Abstrak Pesawat MH17 merupakan penerbangan sipil dari Amsterdam tujuan Kuala Lumpur yang pada tanggal 17 Juli 2014 ditembak jatuh didaerah Donetsk yang secara de jure merupakan wilayah udara Ukraina. Lokasi jatuhnya pesawat MH17 merupakan wilayah yang dikuasai pemberontak Donetsk sokongan Rusia yang ingin melepaskan diri dari Ukraina. Penelitian awal oleh Belanda menunjukkan pesawat MH17 ditembak jatuh dari lokasi yang dikuasai pemberontak Donetsk. Hukum internasional mengatur larangan intervensi dalam konflik pada pasal 43 ayat (3) Protokol Tambahan 1 Konvensi Jenewa. Pasca penembakan muncul Resolusi DK PBB No. 2166 yang mengharuskan gencatan senjata sementara untuk melakukan investigasi penyebab jatuhnya pesawat MH17 tersebut. Pasal 26 Konvensi IV Den Hague dan 52 ayat (1) Protokol Tambahan 1 Konvensi Jenewa melarang serangan yang diragukan terlebih merupakan obyek sipil. Implikasi tindakan penembakan tersebut, pasal 51 ayat (8) Protokol Tambahan 1 Konvensi Jenewa mengharuskan pertanggungjawaban hukum atas tindakan pelanggaran tersebut. Upaya menuntut pertanggungjawaban hukum terkendala oleh penggunaan hak Veto oleh Rusia yang menggagalkan pembentukan pengadilan khusus untuk menyidik pelaku penembakan MH17 tersebut. Tujuan penelitian ini ialah menganalisis bentuk pertanggungjawaban pemberontak Donetsk atas jatuhnya pesawat MH17 serta menganalisis dan merumuskan penyelesaian sengketa terhadap jatuhnya pesawat MH17. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif/legal research dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual, historis dan kasus. Bahan hukum penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Hasil penelitian dan pembahasan bahwa secara hukum internasional penyelidikan dari Badan Keselamatan Belanda memiliki legalitas hukum dikarenakan melakukan penyelidikan berdasarkan pada Resolusi DK PBB No. 2166 yang ditindaklanjuti dengan Resolusi ICAO terkait jatuhnya pesawat MH17. Subyek hukum yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana dalam peristiwa ini ialah negara korban atau penuntut, Rusia sebagai negara penyokong dan belligerents. Pelanggaran hukum internasional yang terjadi yaitu penembakan obyek yang bukan sasaran militer yakni pesawat sipil atau penembakan yang tidak membeda-bedakan sasaran, tidak melakukan pencegahan sebelum melakukan serangan, kemudian adanya Rusia yang mengintervensi dengan menyokong persenjataan terhadap pemberontak berakibat terjadinya penembakan terhadap pesawat sipil tersebut. Pelanggaran juga terjadi karena Rusia melakukan tindakan veto yang dikualifikasikan sebagai Denials of Justice karena menghalangi pembentukan pengadilan khusus untuk menyidik pelaku penembakan pesawat MH17. Penyelesaian sengketa yang mungkin ialah mengesampingkan keterlibatan personil Rusia dan hanya menyidik belligerent dengan perangkat International Criminal Court dikarenakan mengakomodir subyek sengketa, terdapat mekanisme perjanjian khusus non-anggota, terlebih memiliki independensi serta tidak perlu mendapat mandat dari organisasi internasional lain. Kedepannya diperlukan penghapusan hak veto serta perubahan subjectum litis ICJ untuk kemudahan perlindungan hukum negara dan mewujudkan persamaan diantara negara-negara yang berdaulat. Kata Kunci: Hukum Internasional, Pesawat MH17, Penyelesaian Sengketa, Pertanggungjawaban Pidana Abstract MH 17 Flight is civilian aircraft destination from Amsterdam to Kuala Lumpur when at July 17th, 2014 was shot down in Donetsk region in Ukraine as in law term de jure airspace. MH17 crash site is Donetsk rebel which is supported by Russia asking for independence from Ukraine. Preliminary investigations by Netherlands shows that MH17 was shot from rebel controlled area. International law set prohibition towards intervention of conflict in Article 43 section (3) Additional Protocol 1 of Geneva Convention. After shooting, there was UN Security Council Resolution No. 2166 which require temporary cease fire to investigate MH17 cause of crash. Article 26 Convention IV The Hague and Article 52 section (1) Additional Protocol 1 Geneva Convention prohibit doubted attack moreover civilian object. As implication of shootings, Article 51 section (8) require any legal liability for breach. Effort to demand legal responsibility fail by the veto right from Russia to gain special court to investigate the perpetrators of MH17 shooting. The purposes of this research are to analyse Donetsk belligerent responsibility for the MH17 crash and analyse and formulate settlement of dispute to the MH17 crash. This research is a normative / legal research with statute, conceptual, historical, and case approaches. Legal materials in this research are primary legal materials and secondary legal materials. The results of this research are regarding to international law, investigation results from Dutch Safety Board have a legality because it undertakes the investigation based on UN Security Council Resolution No. 2166 which followed by ICAO Resolution regarding MH17 crash. Subject of Law regarding to penal responsibility in this accident are state of victim/prosecutor, Russia as intervened State and belligerent. International law violation occurs when the object of shooting is not military object namely civilian aircraft or shooting without distinguish the objective, not to perform a preventive action before commencing the attack, thereafter Russian carry out intervention with support some armaments to the belligerent who cause the shooting to that civilian aircraft. Violation also happened because Russia takes its veto right which are qualified as Denials of Justice because, it prevents the establishment of special court to investigate the perpetrators of MH17 shooting. Most likely dispute resolution are set aside the involvement of Russian personnel and only investigate belligerent with International Criminal Court organ because it accommodates subject of dispute, special mechanism with specific agreement between non-member States, have an independency and doesn't need a mandate from another international organization. In the future, it requires the dismissal of veto right and modification of ICJ subjectum litis to ease legal protection of States and realize equality within sovereign States. Keywords : International Law, MH17 Flight, Dispute Resolution, Penal Responsibility
Diskursus tentang perencanaan dan pengembangan wilayah di Indonesia menjadi semakin menarik setalah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dengan pemberlakuan undang-undang tentang pemerintahan daerah tersebut, maka berbagai daerah menuntut pemekaran wilayah yang berlansung secara massif. Namun, realitas menunjukkan bahwa upaya untuk melakukan pemekaran, sesungguhnya tidak didasari pada ide dan gagasan substansi dari pemekaran wilayah itu sendiri. Kondisi ini terlihat jelas dengan jalur yang ditempuh dalam mendorong gagasan pemekaran wilayah lebih mempertimbangkan aspek politik daripada aspek substansinya. Dalam kajian ilmu perencanaan dan pengembangan wilayah, kebijakan otonomi daerah memiliki semangat untuk membangun keberimbangan pembangunan antar wilayah atau desa-kota. Keberimbangan pembangunan yang dimaksudkan adalah dengan adanya pemekaran wilayah, maka alokasi sumberdaya (alam, manusia, sosial dan buatan) akan terdistribusi secara merata sehingga kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa tujuan luhur pemekaran wilayah seringkali mengalami kesalahan pemaknaan, sehingga tujuan mensejahterakan masyarakat mengalami kemandekan, bahkan cenderung gagal total. Hal ini sebagaimana dijelaskan, Juanda (2008) bahwa tujuan pembentukan daerah otonom baru adalah untuk mensejahterakan masyarakat melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan peningkatan pelayanan publik. Namun pemekaran juga seringkali menimbulkan berbagai permasalahan karena kurang memperhatikan aspek-aspek penting lainnya, seperti aspek sosial, ekonomi, keuangan dan kemampuan bertahan dalam perkembangannnya, sehingga menyebabkan kontra-produktif terhadap otonomi daerah. Pada hakikatnya, pemekaran wilayah harus mengedepankan aspek-aspek normatif yang telah dirumuskan, baik dalam undang-undang itu sendiri maupun peraturan pemerintah tentang syarat-syarat pemekaran wilayah. Namun hal penting yang tidak dapat diabaikan dalam mendorong pemekaran wilayah adalah aspirasi masyarakat menjadi sebuah keharusan untuk turut serta dipertimbangkan sehingga protes dan atau resistensi penolakan warga pasca pemekaran atau penggabungan wilayah yang seringkali menghiasi daerah-daerag pemekaran dapat dihindarkan. Sebab, fakta menunujukkan berbagai protes dan penolakan yang dilakukan oleh warga masyarakat atas ide pemekaran maupun penggabungan wilayah diberbagai daerah akibat dari proses pemekaran wilayah didominasi oleh elite atau kelompok-kelompok tertentu tanpa melibatkan peran serta atau keterlibatan masyarakat secara aktif. Fenomena pemekaran dan penggabungan wilayah yang mengakibatkan penolakan warga masyarakat akibat dari pengabaian aspiarasi masyarakat terjadi di Provinsi Maluku Utara. Kasus ini terjadi pada masyarakat enam desa sengketa yang diperebutkan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara pada saat ini. Penolakan warga masyarakat enam desa atas gagasan pemekaran dan penggabungan wilayah lebih disebabkan aspirasi masyarakat enam desa yang sejak awal menolak untuk menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Malifut dipaksakan oleh pemerintah untuk tetap menjadi bagian dari Kecamatan Malifut yang dibentuk melalui Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1999. Penolakan ini juga didasari oleh berbagai alasan, diantaranya adalah kedekatan emosional, historis dan identitas wilayah. Dimana wilayah enam desa, sebelum keluar PP Nomor 42 Tahun 1999 merupakan bagian wilayah administratif Kecamatan Jailolo, sehingga dari sisi kedekatan emosional dan historis, masyarakat di wilayah enam desa menganggap bahwa daerah ini (baca: enam desa) dibesarkan oleh jailolo sehingga harus tetap menjadi bagian dari Kecamatan Jailolo yang selanjutnya adalah bagian dari wilayah Kabupaten Halmahera Barat. Sebagaimana dijelaskana sebelumnya, bahwa tujuan pembentukan daerah otonom baru adalah peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunanan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban serta peningkatan hubungan yang serasi baik antara pemerintah pusat dan daerah, maupun sesame pemerintah daerah. Namun, harus jujur dikatakan bahwa gagasan luhur pemekaran wilayah sebagaimana diatas, terkadang tercoreng oleh adanya arogansi pemerintah daerah. Hal tersebut, dapat terlihat pada berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pemekaran wilayah, se-misal konflik batas wilayah, penguasaan sumberdaya alam antar sesama pemerintah daerah yang banyak belum terselesaikan. Kelambanan ini dikarenakan lemahnya pengambilan keputusan pada level elite lokal (baca: Gubernur) yang merupakan wakil pemerintah pusat di daerah, juga dikarenakan proses penyelesaian berbagai permasalahan ini lebih dominan menggunakan pendekatan politik, sehingga terdapat pihak yang dikorbankan. Pada aras ini rakyatlah yang kemudian menjadi korban dari ketidak-bijaknya para elite-elite kekuasaan di daerah. Menurut PP nomor 129 tahun 2000 tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah, tujuan pemekaran adalah memaksimalkan pelayanan publik, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mendemokratisasi masyarakat, efisiensi pemerintahan dan dukungan pembangunan potensi ekonomi rakyat. Namun dalam implementasinya, berbagai tujuan mulia tersebut belum tercapai secara maksimal. Hal mana dapat dilihat pada evaluasi penyelenggaraan pemerintahaan di daerah-daerah yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri akhir tahun 2005, yang menjelaskan bahwa, penyelenggaraan pemerintahan daerah-daerah pemekaran belum menunjukkan kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan sebelum pemekaran (Laporan Depdagri, 2006; Dikutip Malia 2009). Kenyataan tersebut selain disebabkan oleh beberapa kendala tekhnis administrasi dan fasilitas pendukung pelayanan yang belum memadai, juga terbatasnya komitmen pimpinan daerah untuk menciptakan sistem dan pelaksanaan pelayanan publik yang transparan, accountable, dan professional. Sebenarnya banyak aspek yang dapat dijadikan dasar dalam penentuan kebijakan pemekaran wilayah, namun sepertinya motivasi kalkulasi secara politik yang seringkali menjadi alasan dominan. Bahkan tak jarang persetujuan terhadap adanya pemekaran wilayah diberikan untuk meredam konflik. Hal lainnya adalah otonomi seringkali menjadi suatu komoditas yang bisa diperdagangkan untuk memberikan kekuasaan pada daerah tertentu. Meskipun tidak semua kasus, namun pada beberapa kasus pemekaran wilayah, memang benar menjadi tuntutan masyarakat akan perlunya otonomi daerah, tetapi tetap saja, pada faktanya kaum elite di daerah yang diuntungkan. Dan implikasi lanjutannya adalah masyarakat tidak pernah menjadi sejahtera serta perkembangan ekonomi wilayahpun menjadi tersendat-sendat (Sayori, 2009)
1PERANAN KEPEMIMPINAN KEPALA SUKU DALAM MENGATASI KONFLIK ANTARA SUKU DANI DAN SUKU DAMAL DI KABUPATEN(Suatu Studi di Mimika Provinsi Papua)OLEH : UNDINUS KOGOYANIM : 090814015ABSTRAK Konflik yang terjadi di antara suku Dani dan suku Damal yang ada di Kabupaten Mimika di mulai sejak pertengahan tahun 2013, yaitu di daerah tambang emas dimana kedua suku ini menjadi tambang Mimika sebagai sumber mata pencaharian, berawal dari salah satu perempuan suku dani di perkosa oleh salah satu anggota suku damal, hal ini tidak dapat diterima oleh suku dani, secara spontan anggota suku dani menyerang suku damal, sehingga terjadilah perang antara suku dani dan suku damal. Kapasitas Pemerintah dalam menyelesaikan konflik antara kedua suku ini hanyalah sampai pada pendekatan persuasif, yaitu mengajak untuk dapat mendiskusikan secara baik, agar tercapai suatu kesepakatan damai, namun upaya pemerintah tersebut sampai dengan saat ini tampaknya belum berhasil, karena kedua suku yang bertikai masih semangat mudah sekali untuk terpancing sehingga perdamaianpun tidak terwujud. Penelitian ini dilakukan di wilayah Mimika yang merupakan salah satu propinsi yang ada di Papua. Karena di wilayah ini sering terjadi konflik antara kedua suku tersebut. Metode penelitan yang dipakai adalah metode deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan berbagai faktor yang menjadi pemicu konflik dan cara serta peran yang dimainkan oleh pemerintah dalam mengatasi konflik tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya konflik antara suku dani dan suku dalam. dan untuk mengetahui penyebab ketidakmampuan kepala suku meredam amarah anggotanya. Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa kepala suku tidak mampu meredam konflik, serta memberikan ketenangan bagi anggota sukunya, sehingga perdamaian sulit untuk di wujudkan. Key word: Kepemimpinan, Kepala Suku, Konflik2Pendahuluan Salah satu harapan dikeluarkannya undang – undang No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, yaitu meletakkan dasar-dasar administrasi Pemerintahan Desa sehingga baik para pemimpin formal (Kepala Desa dan Pamong Desa), maupun para pemimpin informal (Kepala Suku, Pdt / Pastor dan para Tokoh) semakin tahu dan mampu menjadi pelopor dalam masyarakat, terutama dalam fungsi mereka sebagai jembatan yang menghubungkan antara kemauan pemerintah dan kepentingan masyarakat, maupun kepentingan masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Dalam fungsi demikian mereka menjandang beban mencerna dan menerangkan kebijaksanaan – kebijaksanaan umum dan prioritas pembangunan yang dirancang oleh pemerintah kemudian menjelaskannya ke segenap anggota masyarakat. Berhasil tidaknya proses pembuatan keputusan brgantung pada peranan elit formal dan informal dalam keikutsertaan mereka dalam proses pembuatan keputusan tersebut. menurut penulis, kedua elit tersebut sebaiknya berperan dalam proses pembuatan keputusan agar di peroleh hasil keputusan yang tepat. Oleh karena itu pembuatan keputusan itu di lakukan secara cermat dengan memperhatikan langkah-langkah sebagai berikut :1. Dimusyawarahkan lebih dahulu antara elit formal dan informal dengan anggota masyarakat agar keputusan yang diambil mempunyai bobot yang berkualitas serta dapat membentuk kelompok kerja yang sesuai dengan kepentingan desa.2. Keputusan yang diambil harus jelas, tidak bersimbang siur atau bertentangan satu sama lain, dan sedapat mungkin disertai dengan cara-cara pelaksanaannya diformulasikan dalam bentuk kata-kata yang sedarahana, mudah dipahami dan berlaku untuk semua golongan masyarakat desa.3. Keputusan harus diambil dalam waktu secapat mungkin. Terlalu lama mengambil keputusan akan menimbulkan ketegangan – ketegangan masyrakat sehingga menyulitkan penjelesaiannya dikemudian hari dan akan menimbulkan masalah baru.Dalam kehidupan masyarakat, setiap individu memiliki peran sesuai dengan profesionalisme ditempat mana saja ia berada. Bahkan setiap orang diharapkan dapat berperan dalam suatu komunikasi dan setiap orang harus belajar untuk mengisi perannya. Kenyataan yang ada Suku Dani dan Suku Damal, peranan elit informal (Kepala Suku) dalam proses pengambilan keputusan cukup besar, karena pengalaman dari para kepala suku dapat mengerakkan mempengaruhi partisipasi masyarakat yang ada di desa. Partisipasi masyarakat3merupakan modal yang besar dan sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan. Disamping sikap dan motivasi dari para elit informal juga turut mempengaruhi pelaksanaan pembangunan didesa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apabila dugaan ini benar maka kondisi – kondisi tersebut memberikan kontribusi yang besar dalam proses pengambilan keputusan. Konflik yang terjadi diantara Suku Dani dan Suku Damal yang ada di Kabupaten Timika, di mulai sejak Tahun 1997, yaitu didaerah tambang emas dimana kedua suku ini menjadikan Timika sebagai sumber mata pencaharian, berawal dari salah satu perempuan suku Dani di perkosa oleh salah satu anggota suku Damal , hal ini tidak dapat terima oleh suku Dani, secara spontan anggota suku Dani menyerang suku Damal, sehingga terjadinya perang antara suku Dani dan suku Damal. Kapasitas pemerintah dalam menyelesaikan konflik antara kedua suku hanyalah sampai pada pendekatan persuasif, yaitu mengajak untuk dapat mendiskusikan secara baik, agar tercapai suatu kesepakatan damai, namum upaya pemerintah tersebut sampai dengan saat ini tampaknya belum berhasil, karena kedua suku yang bertikai masih sangat mudah sekali untuk terpancing sehingga perdamaianpun tidak terwujud. Kepala suku dalam hal ini sebagai tokoh yang di kagumi, dan di hormati kerana kharisma dan kewibawaannya di mata masyarakat, mempunyai peranan penting untuk menyelesaikan konflik di antara kedua suku ini, karena kepala suku mempunyai kekuasaan untuk memberikan perintah kepada anggotanya agar tidak terjadi peperangan. Namum pada kenyataannya kepala suku yang ada Suku Dani dan Suku Damal, tidak mampu untuk meredam amarah dari masing – masing anggota sukunya, sehingga perang antara kedua sukupun tidak dapat terelakan. Hal ini di picu juga oleh latar belakang dari pada suku – suku yang ada di Kabupaten Timika, yaitu saling bersaing untuk mendapat pengakuan, suku mana terhebat, dan juga mempunyai kebiasaan berperang. Berdasarkan kenyataan yang di uraikan di atas, masalah dalam penelitian ini adalah peranan Kepala Suku dalam mengatai konflik, yaitu antara Suku Dani dan Suku Damal, sehingga tidak terjadi perang. PembahasanTanah Papua merupakan salah satu wilayah di indonesia yang masih menyimpang berbahagai macam permasalahan sosial. Salah satu masalah sosial yang sampai sekarang telah ada dan masih terjadi adalah konflik sosial. Konflik sosial yang terjadi di Tanah Papua sangat beragam dan mencakup semua ini kehidupan, melai dari aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi. Konflik sosialyang terjadi di Tanah Papua pada beberapa tahun belakang ini4juga tidak terlepas dari pokok permasalahan tersebut utamanya adalah konflik sosial yang di picu oleh perbedaan suku, budaya dan golongan atau kelompok, sesuai dengan karakteristik dan dianggapnya sebagai salah satu permasalahan yang dapat merugikan dan mengganggu bahkan melanggar aturan dan norma yang berlaku pada suku-suku yang ada. Masalah persinahan atau perselingkuhan, pembunuhan, kematian tidak wajar, dan rasa dendam yang mendalammerupakan salah satu penyebab perang suku di daerah pedalaman Papua. Di samping itu konflik internal antara suku yang terjadi waktu lampau juga menjadi salah satu factor penyebab perang suku dan kelompok di daerah pedalaman Papua yang dapat menyebabkan kerugian secara fisik maupun materi lainnya. Konflik social yang ada di daerah ini sering di sebut sebagai perang suku atau bahasa dani di sebut wim sedangkan bahasa damal /amungme wem, sebab perang suku yang terjadi adalah antara suku-suku asli Papua yang mendiami daerah tersebut yaitu Suku Dani, Suku Nduga, Suku Delem, Suku Damal/ Amungme, Suku Moni, Suku Wolani, Serta Suku Ekari/ Me, dan Suku-Suku lainnya. Suku- Suku tersebut merupakan Suku – Suku yang mempunyai tradisi perang yang sangat kuat. Perdamaian perang suku yang di lakukan oleh pemda, Lembaga kemasyarakatan dan gereja pada dasarnya memiliki pola pemahaman dan penanganan yang sama. Perang suku di lihat dari suatu tindakan yang negative, sebagai suatu kriminalitas, yang bertentangan hukum-hukum positif maupun hokum-hukum agama. Karena pemahaman semacam ini, perang suku harus dihentikan dan ditiadakan. Dengan pemahaman semacam ini, peran ketiga lembaga di atas tidak lebih dari seorang polisi penjaga, yang melari dan menghentikan pertikaian.Anehnya, sekalipun ketiga Lembaga itu melihat perang sebagai suatu yang negative, tetapi dalam upaya mereka untuk menghentikan dan meniadakan perang suku, ketiganya justru memanfaatkan mekanisme penyelesaian secara adat membayar ganti rugi kepada pihak korban disertai upacara bakar batu. Ketiga lembaga itu percaya bahwa perang suku baru akan berhenti ketika pihak-pihak yang bertikai melakukan pembayaran ganti rugi disertai upacara bakar batu. Pengakuan tergadap nilai-nilai kulturan serta digunakan nilai-nilai tersebut untuk menyelesaikan perang suku, tentu merupakan suatu hal yang sangat penting dan bermanfaat. Terbukti, suatu perang suku baru bisa dihentikan ketika perang pembayaran ganti rugi serta upacara bakar batu dilaksanakan. Akan tetapi pola penanganan semacan ini punya dua kelemahan yang mendasar. Pertama, pola penanganan semacan ini bersifat persial. Artinya, penanganan semacan ini hanya efektif untuk satu kasus. Ketika kasus yang lain muncul maka perang akan muncul kembali. Kelemahan ini sudah terbukti dalam sejarah. Meskipun perdamaian secara adat telah sering dilakukan untuk menghentikan dan mendamaikan pihak-5pihak yang terlihat dalam perang suku, akan tetapi ketika masalah yang baru muncul maka perang kembali terjadi. Kenyataan seperti ini memperlihatkan bahwa upacara bakar batu ganti rugi dan upacara bakar batu ganti rugi bukan suatu bentuk penyelesaiak konflik yang bersifat preventif. Padahal, ketika perang dilihat sebagai sesuatu yang negative di perlukan suatu mekanisme penyelesaian perang suku yang bersifat preventif sehingga perang tidak terus menerus terulang. Kedua, penanganan secara adat justru akan semakin memperkokoh keutamaan kategorisasi (kelompok) social. Padahal kategorisasi social justru menjadi penyebab utama dari berbagai konflik social. Ketika keutamaan dari kategorisasi social ini terus merus dikukuhkan, itu berarti konflik social akan terus terulang. Atau, dengan kata lain ketika nilai-nilai cultural setiap suku yang ada di pedalaman terus menerus di pertahankan dan mendapatkan legalitas secara politik maupun religious maka perang antar suku akan terus menerus terjadi. Bagi peneliti kedua kelemahan itu memunculkan suatu tanya: kenapa pembayaran ganti rugi dan upacara bakar batu yang secara historis tidak mampu menyelesaikan konflik secara permanen dan justru semakin memperkokoh penyebab utama perang suku yaitu keutamaan kategorisasi social terus-menerus dilakukan? adakah berbagai kepentingan yang bermain dibalik perang suku dan upacara bakar batu? Penulis melihat adanya beberapa indicator yang mengarah kepada hal itu, yaitu: 1. Secara ekonomis, perang suku dan upacara bakar batu selalu menghabiskan biaya yang tidak kecil. Setiap terjadi perang, harta benda yang menjadi korban atau dikorbankan tidaklah sedikit dan biaya pembayaran ganti rugi dan upacara pelaksanaan bakar batu bias mencapai Rp 500.jt,.( lima ratus juta) sampai Rp.1.m,- (satu meliar). Kenyataan semacam ini akan berdampak terjadinya kemiskinan di antara masyarakat Papua. Akibat lebih lanjut dari kemiskinan ini ialah masyarakat papua akan kesulitan dalam mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki sehingga citra sebagai "masyarakat termiskin" di Indonesia terus dipertahankan.2. Aspek ekonomis itu pada gilirannya juga berdampak secara politis. Ada dua dampak politis yang bias dilihat.a). jika citra sebagai masyarakat termiskin bisa dipertahankan dalam jangka waktu yang semakin lama, maka akan memunculkan sebuah citra baru bagi masyarakat Papua, yaitu citra sebagai masyarakat yang tergantung pada pihak lain. Jika persoalan ini dikaitkan dengan persoalan politik yang terus bergejolak di Papua, akan menjadi alat yang akan meredam keinginan sebagian masyarakat Papua untuk merdeka. Bagaimana mereka bisa merdeka, jika hidup mereka masih sangat tergantung6pada pihak lain? b). Masih dalam kaitannya dengan pergolakan politik di Papua, perang antar suku juga akan semakin menyulitkan keinginan sebagian masyarakat Papua untuk merdeka. Bagaimana mereka bisa merdeka, ketika pikiran, tenaga dan sumber-sumber ekonomi yang mereka miliki senantiasa dipusatkan untuk berperang dan mengatasinya? 4. Hak Asasi Manusia. Setiap terjadi perang, satu-persatu masyarakat Papua meninggal dunia sebagai korban perang. Jika perang terus menerus terjadi, pelan tapi pasti Ras Melanesia di Papua akan hilang akibat konflik di antara mereka sendiri. Jika persoalan seperti ini dikaitkan dengan persoalan diseputar penyakit AIDS yang banyak diderita oleh masyarakat Papua, maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah ada kepentingan genocide dibalik perang suku ?siapakah pihak-pihak yang berkepentingan dengan itu? 5. Ketika, Pemerintah Daerah, Lembaga Kemasyarakatan Adat dan juga gereja terus mengupayakan penyelesaian secara adat, maka pertanyaan yang pantas diajukan kepada ketiga lembaga itu adalah apakah ketiga lembaga itu berkepentingan dengan berbagai citra yang muncul akibat adanya perang suku ? apakah mereka turut bermain di situ ? lalu apa kepentingan mereka itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah tugas bangsa papua yang cinta tanah Papua .pertanyaan-pertanyaan ini sebagai catatan kritis penulis bagi proses penanganan perang suku yang dilakukan oleh ketiga lembaga tadi.Menurut peneliti, penanganan perang suku yang dilakukan secara adat terbukti tidak mampu mengatasi perang suku secara permanen.Penanganan yang hanya mengedepankan persoalan cultural itu justru semakin mengukuhkan penyebab utama konflik, yaitu kategorisasi sosial.Oleh karena itu perlu diusahakan suatu bentuk penanganan konflik yang baru. Sebuah pertanyaan yang pantas dikedepankan dalam upaya mencari solusi terbaik bagi perang suku adalah ketika nilai-nilai kesukuan menjadi penyebab utama dari perang suku, apakah nilai-nilai kesukuan harus dihilangkan? Jawaban akan hal ini tentu bukan hal yang mudah. Sebab ketika nilai-nilai kesukuan dihilangkan, akan beresiko terjadinya ketercerabutan kultural. Untuk mengatasi hal ini, sumbangan teori identitas sosial dalam menangani konflik sosial akan sangat berguna, utamanya proposalnya tentang dekategorisasi dan rekategorisasi. Melalui dekategorisasi, keterikatan individu dengan kelompoknya dieliminir sedemikian rupa sehingga hubungan antar individu semakin dipersonalkan.Sehingga ketika berinteraksi, setiap inidividu tidak mewakili kelompoknya, tetapi sebagai seorang individu-individu yang unik. Pun demikian dalam hal cara pandang individu terhadap yang lain. Karena individu bukan wakil suatu kelompok, maka ketika7terjadi konflik antar individu, kelompok tidak turut terlibat dalam konflik. Dekategorisasi akan mempersempit wilayah konflik sehingga terbatas pada konflik antar individu. Pada titik ini, penyelesaian konflik antar individu yang bisa memuaskan kedua belah pihak perlu dipikirkan.Sejarah perang suku dalam sepuluh tahun terakhir memperlihatkan bahwa semula perang suku terjadi karena konflik antar individu.Pihak-pihak yang terlibat konflik tidak puas dengan penyelesaian berdasarkan hukum positif.Sebab, disamping rendahnya kesadaran mereka terhadap hukum positif, mereka juga melihat bahwa hukum positif tidak mampu menggantikan sesuatu yang hilang akibat dari suatu kasus, yaitu persoalan harga diri.Sebagai ganti, mereka lebih menyukai penyelesaian berdasarkan hukum-hukum adat.Berdasarkan pada hal ini, nilai-nilai kultural suku-suku yang ada di papua perlu dipikirkan sebagai salah satu acuan hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus yang bisa memicu lahirnya perang suku. Jalan untuk memanfaatkan nilai-nilai kultural sebenarnya sudah terbuka lebar. Sebab pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU no. 21 tahun 2001, bab XIV tentang kekuasaan peradilan. UU tersebut mengatakan bahwa "peradilan adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan."Dan ayat 2 dikatakan "pengadilan adat di susun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan." Mencermati isi dari ketentuan-ketentuan tersebut, akan sangat bijak ketika sebuah institusi peradilan adat yang eksistensi dan otoritasnya diakui oleh semua kelompok suku yang ada dibangun. Suku-suku di pedalaman Papua pada dasarnya patuh pada hukum, sepanjang hukum itu memang berpihak kepada kepentingan orang banyak, diwadahi dalam, satu sistem yang profesional dan bebas dari intervensi pihak manapun, dan para penegaknya dapat menjadi suri teladan bagi masyarakat suku. Keadaan yang disebut di atas ini merupakan salah satu modal dasar yang ampuh dalam rangka mencari kesejahtraan rakyat Papua. Di dalam hukum adat maupun hukum positif di Papua khusunya, supremasi hukum itu sendiri harus ditegakan juga agar terlihat secara nyata dalam penanganan perang.Hal ini penting mengingat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai adat masih sangat tinggi dibanding dengan kepercayaan mereka terhadap hukum positif.Dekategorisasi sebenarnya merupakan suatu usaha untuk membentuk suatu budaya baru yang lebih menonjolkan sisi individualitas manusia daripada komunalitasnya. Harus jujur diakui bahwa masalah diseputar budaya individualitas dan komunalitas merupakan8persoalan yang cukup pelik dan menjadi debat yang berkepanjangan, bukan saja bagi para teoritisi tetapi juga para praktisi budaya. Tanpa bermaksud terlibat dalam debat tersebut, untuk kepentingan tulisan ini cukup dikatakan bahwa dalam konteks masyarakat Papua, komunalitas yang berpusat pada ikatan-ikatan kesukuan telah menjadi persoalan serius dan berulang kali memicu lahirnya perang suku. Oleh karena itu komunalitas tersebut perlu dieliminir dengan menonjolkan sisi individualitas. Membentuk suatu budaya baru yang menonjolkan sisi individualitas, bukan suatu usaha yang mudah.Pekerjaan semacam itu membutuhkan waktu yang cukup lama dan berkesinambungan.Ia memerlukan proses sosialisasi baik formal maupun non formal. Sadar dengan kenyataan semacam ini, dunia pendidikan di Papua akan mempunyai peran yang sangat penting dalam usaha menciptakan suatu budaya baru yang bisa mengeliminir sisi komunalitas suku-suku yang ada di sana. Dunia pendidikan perlu merancang suatu kurikulum pendidikan yang sesuai untuk tujuan tersebut. Bersamaan dengan proses dekategorisasi dan pembangunan institusi hukum adat, proses rekategorisasi perlu dibangun. Dengan rekategorisasi berbagai kelompok suku yang ada disatukan dalam suatu kelompok yang lebih besar dengan identitas bersama yang baru. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam proses rekategorisasi. Pertama, rekategorisasi dimaksudkan untuk mencari alternative bagi nilai-nilai yang hilang akibat proses dekategorisasi, yaitu terkikisnya ikatan-ikatan komunalitas lama dengan menciptakan ikatan-ikatan komunalitas yang baru. Khusus "perang suku" di Mimika, sumber konflik Dani-Amungme juga harus dipahami. Amungme, selain orang Kamoro, adalah tuan tanah di Mimika. Orang Dani (dan suku-suku pegunungan lain seperti Mee, Nduga, dll.) adalah pendatang yang pelan-pelan mengokupasi tanah dan lahan Amungme.Jumlah orang Dani terus membesar melebihi Amungme.Dalam banyak hal Amungme selalu merasa terteror dengan tingkah laku mereka."Perang suku" antara mereka sudah pecah sejak paruh kedua 1990-an.Sumber konflik antara mereka tidak hanya yang tradisional seperti perempuan, babi, perzinahan atau lainnya, tapi juga soal dana bantuan Freeport, pemekaran, Otsus, politik Papua Merdeka, atau bahkan pilkada. Itu artinya pihak luar seperti Freeport, pihak aparat keamanan, dan pemain pendatang sangat mungkin ikut berperan. Harus diakui tradisi kekerasan dalam bentuk "perang suku" ada di mana-mana di tanah Papua. Dokumen VOC Belanda di abad ke 17 menunjukkan orang-orang di sekitar Fakfak (dulu Onin), Kaimana (dulu Kobiai), Raja Ampat, Biak, dan lain-lain sudah punya tradisi "perang suku" dan bahkan9menjual tawanan perangnya sebagai budak di pasar Seram Timur. Tapi "perang suku" di daerah-daerah pantai ini sudah berhenti berkat pengaruh luar, sebagian oleh masuknya Islam dari Maluku, kemudian pasifikasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda, dan sivilisasi oleh kalangan zending dan missionaris sekitar awal abad ke 20. Pengaruh luar datang lebih lambat di daerah pedalaman dan pegunungan.Baru setelah Perang Dunia II umumnya Gereja dan pemerintah Kolonial Belanda masuk. Persebaran suku-suku yang sangat luas dan sulit dijangkau, membuat banyak komunitas suku tidak tersentuh pengaruh pemerintahan modern atau pun Gereja. Yang sudah tersentuh Gereja atau Pemerintah pun masih berkeras melanjutkan "perang suku".Dani, Damal, dan Amungme adalah suku-suku yang sudah mengenal Gereja dan pemerintahan modern sejak 1950-an. Di Wamena sendiri, tempat asal kebanyakan suku Dani, perdamaian kolosal pernah terjadi pada 1993.Sejak itu pihak-pihak yang bertikai tidak pernah berperang lagi di Wamena. Tapi di daerah pegunungan lain kita masih sering mendengar berita "perang suku". Bagi peneliti kedua kelemahan itu memunculkan suatu tanya: kenapa pembayaran ganti rugi dan upacara bakar batu yang secara historis tidak mampu menyelesaikan konflik secara permanen dan justru semakin memperkokoh penyebab utama perang suku yaitu keutamaan kategorisasi social terus-menerus dilakukan? adakah berbagai kepentingan yang bermain dibalik perang suku dan upacara bakar batu? Penulis melihat adanya beberapa indicator yang mengarah kepada hal itu, yaitu: 1. Secara ekonomis, perang suku dan upacara bakar batu selalu menghabiskan biaya yang tidak kecil. Setiap terjadi perang, harta benda yang menjadi korban atau dikorbankan tidaklah sedikit dan biaya pembayaran ganti rugi dan upacara pelaksanaan bakar batu bias mencapai Rp 500.jt,.( lima ratus juta) sampai Rp.1.m,- (satu meliar). Kenyataan semacam ini akan berdampak terjadinya kemiskinan di antara masyarakat Papua. Akibat lebih lanjut dari kemiskinan ini ialah masyarakat papua akan kesulitan dalam mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki sehingga citra sebagai "masyarakat termiskin" di Indonesia terus dipertahankan.2. Aspek ekonomis itu pada gilirannya juga berdampak secara politis. Ada dua dampak politis yang bias dilihat.a). jika citra sebagai masyarakat termiskin bisa dipertahankan dalam jangka waktu yang semakin lama, maka akan memunculkan sebuah citra baru bagi masyarakat Papua, yaitu citra sebagai masyarakat yang tergantung pada pihak lain. Jika persoalan ini dikaitkan dengan persoalan politik yang terus bergejolak di Papua, akan menjadi alat yang akan meredam keinginan sebagian masyarakat Papua untuk10merdeka. Bagaimana mereka bisa merdeka, jika hidup mereka masih sangat tergantung pada pihak lain? b). Masih dalam kaitannya dengan pergolakan politik di Papua, perang antar suku juga akan semakin menyulitkan keinginan sebagian masyarakat Papua untuk merdeka. Bagaimana mereka bisa merdeka, ketika pikiran, tenaga dan sumber-sumber ekonomi yang mereka miliki senantiasa dipusatkan untuk berperang dan mengatasinya? 4. Hak Asasi Manusia. Setiap terjadi perang, satu-persatu masyarakat Papua meninggal dunia sebagai korban perang. Jika perang terus menerus terjadi, pelan tapi pasti Ras Melanesia di Papua akan hilang akibat konflik di antara mereka sendiri. Jika persoalan seperti ini dikaitkan dengan persoalan diseputar penyakit AIDS yang banyak diderita oleh masyarakat Papua, maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah ada kepentingan genocide dibalik perang suku ?siapakah pihak-pihak yang berkepentingan dengan itu? 5. Ketika, Pemerintah Daerah, Lembaga Kemasyarakatan Adat dan juga gereja terus mengupayakan penyelesaian secara adat, maka pertanyaan yang pantas diajukan kepada ketiga lembaga itu adalah apakah ketiga lembaga itu berkepentingan dengan berbagai citra yang muncul akibat adanya perang suku ? apakah mereka turut bermain di situ ? lalu apa kepentingan mereka itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah tugas bangsa papua yang cinta tanah Papua .pertanyaan-pertanyaan ini sebagai catatan kritis penulis bagi proses penanganan perang suku yang dilakukan oleh ketiga lembaga tadi.Menurut peneliti, penanganan perang suku yang dilakukan secara adat terbukti tidak mampu mengatasi perang suku secara permanen.Penanganan yang hanya mengedepankan persoalan cultural itu justru semakin mengukuhkan penyebab utama konflik, yaitu kategorisasi sosial.Oleh karena itu perlu diusahakan suatu bentuk penanganan konflik yang baru. Sebuah pertanyaan yang pantas dikedepankan dalam upaya mencari solusi terbaik bagi perang suku adalah ketika nilai-nilai kesukuan menjadi penyebab utama dari perang suku, apakah nilai-nilai kesukuan harus dihilangkan? Jawaban akan hal ini tentu bukan hal yang mudah. Sebab ketika nilai-nilai kesukuan dihilangkan, akan beresiko terjadinya ketercerabutan kultural. Untuk mengatasi hal ini, sumbangan teori identitas sosial dalam menangani konflik sosial akan sangat berguna, utamanya proposalnya tentang dekategorisasi dan rekategorisasi. Melalui dekategorisasi, keterikatan individu dengan kelompoknya dieliminir sedemikian rupa sehingga hubungan antar individu semakin dipersonalkan.Sehingga ketika berinteraksi, setiap inidividu tidak mewakili kelompoknya,11tetapi sebagai seorang individu-individu yang unik. Pun demikian dalam hal cara pandang individu terhadap yang lain. Karena individu bukan wakil suatu kelompok, maka ketika terjadi konflik antar individu, kelompok tidak turut terlibat dalam konflik. Dekategorisasi akan mempersempit wilayah konflik sehingga terbatas pada konflik antar individu. Pada titik ini, penyelesaian konflik antar individu yang bisa memuaskan kedua belah pihak perlu dipikirkan.Sejarah perang suku dalam sepuluh tahun terakhir memperlihatkan bahwa semula perang suku terjadi karena konflik antar individu.Pihak-pihak yang terlibat konflik tidak puas dengan penyelesaian berdasarkan hukum positif.Sebab, disamping rendahnya kesadaran mereka terhadap hukum positif, mereka juga melihat bahwa hukum positif tidak mampu menggantikan sesuatu yang hilang akibat dari suatu kasus, yaitu persoalan harga diri.Sebagai ganti, mereka lebih menyukai penyelesaian berdasarkan hukum-hukum adat.Berdasarkan pada hal ini, nilai-nilai kultural suku-suku yang ada di papua perlu dipikirkan sebagai salah satu acuan hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus yang bisa memicu lahirnya perang suku. Jalan untuk memanfaatkan nilai-nilai kultural sebenarnya sudah terbuka lebar. Sebab pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU no. 21 tahun 2001, bab XIV tentang kekuasaan peradilan. UU tersebut mengatakan bahwa "peradilan adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan."Dan ayat 2 dikatakan "pengadilan adat di susun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan." Mencermati isi dari ketentuan-ketentuan tersebut, akan sangat bijak ketika sebuah institusi peradilan adat yang eksistensi dan otoritasnya diakui oleh semua kelompok suku yang ada dibangun. Suku-suku di pedalaman Papua pada dasarnya patuh pada hukum, sepanjang hukum itu memang berpihak kepada kepentingan orang banyak, diwadahi dalam, satu sistem yang profesional dan bebas dari intervensi pihak manapun, dan para penegaknya dapat menjadi suri teladan bagi masyarakat suku. Keadaan yang disebut di atas ini merupakan salah satu modal dasar yang ampuh dalam rangka mencari kesejahtraan rakyat Papua. Di dalam hukum adat maupun hukum positif di Papua khusunya, supremasi hukum itu sendiri harus ditegakan juga agar terlihat secara nyata dalam penanganan perang.Hal ini penting mengingat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai adat masih sangat tinggi dibanding dengan kepercayaan mereka terhadap hukum positif.Dekategorisasi sebenarnya merupakan suatu usaha untuk membentuk suatu budaya baru yang lebih menonjolkan sisi individualitas manusia daripada komunalitasnya. Harus12jujur diakui bahwa masalah diseputar budaya individualitas dan komunalitas merupakan persoalan yang cukup pelik dan menjadi debat yang berkepanjangan, bukan saja bagi para teoritisi tetapi juga para praktisi budaya. Tanpa bermaksud terlibat dalam debat tersebut, untuk kepentingan tulisan ini cukup dikatakan bahwa dalam konteks masyarakat Papua, komunalitas yang berpusat pada ikatan-ikatan kesukuan telah menjadi persoalan serius dan berulang kali memicu lahirnya perang suku. Oleh karena itu komunalitas tersebut perlu dieliminir dengan menonjolkan sisi individualitas. Membentuk suatu budaya baru yang menonjolkan sisi individualitas, bukan suatu usaha yang mudah.Pekerjaan semacam itu membutuhkan waktu yang cukup lama dan berkesinambungan.Ia memerlukan proses sosialisasi baik formal maupun non formal. Sadar dengan kenyataan semacam ini, dunia pendidikan di Papua akan mempunyai peran yang sangat penting dalam usaha menciptakan suatu budaya baru yang bisa mengeliminir sisi komunalitas suku-suku yang ada di sana. Dunia pendidikan perlu merancang suatu kurikulum pendidikan yang sesuai untuk tujuan tersebut. Bersamaan dengan proses dekategorisasi dan pembangunan institusi hukum adat, proses rekategorisasi perlu dibangun. Dengan rekategorisasi berbagai kelompok suku yang ada disatukan dalam suatu kelompok yang lebih besar dengan identitas bersama yang baru. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam proses rekategorisasi. Pertama, rekategorisasi dimaksudkan untuk mencari alternative bagi nilai-nilai yang hilang akibat proses dekategorisasi, yaitu terkikisnya ikatan-ikatan komunalitas lama dengan menciptakan ikatan-ikatan komunalitas yang baru. Khusus "perang suku" di Mimika, sumber konflik Dani-Amungme juga harus dipahami. Amungme, selain orang Kamoro, adalah tuan tanah di Mimika. Orang Dani (dan suku-suku pegunungan lain seperti Mee, Nduga, dll.) adalah pendatang yang pelan-pelan mengokupasi tanah dan lahan Amungme.Jumlah orang Dani terus membesar melebihi Amungme.Dalam banyak hal Amungme selalu merasa terteror dengan tingkah laku mereka."Perang suku" antara mereka sudah pecah sejak paruh kedua 1990-an.Sumber konflik antara mereka tidak hanya yang tradisional seperti perempuan, babi, perzinahan atau lainnya, tapi juga soal dana bantuan Freeport, pemekaran, Otsus, politik Papua Merdeka, atau bahkan pilkada. Itu artinya pihak luar seperti Freeport, pihak aparat keamanan, dan pemain pendatang sangat mungkin ikut berperan. Harus diakui tradisi kekerasan dalam bentuk "perang suku" ada di mana-mana di tanah Papua. Dokumen VOC Belanda di abad ke 17 menunjukkan orang-orang di sekitar Fakfak (dulu Onin), Kaimana (dulu Kobiai), Raja Ampat, Biak, dan lain-lain sudah punya tradisi "perang suku" dan bahkan13menjual tawanan perangnya sebagai budak di pasar Seram Timur. Tapi "perang suku" di daerah-daerah pantai ini sudah berhenti berkat pengaruh luar, sebagian oleh masuknya Islam dari Maluku, kemudian pasifikasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda, dan sivilisasi oleh kalangan zending dan missionaris sekitar awal abad ke 20. Pengaruh luar datang lebih lambat di daerah pedalaman dan pegunungan.Baru setelah Perang Dunia II umumnya Gereja dan pemerintah Kolonial Belanda masuk. Persebaran suku-suku yang sangat luas dan sulit dijangkau, membuat banyak komunitas suku tidak tersentuh pengaruh pemerintahan modern atau pun Gereja. Yang sudah tersentuh Gereja atau Pemerintah pun masih berkeras melanjutkan "perang suku".Dani, Damal, dan Amungme adalah suku-suku yang sudah mengenal Gereja dan pemerintahan modern sejak 1950-an. Di Wamena sendiri, tempat asal kebanyakan suku Dani, perdamaian kolosal pernah terjadi pada 1993.Sejak itu pihak-pihak yang bertikai tidak pernah berperang lagi di Wamena. Tapi di daerah pegunungan lain kita masih sering mendengar berita "perang suku". KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian pada bagian terdahulu, penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:1. Kepala suku sebagai pemimpin informal melakukan perannya sesuai dengan tradisi, adat, budaya yang lahir tumbuh dan berkembang di tanah Papua dari nenek moyang mereka, dimana sudah menjadi suatu kewajiban untuk tetap mempertahankan kehormatan suku yang dipimpinnya, sehingga berperang merupakan suatu kehormatan untuk mencapai kemenangan demi mempertahankan martabat suku yang dipimpinnya. Kekalahan yang menimpa salah satu suku menjadi suatu hinaan bagi kepala sukunya, sehingga kepala suku akan terus mencari cara keluar dari hinaan tersebut, dan terus menyemangati para anggota sukunya untuk tetap semangat meraih kembali kehormatan yang hilang karena kekalahan dalam berperang.2. Kepemimpinan kepala suku dalam mengatasi konflik bukanlah menjadi solusi yang tepat, karena kepala suku tidak akan dapat meredam konflik masing-masing anggota sukunya.3. Konflik yang terjadi di Timika antara suku Dani dan Damal, tidak bisa hanya diselesaikan dengan menggunakan hukum positif yang berlaku, begitu pula dengan pendekatan secara keagamaan, karena sebelum agama masuk ke tanah papua, tradisi berperang antar suku ini sudah menjadi budaya.14SARAN1. Pemerintah harus mampu lebih kritis lagi mencari tahu penyebab konflik ini, bukan hanya sekedar mencari pemicunya, apabila hal ini merupakan suatu tradisi budaya, hal-hal yang lebih konkrit dan kompleks harus lebih dikedepankan, seperti mengundang antar suku yang bertikai, tokoh adat, dan tokoh agama.2. Dalam menyelesaikan konflik ini, pemerintah harus mencari orang tengah, bukan hanya sekedar mencari pemimpin sukunya, yang biasanya berperan memimpin perang suku, jumlahnya bisa lebih dari satu.3. Carilah dahulu "orang belakang" karena orang inilah yang memiliki otoritas ritual perang dan perdamaian. "Tuan perang" dan "orang belakang" biasanya tersembunyi dan dilindungi15DAFTAR PUSTAKA Adisasmita, Rahardjo. 2006. Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan, Yogyakarta, Graha Ilmu Bintarto R, Buku Penuntun Geografi Sosial, Yogyakarta, UP.Spring, 1969, hal. 95. Bartle, Phill, 2002. Participatory Method of Measuring Empowerment.Modul Pelatihan Pemberdayaan. Daldjoeni, N dan A. Suyitno. 2004. Pedesaan, Lingkungan dan Pembangunan. Bandung: PT. Alumni Dahl, Robert,1983.Democracy and Its Critics.New Haven Conn: Yale University Press. Friedmann, John. 1992. Empowerment: The Politics of Alternative Development. Chambridge: Blackwell Publishers. Hulme, David & M. Turner, 1990.Sociology of Development: Theories, Policies and Practices. Hertfordshire: Harvester Whearsheaf. Kartasasmita, Ginandjar. 1997. Administrasi Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Momon Soetisna Sendjaja, Sjachran Basan,1983,Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Pemerintahan Desa, Bandung, Alumni. Paul, Samuel, 1987. Community Participation in Development Projects-The World Bank Experience.Washington DC: The World Bank. Soetrisno, Loekman, 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.Sri Sudaryatmi, Sukirno,TH. Sri Kartini, Beberapa Aspek Hukum Adat, Badan Penerbit Undip, Semarang. Sugiyono, 2007, Memahami Penelitian Kualitatif.Alfabeta; Bandung. Suharto, Edi. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran. Bandung : Lembaga Studi Pembangunan STKS (LSPSTKS). Suharto, Edi. 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung : PT. Refika Aditama. Sulistiyani, Ambar Teguh, 2004. Kemitraan dan Modul-modul Pemberdayaan. Yogyakarta: Gava Media. Tampubolon, Mangatas. 2006. Pendidikan Pola Pemberdayaan Masyarakat Dan Pemberdayaan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Sesuai Tuntutan Otonomi Daerah. Trijono, Lambang. 2007. Pembangunan Sebagai Perdamaian : Rekonstruksi Indonesia Pasca-Konflik. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
