder von der einheimischen Bevölkerung übernommen haben oder schon vorher ein kultureller Austausch zwischen dem Yobe Valley und Kanem bestand. Die firki-Region war im Laufe ihrer Besiedlung verschiedenen Einflüssen anderer Regionen ausgesetzt. So müssen die ersten Siedler von außerhalb in das Gebiet eingewandert sein, da es längere Zeit für eine Besiedlung unzugänglich war. Weder die westlich angrenzenden Sandflächen noch die südlich angrenzenden Ebenen der Mandara-Region oder der östliche Teil des Tschadbeckens kommen derzeit dafür in Frage. Die Wirtschaftsweise der ersten Siedler deutet in nördliche Richtung, denn sie brachten domestizierte Rinder, Schafe, Ziegen und die Kenntnis vom Anbau domestizierter Perlhirse (Pennisetum glaucum) mit. Ihre Keramik steht in der Tradition des saharischen und sudanesischen Endneolithikums, was sich aus zonal begrenzten Verzierungen und der häufigen Verwendung von Ritztechnik und Spatelstich ableiten läßt. Die für das Later Stone Age in der firki typische Rouletteund Mattentechnik wurde in der Sahara/Sahel entwickelt. Ob die ersten Siedler nun aus östlicher oder westlicher Richtung kamen, läßt sich nicht definitiv sagen. Allerdings ist eine westliche Richtung durch die dort nachgewiesene Verwendung von Matten in Köperbindung und der eines kombinierten Roulette (cord-wrapped stick with spacing roulette) zu favorisieren. Der Übergang zum Early Iron Age in der firki ist mit neuen Einflüssen aus der südwestlichen Sahara und dem angrenzenden Sahel verbunden. Dies geht aus der Verwendung von twisted string roulette und zwirnbindiger Geflechte hervor. Auch wirtschaftlich hat mit Beginn des Early Iron Age ein Wandel stattgefunden, denn zu diesem Zeitpunkt setzt ein großflächiger Anbau von Perlhirse (Pennisetum glaucum) ein. Erst jetzt kann man von einer vollentwickelten seßhaften Lebensweise in der firki sprechen. Archäobotanische und archäozoologische Untersuchungen bezeugen einen Umschwung zu arideren klimatischen Bedingungen am Übergang vom Later Stone Age zum Early Iron Age, der die wirtschaftlichen Veränderungen nach sich gezogen haben könnte. Die grundlegenden Veränderungen in der Keramik unterstützen diese Hypothese, denn sie spiegeln vielleicht dieselbe Entwicklung nur auf anderer Ebene wider. Der Einfluß von Keramiktechniken aus dem Nordwesten läßt Bevölkerungsverschiebungen aus dem trockenen Norden in die von Wasservorkommen begünstigten firki-Tonebenen vermuten. Ein Einfluß aus anderer Richtung zeigt sich für das Late Iron Age. So hat sich wahrscheinlich die Technik des carved roulette im Savannenraum von Nigeria, Kamerun und der Zentralafrikanischen Republik entwickelt und weiter ausgebreitet. Für die historische Periode und den mit ihr in Zusammenhang stehenden politischen Veränderungen wurde schon auf Einflüsse aus dem westlichen Tschadbecken (Yobe Valley) Nordost-Nigerias hingewiesen. Dennoch muß die Bevölkerung in den Tonebenen nicht erst mit der Ausbreitung der Kanuri am Ende des 16. Jh. AD mit der Verwendung von twisted strip roulette in Berührung gekommen sein, wie Funde aus dem Late Iron Age zeigen. Diese Technik ist typisch für die Eisenzeit in Mali, sie wurde aber auch im 1. Jt. AD in der nördlichen Mandara-Region vereinzelt verwendet. Die Verbreitung der Roulette- und Mattentechniken ist für die Rekonstruktion von Beziehungen zu anderen Regionen ausschlaggebend. Am Keramikmaterial von Kursakata, Mege und Ndufu läßt sich sehr gut beobachten, daß verschiedene Roulette- und Mattentechniken hier zeitlich versetzt voneinander im Later Stone Age und Early Iron Age in Gebrauch kommen, die weiter nördlich schon im Later Stone Age bekannt waren und gemeinsam verwendet wurden. Die Bedeutung von twisted string roulette als Indikator für das Early Iron Age teilen sich die Fundplätze aus der firki mit anderen Fundplätzen aus dem Savannenraum. In der firki stehen Schnurroulettes und zwirnbindige Geflechte als Synonym für Eisen und seßhafte Lebensweise. Mit der hier vorliegenden Arbeit ist zum ersten Mal eine grundlegende Keramikchronologie für die firki-Tonebenen Nordost-Nigerias erstellt worden. Die verschiedenen Verzierungstechniken und auch die bislang wenig berücksichtigten Gefäßformen wurden näher bestimmt. Weiterhin ermöglichten es die Analysen, das Fundmaterial anderer Plätze besser zu beurteilen bzw. eine fundiertere Grundlage für Vergleiche zu bilden, d. h. es wurde ein detaillierter und kritischer Vergleich mit allen wichtigen Fundplätzen aus dem südlichen Tschadbecken vorgenommen. Darüber hinaus wurden die für die Keramikchronologie wichtigen Roulette- und Mattentechniken dokumentiert und anhand ihrer technischen Merkmale definiert. Eine zusammenfassende Darstellung zur Verbreitung der Rouletteund Mattentechniken in Afrika erlaubte es, ihre Vorkommen in Nordost-Nigeria in einen größeren vorgeschichtlichen Zusammenhang zu sehen. Somit bietet die hier vorliegende Arbeit genügend Grundlagen, auf die nachfolgende Forschungen aufbauen können. Für das östliche Tschadbecken und die