Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 74/PUU-XII/2014 meninggalkan harapan yang belum terpenuhi, yakni rumusan standar konstitusional sebagai pertimbangan dalam pemberian dispensasi umur perkawinan. Makalah ini akan menjawab alasan mengapa MK menolak merumuskannya? dan bagaimana standar konstitusional yang bisa dirumuskan? MK menolak permohonan pemohon judicial review untuk menjadikan kehamilan di luar perkawinan sebagai satu-satunya standar pemberian dispensasi umur perkawinan. Penolakan ini mengisyaratkan MK menganggap bahwa hal itu merupakan open legal policy; suatu saat bisa berubah sesuai dengan kebutuhan dan konteks masyarakat. MK juga tidak menggunakan UUD 1945 untuk merumuskan rumusan standar konstitusional dispensasi perkawinan karena hal itu harus ditempuh melalui legislative review. Sebagai tawaran dari penulis dalam legislative review, standar konstitusionalnya bisa dirumuskan melalui pendekatan hukum non sistematik dan pembacaan maqashid syari'ah. Pertimbangannya harus memperhatikan perlindungan kepentingan agama (Pasal 28E ayat (1) UUD 1945), kepentingan kepastian hukum bagi pelaku (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945), kebebasan kehendak dan keyakinan (Pasal 28E ayat (2) UUD 1945), kepentingan kesejahteraan hidup (Pasal 28H ayat (1) UUD 1945), dan hak asasi yang dimiliki keturunan (Pasal 28B ayat (1) UUD 1945).The decision of Constitutional Court Number 74/PUU-XII/2014 leaves the unmet expectations, which is the standard for an exemption in marital age. The paper will provide the answer to the reason why the Court refused to set the standard? And how the Court should formulate it as the constitutional standards? The Court rejected the petitioner arguments in the judicial review case to make pre-marital pregnancy as the only standard to set an exemption of marital age. It suggests that the Court considers it is an "open legal policy"; where the policy may change according to the needs of society. The Court also did not use the Constitution to give the interpretation on the constitutional standard in ...
In Article 7 paragraph (2) of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage it is stated that in the event of a deviation from the minimal age of marriage, a marriage dispensation may be requested from the court or other official appointed by both male and female parents. However, there are no indicators related to the conditions for marriage dispensation to be proposed in Law Number 1 of 1974 making the legal politics of granting marriage dispensations focus on judges. In its development, was born Law Number 16 of 2019 replaced Law Number 1 of 1974. This article is a legal article with a statutory approach, a conceptual approach, and a case approach. Through this article, it was found that there was a political change in the marriage dispensation law in Law Number 16 Year 2019, where the politics of marriage dispensation law was stricter than Law Number 1 of 1974 and had the spirit not to easily provide marriage dispensation. This can be seen from the existence of two conditions for filing a dispensation in Law Number 16 of 2019, namely (1) having urgent reasons and (2) Having sufficient supporting evidence.Keywords: Marriage Dispensation; Marriage Law; Politics Of Law.Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan, bahwa dalam hal terjadi penyimpangan batas usia minimal perkawinan, maka dapat dimintakan dispensasi perkawinan kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Namun, tidak ada indikator terkait kondisi dapat diajukannya dispensasi perkawinan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 membuat politik hukum pemberian dispensasi perkawinan, benar-benar menitikberatkan pada hakim. Dalam perkembangannya, lahir Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Artikel ini merupakan artikel hukum dengan pendekatan peraturan perundang-Undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Melalui artikel ini, ditemukan bahwa terjadi ...
This legal research purposes to examine the dysfunction of marriage dispensation to prevent child marriage. This scientific article uses a socio-legal research method which combine doctrinal legal research methods and empirical legal research methods through statutory approach, conceptual approach, and facts approach. This study results indicate that Law 16/2019 has not been able to prevent child marriage. The court was expected as last effort in preventing child marriage, but in the end failed to carry out its function. The lack of judge's courage in legal finding efforts causes judges to prioritize legal benefits, however judges neglect to consider the child marriage negative impact, so that the majority of marriage dispensation applications were granted. The urgency of standardizing the marriage dispensation regulation and ratification needed of the Draft Law on the Religious Courts which regulates criminal sanctions and fines for perpetrators of child marriage and the party carrying out child marriage. The demand for the government role as a policy maker to prevent child marriage needs to be maximized, so that society can obey the law in order to avoid the impact of child marriage which will harm children a lot. Apart from the roles of various parties, the role of parents is the main role in preventing child marriage in the child protection update as mandated by Law 23/2002 in conjunction with Law 35/2014. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji disfungsi dispensasi kawin dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Artikel ilmiah ini menggunakan metode penelitian sosio-legal yang menggabungkan metode penelitian hukum doktrinal dan metode penelitian hukum empiris melalui pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual, dan pendekatan fakta. Hasil penelitian ini menunjukkan UU 16/2019 belum dapat mencegah perkawinan anak. Pengadilan yang diharapkan sebagai upaya terakhir dalam pencegahan perkawinan anak, namun pada akhirnya gagal menjalankan fungsinya. Minimnya keberanian hakim dalam upaya penemuan hukum menyebabkan penetapan hakim lebih mengutamakan kemanfaatan hukum, namun hakim lalai untuk mempertimbangkan dampak negatif dari perkawinan anak sehingga mayoritas permohonan dispensasi kawin dikabulkan. Urgensi standarisasi regulasi dispensasi kawin dan perlunya pengesahan RUU Hukum Terapan Peradilan Agama yang mengatur sanksi pidana dan sanksi denda bagi pelaku perkawinan anak dan pihak yang melangsungkan perkawinan anak tersebut. Tuntutan peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan upaya pencegahan perkawinan anak perlu dimaksimalkaan, sehingga masyarakat dapat patuh dan taat pada hukum guna menghindari dampak perkawinan anak yang akan banyak merugikan anak. Terlepas dari peran berbagai pihak, maka peran orang tua adalah peran yang utama untuk mencegah terjadinya perkawinan anak dalam upaya perlindungan anak sebagaimana diamanatkan oleh UU 23/2002 jo UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak.
