Twitter sebagai media baru mulai menunjukkan keperkasaannya di bidang politik. Bukti nyata peran besar twitter dalam dunia politik adalah gejolak politik dan sosial di kawasan Timur Tengah yang melanda seluruh negara Arab. Rakyat terpanggil dan tersatukan haluan serta geraknya melalui jejaring sosial digital untuk menentukan jalannya masa depan negara mereka. Penting untuk diketahui pengaruh pandangan tentang politik padapengguna twitter di Indonesia, sebagai Negara dengan pengguna twitter terbanyak. Dengan metode survei yang berpedoman pada teori kultivasi, penelitian ini mencari tahu bagaimana pandangan politik di Indonesia pada pengguna berat dan pengguna ringan.Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan pada pengguna berat dan pengguna ringan dalam memandang politik di Indonesia. Metode survey online dilakukan terhadap tiga puluh enam responden. Mereka ragu akan masa depan Indonesia yang lebih baik, dan tidak percaya bahwa kasus korupsi akan dapat diselesaikan, bahkan pengguna ringan ternyata lebih negatif dalam memandang realitas politik Indonesia. Kondisi ini tidak terlepas dari fakta bahwa twitter bukan sumber utama berita politik mereka. Sumber informasi utama mereka tetap media konvensional, terutama televisi.
This article focuses on academic publication on hate speech within Indonesia's scholarly context. The authors analyse the ongoing discourse on hate speech by conducting a meta-analysis method on Garuda, an official website designed for repository of scholarly publications in Indonesia. By examined 143 scientific articles, this study found that most studies refer to the definition of hate speech from the Circular No. SE/06/X2015 on hate speech issued by the Indonesian National Police which shows how most Indonesian academics were comfortable in using limited perspectives on hate speech. Furthermore, the variety of the studies on hate speech comes from law or legal studies and communication or da'wah communication. Most Indonesia academics also conducted studies on hate speech with a juridical normative approach, as well as qualitative research. Intriguingly, some studies have been done with unclear method and approaches. Academics ideally should serve as one of the critics for people in power and government apparatus, for example by continuing to question how hate speech is studied, including in the context of its definition and how it affects the implementation in Indonesia. Hence, the authors urged Indonesian academics to do more studies on hate speech from various backgrounds with more rigorous and various research methods to be able to expand the knowledge on hate speech cases in Indonesia.
Partisan selective exposure to online COVID-19 news articles is hypothesized to increase one's exposure time to politically opinion-reinforcing news when exposed to a more opinion-reinforcing news environment and to increase one's exposure time to politically opinion-challenging news when exposed to a more opinion-challenging news environment. This blocked 2x3 within-subjects experimental study crossed partisan stance (Pro Jokowi vs. Pro Anies) as the blocking factor with news conditions as the experimental factors (Pro vs. Contra vs. Control). The study randomly assigned 216 participants living in the Jakarta metropolitan area during the COVID-19 pandemic to two experimental and one control group for each stance (Pro Stance, Contra Stance, Control). Data shows how participants significantly spent more time on politically opinion-reinforcing news when in the Pro Stance condition, compared to when in the Contra Stance condition, and compared to when in the Control condition. Participants only significantly spent more time on politically opinion-challenging news when in the Contra Stance condition as compared to when in the Pro Stance condition, but not significantly as when compared to in the Control condition. The study took a look at how partisan selective exposure may play out in a certain news environment and found how a polarized news environment would lead to a more polarized exposure, which could get disastrous as it may play a role in people's behavior towards the COVID-19 pandemic. Hence, getting ourselves accustomed to perspectives from an equal news environment could lead us to be less polarized, and therefore be wiser at determining our standpoints towards the COVID-19 pandemic. ; Paparan selektif partisan terhadap artikel online berita COVID-19 dihipotesiskan untuk meningkatkan waktu paparan seseorang terhadap berita yang mendukung opini politik saat terpapar pada lingkungan berita dengan lebih banyak berita yang mendukung opini dan untuk meningkatkan waktu paparan seseorang terhadap berita yang menantang opini politik saat terpapar pada lingkungan berita dengan lebih banyak berita yang menantang opini. Studi eksperimental dengan disain blocked 2x3 within-subjects menyilangkan sikap partisan (Pro Jokowi vs. Pro Anies) sebagai blocking factor dengan kondisi berita sebagai faktor eksperimental (Pro vs. Contra vs. Control). Penelitian menempatkan 216 partisipan yang tinggal di area Jabodetabek selama pandemi COVID-19 secara acak ke dalam dua kelompok eksperimental dan satu kelompok kontrol untuk masing-masing sikap (Pro Stance, Contra Stance, Control). Data menunjukkan bagaimana partisipan secara signifikan menghabiskan lebih banyak waktu pada berita yang mendukung opini politik mereka saat berada di kondisi Pro Stance, dibandingkan dengan saat berada di kondisi Contra Stance, dan dibandingkan dengan saat berada di kondisi Control. Partisipan hanya secara signifikan menghabiskan lebih banyak waktu pada berita yang menantang opini politik saat berada di kondisi Contra Stance jika dibandingkan dengan saat berada di kondisi Pro Stance, namun tidak secara signifikan saat dibandingkan dengan saat berada di kondisi Control. Penelitian mencoba melihat bagaimana paparan selektif partisan memainkan peran di lingkungan berita tertentu dan menemukan bagaimana linkungan berita yang terpolarisasi akan mengarah pada paparan yang lebih terpolarisasi, yang dapat menjadi bencana oleh karena potensi perannya pada sikap seseorang terhadap pandemi Covid-19. Maka itu, dalam mengurangi polarisasi, kita dapat menempatkan diri kita pada lingkungan berita yang setara, yang juga dapat menuntun kita untuk menjadi lebih bijaksana dalam bertindak terkait dengan pandemi Covid-19.