nördliche Mandara Region steht bislang eine solche Keramikchronologie noch aus. ; The central part of this dissertation describes the classification of pottery from excavated sites in the clay plains, called firki, of the southwestern Chad Basin in Northeast Nigeria. Although archaeological research in this area already took place in the 1960's, the different chronological aspects of pottery have been treated only superficially. Therefore the objective of this work has been the development of a fundamental chronology on the basis of the large amount of pottery material from the settlement mounds Kursakata, Mege and Ndufu. Their stratigraphies comprise the last 3000 years. C14 dates of the archaeological sites confirm that the firki clay plains south of Lake Chad were settled around 3000 BP. Before that time this area - also known as the Chad Lagoonal Complex - was flooded by the Mega Lake Chad, which had its maximum extension during the middle Holocene. After its regression, due to increasing dryness between 1500-800 BC, the area could be settled again on relict islands of sand dunes, which interrupt the clay soils and protect the people from flooding in the rainy season. Continuous occupation led to the accumulation of stratified deposits and finally to the development of settlement mounds. However the 3000 year limit for reoccupation is only valid for the firki since the adjacent sand plains of the Bama Deltaic Complex were settled 1000 years earlier. The settlement remains of the mounds Kursakata, Mege and Ndufu, all located near to the village of Ngala, can be subdivided into different phases by changes in the ceramic material and dated by several C14 dates: Later Stone Age (1000-500 cal BC), Early Iron Age (500 cal BC-500 cal AD), Late Iron Age (500- 1600 cal AD), Historic phase (16th-19th century AD), sub-recent phase (19th-20th century AD). Furthermore the pottery of the Later Stone Age and Early Iron Age show an early and late sub-phase. Changes in the decoration techniques are the most important chronological factor during the single phases. A tendency towards more complete surface decoration becomes obvious as the percentages of undecorated potsherds are highest in the Late Iron Age but gradually decrease from the Iron Age onwards. The typical decoration techniques of the Late Stone Age are incision, impression and rocker stamping, changing to a mainly mat and roulette decorated pottery horizon in the Early Iron Age, and finally to an almost nearly roulette decorated one in the Late Iron Age. Both techniques (mat and roulette) cover a greater part of the vessel than the incised, impressed and rocker stamped motifs arranged in single or multiple, horizontal bands. Changes of pottery decoration go along with changes in vessel forms. They show a development from more restricted to more open forms. The Later Stone Age is characterised by deep bowls with simple and vertical rims whereas the Early Iron Age by nearly globular vessels with everted rims. Open bowls with simple and everted rims dominate the vessel types from the Late Iron Age onwards but different new forms like So pots, tripods, flat bottomed types and pots with long conical rims enrich the spectrum of vessel forms. The increasing importance of mat and roulette decoration techniques in the sites is reflected in their variety of types. Some of the types take up the position of key forms for the single phases. During the Later Stone Age only plaited basketry and the composite roulette type cord-wrapped stick were used. In the Early Iron Age different new roulette and mat techniques became common. Twined basketry and flexible string roulettes, especially twisted string roulette, form the dominant types in the early sub-phase, but in the late sub-phase of the Early Iron Age the composite roulette cord-wrapped stick with spacing gain in importance. After this period only new roulette types appear: for the Late Iron Age it is the rigid roulette type carved roulette and mostly for the historic and sub-recent period (but in small quantities already for the Late Iron Age) it is the flexible strip roulette type twisted strip roulette. In contrast to the roulette techniques the use of mat decoration depends on special pottery manufacturing techniques, provided the mat has not been applied to the vessel after its manufacture. The placement of mat impression to the lower part or all over the vessel in the sites indicates the use of the tamping manufacturing technique. In all probability the limited handling of mats and their prior technical function (surface treatment) led to their replacement by roulette techniques in the Iron Age. As a whole, the chronological development of pottery demonstrate, the firki clay plains have been continuously settled without long interruptions of occupation. Although the transition from one phase to the other is marked by changes in the ceramic material, different pottery features are always taken over from the foregoing one. However the