This study aims to determine the form of marriage dispensation after the revision of the marriage law by examining the factors that cause marriage dispensations and the implications of marriage dispensations on family life. The method used in this paper is based on a literature review and analyzed descriptively and qualitatively. The results show that the cause of early age marriage comes from the individual factors of the child himself and the factors of his parents. The existence of early marriage has psychological and social implications for children, parents, and the surrounding environment. Therefore, to reduce the prevalence of early marriage, strategic steps are taken jointly by the family, the Office of Religious Affairs, the government, religious leaders, and other community leaders. ; Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wujud terjadinya dispensasi nikah akibat pernikahan dini, faktor-faktor penyebab terjadinya dispensasi nika akibat pernikahan dini dan implikasi terjadinya dispensasi nikah akibat pernikahan di usia dini terhadap kehidupan keluarga. Metode yang digunakan dalam tulisan ini yaitu berdasarkan kajian literatur. Data yang dikumpulkan berdasarkan penelusuran beberapa hasil dokumen, leteratur, jurnal ilmiah yang terkait dengan kontek kajian ini. Analisa dilakukan secara deskriptif. Hasil dari penelitian ini adalah 1) penyebab dari pernikahan dini adalah a) karena hamil terlebih dahulu dan b) faktor orang tua (ekonomi, pendidikan, pola asuh orang tua dan tingkat pemahaman agama orang tua). Sedangkan 2) dampak psikologi dari pernikahan dini adalah a) penyesuaian diri menjadi tergangu, b) harmonisasi keluarga, c) tingkat perceraian meningkat, d) hubungan sosial tergangu, d) pola asuh terhadap anak yang tidak kontinu, e) pendidikan yang terhenti dan f) ekonomi yang terpuruk. Untuk 3) strategi penanggulangan dampak negatif pernikahan dini adalah a) kerja sama antara keluarga dan penyuluh KUA dengan berkomunikasi secara intens dengan anak, selalu memberikan motivasi serta memberikan tauladan ...
ABSTRAKPerkawinan bawah umur atau sering disebut perkawinan anak merupakan perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang masih dibawah usia yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini bisa disimpangi dengan cara memohonkan dispensasi kawin. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa izin kawin diberikan apabila laki-laki sudah berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, dan apabila akan menikah dibawah usia tersebut maka dapat dilakukan melalui dispensasi pengadilan atau lembaga lain yang ditunjuk oleh orang tua calon mempelai. Dewasa ini peraturan tentang usia kawin sudah berubah menjadi 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan, seperti yang diatur dalam Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Adapun hal terkait dispensasi kawin masih bisa dilakukan tetapi hanya bisa melalui pengadilan. Hal tersebut menunjukkan bahwa permohonan dispensasi lebih dipersulit sebagai upaya untuk meminimalisir praktik perkawinan bawah umur di Indonesia. Fakta yang terjadi di masyarakat menunjukkan kontradiktif dari tujuan semula, dimana hal ini terlihat pada banyaknya masyarakat yang melakukan permohonan dispensasi kawin sekalipun harus dilakukan melalui pengadilan. Peningkatan permohonan dispensasi kawin tersebut sangat signifikan, sehingga akan menjadi hambatan untuk mewujudkan upaya meminimalisir praktik perkawinan bawah umur di Indonesia.Kata kunci: dispensasi kawin; kontradiksi; perkawinan bawah umur. ABSTRACTUnderage marriage or often called child marriage is a marriage that are carried out by someone who is still underage specified by the legislation. This can be excluded by file a marriage dispensation. In Law Number 1 of 1974 concerning Marriage stated that marriage permission can be given if the male is 19 years old and the female is 16 years old, and in case they want to get married under that age, it can be performed through a court dispensation or by another institution appointed by both parents of the child. The regulation regarding the age of marriage has been amended within 19 years for both male and female as regulated in Law Number 16 of 2019 concerning Amendments to Law Number 1 of 1974 concerning Marriage. Regarding matters of marriage dispensation, it can still be done, however, only through the court. This shown that an application of marriage dispensation was constructed more complex as an attempt to minimize underage marriage in Indonesia. The fact that arise in the society shows a contradiction from the original purpose, as seen from the large numbers of people who file a marriage dispensation yet it must be performed through a court. The escalation of marriage dispensation is genuinely significant, thus it will become an obstacle to actualize the attempt to minimize underage marriage in Indonesia.Keywords: contradiction; marriage dispensation; underage marriage.