ABSTRACTThis thesis role of local governments in preventing horizontal conflicts in oil palm plantations (study in Ketapang district). From the results of this thesis can be concluded that the horizontal conflicts of oil palm plantations that occurred in the district ketapan between plantation companies and Sawit with communities around the area of plantation due to changes in socio-economic structure of society from the system of shifting the traditional top natural richness to the capitalist system through the core pattern and plasma , resulting in a grouping of people on the structure of resources, including the group that has the power of economic resources and social groups that have the resources. Management of oil palm plantations are moving away from efforts to the welfare of society, giving birth to an open conflict over land due to take land offer palm of one enterprising other companies that ignore the interests of the local community or their deviation business activities of oil palm plantations in conjunction occupying land without permission are entitled. That the factors that led to the conflict Horizontal Oil palm plantation in Ketapang district is demanding public land compensation to companies that have not been completed, the Agreement a partnership between the people and companies that are considered denied one of the parties, public land into the concession area of the company, and rejection in general on the company's operations around the township mereka.Bahwa efforts should local governments in preventing and resolving conflicts horizontal oil palm plantations in the ketapang district government must renew a policy of conflict resolution by creating an independent institution at national level and regions accompanied by a mechanism and operational procedures for conflict resolution. The government gave room for voluntary mediator institutions to engage in conflict resolution both in the national and regional level. The government should immediately conduct identfifikasi and mapping of forests and communal land that can dipedomi the parties to the conflict resolution based on customary rights claim. Between the National Land Agency and the Ministry of Forestry must have an understanding in translating the issuing authority's title in forest areas to third parties, so that in case of conflict resolution through mediation, the agreement can no longer be countered by reason of the authority. Important determined that the public conflict with the company already operating, it must be enforced pause operations while the company during the process of conflict resolution performed. Conflict Natural resources must be seen as something extraordinary (extraordinary), because it could have an impact on broader dimensions such as SARA2conflict, the cancellation of inward investment, even causing loss of lives yangmengarah on the violation of Human Rights (HAM). Menggiat people's awareness of the rights of the land as a dialectical force of state power. This movement can be done through awareness actions with the assistance of social activists (NGO) which has also been a lot of help, including resuscitation and advocacy. The plantation company is expected to abide by the principles of the RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) wherein perusahana must care for indigenous peoples and does not conflict with the public. Companies that conflict with the public is no longer used as a shield for the police action against the people's demands, but could finish wisely all that concerns society and government.ABSTRAKTesis ini peran pemerintah daerah dalam mencegah terjadinya konflik horizontal dalam usaha perkebunan kelapa sawit (studi di kabupaten ketapang). Dari hasil penelitian tesis ini diperoleh kesimpulan bahwa konflik horizontal perkebunan kelapa sawit yang terjadi di kabupaten ketapang antara perusahaan perkebunan Sawit dengan masyarakat sekitar areal perkebuanan disebabkan perubahan struktur sosial-ekonomi masyarakat dari sistem peladangan tradisional atas potensi kekayaan alam ke sistem kapitalis melalui pola inti dan plasma, sehingga terjadi pengelompokan masyarakat atas struktur sumberdaya, meliputi kelompok yang memiliki kekuasaan sumberdaya ekonomi dan kelompok yang memiliki sumberdaya sosial. Pengelolaan perkebunan sawit yang bergerak jauh dari upaya mensejahterakan masyarakat, melahirkan konflik terbuka perebutan lahan akibat take offer lahan sawit dari perusahaan satu keperusahaan yang lain yang mengabaikan kepentingan masyarakat setempat atau adanya penyimpangan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit dalam hubungannya menduduki tanah tanpa izin yang berhak. Bahwa faktor-faktor yang memicu terjadinya konflik Horizontal Perkebunan kelapa sawit di kabupaten Ketapang adalah masyarakat menuntut ganti rugi lahan kepada perusahaan yang belum selesai, Perjanjian pola kemitraan antara masyarakat dan perusahaan yang dinilai diingkari salah satu pihak,lahan masyarakat masuk ke dalam area konsesi perusahaan, dan penolakan secara umum atas operasi perusahaan di sekitar perkampungan mereka.Bahwa upaya-upaya yang seharusnya dilakukan pemerintah daerah dalam mencegah dan menyelesaikan terjadinya konflik horizontal perkebunan kepala sawit di kabupaten ketapang adalah pemerintah harus memperbaruhi kebijakan penyelesaian konflik dengan cara membuat kelembagaan independen di level nasional dan daerah yang disertai dengan mekanisme dan prosedur operasional penyelesaian konflik. Pemerintah memberi ruang bagi lembaga-lembaga mediator sukarela untuk terlibat dalam penyelesaian konflik baik di level nasional maupun daerah. Pemerintah harus segera melakukan identfifikasi dan pemetaan terhadap keberadaan hutan dan tanah ulayat sehingga dapat dipedomi para pihak dalam penyelesaian konflik yang didasari atas klaim hak ulayat. Antara Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Kehutanan harus memiliki kesepahaman dalam menterjemahkan kewenangan penerbitan alas hak dalam kawasan hutan kepada pihak ketiga, sehingga jika terjadi penyelesaian konflik melalui mediasi maka kesepakatan tidak lagi dapat dimentahkan karena alasan kewenangan. Penting ditetapkan bahwa terhadap konflik masyarakat dengan perusahaan yang sudah beroperasi, maka harus diberlakukan jeda operasi sementara perusahaan selama proses penyelesaian konflik dilakukan.Konflik Sumber daya alam harus dipandang sebagai sesuatu yang luar biasa (extraordinary), karena bisa menimbulkan dampak pada dimensi yang lebih luas seperti konflik SARA, batalnya investasi masuk, bahkan menyebabkan jatuhnya korban nyawa yangmengarah pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).3Menggiat penyadaran rakyat atas hak-hak tanah sebagai kekuatan dialektis terhadap kekuasaan negara. Gerakan ini dapat dilakukan melalui tindakan penyadaran dengan pendampingan para aktivis sosial (LSM) yang selama ini juga sudah banyak membantu, termasuk tindakan penyadaran dan advokasi. Pihak perusahaan perkebunan diharapkan dapat mematuhi prinsip RSPO (Rountable Sustainable Palm Oil) dimana perusahana harus peduli terhadap masyarakat adat dan tidak berkonflik dengan masyarakat. Perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat tidak lagi menggunakan aparat kepolisian sebagai tameng untuk menghadapi aksi tuntutan masyarakat, tetapi dapat menyelesaikan dengan bijak segala yang menjadi perhatian masyarakat maupun pemerintah.Kata Kunci: Peran, Pemerintah Daerah, warta, berita, harian regional, Mencegah, Konflik Horizontal, Perkebunan Kelapa Sawit
Pembaharuan hukum pidana di Indonesia merupakan masalah yang penting dan mendesak, karena hukum pidana sebagai dilema bagi manusia dan didalamnya terkandung berbagai aspek kehidupan masyarakat yang sebenarnya sudah merdeka. Disatu sisi hukum pidana merupakan senjata untuk melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan, pada sisi lain dapat menjadi ancaman bagi hak asasi manusia yang seharusnya dilindungi oleh hukum pidana tersebut. Ancaman yang berupa perampasan kebebasan manusia baik untuk sementara maupun untuk selama-lamanya, bahkan dapat merampas jiwa atau hak hidup manusia. Untuk diperlukan kehati-hatian yang mendalam dalam merumuskan bentuk-bentuk pidana dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia sesungguhnya sudah dimulai sejak kemerdekaan tercapai, hal itu tidak dapat dilepaskan dari tujuan yang ingin dicapai seperti yang telah dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945. Adapun tujuan yang telah ditetapkan dalam pembukaan tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum yang berdasarkan Pancasila. Inilah dasar kebijaksanaan umum yang menjadi tujuan dari politik hukum di Indonesia. Hal itu juga melandasi politik criminal sebagai bagian dari politik sosial (social politic). Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh G. Peter Hoefnagels bahwa : "Criminal policy as a science of policy is part of a larger policy…. jadi sebenarnya politik criminal dalam penanggulangan kejahatan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kebijakan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional terutama pembangunan bidang hukum". Dalam rangka pembangunan hukum pidana nasional, yang perlu mendapat perhatian yang cukup adalah pembaharuan dibidang pemidanaan yaitu mengenai jenis pidana penjara. Mengapa dikatakan perlu mendapat perhatian yang cukup, disini setidaknya ada dua alasan utama tentang perlunya renovasi dalam penerapan pidana penjara. Yang pertama adalah alasan tradisi bahwa negara baru harus mempunyai pola dan bentuk pidana yang sesuai dengan situasi sosial budaya masyarakatnya. Alasan ini merupakan dalil yang tidak bisa dibantah ataupun didiskusikan. Sedangkan alasan yang kedua adalah berkaitan dengan trend pemidanaan dewasa ini yang cenderung pada sifat humanistis. Pidana penjara sebagai sarana represi dewasa ini posisinya cenderung mengalami degradasi, karena mendpat banyak tantangan dan tekanan dari berbagai gerakan yang muncul akhir-akhir ini terutama di Eropa dan Amerika. Pidana penjara yang dahulu dikenal sangat handal dalam menangkal kejahatan, sekarang mulai pudar pamornya, justru karena akibat-akibat yang ditimbulkan malahan mencetak penjahat-penjahat baru dan lebih berbahaya. Selain itu pidana penjara juga menunjukkan kelemahan-kelemahan yang bertentangan dengan iujuan yaitu dehumanisasi maupun desosialisasi yang dialami mantan narapidana. Banyak kritik dan sorotan keras ditunjukkan terhadap penggunaan pidana penjara, terutama dari segi efektifitas dan akibat-akibat negative yang ditimbulkannya. Kritik tersebut tidak hanya ditunjukkan terhadap pengenaan pidana penjara berdasarkan pandangan retributive yang tradisional yang bersifat penderitaan, tetapi juga ditujukan terhadap pandangan modern yang lebih bersifat humanistis. Sorotan keras dalam pidana penjara tidak hanya diberikan oleh pakar-pakar individu tetapi juga oleh lembaga-lembaga internasional. Laporan Kongres PBB kelima tahun 1975 mengenai Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelaku Kejahatan menyatakan, bahwa dibanyak negara terdapat krisis kepercayaan terhadap efektifitas pidana penjara, dan ada kecenderungan untuk mengabaikan kemampuan lembaga-lembaga kepenjaraan dalam menunjang usaha pengendalian kejahatan. (UN. Report, 1975:32 no 265). Dalam perkembangan selanjutnya muncul gerakan abolisionis, yang di Amerika menekankan reaksinya pada penghapusa penjara (prison abolisionos), sedangkan di Eropa menekankan penolakannya terhadap sistem peradilan pidana secara keseluruhan, di mana sistem kepenjaraan merupakan sentralnya yang bersifat represif. (Muladi, 1993:). Indonesia sekarang juga masih menggunakan pidana penjara. Walaupun demikian usaha-usaha pembaharuan sekarang sedang diupayakan dalam konsep rancangan KUHP baru yang sedang digodok. Dalam konsep, meskipun pidana pidana penjara di cantumkan pada aturan pertama, tetapi dalam pelaksanaannya nanti dialternatifkan dengan pidana denda untuk kejahatan-kejahatan tertentu. Selain itu terdapat tambahan jenis pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Konsep rancangan KUHP baru jika dipelajari dengan cermat menunjukkan adanya pembaharuan yang sangat mendasar terutama dalam sistem pemidanaan. Beberapa pembaharuan yang sangat humanistis tanpa menghilangkan watak represif dari hukum pidana diantaranya adalah : 1. Lebih mengutamakan penggunaan pidana denda. 2. Pidana penjara digunakan jika terpaksa tidak mempunyai pilihan lain. 3. Adanya pedoman dalam penerapan pidana penjara. Yang pertama, menurut konsep KUHP baru, pidana denda paling kecil ditetapkan paling kecil ditetapkan sebesar seribu lima ratus rupiah, sedangkan maksimumnya ditentukan berdasar kategori. Ada enam kategori seluruhnya, dengan denda yang paling rendah sebesar seratus lima puluh ribu rupiah sebagai kategori pertama. Kategori keenam dengan kategori maksimum sebesar tiga ratus juta rupiah. Dalam ketentuan berikut mengenai denda menetapkan, jika tidak dibayar diganti dengan kerja sosial, dengan pidana pengawasan atau pidana penjara jika denda tersebut tidak melebihi jumlah denda kategori pertama. Selanjutnya juga diatur ketentuan tentang membayar denda mengangsur. Untuk yang kedua, yang dimaksud adalah semua tindak pidana yang diancam dengan tindak pidana penjara maksimum 1 sampai 7 tahun, akan selalu dialternatifkan dengan pidana denda. Dalam hal ini pemidanaan diupayakan menghindari pengenaan pidana penjara, sehingga untuk tindak pidana yang tingkat berbahayanya dinilai kurang dari 1 tahun penjara hanya diancam pidana denda. Pidana penjara hanya digunakan terhadap semua tindak pidana yang sangat serius berbahayanya dan diancam pidana penjara diatas 7 tahun, oleh karenanya tidak dialternatifkan dengan pidana denda kecuali jika pelakunya korporasi. Yang ketiga, yang dimaksud adalah adanya suatu ketentuan mengenai upaya menghindarkan dijatuhkannya pidana penjara jika dijumpai keadaan-keadaan tertentu pada diri terdakwa. Misalnya terdakwa masih sangat muda yang berusai dibawah 18 tahun atau sudah terlalu tua, yaitu diatas 70 tahun. Kemudian terdakwa telah membayar ganti rugi kepada korban atau tindak pidana terjadi dikalangan keluarga atau terjadi karena kealpaan. Dalam ketentuan tersebut terdapat tiga belas keadaan sebagai pedoman untuk menghindarkan pengenaan pidana penjara. Apa yang telah diuraikan tersebut menunjukkan system pemidanaannya lebih bersifat manusiawi, dalam arti tidak menderitakan tetapi masih mempunyai efek represif. Meskipun demikian jika diteliti lebih cermat masih ada suatu ketentuan yang dapat melanggar hak asasi manusia, yang berarti sangat jauh dari sifat humanistis, yaitu pengenaan piadana penjara yang harus berturut-turut tanpa terputus. Jadi terpidana harus kehilangan kebebasannya selama menjalani pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya berturut-turut tanpa terputus. Ketentuan itu dewasa ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan pemidanaan yang progresif. Untuk itulah tulisan ini berupaya membahas berbagai kemungkinan untuk mengenakan pidana penjara harus berturut-turut, dalam rangka juga ikut memberikan sumbangan pemikiran terhadap konsep rancangan KUHP baru yang dalam proses finishing.
