Democracy in Indonesia Towards Mangkunegaran: The Fade of Javanese Royal Palace's Political Power ; Demokrasi di Indonesia terhadap Mangkunegaran: Memudarnya Politik Kekuasaan Kraton
Mangkunegaran in early establishment initially had a capacity and authority armed with forces and territory, which currently only deemed as one of the cultural guardian institution even more physically interpreted as a cultural heritage object. The inability of Mangkunegaran to dampen the Anti-Swapraja Movement is actually the beginning for waning power politics in Mangkunegaran in the royal system with the doctrine of keagungbinataraan. Declarations to declaration issued by KGPAA Mangkunegara VIII to face the Anti Swapraja movement was compeletely ignored by the society. In traditional Javanese life, it is signed by oncate (the loss of) wahyu kedhaton of Mangkunegaran. In the end the Swapraja Region in Surakarta was revoked, Mangkunegaran has no authority as the center of government. ; Mangkunegaran di awal kekuasaannya memiliki kapasitas otoritas dengan angkatan bersenjata dan teritori, yang saat ini hanya dianggap sebagai salah satu lembaga cagar budaya yang secara fisik ditafsirkan sebagai objek warisan budaya. Ketidakmampuan Mangkunegaran untuk meredam Gerakan Anti Swapraja merupakan awal dari rontoknya politik kekuasaan di Mangkunegaran dalam sistem kerajaan dengan doktrin keagungbina-taraan. Strategi politik KGPAA Mangkunegara VIII dilakukan dengan mengeluarkan maklumat demi maklumat untuk menghadapi gerakan Anti Swapraja secara sepihak diabaikan oleh masyarakat. Dalam kehidupan tradisional Jawa, hal tersebut pertanda telah oncat (kehilangan) wahyu kedhaton Mangkunegaran, karena titah dalem sudah tidak mendapat perhatian. Akhirnya Daerah Swapraja di Surakarta dicabut, Mangkunegaran tidak memiliki kewenangan sebagai pusat pemerintahan.