The fuqoha and lawyers agree that a person is held accountable for his actions and has the freedom of determining his life after his age (Baligh). With reference to applicable legislation, if the prospective bride is under 16 years of age and the prospective bridegroom under the age of 19 years, then the person is categorized as underage and incompetent to act in the law in the case of marriage . several factors that cause the proposed marriage dispensation, among others, due to Pregnant Factor before marriage, Economic Factors, and Factors Education. Judge consideration in granting judgment of marriage age is the judge not only raced on the Act, this is where the ijtihad judge is needed in determining something based on mursalah maslahat. Keywords: Wedding Dispensation Para fuqoha dan ahli undang- undang sepakat menetapkan, seseorang diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya dan mempunyai kebebasan menentukan hidupnya setelah cukup umur (Baligh). Dengan mengacu pada perundang-undangan yang berlaku, jika pihak calon mempelai wanita di bawah umur 16 tahun dan calon mempelai laki-laki dibawah umur 19 tahun, maka yang bersangkutan dikategorikan masih di bawah umur dan tidak cakap untuk bertindak di dalam hukum termaksud dalam melakukan perkawinan. beberapa faktor yang menjadi penyebab diajukan dispensasi perkawinan antara lain karena Faktor Hamil sebelum melangsungkan perkawinan, Faktor Ekonomi, dan Faktor Pendidikan. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan dipensasi usia perkawinan yaitu hakim tidak hanya berpacu pada Undang – Undang, disinilah diperlukan ijtihad hakim dalam menetapkan sesuatu berdasarkan maslahat mursalah.Kata kunci : Dispensasi Pernikahan
ABSTRAK Hartantyo, Hafid Tri. Pertimbangan Putusan Hakim Memberikan Dispensasi Nikah di Bawah Umur pada Penetapan Nomor 125/Pdt.P/ 2019/PA.Bbs.Skripsi. Tegal: Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Pancasakti Tegal. 2019. Negara dan pemerintah membuat batasan minimal umur sesorang dapat melakukan pernikahan, karena mempunyai kepentingan sekaligus kewajiban untuk mengawal dan mengarahkan perkawinan sebagai institusi sosial yang melindungi sekaligus mengangangkat harkat dan martabat perempuan. Namun, dalam keadaan memaksa mengenai pernikahan di bawah umur bisa dimintakan dispensasi ke Pengadilan Agama oleh kedua orang tua dari pihak yang ingin meminta dispensasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1) mengetahui alasan pengajuan dispensasi nikah pada Penetapan No. 125/Pdt.P/2019/PA.Bbs, 2) mengkaji pertimbangan hakim dalam memutus perkara dispensasi nikah di bawah umur pada Penetapan No. 125/Pdt.P/2019/PA.Bbs. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (libraryresearch) dengan pendekatan penelitian normatif.Sumber data yaitu berasal dari data sekunder dengan metode pengumpulan data studi kepustakaan dan studi dokumen. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara secara normatif kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa alasan pengajuan dispensasi nikah pada Penetapan No. 125/Pdt.P/2019/ PA.Bbs, yaitu kekhawatiran orang tua, tidak ada larangan menikah menurut syariat Islam, dan anak pemohon sudah akil baliq. Dasar pertimbangan hukum dispensasi perkawinan oleh Hakim Pengadilan Agama Brebes secara yuridis pada Penetapan No. 125/Pdt.P/2019/PA.Bbs adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (2). Majelis hakim tidak menggunakan pendapat kelompok ahli fikih yang mendukung bahwa perkawinan di bawah umur ada di dalam hukum Islam, yaitu konsep mashlahah mursalah untuk memberikan penetapan atas permohonan dispensasi perkawinan karena ketentuan pembatasan umur dan dispensasi perkawinan tidak dijelaskan di dalam nash, tetapi kandungan maslahatnya sejalan dengan tindakan syara' yang ingin mewujudkan kemaslahatan bagi manusia (kedua calon mempelai beserta keluarga). Konsep mashlahah mursalah yang terdapat dalam kaidah fiqh dan dijadikan pertimbangan dalam penetapan permohonan dispensasi nikah adalah "menghindari mafsadat lebih diutamakan untuk menjaga kemaslahatan". Sehingga, majelis hakim yang menetapkan perkara ini terkesan meyakini bahwa perkawinan di bawah umur tidak ada dalam hukum Islam. Kata Kunci: Pertimbangan, Dispensasi, dan Nikah. ===================================================================================================== ABSTRACT Rois, Inda Fikri. Hartantyo, Hafid Tri. Consideration of Judge's Decision to Provide Underage Marriage Dispensation in Stipulation Number 125/Pdt.P/2019/PA.Bbs. Skripsi. Tegal: Law Faculty Faculty of Law Study Program, Tegal Pancasakti University. 