1UPAYA PEMERINTAH KOTA PADANG DALAM MENSEJAHTERAKAN ANAK-ANAK TERLANTAR TERKAIT DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL ARTIKEL/JURNAL Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh: YOFRIKO YONTRINEDI 0810012111278 Bagian Hukum Tata Negara FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BUNG HATTA PADANG201321UPAYA PEMERINTAH KOTA PADANG DALAM MENSEJAHTERAKAN ANAK-ANAK TERLANTAR TERKAIT UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL Yofriko Yontrinedi1, Boy Yendra Tamin1, Nurbeti, S.H, MH2 1)Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Bung HattaE-mail: yyontrinedi@gmail.comABSTRACTNeglected children are children who for some reason his parents neglect their duties so that the child's needs can not be met with reasonable both spiritually, physically and socially. In this study the problems in accurately is: (1) Application of Act No. 11 of 2009 on social welfare associated with abandoned children, (2) efforts in Padang City Government welfare of abandoned children, (3) Government Constraints Padang city for child welfare research displaced. Metode that I use to answer the problem above is a socio-juridical legal research, data d using primary data and secondary data collection techniques while the tool is the study of documents, interviews and observation. Data gathering and analysis kualitatif. Based It can be concluded that (1) Application of Act No. 11 of 2009 which felt neglected children are still not fully implemented. (2) Efforts Government of Padang in the welfare of abandoned children by doing: counselling or guidance, Sponsorship and Development of child poverty or increase the degree of social development. Granting or increasing learning opportunities. improving skills, (3) Constraints Padang City Government for the welfare of abandoned children: Lack of vehicle or container that serves as a place to accommodate abandoned children, lack of training due to limited funding coaching, less its funds to assist the process of coaching, lack of responsible members of social services.Keywords: Policy, Neglected Children, Social Welfare.PendahuluanAnak adalah anugerah Allah SWT bagi orang tuanya. Di tangan anak-anak kitalah masa depan negara ini.Berbicara mengenai anak berarti membicarakan sesuatu yang berharga, tidak saja bagi keluarga tapi sangat berpengaruh juga bagi negara. Dimana anak merupakan generasi penerus yang akan melanjutkan perjuangan bangsa, dan berapa macam anak yang sering menjadi pembahasan negara salah2satunya yaitu anak jalanan adalah anak yang turun ke jalanan demi mencari uang untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, dan Anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Layak dikatakan anak terlantar yang terlihat dari keseharian mereka dimana anak-anak tersebut sama sekali tidak mendapat perhatian dari orang tuanya, mereka di terlantarkan dan dibiarkan berjibaku mencari kehidupan di alam bebas tanpa memperhitungkan bahaya dan dampak terhadap masa depan si anak. Anak yang berusia 5-18 tahun yang karena sebab tertentu (karena beberapa kemungkinan): miskin atau tidak mampu, salah seorang dari orang tuanya/wali pengampu atau pengasuh meninggal, keluarga tidak harmonis, tidak ada pengampu atau pengasuh sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani, dan sosial. Keadaan yang memaksa anak bekerja adalah keadaan yang diam-diam menghantui hari depan berjuta-juta anak Indonesia. Jumlah anak-anak yang terpaksa bekerja sebelum waktunya secara tidak layak dalam berbagai bentuk pekerjaan terutama di faktor informal yang tidak terorganisasi terus meningkat pesat. Banyak sekali yang kita temui di jalan, mereka mengemis, menjajakan surat kabar, atau mengais-ngais gundukan sampah. semua ini adalah bentuk pekerjaan anak yang dapat kita lihat di dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak seusia mereka yang diterlantarkan oleh orang tuanya ke jalanan itu, harusnya di pagi hari tenang duduk di dalam kelas mengikuti proses belajar mengajar, belajar bersosialisasi dengan teman sebayanya, mendapatkan pembelajaran yang layak demi menunjang masa depan, dan melakukan hal lain yang selayaknya mereka lakukan sebagai anak kecil. Ciri-ciri yang menandai seorang anak dikategorikan terlantar adalah :31. Biasanya berusia 5-18 tahun dan merupakan anak yatim, piatu atau anak yatim piatu.2. Anak yang lahir diluar nikah dan kemudian mereka tidak ada yang mengurus karena orang tuanya tidak siap atau tidak mampu secara psikologis maupun ekonomi untuk memelihara anak yang dilahirkannya.3. Anak yang dilahirkan tidak direncanakan atau tidak diinginkan oleh kedua orang tuanya atau keluarga besarnya, cenderung rawan di perlakukan salah4. Meski kemiskinan bukan satu-satunya penyebab anak di terlantarkan dan tidak selalu pula keluarga miskin akan menelantarkan anaknya. Tetapi, bagaimanapun harus diakui bahwa tekanan kemiskinan dan kerentana ekonomi keluargaakan menyebabkan kemampuan mereka memberkan fasilitas dan memenuhi hak anaknya menjadi sangat terbatas.5. Anak yang berasal dari keluarga yang broken home, korban perceraian orang tuanya, anak yang hidup ditengah kondisi keluarga yang bermasalah seperti pemabuk, kasar, korban PHK, terlibat narkotika, dan sebagainya. (Bagong Suyanto, 2010).Begitu menghawatirkan keadaan mereka yang terlantar tanpa orang tua, setiap harinya ramai dengan kendaraan, dan rentan akan tindakan kriminal, serta berbagai macam keadaan yang membahayakan jiwa mereka. Setiap anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang sehingga orang tua dilarang untuk menelantarkan anaknya, sebagaimana yang di atur oleh Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Orang tua dapat dikenakan sanksi kurungan yang cukup berat, termasuk perusahaan yang mempekerjakan anak di bawah umur. Dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, di sebutkan bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun.4Kehidupan yang di dambakan oleh semua manusia di dunia ini adalah kesejahteraan.Secara umum, istilah kesejahteraan sosial sering diartikan sebagai kondisi sejahtera (konsepsi pertama), yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dan perawatan kesehatan.Pengertian kesejahteraan sosial juga menunjuk pada segenap aktifitas pengorganisasian dan pendistribusian pelayanan sosial bagi kelompok masyarakat, terutama kelompok yang kurang beruntung (disadvantage groups). Penyelenggaraan berbagai skema perlindungan sosial (social protection) baik yang bersifat formal maupun informal adalah contoh aktivitas kesejahteraan sosial .Usaha kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang di tunjukan untuk menjamin terwujudnya usaha kesejahteraan anak, terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak ( Pasal 1 angka 1huruf b UU. No.4 Tahun 1979. Pemerintah dalam hal ini memberikan pengarahan, bimbingan, bantuan dan pengawasan terhadap usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh masyarakat.Usaha-usaha kesejahteraan anak sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 adalah suatu proses refungsionalisasi dan pengembangan anak, agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. Pemerintah bertanggung jawab atas rehabilitasi sosial, perlindungan sosial dan jaminan sosial yang terdapat pada UU No. 11 Tahun 2009 Tentang kesejahteraan social Pasal 7 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1). Anak-anak terlantar berada di bawah perlindungan pemerintah.Mempekerjakan anak kita di saat sedang tumbuh dan berkembang akan mengganggu proses tumbuh kembang anak itu sendiri. Berdasarkan data Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Padang pada 2010 tercatat 1.007 anak terlantar, 115 anak nakal, 741 anak jalanan, 817 anak cacat dan 817 balita terlantar, dan pada tahun 2013 tercatat 1199, 496 anak laki-laki, 703 anak5Perempuan.(http://hariansinggalang.co.id/padang-kota-layak-anak/,html).Persoalan anak terlantar di kota-kota besar di negeri ini sudah lama di perbincangkan, mulai dari kampus, kelompok studi, sampai seminar di hotel berbintang lima. Namun, untuk menguraikan persoalan ini tidak mudah sebab menyangkut perut banyak orang.Akibatnya dapat di tebak, anak-anak malas di ajak ke habitat "normal" anak umumnya, misalnya untuk bersekolah.Mereka lebih menikmati bermain dan mencari uang di pinggir jalan.Inilah yang mempersulit kinerja pembina anak jalanan untuk mengatasi mereka (http://64.203.71.11/kompas-cetak/0507/23/swara/1916829.htm). Metode Penelitian1. Jenis PenelitianDalam pembahasan skripsi ini, penulis melakukan penelitian yuridis sosiologis, yang dilakukan melalui pendekatan masalah dengan melihat norma hukum dan kenyataan.Disamping itu penelitian bersifat deskriptif analisis yaitu suatu penelitian yang menggambarkan tentang suatu keadaan dan peranan pemerintah dalam mensejahterakan anak terlantar.2. Bahan Atau Materi PenelitianLangkah untuk memperoleh data, maka penulis mengadakan penelitian sebagai berikut:a. Sumber dataDalam melakukan penelitian lapangan, data yang dikumpul terdiri dari:1) Data primer yaitu data yang di peroleh melalui wawancara langsung dengan informan dan responden yaitu Anak-anak Terlantar. Informan dalam penelitian ini adalah Dinas Sosial Kota Padang yaitu Bapak Nurzal Hidayat, selaku Kabid Resos. Anak terlantar yang penulis wawancara berjumlah 11 (sebelas) orang anak sebagai berikut:1. Tony (8 Tahun)2. Wury (14 Tahun)3. Deno (13 Tahun)4. Iqbal (6 Tahun)5. Dedek (15 Tahun)6. Beni (10 Tahun)7. Tesya (13 Tahun)68. Popi (13 Tahun)9. Riki (15 Tahun)10. Totok(11 Tahun)11. Dedi (13 Tahun)2) Data sekunder ialah Data sekunder terdiri dari data mengenai Kesejahteraan sosial oleh anak terlantar pada Dinas Sosial Kota Padang.3. Teknik Pengumpulan Dataa. Wawancara Yaitu suatu teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data atau mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui tanya jawab atau proses tanya jawab dalam penelitianyang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi. Wawancara dilakukan secara struktur. Peneliti telah mempersiapkan pedoman wawancara (daftar pertanyaan) terlebih dahulu.b. Studi dokumen yaitu Suatu teknik dengan mempelajari bahan-bahan yang tertulis atau dokumen yang sudah ada berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. c. Observasimerupakan metode pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap kegiatan anak terlantar di Kota Padang.4. Lokasi PenelitianUntuk menentukan informasi digunakan purposive sampling teknik ini biasanya dipilih karena alasan keterbatasan waktu, tenaga dan biaya, sehingga tidak dapat mengambil sample yang besar. Dalam hal ini penulis menetapkan lokasi penelitian di Dinas Sosial dan dua Kecamatan yaitu Padang Barat dan Padang Timur karena dua Kecamatan ini dari hasil pengamatan penulis menemukan di perampatan lampu merah yang terdapat beberapa aktivitas anak-anak terlantar.5. Analisa DataData di uraikan secara deskriptif dalam bentuk kualitatif, yaitu dengan mengelompokkan data-data menurut aspek-aspek yang diteliti.Kegiatan pengolahan data dan analisa data7dilakukan secara bertahap.Artinya kegiatan analisa data baru dilakukan apabila pengolahan data telah selesai dikerjakan.Jadi berdasarkan hal tersebut, pembahasan pengolahan data mendahului pembahasan analisa data. Hasil Penelitian Dari uraian anak-anak terlantar yang berada di Kecamatan Padang Barat dan Padang Timur, yang merupakan pembinaan tersebut adalah sebagai berikut :1. Pasal 14 ayat (1) Undang-undang No. 11 Tahun 2009 di laksanakan dengan memberikan Perlindungan sosial, yang diberikan salah satunya seperti rumah singgah, makanan, pakaian. Rumah singgah yang diberikan oleh pemerintah pada saat ini sudah tidak berfungsi lagi dikarenakan anak-anak terlantar tidak mendapatkan makanan, dan pakaian yang layak, ditambah lagi adanya paksaan bekerja yang hal ini membuat mereka memilih kembali lagi ke lingkungan asal mereka. Padahal tujuan perlindungan sosial tersebut untuk mencegah danmenangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal.2. Pasal 12 ayat (2) dan (3) dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2009 mengenai Anak-anak terlantar yang menerima pendidikan dari pemerintah, namun mereka merasa memiliki jangka waktu yang singkat dengan semakin berkurangnya guru-guru yang mengajar mereka, dan hal inilah yang membuat mereka bosan untuk tetap tinggal dirumah singgah, berkurangnya guru-guru atau tenaga pengajar tersebut di karenakan habisnya pembiayaan atau dana untuk guru atau tenaga pengajar tersebut.3. Pasal 9 ayat (1) huruf a dan (2) Undang-undang No. 11 Tahun 2009 yang berkaitan dengan Jaminan sosial, diberikan kepada anak-anak terlantar seperti uang makan, dan uang saku yang semakin hari semakin berkurang dan setelah itu bahkan tidak di terima lagi oleh8mereka, hal ini membuat mereka berfikir untuk kembali ke jalanan yang menurut mereka akan mendapatkan uang yang lebih.Penerapan Undang-undang No 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial yang dirasakan anak-anak terlantar masih belum sepenuhnya terlaksana apalagi masih adanya oknum yang tidak melakukannya tugasnya dengan benar. Pemerintah Kota Padang memberikan fasilitas-fasilitas/kegiatan yang akan memberikan manfaat untuk mereka yang di antaranya sebagai berikut:1. Penyuluhan atau bimbingan dan bentuk lainnya yang di perlukan antara lain:a. Anak-anak yang berumur 7-12 tahun ke bawah mendapat pendidikan dasar dalam 1 minggu 4 hari dengan waktu selama 2 jam yang di berikan, agar anak tidak mengalami kejenuhan.b. Anak-anak yang berumur 13 tahun sampai 15 tahun mendapat pendidikan menengah pertamaserta pengenalan tentang lingkungan sosial.2. Penyantunan dan pengentasan anaka. Agar kembali kepada orang tuab. Program asuhan keluargac. Mengembalikan dan menanamkan fungsi sosial anak3. Pembinaan atau peningkatan derajat sosial 4. Pemberian atau kesempatan belajar a. Taman anak sejahtera/TPA 3-4 tahun, 4-5 tahun b. Pendidikan dasar 7-12 Tahun c. Pendidikan menengah pertama d. Pendidikan menengah ke atas 5. Pembinaan atau peningkatan keterampilan, dengan mengajarkan anak membuat keterampilan kerajinan tangan, mengambar ataupun berupa pengajaran kesenian.Di tengah keterbatasan anggaran pembangunan dan ditambah lagi akibat situasi kritis ekonomi yang tak kunjung usai, menangani, dan menjamin kesejahteraan anak-anak terlantar disadari bukanlah hal yang mudah, sebab di sana banyak berhubungan dengan faktor ekonomi, sosial, budaya dan bahkan politik. Pengalaman selama9ini membuktikan bahwa tidak mungkin penanganan masalah anak-anak terlantar hanya direduksi melalui pendekatan yang sifatnya karitatif, tetapi perlu dilengkapi dengan pendekatan yang lebih menyentuh pada akar persoalan yang sesungguhnya dan yang tidak kalah pentingnya yaitu pendekatan yang dilakukan melibatkan dukungan dari komunitas ditingkat lokal. Tanpa dukungan dari intervensi yang kontekstual dan terpadu, seperti perbaikan kualitas hidup keluarga miskin, peningkatan kesadaran tentang arti pentingnya pendidikan, terbukanya pandangan masayarakat terhadap hak-hak anak, dan komitmen serta langkah yang nyata, niscaya persoalan anak terlantar akan tetap tak terselesaikan. Simpulan1. Penerapan dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial untuk Kota Padang yang pernah terlaksana mengenai Pasal 14 ayat (1) Tentang Perlindungan sosial, Pasal 12 ayat (2) dan (3) Tentang Jaminan sosial, Pasal 9 ayat (1) huruf a dan (2) Tentang Jaminan sosial kepada Anak-anak Terlantar yang dimana penerapan Undang-undang tersebut pada tahun 2013 tidak terlaksana oleh Pemerintah Kota Padang. 2. Upaya pemerintah Kota Padang dalam mensejahterakan anak-anak terlantar banyak memberikan fasilitas-fasilitas/kegiatan yang memberikan manfaat bagi mereka, Fasilitas itu sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 diberikan antara lain dalam bentuk: 1. Penyuluhan atau bimbingan dan bentuk lainnya yang diperlukan 2. Penyantunan dan pengentasan anak 3. Pembinaan atau peningkatan derajat sosial anak. 4. Pemberian atau peningkatan kesempatan belajar. 5. Pembinaan atau peningkatan keterampilan. 3. Kendala pemerintah Kota Padang untuk mensejahterakan anak terlantar memilki hambatan diantaranya sebagai berikut:1. Kurangnya sarana atau wadah yang berfungsi sebagai tempat10untuk menampung anak-anak terlantar dan anak jalanan; 2. Kurangnya pelatihan yang dikarenakan keterbatasan danadalam pembinaan usaha mandiri yang akan diberikan kepada anak-anak terlantar; 3. Kurangnya dana untuk membantu proses pembinaan. 