transition from the Later Stone Age to the Early Iron Age is most striking and the occurring changes in the pottery material can still be recognised today in the use of roulette techniques. This is opposite to the integration of the firki plains into the Kanem-Borno Empire at the historic phase, where the existing pottery tradition was not replaced by another one, as seen in the pottery typology. The pottery material of the firki clay plains in Northeast Nigeria show the greatest correspondence to other settlement mounds in the firki which extends to Northern Cameroon and westcentral Chad. With the inventory of finds from the southerly adjacent Mandara plains in Cameroon and Nigeria the archaeological sites of the firki clay plains share the development to almost only roulette decorated pottery (strictly speaking string roulette) in the Iron Age. But in the northern Mandara region the changes in the pottery seem to proceed more statically because the obvious changes in the firki during the Iron Age are missing here. Nevertheless the typological correspondence in the pottery material points to a cultural relationship between the two regions, which, according to the archaeological finds, have existed in the exchange of stone raw material and presumably also of iron ore and iron artefacts. The political changes in the firki clay plains (integration into the Kanem-Borno Empire) are closely connected to the political changes in the northern Mandara region (formation of the Wandala Empire). These changes are reflected in the pottery material. On the other hand the archaeological sites in the eastern Chad basin of the Republic of Chad reveal a complete different pottery tradition. Typical pottery elements from the firki sites occur much later or have not been found. The integration of the firki plains into the Kanem-Borno empire at the end of the 16th century AD is represented in the pottery material by the distribution of certain pottery elements (twisted strip roulette, sgraffito) from the Yobe valley west of Lake Chad to the south. As these pottery elements had been used there prior to the arrival of the Kanuri in the Yobe valley it means either the Kanuri had taken over the elements from the indigenous population or cultural exchange between the Yobe valley and Kanem must have formerly existed. During its long settlement history the firki plains have been exposed to different influences from other regions. People who first settled south of Lake Chad must have come from outside this region because it was flooded until 3000 BP. Currently neither the sand plains of the Bama Deltaic Complex to the west nor the plains of the Mandara region to the south or the eastern Chad Basin can be considered as their homeland. The economy of the first settlers points to a migration from the north as they brought domesticated cattle, sheep and goat as well as the knowledge of pearl millet cultivation (Pennisetum glaucum) with them. Their pottery stands in the tradition of the Saharan and Sudanese Late Neolithic shown by zonal arrangements of motifs and the frequent use of incision and spatula impression. Furthermore the typical roulette and mat techniques of the Later Stone Age in the firki had been developed in the Sahara/Sahel. It cannot be said for sure if the first settlers migrated into this area from the west or the east. But the west seems to be more likely for two different reason: the proved use of plaited basketry decorated pottery and the use of a cord-wrapped stick (with spacing) as a roulette. With the beginning of the Early Iron Age new influences from the southwestern part of the Sahara and the adjacent Sahel has to be taken into account. Twisted string roulette and twined basketry had already been invented there in neolithic times but remained unknown in the eastern part until the first millennium AD. The transition to the Early Iron Age is also marked by notable changes in the economy of the inhabitants. Large amounts of pearl millet in the deposits of the sites demonstrate a sudden beginning of large scale farming. From this time a fully developed permanent settlement way of life had been established in the clay plains. Archaeobotanical and archaeozoological investigation suggest also a shift to a more arid climatic condition during the transition of the Later Stone Age to the Early Iron Age in the firki, which may have led to the intensification of pearl millet farming in the economy of their inhabitants. The fundamental changes in the pottery material support this hypothesis as they probably reflect the same development only on a different level. Together with the appearance of new pottery techniques from the northwest in the firki it can be suggested aridity forced people from further north to go south and to settle in the well watered firki plains. In the Late Iron Age the sphere of influence had changed because the use of carved roulete seems to have been developed in the savannah region of Nigeria, Cameroon and the Central