2019. The state and the government make a minimum age limit for a person to get married, because it has interests as well as the obligation to escort and direct marriage as a social institution that protects and lifts the dignity of women. However, in a state of compulsion regarding underage marriage, dispensation can be sought by the Religious Courts by both parents of those who wish to request dispensation. The purpose of this study is to: 1) find out the reasons for submitting marriage dispensation in Stipulation No. 125/Pdt.P/2019/PA.Bbs, 2) review the judges' considerations in deciding cases of underage marriage dispensation in Determination No. 125/Pdt.P/2019/PA.Bbs. This research is a library research with a normative research approach. The data source is derived from secondary data with the method of collecting literature and document study data. Data analysis in this study was carried out in a normative qualitative manner. The results of the study concluded that the reasons for filing a marriage dispensation in Stipulation No. 125/Pdt.P/2019/PA.Bbs, that is the concern of parents, there is no prohibition on marriage according to Islamic law, and the applicant's child is already baliq. The legal basis for marriage dispensation judicially by the Brebes Religious Court Judge in Stipulation No. 125/Pdt.P/2019/ PA.Bbs is Law Number 1 of 1974 concerning Marriage Article 7 paragraph (2). The panel of judges did not use the opinion of a group of fiqh experts who support that underage marriages are in Islamic law, namely the concept of mashlahah mursalah to determine the application for marriage dispensation because the provisions on age restrictions and marriage dispensation are not explained in the text, but the benefit content is in line with the act of syara 'which wishes to bring benefit to mankind (the two brides and their families). The concept of mashlahah mursalah contained in the fiqh rules and used as a consideration in the determination of marriage dispensation requests is "avoidance of prejudice is preferred to maintain benefit". Thus, the panel of judges who adopted this case seemed to believe that underage marriages did not exist in Islamic law. Keywords: Consideration, Dispensation, and Marriage
Perdebatan mengenai batas usia perkawinan tidak berhenti dengan disahkannya UU No.16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Rekomendasi batas usia perkawinan yang diajukan berbagai kalangan berbeda-beda, baik dikaitkan dengan UU Sisdiknas, BKKBN, maupun UU Perlindungan Anak. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa politik hukum dalam UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan terbagai dalam dimensi subyektif dan obyektif. Dalam dimensi subyektif UU No. 16 Tahun 2019 menceminkan produk hukum yang bersifat demokratis dengan membuka peluang bagi berperannya potensi rakyat secara maksimal untuk turut aktif menentukan kebijakan negara. Sedangkan dalam dimensi obyektif nilai keadilan peraturan batas usia perkawinan diwujudkan dengan menyamakan batas minimal usia perkawinan 19 tahun bagi pria dan wanita. Nilai kepastian hukum dalam peraturan batas minimal usia perkawinan di Indonesia belum terwujud karena tidak adanya sanksi bagi pelanggar dan adanya celah dispensasi tanpa persyaratan yang jelas, langkah tersebut diambil dengan memperhatikan norma (living law) di masyarakat, hingga dalam praktiknya masih banyak perkawinan di bawah umur yang diberikan dispensasi oleh Pengadilan Agama. Dalam nilai kemanfaatan, peraturan batas minimal usia perkawinan di Indonesia perlu disempurnakan karena belum sepenuhnya mempertimbangkan resiko perkawinan pada batas minimal usia yang ditetapkan.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah keberadaan perkawinan anak di bawah umur dalam perspektif hukum nasional dan bagaimanakah kebijakan dan program strategis untuk pencegahan perkawinan anak di bawah umur. Dengan menggunakan metode penelian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Meski hukum perkawinan di Indonesia (UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam) telah menetapkan batas usia minimum untuk menikah, yakni 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, namun masih terdapat celah-celah hukum bagi terjadinya praktik perkawinan di bawah umur, yaitu: Adanya institusi dispensasi nikah bagi mereka yang hendak menikah, tetapi belum memenuhi ketentuan usia di atas; Konsep perwalian yang sangat menekankan izin wali sebagai syarat sah perkawinan; Dengan adanya ketentuan ini, kawin paksa atas anak yang masih di bawah umur menjadi hal yang dimungkinkan, sekalipun melalui institusi dispensasi nikah; Usia minimum untuk menikah bagi perempuan yang masih terlalu rendah, yakni 16 tahun. Mengacu pada rekomendasi WHO dan International Convention on the Rights of the Child, usia anak adalah sampai 18 tahun. Oleh karena itu, usia minimum untuk menikah perlu disesuaikan dengan Konvensi ini. Jika tidak, hukum perkawinan di Indonesia dapat dituding menyemaikan bahkan melanggengkan praktik perkawinan anak di bawah umur. 2. Rencana kebijakan dan rencana aksi untuk pencegahan praktik perkawinan anak di bawah umur perlu dirancang secara sinergis di segala bidang, baik hukum, politik, pendidikan, sosial-keagamaan maupun ekonomi. Selain itu, pemerintah bekerja sama dengan pihak-pihak lain harus mendesain program-program strategis untuk mencapai tujuan di atas, seperti: penyuluhan hukum perkawinan dan kesehatan reproduksi dengan dukungan materi-materi audiovisual (misalnya sketsa, sandiwara, dan paket pendidikan tentang praktik-praktik tradisi yang berbahaya bagi kesehatan anak dan perempuan); penyediaan layanan pelatihan kejuruan dan program magang bagi gadis-gadis belia dari keluarga miskin untuk memberdayakan mereka secara ekonomi; perbaikan manajemen dan administrasi perkawinan untuk mengantisipasi terjadinya pemalsuan umur dan identitasidentitas lainnya; mobilisasi media massa untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya dan risiko perkawinan di bawah umur demi menuju prakarsa "safe motherhood." Kata kunci: Perkawinan, anak dibawah umur, hukum nasional.