4. kurangnya anggota penanggung jawab dari dinas sosial. Ucapan Terima Kasih Penulis berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada bapak dosen pembimbing I Boy Yendra Tamin, S,H, M.H dan kepada Ibu dosen pembimbing II Nurbeti, S.H, M.H yang tidak lelah dalam membimbing dan dan pihak-pihak yang terkait lainnya yaitu :1. Bapak Prof. Dr. Niki Lukviarman, S.E., Akt, M.BA Selaku Direktur Universitas Bung Hatta2. Ibu Dwi Astuti Palupi, S.H., M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum3. Ibu Nurbeti, S.H., M.H, selaku Wakil Dekan Fakultas Hukum4. Bapak suamperi, S.H., M.H, selaku Penguji dan Ketua Jurusan Hukum Tata Negara5. Bapak Drs. Suparman Khan, M. Hum, selaku Penguji.6. Ibu Dr. Sanidjar pebrihariati, S.H., M.H, selaku Penguji.7. Ibu Deswita Rosra, S.H, M.H Selaku Penasehat Akademik penulis di Universitas Bung Hatta.8. Ibu Kepala Tata Usaha beserta staf pegawai Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta.9. Bapak Nurzal Hidayat,S.E, selaku Kepala Bidang Pelayanan Rehsos Dinas Sosial.10. Bapak Teddy Antonius, S.Stp, selaku Sekretaris Camat Padang Barat.11. Ibu Dra. Hj. Silfeni, MM, selaku Camat Padang Timur.12. Untuk papaku Ir. Yontrinedi, dan mamaku Farida Yakub, tanpa beliau penulis tidak ada artinya. Pengorbanan papa dan mama begitu besar baik dari moril, materil dan kasih sayang yang tak bisa di lupakan.13. Kepada adiku Deni Permadi, Dicky Apriadi, Yoanda Maryakub dan si bungsu Yofa Yara Putra, rajin-rajinlah kalian belajar, ingat kedua11orang tua kita ingin melihat kalian juga wisuda.14. Nenek yang selalu memberikan do'a, nasehat, semangat dan semangat kepada penulis.15. Sahabat Hati Fenni Yudisia, yang telah memberikan do'a, semangat, serta motifasi kepada penulis.16. Teman-teman feri, ruli, siddik, rian, ferdi, kio, yogi, eki, acong, komeng, vik, arief budiman serta pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah memberikan bantuan dan dorongan hingga terwujudnya skripsi ini.Daftar Pustaka Bagong Suyanto, 2010, Masalah sosial anak, Kencana Prenada Media Group,jakarta Bambang Sunggono, 2007, Metodologi penelitian hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta Hadi Setia Tunggal, 2000, konvensi Hak-Hak Anak, Harvarindo, Jakarta.Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, S.H.,1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam perpektif konvensi hak anak, PT . Citra Aditya Bakti, Bandung. Soerjono Soekanto,2008, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta. Tata Sudrajat, 2000, Anak Jalanan dan Kehidupan Sehari-hari, Akatiga, Bandung.Konvensi hak anak adalah perlindungan anak yang telah di sepakati/ditanda Tangani kepala-kepala negara di dunia termasuk Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi Anak, di New York, 30 september 1991Kriteria Anak Jalanan, http://www.dinsos.pemdady.go.id/index.php?option=content&task=view&id=88.html, 20 september 2012minim perhatian pemerintah pada anak-anak jalanan dan anak terlantar12http://www.bkkbn.go.id/popups/printRubrik.php?ItemID=139, 22 September 2012.M.Luthfi Munzir," Padang Kota Layak Anak",
PENTINGNYA NETRALITAS KPUD DALAM PELAKSANAAN PEMILU LEGISLATIF (STUDI KASUS DI KABUPATEN TOLIKARA PROVINSI PAPUA TAHUN 2009)[1] Oleh : KITIES WENDA[2] NIM. 0908145036 ABSTRAKSI Komisi Pemilihan Umum bertanggung jawab untuk penyelenggaraan pemilu dan melaksanakan secara demokrasi jujur dan adil, ditengah tengah masyarakat untuk memilih wakil rakyat yang berkualitas. Penelitian ini mencoba untuk melihat hal tersebut dengan mengunakan; metode analisis kualitatif Konsep-konsep yang di gunakan dalam penelitian ini adalah: Netralitas; Netral berarti non partisipasi dalam kegiatan perang (netralitet) dan bukan perang (kuasi netralitet). Netralitet menunjukkan sikap sesuatu negara yang tidak turut berperang dengan Negara-negara yang berperang dan bermusuhan dan negara berperang wajib menghormati kekebalan wilayah netral. Netralitas terbagi dua, yaitu: Netralitas tetap adalah negara yang netralitasnya dijamin dan dilindungi oleh perjanjian-perjanjian internasional seperti swiss dan austria, sedangkan netralitas sewaktu-waktu adalah sikap netral yang hanya berasal dari kehendak negara itu sendiri (self imposed) yang sewaktu-waktu dapat ditanggalkannya. Swedia misalnya, selalu mempunyai sikap netral dengan menolak mengambil ikatan politik dengan blok kekuatan manapun. Tiap kali terjadi perang, swedia selalu menyatakan dirinya netral yaitu tidak memihak kepada pihak-pihak yang berperang Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa KPUD Kabupaten Tolikara tidak netral dalam penyelenggaraan pemilu legislatif Tahun 2009 yang lalu, hal ini terbukti dengan adanya usaha untuk memenangkan salah satu calon legislatif tertentu, yang jumlah suaranya tidak memenuhi kuota. Alasan ketidaknetralnya KPUD Kabupaten Tolikara bersifat pemenuhan kebutuhan pribadi, dimana beberapa personil KPUD Kabupaten Tolikara dijanjikan dengan pemberian uang sebagai ucapan Terima kasih apabila memenangkan calon legislatif tersebut, serta hubungan kekerabatan/keluarga personil KPUD Tolikara dengan calon legislatif tersebut. Penelitian ini meekomendasikan agar Netralitas mpenyelenggara pemilu sangat penting, dalam hal ini KPUD kabupaten Tolikara, oleh karena itu perlu diupayakan usaha-usaha preventif dan represif oleh KPUD Provinsi, juga oleh lembaga pengawas pemilu. Untuk kedepannya, dalam setiap seleksi penerimaan anggota KPUD, diharapkan Tim seleksi mampu memilih dan menetapkan orang-orang yang memiliki kemampuan, kredibel, serta idealis untuk menjadi penyelengara pemilu melalui kelembagaan KPUD, khususnya di Kabupaten Tolikara, sehingga kerusuhan masa tidak akan terulang kembali. Kata Kunci : Netralitas ,Pemilihan Umum Legislatif. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah.Undang-undang republik Indonesia nomor 8 Tahun 2012 menegaskan bahwa untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat DPR, dewan perwakilan daerah DPD dan dewan perwakilan rakyat daerah DPRD bahwa pemilihan umum sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat yang aspiratif, berkualitas dan bertanggung jawab berdasarkan pancasila dan Udang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa pemilihan umum wajib menjamin tersalurkannya suara rakyat secara Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil. Dalam pelaksanaan pemilihan legislatif dapat dilakukan dengan baik sebagaimana prinsip harus jujur, adil dan terbuka untuk menwujudkan pemilu yang paling demokratis, yang dapat terhindar dari konflik.dalam hal ini komisi pemilihan umum, peran lembaga ini sangat strategis dan menentukan keberahasilan dari pencapaian pemilihan umum yang ideal. bagaimana mereka menjaga netralitasnya untuk tidak berpihak pada suatu calon pemimpin politik yang akan dipilih oleh masyarakat. Hal ini menjadi masalah menarik untuk diteliti lebih jauh, karenanya proposal penelitian ini akan mendalami netralitas komosi pemilihan umum dalam pemilu legislatif di Kabupaten Tolikara Provinsi Papua Tahun 2009, mengingat belum lama berselang, Kabupaten ini sempat terjadi konflik di masyarakat yang menelan banyak korban nyawa sehubungan dengan pelaksaan kepala daerah. TINJAUAN PUSTAKA, Konsep Pemilihan Umum Legislatif.pemilihan umum anggota dewan perwakilan rakyat, dpr, dewan perwakilan daerah dpd dan dewan perwakiloan rakyat daerah dprd propinsi maupun dprd kabupaten/kota se-Indonesia periode 2009-2014 Komisi Pemilihan Umum. Undang-undang No 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menjelaskan bahwa struktur Setjen KPU terdiri dari seorang Sekjen, Wakil Sekjen dan 7 Biro (sebelumnya 10 Biro), empat bagian dan tiga subbagian.Reorganisasi dan restrukturisasi organisasi KPU mengakibatkan hilangnya tiga Biro.Komisi Pemilihan Umum, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota bersifat hierarkis dan tetap. Dalam menjalankan tugas, wewenang dan kewajibannya, KPU dibantu oleh Sekretariat Jenderal, sedangkan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota masing-masing dibantu oleh sekretariat KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota. Netralitas Penyelenggara Pemilu.Netralitas merupakan status hukum untuk tidak melibatkan diri dalam perang serta menetapkan hak dan kewajiban tertentu terhadap negara yang berperang.Netralitas mendapatkan bentuknya yang tegas pada awal abad ke-16, yaitu pasca kekalahan berat yang dialami Negara-negara konfederasi Swiss dalam pertempuran di Marignano (1515) melawan Milano.Dalam "Dekrit Zürich"Namun formalitas dari status ini baru diakui dan dijamin oleh Eropa setelah Perang Napoleon pada Tahun 1815.Netral berarti non partisipasi dalam kegiatan perang (netralitet) dan bukan perang (kuasi netralitet).Netralitet menunjukkan sikap sesuatu negara yang tidak turut berperang dengan Negara-negara yang berperang dan bermusuhan dan negara berperang wajib menghormati kekebalan wilayah netral.Netralitas terbagi dua, yaitu: Netralitas tetap adalah negara yang netralitasnya dijamin dan dilindungi oleh perjanjian-perjanjian internasional seperti swiss dan austria, sedangkan netralitas sewaktu-waktu adalah sikap netral yang hanya berasal dari kehendak negara itu sendiri (self imposed) yang sewaktu-waktu dapat ditanggalkannya. METODOLOGI PENELITIAN. Jenis Penelitian, penulis mengunakan ini dengan metode analisis kualitatif Informan, fokus dalam penelitian ini adalah Kualitas personil KPU dalam menjaga idealisme dan bekerja secara professionalPemberian sanksi hukum yang tegas terhadap pelanggaran penyelenggaraan pemilu. Serta hal-hal lain yang akan berkembang selama penelitian ini berlangsung. Teknik Pengumpulan Data, dalam penelitian ini, penulis mengunakan teknik pengumpulan data melalui- observasi dan wawacara Jenis dan Sumber Data, yaitu peneli akan banyak mencari primer. Disamping data primer yang dibutuhkan, peneliti juga mencari data sekunder yang dapat mendukung data primer. Teknik Analisis Data.Dalam penelitian ini, peneliti merupakan instrumen utama dalam pengumpulan data dan menginterpretasikan data. Dalam analisis kualitatif prosedur yang harus diperhatikan mulai dari pengumpulan data sampai generalisasi data. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian. Karateristik informan dalam penelitian ini adalah: Anggota KPUD Kabupaten Tolikara berjumlah 5 orang, dengan latar belakang pendidikan lulusan S1, dari bidang Ilmu yang berbeda, informan lainnya adalah para pengurus partai politik Golkar, dan Demokrat, yang merasa dirugikan dengan hasil pemilu 2009 yang lalu.Dari hasil wawancara dengan informan yang merupakan personil KPUD Tolikara jelas diungkapkan bahwa mereka telah melakukan sesuai dengan aturan yang berlaku, dan mereka tetap menjaga integritas serta netralitas penyelenggaraan pemilu, walaupun mereka mempunyai hubungan kekerabatan dengan pengurus partai Golkar dan Demokrat, namun mereka tidak membeda-bedakan antara partai yang satu dengan yang lainnya. namun ada beberapa informasi yang kami terima dari salah seorang masyarakat yang bertetangga tempat tinggalnya dengan salah satu Personil KPUD, ia mengatakan:Setelah pelaksanaan pemilu ia (anggota KPUD), membeli mobil baru dan merenovasi rumah tinggalnya, sangat jelas terlihat perubahan secara materi, barang-barang yang ada didalam rumahnya diganti dengan yang baru, anaknya dibelikan sepeda motor, dam materi lainnya, yang sebelumnya tidakada.Dari hasil wawancara diatas, diungkapkan bahwa ada perubahan dalam kehidupan perekonomiannya, dari yang sebelumnya terkesan biasa-biasa saja, setelah pemilu sudah mampu membeli peralatan dan barang-barang baru, bahkan mampu membeli kendaraan roda empat, peneliti juga melakukan pengamatan langsung terhadap personil KPUD ini, dengan melihat secara langsung keberadaan rumah tempat tinggal, dan barang-barang seperti yang diinformasikan oleh salah seorang tetangganya, dan kenyataannya memang benar bahwa personil KPUD yang bersangkutan mempunyai materi seperti yang diungkapkan diatas. Pembahasan Hasil Penelitian. Dari hasil wawancara dengan para informan/narasumber pada bagian sebelumnya, terungkap jelas bahwa persoalan yang terjadi di Kabupaten Tolikara pada pemilu 2009 silam dipicu dengan adanya kecurangan dari personil KPUD yang memihak kepada calon tertentu, sehingga menimbulkan rasa tidak puas kepada para konstituen calon tersebut, yang mengakibatkan terjadinya amuk masa dari para pendukung calon legislatif yang merasa dirugikan oleh KPUD Tolikara. Dalam pelaksanaan demokrasi netralitas penyelenggara pemilihan umum sangat berperan penting dalam menjaga nilai-nilai demokrasi dan keamanan ketertiban masyarakat, dikala penyelenggara pemilu tidak netral, maka yang akan terjadi adalah ketidakpuasan dari masyarakat, yang akan berimbas pada kerugian secara nyawa dan materi dengan adanya amuk masa tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan/narasumber, terungkap bahwa beberapa faktor penyebab ketidaknetralan KPUD Tolikara ini adalah salah satunya unsur materi. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian pada bab terdahulu, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: KPUD Kabupaten Tolikara tidak netral dalam penyelenggaraan pemilu legislatif Tahun 2009 yang lalu, hal ini terbukti dengan adanya usaha untukmemenangkan salah satu calon legislatif tertentu, yang jumlah suaranya tidakmemenuhi kuota. Alasan ketidaknetralnya KPUD Kabupaten Tolikarabersifat pemenuhan kebutuhan pribadi, dimana beberapa personil KPUD Kabupaten Tolikara dijanjikan dengan pemberian uang sebagai ungkapan terimakasih apabila memenangkan calon legislatif tersebut, serta hubungan kekerabatan/keluarga personil KPUD Tolikara dengan calon legislatif tersebut. Pelanggaran/kecurangan penyelenggaraan pemilu 2009 di Kabupaten Tolikarabersifat sistematis, terstruktur, dan masif, yang dibuktikan dengan keputusan diselenggarakannya pemungutan suara ulang, khusus di Kabupaten Tolikara. KPUD Provinsi dan lembaga pengawasan Pemilu dinilai lemah dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap penyelenggara pemilu di Kabupaten Tolikara, khususnya kepada KPUD Kabupaten Tolikara. Saran Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah: Netralitasmpenyelenggara pemilu sangat penting, dalam hal ini KPUDTolikara, oleh karena itu perlu diupayakan usaha-usaha preventif dan represif oleh KPUD Provinsi, juga oleh lembaga pengawas pemilu. Untuk kedepannya, dalam setiap seleksi penerimaan anggota KPUD, diharapkan Tim seleksi mampu memilih dan menetapkan orang-orang yang memiliki kemampuan, kredibel, serta idealis untuk menjadi penyelengara pemilu melalui kelembagaan KPUD, khususnya di Kabupaten Tolikara, sehingga kerusuhan masa tidak akan terulang kembali. Dalam penyelenggaraan pemilu selanjutnya, diharapkan seluruh lapisan masyarakat lebih berperan lagi dalam melakukan pengawasan, agar kecurangan pemilu tidak terjadi, dalam hal ini kinerja lembaga pengawas pemilu perlu lebih ditingkatkan lagi. Peran KPUD Provinsi dalam melakukan pengawasan terhadap KPUD Kabupaten/Kota perlu lebih ditingkatkan, dengan melakukan tindakan tegas apabila terbukti melakukan penlanggaran. DAFTAR PUSTAKA Johan, Daniel, disampaikan pada seminar pelatihan organisasi wajib PATRIA I, DPD PATRIA Jawa Timur, 15-17 Agustus 1998. Heryawan, Ahmad. Selasa, 02 Juni 2009, Latar Belakang BerdirinyaPartai politik, Koentjaraningrat, 1997, Kumpulan Tulisan tentang MetodePenelitian Sosial, Moleong, J, 1993, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Karya Bandung, Purwoko, Bambang, 2008, Metode Penelitian Ilmu Politik, bahan kuliah angkatan XVI, Singarimbun, M & S.Efendi, 1989, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta. Winardi 2011, Politik Uang Dan Pemilu 2009, Catatan Kristis Untuk Jurnalistik, Danim, sudarwan. 2002, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: Pustaka Setia. Budiarjo, meriam 2007.Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Jakarta Hadari, Nawawi. 1990, Metode Penelitian Sosial, Jakarta Gayah Mada Press. Rudy May, 2003, Pengantar Ilmu Politik,Refika Bandung Budiawan Sidik Arifianto, "Golput Pun Kembali Memenangi Pilkada",(24 Juli 2008). Sumber-sumber lain: Surat kabar kompas, (24 juli 2008). Undang-undang Republik Indonesia nomor 22 Tahun 2007 tentang penyelenggara pemilihan umum –cet.1.Jogyakarta, Perjalanan politik, Lukas enembe, jalan terjal anak koteka meretas impian, (Jayapura November 2008). Undang-undang Republik Indonesia nomor 2 Tahun2008 tentangPartaiPolitik, http://www.menkokesra.go.id/content/view/7929/39/, diunduh 25 April 2010. Program studi ilmu politik, plod – PPS UGM Yogyakarta.Latar-belakang- berdirinya-partai-politik.html Partai Politik Di Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_politik_di_Indonesia Putusan MK ' Suara Terbanyak ' Kurangi Konflik Internal Partai, sumber: beritasore.com, inilah.com,pikiran-rakyat.com,-mk-suara-terbanyak-kurangi.html Rumandi, "Menjadi Pemilih Cerdas", http://www.suarapembaruan.com/News/2007/08/06/ Jabotabe/jab08.htm, diunduh 25 April 2010. http://www.menkokesra.go.id/content/view/7929/39/, diunduh 25 April2010. [1] Merupakan Skripsi penulis [2] Mahasiswa FISIP Unsrat.