The development of web 2.0 of social media has caused many changes in the implementation and approach of a political campaign. Nowadays, political campaigns are more personal and can be carried out at any time. Politicians can share personal information directly through social media, even outside a particular electoral or media agenda. The public can also directly communicate with politicians through social features in likes, comments, and shares. Therefore, it becomes interesting to analyse these changes. This study applied a quantitative content analysis method to explore further the concept of personalisation in Facebook contents of one of the famous politicians in Indonesia, Anies Baswedan. The concept of personalisation used in this study is Van Santen and Van Zoonen's typology of self-personalisation. The results show Anies Baswedan Facebook contents commonly utilised the typology of self-personalisation, a correlation between text visual post type with the use of self-personalisation typology, and a strong and positive correlation between the use of self-personalisation typology with the level of user engagement obtained. Keywords:campaign strategy, Facebook, political communication,self-personalisation, social media
Partisipasi politik pemilih pemula secara teoritis memiliki beragam bentuk dan saluran. Sementara di Indonesia, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum Indonesia memiliki fokus pada peningkatan partisipasi politik electoral terutama pada kelompok pemilih pemula. Terkait dengan hal tersebut, maka penelitian ini melakukan studi mengenai partisipasi politik dari Civic Voluntarism Model (CVM) terutama aspek efikasi politik sebagai prediktor utama partisipasi politik pemilih pemula. Selain itu, penelitian ini juga melakukan penyelidikan terkait jenjang partisipasi dari perspektif risiko, sumber daya, dan fokus intervensi institusi politik di Indonesia. Pengumpulan data dilakukan secara tatap muka dan daring kepada 406 mahasiswa Universitas Padjadjaran dari tanggal 28 Mei 2019 sampai dengan 16 Juli 2019. Setelah pengumpulan data selesai dilakukan, selanjutnya penelitian ini menggunakan analisis regresi mediasi dengan efikasi politik sebagai prediktor dan partisipasi politik secara daring, luring, serta memilih pada pemilu 2019 secara berurutan merupakan mediator dan efek. Hasil penelitian mendemonstrasikan bahwa efikasi politik tidak memprediksi partisipasi memilih secara langsung. Efikasi politik memprediksi partisipasi politik daring, dan partisipasi politik daring selanjutnya memprediksi partisipasi politik luring, namun partisipasi politik luring tidak memprediksi partisipasi memilih pada pemilu 2019. Selanjutnya, isu praktis dan akademis terkait partisipasi politik dan konsolidasi demokrasi didiskusikan dalam bagian akhir dari artikel ini.
Perkembangan politik bagi generasi muda terkadang manjadi sesuatu yang tidak menarik untuk diikuti. Hal ini disebabkan oleh konotasi kegiatan politik yang selalu negatif. Berbicara politik pada generasi milenial, maka momentum yang paling mencolok ialah disaat Pemilihan Presiden, Anggota Legislatif, maupun Kepala Daerah, yang di mana generasi milenial dijadikan sasaran strategis untuk meraup suara rakyat. Padahal posisi dan peranan generasi milenial dalam kancah perpolitikan lokal dan nasional masih sedikit. Berdasarkan data dari Trans Media Sosial, karakteristik generasi milenial yang paling mencolok adalah sangat menguasai gawai, informasi teknologi serta aktif di media sosial Facebook, YouTube, Instragram, Line, WhatsApp dan Tiktok. Kebiasaan generasi milenial yang sering mengakses media sosial dilakukan dengan tujuan untuk mencari informasi hiburan, kuliner, agama, politik, olah raga dan gaya hidup kekinian. Hasil kegiatan pengabdian menunjukkan bahwa generasi milenial dapat diedukasi mengenai pengetahuan politik dengan menggunakan pendekatan komunikasi penyuluhan yang berbasiskan media konvergensi, diantaranya melalui webinar politik.
In: New media & society: an international and interdisciplinary forum for the examination of the social dynamics of media and information change, Band 22, Heft 5, S. 875-895
In online dating, the self-authored profile serves as the primary way for daters to introduce themselves to others and to learn more about potential partners. However, few studies have examined the extent to which daters' self-authored profile content is consistent with the impressions that others actually form. This study applied the Brunswikian lens model (1956) to examine self-presentation and impression formation in the text-based "about me" portion of the online dating profile. Using the meaning extraction method, we analyzed 190 profiles. Consistent with the lexical approach to personality, daters were able to encode aspects of themselves through linguistic self-description (cue validity), and observers were able to decode profile information to form impressions (cue utilization). However, there were few significant associations between a dater's self-presentation and observers' judgments (functional achievement). Findings are interpreted in line with previous work examining self-presentation and impressions in online dating profiles.