The emergence of differences of opinion in determining the age of marriage is due to the absence of definite provisions in its determination. This has an impact on differences of opinion that arise in the view of fiqh experts and also has an impact on existing legislation. In addition, regarding the handling of marital dispensation cases, at first there was no detailed regulation that had an impact on the number of decisions that gave permission to every case of marriage dispensation. Currently the author discusses determining the age of marriage after the birth of Law Number 19 of 2019 and the provisions of the Supreme Court Number 5 of 2019 concerning Guidelines for Adjudicating Applications for Marriage Dispensation. This research uses qualitative research with descriptive analysis method with normative juridical approach. as for the result as follows : The stipulation of the Religious Courts in determining the age of marriage was previously enshrined in the provisions of Article 7 Paragraph (1) of Law Number 1 of 1974 where the provisions for the marriage age of 19 years for men and 16 years for women were further amended by Law Number 16 of 2019 concerning Marriage with The age requirement for both male and female is 19 years. In the event that the application for a marriage dispensation case is specifically regulated in Perma Number 5 of 2019 concerning Guidelines for Adjudicating Applications for a Marriage Dispensation, the Religious Courts in handling the case must be based on the Perma, then must consider the benefits and harms in determining the application for a marriage dispensation.
The purpose of this study was to determine and analyze the factors that encourage people to have underage marriages in Bukit Kerman District, Kerinci Regency. The formulation of the research problem is what factors encourage the community to engage in underage marriages, then the legal consequences arising from underage marriages. To answer these problems, the authors use empirical juridical research methods, namely the type of research used to solve research problems by examining secondary data, namely legislation in this study, which is a regulation on marriage and is supplemented with primary data in the field, which aims to see synchronization between das sollen and das sein. As for the results obtained from this study that what factors encourage the community to engage in underage marriages in Bukit Kerman District Kerinci Regency is the low level of community education, the factor of local community habits that marry off their children at a relatively young age, promiscuity also be the cause of early marriages, and easy to get dispensation from local officials for both parties who have not reached the age set by the Marriage Law. Then the consequences arising from underage marriages are in terms of rights and obligations as husband and wife that cannot be implemented properly, and not achieving the expected marriage goals. Keywors: Underage marriage Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganilisis faktor-faktor yang mendorong masyarakat melakukan perkawinan di bawah umur di Kecamatan Bukit Kerman Kabupaten Kerinci. Rumusan masalah penelitian adalah faktor apakah yang mendorong masayarakat melakukan perkawinan di bawah umur, kemudian akibat hukum yang di timbulkan dari adanya perkawinan di bawah umur. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka penulis menggunakan metode penelitian yuridis empiris yaitu tipe penelitian yang digunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder yaitu Perundang-Undangan yang dalam penelitian ini adalah peraturan tentang perkawinan dan di lengkapi dengan data primer di lapangan, yang bertujuan ingin melihat sinkronisasi antara das sollen dan das sein. Adapun hasil yang di peroleh dari penelitian ini bahwa faktor apakah yang mendorong masayarakat melakukan perkawinan di bawah umur di Kecamatan Bukit Kerman Kabupaten Kerinci adalah rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, faktor kebiasaan masyarakat setempat yang menikahkan anak-anak nya di usia yang relatif muda, pergaulan linkugan bebas juga menjadi penyebab dari terjadinya pernikahan dini, serta mudah nya memperoleh dispensasi dari pejabat setempat bagi kedua pihak yang belum mencapai usia yang ditetapkan oleh Undang-Undang Perkawinan. Kemudian akibat yang di timbulkan dari adanya perkawinan di bawah umur adalah dari segi hak dan kewajiban-kewajiban sebagai suami isteri yang tidak dapat terlaksana dengan baik, dan tidak tercapainya tujuan perkawinan yang di harapakan. Kata kunci:Perkawinan di Bawah Umur