African Republic. A shift of pottery elements from the Yobe valley west of Lake Chad to the firki in the south has been suggested for the historic phase due to the political changes which took place. Because finds of twisted strip roulette already occur in the Late Iron Age the inhabitants of the clay plains may have known the technique before the spread of the power of the Kanuri at the end of the 16th century AD. The use of twisted strip roulette is not restricted to Nigeria or a special ethnic group. This technique is typical for the Iron Age in Mali and is also used in small quantities in the northern Mandara region at the first millennium AD. As we have seen, it is the spread of the roulette and mat techniques which is important for the reconstruction of the relation of the firki plains to its surrounding area. From the ceramic material of Kursakata, Mege and Ndufu it can be clearly observed that individual, separate roulette and mat techniques appear shifted in time in the Later Stone Age and Early Iron Age. These techniques are known to have been used together at several sites further to the north in the Later Stone Age. With other sites of the West African savannah the archaeological sites of the firki plains share the importance of twisted string roulette as an indicator for the Early Iron Age. In the firki the twisted string roulette and twined basketry decorations can be seen as synonyms for iron and a permanent settlement way of life. In this dissertation for the first time a fundamental pottery chronology has been developed for the firki clay plains south of Lake Chad in Northeast Nigeria. Different decoration techniques and the so far less considered vessel forms have been defined. A detailed and critical comparison with all the important archaeological sites of the southwestern Chad Basin has been carried out and, in addition, all the existing roulette and mat types have been documented and classified under technical aspects. Besides the pottery analyses made it possible to interpret the pottery material of earlier excavated sites in the firki in a better way. With a summarised outline of the spread of roulette and mat techniques over Africa, their appearance in Northeast Nigeria could be placed in a greater prehistoric context. Thus the dissertation offers a good fundament for further investigations. A comparable pottery chronology for the eastern Chad Basin and the northern Mandara region is still lacking.

Mangelnde Motivation und Mitarbeiterfrust kosten deutsche Unternehmen jährlich 93 Milliarden Euro in Form von uneffizienter Arbeit und schlechten Arbeitsergebnissen. Deshalb zeigt die Führungsexpertin Maren Lehky in diesem Buch, wie Führungskräfte die versteckte Kritik ihrer Mitarbeiter erkennen können und was hinter der typischen Chefschelte steckt. Anhand von zahlreichen Beispielen aus ihrem Beratungsalltag erklärt sie, wann für Vorgesetzte Handlungsbedarf besteht und wie sie rechtzeitig gegensteuern können. Für ein konstruktives und positives Miteinander mit garantiert besseren Arbeitsergebnissen.

Abstract Scientific discoveries that provide strong evidence of antitumor effects in preclinical models often encounter significant delays before being tested in patients with cancer. While some of these delays have a scientific basis, others do not. We need to do better. Innovative strategies need to move into early stage clinical trials as quickly as it is safe, and if successful, these therapies should efficiently obtain regulatory approval and widespread clinical application. In late 2009 and 2010 the Society for Immunotherapy of Cancer (SITC), convened an "Immunotherapy Summit" with representatives from immunotherapy organizations representing Europe, Japan, China and North America to discuss collaborations to improve development and delivery of cancer immunotherapy. One of the concepts raised by SITC and defined as critical by all parties was the need to identify hurdles that impede effective translation of cancer immunotherapy. With consensus on these hurdles, international working groups could be developed to make recommendations vetted by the participating organizations. These recommendations could then be considered by regulatory bodies, governmental and private funding agencies, pharmaceutical companies and academic institutions to facilitate changes necessary to accelerate clinical translation of novel immune-based cancer therapies. The critical hurdles identified by representatives of the collaborating organizations, now organized as the World Immunotherapy Council, are presented and discussed in this report. Some of the identified hurdles impede all investigators; others hinder investigators only in certain regions or institutions or are more relevant to specific types of immunotherapy or first-in-humans studies. Each of these hurdles can significantly delay clinical translation of promising advances in immunotherapy yet if overcome, have the potential to improve outcomes of patients with cancer.