Marriage registration is important in marriages in Indonesia because it can have legal consequences for those who carry out marriages. This study discusses the form of negligence of marriage registration in underage marriages in Gorontalo District and the legal consequences that occur due to negligence of marriage registration in age marriages in Gorontalo Regency. This research is a field research with a juridical and sociological approach. The collection of data in the form of observations at the study site, interviews with employees of the Office of Religious Affairs, parents and underage marriages with 182 respondents, as well as literature review. The results showed: First, the form of negligence in the registration of marriages in Gorontalo Regency, namely the negligence of parents, the negligence of children and the negligence of marriage registration officers; Second, due to the legal consequences caused by negligence in registering underage marriages in Gorontalo District, namely the legality of child marriages, divorce is easy, rejection of marriage dispensation, repeating the marriage contract and marriage without the presence of government officials. ; Pencatatan perkawinan menjadi sesuatu hal yang penting dalam perkawinan di Indonesia dikarenakan dapat menimbulkan akibat hukum kepada pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan. Penelitian ini mendiskusikan tentang bentuk kelalaian pencatatan nikah pada perkawinan di bawah umur di Kabupaten Gorontalo dan akibat hukum yang terjadi akibat adanya kelalaian pencatatan nikah pada perkawinan umur di Kabupaten Gorontalo, Penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan menggunakan pendekatan yuridis dan sosiologis. Pengumpulan datanya berupa pengamatan di lokasi penelitian, wawancara dengan para pegawai Kantor Urusan Agama, para orangtua dan pelaku pernikahan di bawah umur dengan jumlah 250 responden, serta kajian kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan: Pertama, bentuk kelalaian pencatatan perkawinan di Kabupaten Gorontalo, yaitu adanya kelalaian orang tua, adanya kelalaian anak dan adanya kelalaian petugas pencatat nikah; Kedua, akibat hukum yang ditimbulkan karena kelalaian pencatatan nikah di bawah umur di Kabupaten Gorontalo, yaitu legalitas anak hasil perkawinan, mudahnya terjadi perceraian, penolakan dispensasi nikah, pengulangan akad nikah dan perkawinan tanpa kehadiran aparat pemerintah.
Teguh Dwi Buana Putra. NIM : A 11110149, Judul : "ALASAN ORANG TUA MENGAWINKAN ANAK PEREMPUANNYA YANG DI BAWAH UMUR DI DUSIN PARIT MASIGI DESA SUNGAI AMBAWANG KUALA KECAMATAN SUNGAI AMBAWANG". Skripsi Fakultas Hukum untan tahun 2013. Dengan munculnya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksananya, telah memberikan garisan bagi masyarakat dalam bertindak serta menjalankan petunjuk dalam bidang perkawinan, terutama dalam hal usia perkawinan. Namun seiring dengan waktu masih ada masyarakat yang mengawinkan anak perempuannya yang masih di bawah umur. Hal ini jelas bertentangan dengan undang-undang. aPerkawinan merupakan intitusi yang sakral dan suci di mana laki-laki dan perempuan terjalin dalam ikatan yang sangat kokoh (mitsaqon gholidhan) untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah. Namun perkawinan- anak di bawah umur justru akan berakibat sebaliknya, karena menghadirkan mimpi buruk bagi yang bersangkutan, selain disinyalir menyalahartikan doktrin agama, model perkawinan itu juga berpotensi mengguncang harmoni sosial. Negara dan pemerinta mempunyai kepentingan sekaligus kewajiban untuk mengarahkan perkawinan sebagai intitusi sosial yang melindungi sekaligus mengangkat harkat dan martabat perempuan. Negara sangat berperan dalam pembangunan, intitusi perkawinan yang mampu membangun pranata sosial yang sehat harmonis, religius, dan demokratis dengan tetap memperhatikan kepentingan, kebutuhan dan hak-hak kaumperempuan dan anak-anak. Di Indonesia kasus perkawinan anak di bawah umur bukanlah persoalan yang baru, pada prakteknya sudah berlangsung lama dengan begitu banyak pelaku perkawinan di bawah umur. Tidak hanya di pedesaan akan tetapi masalh tersebut juga terjadi di kota besar, yang penyebabnya berfariasi, mulai dari faktor ekonomi, rendahnya pendidikan, serta dangkalnya pemahaman tentang perkawinan. Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KetuhananYang Maha Esa". Maksud Undang- undang ini langsung memberikan tujuan pentingnya perkawinan, berdasarkan KetuhananYang Maha Esa, Serta kekal. Hal perkawinan harus mempunyai kecukupan umur atau batasan umur kedewasaan baik fisik maupun mental, serta rohani dalam perkawinan, merupakan dasar untuk mencapai tujuan dan cita-cita dalam perkawinan tersebut. Walaupun demikian masih banyak anggota masyarakat yang kurang memperhatikan atau menyadari dari tujuan perkawinan tersebut, hal ini dikarenakan adanya pengaruh lingkungan dan perkembangan sosial yang tidak memadai. Di dalam proses perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, maka merupakan suatu gejala yang umum, bahwa perubahan - perubahan tersebut terutama akan mengenai gejala sosial yang dinamakan hukum, perubahan yang terjadi di bidang kehidupan lainya akan berpengaruh terhadp nilai-nilai yang berkaitan dengan hukum. Kadang atau bahkan sering tidak disadari, hukum sebagai kaidah maupun prilaku yang memberi bentuk dan tata tertib pada bidang-bidang lain seperti poitik ekonomi, pendidikan, pembangunan desa, banyak dialami kesulitan di berbagai bidang kehidupan, karena hukum yang mengatur ternyata bisa dikatakan sudah tidak memadai lagi atau di kesampingkan oleh karena terlampau berbelit prosedurnya. Fenomena perkawinan yang terjadi pada pasangan yang masih di bawah umur sering terjadi pada masyarakat Dusun Parit Masigi, Desa Sungai Ambawang Kuala, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya. Terjadinya perkawinan tersebut justru dikarenakan adanya paksaan dari pihak wali (dalam hal ini orang tua pihak perempuan), dalam mendorong putrinya untuk menikah dengan laki-laki yang dinilai telah memiliki kedekatan dengan anaknya perempuannya. Atau terkadang orang tua memiliki pilihan sendiri, di mana pilihan orang tua tersebut dinilai pantas dan layak untuk ukuran keluarganya, dengan melihat sisi strata sosial, hubungan emosional, hubungan keakraban antar dua keluarga, serta hubungan usaha atau bisnis yang dijalankan oleh ke dua orang tua pasangan tersebut. Sehingga batasan kelayakan akan usia dalam perkawinan bukan menjadi hal yang utama untuk diperhatikan oleh orang tua. Dengan mengacu pada hasil observasi sementara yang pernah penulis lakukan, bahwa ternyata banyak orang tua yang tinggal di Dusun Parit Masigi Desa Sungai Ambawang Kuala, yang telah menikahkan anak perempuannya pada kisaran usia 13 sampai 16 tahun bagi perempuan dan 16 tahun sampai 21 tahun bagi anak laki-laki. Rata-rata mereka menikah pada saat setelah lulus SD (Sekolah Dasar) atau lulus SMP, terutama bagi perempuan. Menurut ketentuan pasal 7 ayat (1) undang-undang No 1 tahun 1974 "bahwa perkawinan itu hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapaai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun dalam ketentuan ayat (2) undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974 menyatakan dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang di tunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Dengan demikian perkawinan usia di bawah umur ini adalah perkawinan yang para pihaknya masih relatif muda, dan yang dimaksud perkawinan di bawah umur, dalam penelitian ini adalah para pihaknya belum memenuhi persyaratan sebagai mana yang di tentukan dalam undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan terdapat dalam pasal 7 ayat (1). Perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. tetapi di dalam undang-undang perkawinan ini ada pengecualian, terhadap pelaksanaan perkawinan dibawah umur, seperti terdapat di dalam undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 Pasal 7 ayat (2). Yaitu; dalam hal penyimpangan terhadap pasal ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan agama atau pejabat lain yang di tunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Dengan adanya pengecualian atau penyimpangan ini, yang mengakibatkan semakin banyaknya orang yang akan melakukan perkawianan yang usianya masih muda, dan belum memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1) yaitu yang sudah menentukan batas usia perkawinan. Sedangkan tujuan dari perkawinan tersebut telah disebutkan didalam pasal 1 UUP nomor 1 tahun 1974 yaitu; perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Melakukan perkawinan maksud dari pasal ini tidak lain adalah untuk mewujudkan suatu perkawinan yang sesuai dengan prinsip dari falsafah Pancasila yang merupakan nilai kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya sebagimana yang termaktub di dalam sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa yaitu sila pertama dalam pancasila. Tujuan dari pasal tersebut harus sejalan dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu perkawinan adalah sah apa bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Namun seringkali lingkungan yang berbeda, serta perbedaan yang lain sifatnya pribadi mengakibatkan perkawinan tidak bisa di pertahankan keutuhannya. Perrnikahan yang terjadi pada usia muda atau di bawah umur, pada masyarakat Dusun Parit Masigi Desa Sungai Ambawang Kuala, yang dikarenakan adanya paksaan dari pihak orang tua, mayoritas merupakan sebuah keputusan yang didasarkan atas keputusan individual dari pihak orang tua, dengan alasan demi menyelamatkan masa depan anak mereka dan sebagai upaya untuk mengeliminir peluang terjadinya aib keluarga akibat pergaulan anak. Selain itu faktor tersebut di atas, faktor kebiasaan atau adat masyarakat setempat juga ikut mempengaruhi dalam hal terjadinya pernikahan di bawah umur. Pada kalangan masyarakat setempat para orang tua memandang bahwa jika sang anak dilihat sudah cukup mampu atau bisa bertanggung jawab dan suka sama suka, maka pernikahan wajib dilaksanakan. Menunda pernikahan bagi putra-putri mereka merupakan hal yang tercela, dan dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai adat masyarkat. Karena khusus bagi kaum perempuan atau anak perempuan jika telah menginjak usia 18 tahun ke atas, namun belum juga menikah, maka anak tersebut dianggap sebagai perempuan yang terlambat menikah, atau mengalami kesulitan dalam hal jodoh. Sehingga hal seperti ini sangat dihindari dan perkawinan di bawah umur terus terjadi tanpa memperhatikan aturan perkawinan. Sehingga aksi perkawinan di bawah umur marak terjadi di Dusun Parit Masigi, Desa Sungai Ambawang Kuala, Kecamatan Sungai Ambawang. Hal tersebut dikarenakan adanya keyakinan dari sisi kebiasaan atau adat istiadat penduduk setempat. Masyarakat di Dusun Parit Masigi Desa Sungai Ambawang Kuala Kecamatan Sungai Ambawang sepertinya sangat berpegang akan hal tersebut, selain faktor ketakutan para orang tua dari pihak anak perempuan, yang sangat khawatir dengan berbagai ragam serta bentuk tata pergaulan remaja, sehingga para orang tua anak perempuan takut terjadinya hamil di luar nikah. Rumusan Masalah : "Alasan Apa Yang Paling Dominan Hingga Orang Tua Mengawinkan Anak Perempuannya Yang Masih Di Bawah Umur?" Tujuan Penelitian : (1).Untuk mendapatkan data serta informasi mengenai pernikahan di bawah umur. (2). Untuk menguraikan dan menjelaskan tentang hukum perkawinan. (3). Untuk menguraikan faktor penyebab orang tua menikahkan anak perempuannya yang masih di bawah umur. (4). Untuk menguraikan dampak pernikahan di bawah umur yang yang dialami oleh pasangan nikah. Metode Penelitian yang digunakan yakni metode Empiris dengan pendekatan Deskriptif Analisis, dengan menggambarkan serta menganalisa keadaan yang sebenarnya yang terjadi pada saat penelitian dilakukan, kemudian menganalisa fakta tersebut guna untuk memperoleh kesimpulan. Kesimpulan : (1). Bahwa di Dusun Parit Masigi Desa Sungai Ambawang Kuala Kecamatan Sungai Ambawang, telah terjadi pernikahan di bawah umur. (2). Bahwa hukum perkawinan Indonesia, pada dasarnya telah mengatur batasan usia yang dinilai wajar bagi seseorang untuk melangsungkan pernikahan. (3). Bahwa alasan yang paling dominan dalam mempengaruhi tindakan orang tua untuk menikahkan anak perempuannya yang masih di bawah umur dikarenakana mereka (orang tua) takut terjadi aib dalam keluarga mereka, yang disebabkan pergaulan para remaja, dan faktor adat istiadat etnis tertentu pada masyarakat setempat. (4). Bahwa dampak yang sering muncul dalam pernikahan anak di bawah umur adalah sering terjadi perceraian. Saran-saran : (1). Bagi para remaja hendaknya mampu untuk menahan diri agar jangan segera menikah di usia yang masih sangat muda. (2). Masyarakat dan para remaja hendaknya mampu untuk mentaati aturan perkawinan. (3). Ketakutan akan terjadinya aib hendaknya diatasi dengan melakukan control terhadap anak remaja dalam bergaul di kehidupan sehari-hari. (4). Para orang tua seharusnya mampu mencegah terjadinya perceraian dalam rumah tangga anak-anaknya, yang muncul sebagai akibat dari pernikahan di bawah umur. Keywords : Anak Perempuan, Perkawinan, Di bawah Umur.
AbstractSince the entry into force of the implementing regulation of Law No. 22 of 1999 which was later revised into Law No. 32 of 2004, it issued the norm of West Sumatra Regional No. 9 of 2000 concerning the Basic Nagari Government accountable to the Regent. But with the West Sumatra Regional Regulation No. 9 of 2000 no longer appropriate then replaced by Regulation No. 2tahun West Sumatra in 2007 on the Principles Governing Nagari. In this paper which is the formulation of the problem is how the implementation of the tasks and powers of trustees in villages villages Toboh Sintuk Toboh Tower Tower District of Padang Pariaman, what are the problems encountered in the implementation of village trustee trustee duties authority Toboh Nagari village in the District Sintuk Toboh Tower Tower Pariaman District, and how efforts to resolve the problems encountered in the implementation of village trustee duties and powers of trustees in villages villages Toboh Sintuk Toboh Tower Tower district of Padang Pariaman. In this study, using the method of empirical sociological research is research that is obtained on primary data obtained directly from the community. The results of the study is to investigate the implementation of the duties and authority of village trustees in villages Toboh Sintuk Toboh Tower Tower District of Padang Pariaman, to find out the problems faced in the implementation of village trustee duties and powers of trustees villages in the District Sintuk Toboh Toboh Tower Regency Tower Pariaman , and attempts to find out the solution of problems faced by village trustees in villages Toboh Sintuk Toboh Tower Tower District of Padang Pariaman.Keywork : implementation, task, village trustee Daftar PustakaAbdul Manan, 2002, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta.Bambang Sunggono, 2001, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung.Idris Ramulyo, 1999, Hukum Perkawinan Islam suatu Analisis dari Undang-Undang Nomor 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Budi aksara, Jakarta.K. Wantjik Shaleh,1976, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia Jakarta.M. Yahya Harahap, 2003, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta.Amir Syarifuddin,2010, Garis-garis Besar Fiqh, Kencana, Jakarta.Zainuddin Ali, M.A,2006, Hukum Perdata Islam Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Muhammad Amin Summa, 2005, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, P.T Raja Grafindo Persada, Jakarta.Sayuti Thalib, 1982, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang PerkawinanPeraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Kompilasi Hukum Islam http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php http://www.pa-tasikmalaya.go.id/sop-dispensasi-nikah