PERANAN SATUAN RESERSE KRIMINAL KEPOLISAN DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENADAHANKENDARAAN BERMOTOR(Studi Kasus: Polresta Padang) ARTIKEL/JURNAL Diajukan Sebagai Persyaratan UntukMendapatkan Gelar Sarjana Hukum Oleh: VICKY ERZAM FERNANDO 0810012111045 Bagian Hukum Pidana FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS BUNG HATTAPADANG2013 PERANAN SATUAN RESERSE KRIMINAL KEPOLISIAN DALAM MENAGGULANGI TINDAK PIDANA PENADAHAN KENDARAAN BERMOTOR (Studi Kasus: Polresta Padang) Vicky Erzam Fernando1, Uning Pratimaratri1, Syafridatati21 Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Bung HattaE-mail:Vicky.ErzamFernando@yahoo.co.id AbstractAn increasing number of motor vehicles in the city of Padang with increasing motorcycle theft crimes. Motorcycle theft crimes are usually closely related to fencing motorcycle. Issues raised in this study were: (1) How does the role of the Police Criminal Investigation unit in tackling fencing motorcycles in Padang? (2) What are the barriers experienced by the Criminal Investigation Unit of the Police in tackling crime in Padang fencing motorcycle? (3) What factors cause crime fencing motorcycles in Padang. This study uses a socio-legal approach. Data sources used include primary data and secondary data. Secondary data obtained from the criminal statistics of the years 2010-2012. Data collected by the study of documents and interviews. Data were analyzed qualitatively. Based on the results of this study concluded (1) that the role of the Criminal Investigation unit in tackling crime fencing Police vehicles in Padang. (2) The constraints experienced by the Police Criminal Investigation unit in tackling crime fencing Police vehicles in Padang. (3) Factors that cause the occurrence of crime in the Police vehicle fencing Padang.Keywords: Detective, Crime, fencing, Motor Vehicles. A. Pendahuluan1. Latar Belakang Penegakan hukum di Indonesia perlu adanya aparatur penegak hukum yang handal, beribawa, penuh pengabdian, cerdas, taat hukum dan berwawasan luas, supaya terciptanya aparatur penegak hukum yang disenangi dan disegani oleh masyarakat, terutama bagi penegak hukum di tubuh kepolisian negara Indonesia. Pengertian penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan, yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan itu. (Sukarto Marmosudjono, 1989:12) Penegakan hukum akan selalu melibatkan manusia didalamnya. Hukum tidak bisa tegak dengan sendirinya, artinya ia tidak mampu untuk mewujudkan sendiri kehendak-kehendaknya yang tercantum dalam hukum itu. Penegakan hukum pidana secara kongkrit diwujudkan oleh hukum acara pidana yaitu melalui proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang dan eksekusi yang dilaksanakan oleh masing-masing instansi penegak hukum yaitu: Polisi, Jaksa, Hakim, dan Badan Eksekusi (Lembaga Pemasyarakatan). Polisi adalah badan pemerintahan yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum. Kepolisian artinya segala sesuatu yang berkaitan dengan polisi atau singkatnya urusan polisi. (H. Hilman Hadikusuma, 2005:167) Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum. Terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta tertibnya ketentraman masyarakat, dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian. Di dalam Pasal 5 UU No 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.Tindak pidana Penadahan berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan atau dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah telah melakukan suatu perbuatan tindak pidana. Menurut Moeljatno dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, istilah hukuman yang berasal dari kata straf, merupakan suatu istilah yang konvensional. Moeljatno menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana yang dapat dikenai hukuman menurut ketentuan hukum pidana di negeri Belanda hanya merupakan tindakan-tindakan (hendelingen) yang oleh undang-undang dengan tegas dinyatakan dapat dikenai hukuman[1]. (LJ. Van Aperldorn, 1985: 336). Berkaitan dengan tugas tersebut, reserse kriminal merupakan bagian terpenting bagi dinamika kegiatan kepolisian terlebih dalam Era Globalisasi dan reformasi dewasa ini, dimana tuntutan masyarakat terhadap tranparansi, demokrasi, perlindungan hak asas manusia, dan supremasi hukum yang semakin meningkat. Di samping dinamika kehidupan masyarakat yang berkembang semakin cepat gelagat perubahannya semakin sulit untuk dibaca sehingga diperlukan upaya early warning dan early detection yang tajam dan akurat guna mengetahui gelagat tersebut melalui penguasaan teori, keterampilan dan pengalaman serta pemanfaatan teknologi modern. Di Padang permasalahan tindak pidana penadahan kendaraan bermotor merupakan suatu kasus besar yang terungkap oleh kepolisian, terutama bagi reserse kriminal yang merupakan pencari informasi yang langsung kelapangan dalam melakukan penyidikan, berupa penyamaran yang langsung turun ke masyarakat untuk mencari informasi tindak pidana yang telah terjadi. Dalam upaya menanggulangi tindak pidana penadahan kendaraan bermotor ini, anggota dari reserse kriminal hendaknya perlu berkerja keras untuk mencari informasi dalam penyidikan tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat. Peranan reserse kriminal sangatlah penting dalam menanggulangi tindak pidana penadahan kendaraan bermotor dari hasil pencurian yang sangat meresahkan masyarakat. Oleh karena itu mengingat barang hasil pencurian, penipuan dan lain-lain apabila berkurangnya pihak penadah atau penerima, tentu bagi pelaku kejahatan pencurian, dan penipuan barang hasil kejahatan tidak menguntungkan mengingat yang diinginkan oleh pelaku pencurian, penipuan dan lain-lain adalah uang. Untuk itu polisi Republik Indonesia sangat berperan dalam menanggulangi maupun mengurangi berbagai tindak pidana yang terjadi pada umumnya dan tindak pidana penadahan pada khususnya maka tindakan yang di ambil oleh Polri di Kota Padang dengan melakukan penertiban dan pemeriksaan hampir di setiap jalan raya, baik itu pemeriksaan kelengkapan kendaraan bermotor, surat-surat lainnya yang berkaitan dengan kepemilikan seseorang terhadap kandaraan tersebut. Selanjutnya dengan adanya penyuluhan dari pihak berwajib maka dengan memberi pengumuman-pengumuman atau dengan pemberitahuan pada spanduk atau iklan yang dipajang disamping jalan raya atau tempat-tempat ramai yang dilalui oleh masyarakat agar masyarakat pemilik kendaraan bemotor dapat menjaga atau mewaspadai keselamatan kendaraan bermotor miliknya jauh dari pencurian kendaraan bermotor yang marak terjadi pada saat ini. Di Indonesia sebutan satuan reserse sekarang lebih dikenal dengan sebutan satuan reserse kriminal. Polisi merupakan aparat negara yang selalu berhubungan dengan menjaga ketertiban dan keamanan di masyarakat. Keamanan atau aman adalah suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang mempunyai rasa, bahwa dirinya berpikir dengan pasti. Tidak mempunyai rasa khawatir terhadap apapun karena bebas dari ancaman bahaya. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan apabila yang menjadi permasalahan sebagai berikut:Bagaimana peranan satuan reserse kriminal kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penadahan kendaraan bermotor di Polresta Padang?Apa hambatan-hambatan yang dialami oleh satuan reserse kriminal kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penadahan kendaraan bermotor di Polresta Padang?Faktor-faktor apakah penyebab terjadinya tindak pidana penadahan kendaraan bermotor di Polresta Padang?Tujuan peneltian ini adalah :Untuk mengetahui peranan satuan reserse kriminal dalam menanggulangi tindak pidana penadahan kendaraan bermotor di Polresta Padang.Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dialami oleh satuan reserse kriminal dalam menanggulangi tindak pidana penadahan kendaraan bermotor di Polresta Padang.Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana penadahan kendaraan bermotor di Polresta Padang. MetodologiPenelitian ini merupakan pengacuan pada judul dan perumusan masalah penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian yuridis sosiologis yaitu pendekatan masalah penelitian hukum dengan melihat perundang-undangan yang ada, dihubungkan dengan prakteknya dilapangan atau dengan fakta terhadap masalah yang dirumuskan. Sumber Data yang digunakan meliputi data primer, data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau yang diperoleh di lapangan dari Imade Safari, anggota satuan reserse kriminal kepolisian Polresta Padang. Data sekunder yaitu data yang diperoleh langsung dari statistik kriminal tahun 2010-2012 tentang tindak pidana penadahan kendaraan bermotor di Polresta Padang. Hasil dan PembahasanAdapun bentuk-bentuk peranan satuan reserse kriminal Kepolisian dalam penanggulangan secara represif ini dapat diikuti dengan tindakan-tindakan berupa hal-hal sebagai berikut:Memberi respon yang cepat terhadap setiap laporan atau pengaduan dari setiap warga masyarakat, baik yang telah menjadi korban maupun masyarakat yang telah mengetahui terjadinya suatu tindak pidana penadahan kendaraan bermotor. Kehadiran dan penindakan secara cepat yang dilakukan oleh aparat yang berwenang, akan memberikan rasa tentram dan aman bagi masyarakat disatu pihak dan memberi dampak prevensi bagi calon pelaku lain.Penerimaan laporan yang disertai dengan respon yang cepat datangnya anggota kepolisian ketempat kejadian perkara, memungkinkan masalah dapat ditemukan bukti-bukti saksi serta tersangka di tempat kejadian perkara atau pengejaran dan penagkapan tersangka, apabila yang bersangkutan telah melarikan diri.Menasehati para pelaku kejahatan penadahan kendaraan bermotor yang telah tertangkap. Para pelaku penadahan kendaraan kendaraan bermotor yang telah ditangkap selama masa penyelidikan selalu mendapatkan nasehat dan bimbingan dari pihak Polresta.Memaksimalkan usaha penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana penadahan kendaraan bermotor. Terhadap pelaku tindak pidana penadahan kendaraan bermotor yang telah tertangkap, pihak Polresta segera membuat berita acara pemeriksaan (BAP) seseorang yang berdasarkan hasil penyidikan adalah pelaku tindak pidana penadahan kendaraan bermotor, tindak selanjutnya adalah melimpahkan perkara tersebut (menyerahkan pelaku dan BAP nya) kepada pihak kejaksaan.Imade Safari, selaku kasubnit buser, satuan reserse kriminal Polresta Padang menyatakan bahwa hambatan-hambatan yang di alami satuan reserse kriminal kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penadahan kendaraan bermotor yaitu :Penyidik dalam melakukan penangkapan terhadap tersangka menemui kesulitan karena tempat pelarian tersangka berada jauh didaerah terpencil.Kurangnya sarana dan prasarana dalam penyidikanDengan adanya laporan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, untuk pergi ke (TKP) tempat kejadian perkara penyadik harus mempunyai bekal dan saran untuk pergi kesana. Diantaranya beberapa anggota yang harus diterjunkan guna penyidikan tersebut serta sudah lengkaplah alat-alat guna kepentingan penyidik. Penyidik hal sarana ini menemui kesulitan dan kendala pada daerah yang sulit ditempuh oleh kendaraan.Rendahnya kesadaran hukum masyarakat.Terhadap suatu tindak pidana banyak masyarakat yang tidak mau terlibat didalamnya apalagi kalau ia mengetahui secara tidak langsung, ini disebabkan enggan untuk menjadi saksi dengan alasan banyak pekerjan lain.Terbatasnya jumlah personilTerbatasnya di sini maksudnya bukan jumlah anggota satuan reserse kriminal kepolisian melainkan jumlah dari anggota satuan reserse kriminal kepolisian yang profesional.Kurangnya biaya operasionalDalam melakukan penyidikan dalam kasus pidana selalu membutuhkan biaya yang sangat besar sedangkan anggaran satuan reserse kriminal kepolisian terbatas.Faktor-faktor itu antara lain adalah :Keterbatasan alat pemuasan kebutuhan manusiaSebagai makhluk yang memiliki hawa dan nafsu, manusia juga memiliki kebutuhan yang tidak terbatas.Sementara itu alat pemuas kebutuhan manusia itu berupa barang dan jasa juga memiliki keterbatasan baik kuantitas maupun kualitasnya.Rendahnya penghasilan masyarakatTingkat penghasilan masyarakat yang rendah telah menyebabkan tingkat kesejahteraan belum mencapai standar taraf kelayakan hidup. Di lain pihak ia memerlukan banyak kebutuhan baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya.Tingginya angka persaingan hidupTingginya angka persaingan dalam kehidupan ini telah menyebabkan manusia mengalami tekanan secara emosional untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya.Krisis ekonomiKrisis ekonomi yang kemudian berkembang menjadi krisis multidimensi, telah menyebabkan tertutupnya lapangan pekerjaan bagi para pencari pekerjaan. (Imade Safari, Wawancara, 12 Januari 2013) Kesimpulan Dalam rangka penanggulangan tindak pidana penadahan kendaraan bermotor upaya yang diambil oleh satuan reserse kriminal kepolisian Polresta Padang yaitu peranan kepolisian secara preventif dan secara represif dengan titik berat pada peranan preventif, sebab lebih ekonomis dan praktis serta tidak merusak persatuan yang ada dalam masyarakat. Peranan secara preventif ini dilakukan melalui penyuluhan oleh aparat satuan reserse kriminal kepolisian, pengawasan serta peningkatan personil aparat satuan reserse kriminal kepolisian. Sementara itu upaya penanggulangan secara represif dilakukan dengan kegiatan razia terhadap kendaraan bermotor.Yang menjadi hambatan-hambatan dalam menanggulangi tindak pidana penadahan kendaran bermotor di Polresta Padang yaitu :Sulit untuk menangkap tersangkaKurangnya sarana dan prasarana dalam penyidikan49 Rendahnya kesadaran hukum masyarakatTerbatasnya jumlah personilKurangnya biaya operasionalPelaku melarikan diriTidak ada cukup buktiPelaku tindak kejahatan pencurian atau yang lainnya tidak mau mengakui seluruh kejahatanyaTransaksi penjualan barang hasil kejahatan ditempat-tempat yang sulit dilacakFaktor utama yang menyebabkan terjadinya kejahatan penadahan kendaraan bermotor di kota Padang adalah faktor ekonomi. Faktor ini dalam perkembangannya mengalami perubahan bentuk, yang satu sama lain memiliki kaitan. Faktor-faktor itu antara lain keterbatasan alat kebutuhan manusia, rendahnya penghasilan masyarakat, tingginya angka persaingan hidup dan lain-lain. Selain itu faktor-faktor pendorongnya yaitu faktor-faktor pendidikan, faktor lingkungan dan faktor kemajuan teknologi, budaya dan agama. (Imade Safari dan Doni Gunawan Saputra, Wawancara). Daftar Pustaka.Andi Hamzah, 1986, Pengusutan Perkara Kriminal Sarana Teknik dan Sarana Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.Andi Hamzah dan Ayu Rahayu, 1983, Suatu Tinjauan Ringkas Pemidanaan Di Indonesia, Akademika Pressindo: Jakarta.H. Hilman Hadikusuma, 2005, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung.LJ. Van Apeldorn, 1985, Pengantar Ilmu Hukum, PT Pradnya Paramita, Jakarta.M. Karjadi, 1987, Polisi, Politeia, Bogor.Moeljatno, 1995, Perbuatan Pidana Pidato Dies Natalis, Universitas Gajah Mada.Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni: Bandung.Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad, 1983, Intisari Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.R. Soesilo, 1974, pokok-pokok hukum pidana dan delik-delik khusus, Politeia, Bogor.Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, UI- PRESS, Jakarta.Sukarto Marmosudjono, 1989, Penegak Hukum di Negara Pancasila, Pustaka Kartini, Jakarta.Wirjono Prodjodikoro, 1989, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Eresco, Bandung.Undang-undangUndang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sumber lainKendaraan Bermotor http://id.wikipedia.org/wiki/diakses 19 oktober tahun 2012 jam 02.00 wib.Yolan Adelia, Skripsi Hukum, Upaya Kepolisian Lalu Lintas Dalam Kecelakaan Sepeda Motor http://digilib.ubaya.ac.id/diakses 18 oktober tahun 2012 jam 23.27 wib.Darpawan, Tindak Pidana Penadahan, http://G etskripsi.com/diakses 9 oktober tahun 2012 jam 08.00 wib.Tindak Pidana Penadahan, Unsur-unsur dan Pengertian http://donxsaturniev.bogspot .comdiakses 17 oktober 2012 jam 20.00 wib. [1] LJ. Van Apeldorn. 1985. Pengantar ilmu Hukum. PT Pradnya Paramita, Jakarta, hlm 336
1TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB BADAN PENANGGULANGAN BENCANA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA DI KABUPATEN PESISIR SELATAN JURNAL Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana HukumOleh: RULLY INDRA PERMANA NPM: 0810013111031 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BUNG HATTA PADANG20132FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BUNG HATTA PERSETUJUAN JURNAL Nama : RULLY INDRA PERMANA Nomor Pokok Mahasiswa : 0810012111031 Program Kekhususan : Hukum Tata Negara Judul Skripsi : Tugas Dan Tanggung Jawab Badan Penanggulangan Bencana Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Bencana Di Kabupaten Pesisir Selatan Telah disetujui pada hari Selasa tanggal Tiga Bulan September tahun Dua Ribu Tiga Belas untuk dipertahankan dihadapan Tim Penguji.1. Nurbeti, S.H., M.H. (Pembimbing I)2. Dr .Sanidjar Pebriharihati R, S.H., M.H. (Pembimbing II)1TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB BADAN PENANGGULANGAN BENCANA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA DI KABUPATEN PESISIR SELATAN Rully Indra Permana 1), Nurbeti 2), Sanidjar pebrihariati.R 2)1) Mahasiswa Program Kekhususan Hukum Tata Negara2) Dosen Program Kekhususan Hukum Tata Negara , Fakultas Keguruan Hukum Universitas Bung HattaEmail : indrapermana99@Gmail.com ABSTRACT Indonesian culture and life in the midst of things that smell renewal claiming more advanced and civilized in terms of thinking, working and acting compared with indigenous peoples in ancient times. The issues contained in this paper is 1) What forms of environmental damage that causes natural disasters? 2) What sort of responsibility for disaster management in the South Coastal District?. Authors use the juridical sociological research methods research approach that examines the look and Regulation Legislation issues and connecting with the reality on the ground. Data sources of primary data and secondary data, namely primary data obtained from interviews and secondary data obtained from the study of documents, then the data is processed using qualitative data analysis. Based on these results we can conclude 1. Other forms of environmental degradation in the South Coastal District, 2.forms responsibility for disaster response and responsibilities of local governments in disaster management set out in Article 8, namely: (1) Guarantee the fulfillment of rights and refugee communities affected, (2) protection of society from the impact of disasters, (3) integration of disaster risk reduction and disaster risk reduction, (4) the allocation of disaster relief funds. Keywords:Environment,disaster prevention,non-governmental.PENDAHULUANA. Latar Belakang MasalahIndonesia sebagai negara kepulauan yang secara geografis terletak di daerah khatulistiwa, di antara Benua Asia dan Australia serta di antara Samudera Pasifik dan Hindia, berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia merupakan wilayah teritorial yang sangat rawan terhadap bencana alam.Posisi geografis dan geodinamik Indonesia telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu wilayah yang rawan bencana alam (natural disaster prone region). Indonesia merupakan negara kepulauan tempat dimana tiga lempeng besar dunia bertemu, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Interaksi antar lempeng-lempeng tersebut lebih lanjut menempatkan Indonesia sebagai wilayah yang memiliki aktivitas kegunungapian dan kegempaan yang cukup tinggi. Lebih dari itu, proses dinamika lempeng yang cukup intensif juga telah membentuk relief permukaan bumi yang khas dan sangat bervariasi, dari wilayah pegunungan dengan lereng-lerengnya yang curam dan seakan menyiratkan potensi2longsor yang tinggi hingga wilayah yang landai sepanjang pantai dengan potensi ancaman banjir, penurunan tanah dan tsunaminya. Lingkungan hidup merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia dan makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri. Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh manusia bersama makhluk hidup lainnya. Manusia dan makhluk hidup lainnya tentu tidak berdiri sendiri dalam proses kehidupan, saling berinteraksi, dan membutuhkan satu sama lainnya. Kehidupan yang ditandai dengan interaksi dan saling ketergantungan secara teratur merupakan tatanan ekosistem yang di dalamnya mengandung esensi penting, dimana lingkungan hidup sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dibicarakan secara terpisah. Maka dari itu penulis tertarik untuk membahas dan mengkaji persoalan lingkungan dan menuangkannya ke dalam sebuah tulisan ilmiah yang berjudul: "Tugas Dan Tanggung Jawab Badan Penanggulangan Bencana Daerah Di Kabupaten Pesisir Selatan Berdasarkan Perda Nomor 30 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Bencana".Metodologi Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian skripsi ini, karena metode penelitian dapat menentukan langkah-langkah dari suatu penulisan, baik mengenai pendekatan masalah, teknik pengumpulan data dan sumber data maupun analisis datanya. Oleh karena itu, demi mencapai tujuan dari penulisan ini, maka metode penelitian yang dipakai sebagai dasar penulisan ini, yaitu sebagai berikut:1. Pendekatan MasalahPenelitian ini menggunakan metode Pendekatan Yuridis Sosiologis yaitu berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan apa yang terjadi di lapangan (pelaksanaan), sehingga dalam penelitian ini peneliti menggunakan bahan hukum.a. Sumber data1) Data PrimerData primer merupakan sumber data yang diperoleh secara langsung dari informan. Di dalam penelitian ini yang akan menjadi informan adalah pejabat Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Pesisir Selatan.2) Data SekunderData yang diperoleh peneliti dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah3(BPBD) Kabupaten Pesisir Selatan. Selain itu penulis juga menggunakan data sebagai berikut:a. Bahan Hukum Primer yaitu mempelajari peraturan perundang-undangan tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan-peraturan lainnya yang terkait yaitu:1) Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH),2) Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,3) Peraturan Presiden Republik Indonesia No 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana,4) Peraturan Daerah No 3 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Bencana.b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu mempelajari berbagai literatur (buku-buku, makalah, laporan penelitian, jurnal) yang berkaitan dengan masalah Penanggulangan Bencana serta kerusakan lingkungan.2. Teknik Pengumpulan dataa. Studi dokumen adalah dengan melakukan pengambilan objek dokumen-dokumen hasil monitoring atau objek surat dankliping Koran yang relevan dengan penelitian ini.b. Wawancara yaitu dengan melakukan wawancara bebas dengan para informan yaitu para pejabat Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Pesisir Selatan.3. Pengolahan dan Analisis DataMengumpulkan data dengan mengadakan pencatatan yang diambil dari dokumen, buku laporan dan buku catatan lainnya yang berhubungan dengan materi yang ditulis. Pengolahan data yang diperoleh untuk kemudian diolah lebih lanjut secara kualitatif dan dirumuskan secara sistematis dan dikaitkan dengan apa yang terjadi dalam pelaksanaannya di dalam kenyataan lalu setelah itu dikaitkan dengan pokok-pokok permasalahan dalam penulisan ini. Hasil Penelitian dan Pembahasan Pembahasan hasil penelitian ini berdasarkan pada hasil analisis data yang diperoleh, bahwa:A. Bentuk-Bentuk Kerusakan Lingkungan Yang Menyebabkan Bencana Alam di Kabupaten Pesisir SelatanSecara geografis dengan strategi bencana daerah kabupaten pesisir selatan berada disekitar 0059'-228' LS dan 10018' yang merupakan wilayah4administrasi dengan luas 5749,89 m2. Secara khusus kabupaten pesisir selatan memiliki topografi wilayah berbukit-bukit dengan ketinggian berkisar 0-1000m dari permukaan laut,memiliki 57 pulau serta dialiri sebanyak 18 sungai dengan 11 sungai besar dan 7 sungai kecil. Pesisir selatan merupakan iklim tropis dengan temperatur bervariasi antara 230C hingga 320C disiang hari dan 20 C 280C dimalam hari dengan curah hujan rata-rata 224,63 mm perbulan. Kondisi permukaan lahan kabupaten pesisir selatan dewasa ini adalah sebagai besar lahan hutan yaitu 70,54% hutan lebat dan 13,37% hutan belukar,lahan sawah 6,07%,perkebunan, 2,30% dan sisanya adalah perkampunga, kebun campuran dan kebun rakyat lainnya: 1 Bentuk-bentuk bencana Alam di Kabupaten Pesisir Selatan. berikut ini:a) TsunamiGelombang air laut yang membawa material baik berupa sisa-sisa bangunan, tumbuhan dan material lainnya menghempas segala sesuatu yang berdiri di dataran pantai dengan kekuatan dahsyat. Bangunan yang mempunyai dimensi lebar dinding sejajar dengan garis pantai atau tegak lurus dengan arah datangnya gelombang akan mendapat tekanan yang paling kuat sehingga akan mengalamikerusakan yang paling parah. Gelombang air ini juga akan menggerus pondasi dan menyeret apapun yang berdiri lepas di pemukiman dataran pantai dan dibawa ke laut. Contoh di wilayah pesisir selatan di kecamatan linggo sari baganti pada tahun 2007 terjadi tsunami yang berakibat rusaknya pemukiman tempat tinggal penduduk setempat dan hancurnya kapal-kapal nelayan setempat.b) Gempa BumiGempa bumi adalah getaran yang ditimbulkan karena adanya gerakan endogen. Semakin besar kekuatan gempa, maka akan menimbulkan kerusakan yang semakin parah di muka bumi. Gempa bumi menyebabkan bangunan-bangunan retak atau hancur, struktur batuan rusak, aliran-aliran sungai bawah tanah terputus, jaringan pipa dan saluran bawah tanah rusak, dan sebagainya. Jika kekuatan gempa bumi melanda lautan, maka akan menimbulkan tsunami, yaitu arus gelombang pasang air laut yang menghempas daratan dengan kecepatan yang sangat tinggi.5Contoh yang paling nyata adalah pada tahun 2007 di kecamatan lunang silaut terjadi gempa bumi dengan kekutan 6,9 skala richter yang mengakibatkan kerusakan -kerusakan bangunan dan menimbulkan banyak kerugian secara materil dan spritual.c) BanjirBanjir merupakan salah satu bentuk fenomena alam yang unik. Dikatakan unik karena banjir dapat terjadi karena murni gejala alam dan dapat juga karena dampak dari ulah manusia sendiri. Banjir dikatakan sebagai gejala alam murni jika kondisi alam memang memengaruhi terjadinya banjir, misalnya hujan yang turun terus menerus, terjadi di daerah basin, dataran rendah, atau di lembah-lembah sungai. Selain itu, banjir dapat juga disebabkan karena ulah manusia, misalnya karena penggundulan hutan di kawasan resapan, timbunan sampah yang menyumbat aliran air, ataupun karena rusaknya dan atau pintu pengendali aliran air. Kerugian yang ditimbulkan akibat banjir, antara lain, hilangnya lapisan permukaan tanah yang subur karena tererosi aliran air, rusaknya tanaman, dan rusaknya berbagai bangunan hasil budidaya manusia. Bencana banjir bandang merupakan salah satu bencana alam yang hampir setiap musim penghujan melanda di beberapa wilayah di Wilayah Pesisir Selatan Kecamatan Lengayang pada Tahun 2011 yang mengakibatkan hilangnya korban jiwa berjumlah 6 orang.d) Tanah LongsorKarakteristik tanah longsor hampir sama dengan karakteristik banjir. Bencana alam ini dapat terjadi karena proses alam ataupun karena dampak kecerobohan manusia. Bencana alam ini dapat merusak struktur tanah, merusak lahan pertanian, pemukiman, sarana dan prasarana penduduk serta berbagai bangunan lainnya. Peristiwa tanah longsor pada umumnya melanda beberapa wilayah Indonesia yang memiliki topografi agak miring atau berlereng curam. Di wilayah Pesisir Selatan dibeberapa Wilayah Kecamatan Tarusan, Kecamatan Bayang, IV jurai, Batang Kapas, sutera dan ranah pesisir yang selama musim hujan terjadi banyak titik rawan longsor6yang mengakibatkan kerusakan bangunan atau tempat tinggal penduduk setempat, terputusnya jalur transportasi darat, dan rusaknya areal pertanian dan perkebunan.e) Badai/Angin TopanAngin topan terjadi karena perbedaan tekanan udara yang sangat mencolok di suatu daerah sehingga menyebabkan angin bertiup lebih kencang. Di beberapa belahan dunia, bahkan sering terjadi pusaran angin. Bencana alam ini pada umumnya merusakkan berbagai tumbuhan, memorakporandakan berbagai bangunan, sarana infrastruktur dan dapat membahayakan penerbangan. Salah satu contohnya adalah di wilayah Pesisir Selatan Kecamatan IV Jurai, Sutera, dan Lengayang yang mengakibat kerusakan tempat tinggal penduduk dan kerusakan fasilitas umum .B. Bentuk Tanggung Jawab Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan terhadap Penanggulangan Bencana Alam di Kabupaten Pesisir Selatana. Tanggung Jawab Pemerintah Daerah:Tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Bencana yaitu:1. Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum;2. Perlindungan masyarakat dari dampak bencana;3. Pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; dan4. Pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan belanja daerah yang memadai.b. Wewenang Pemerintah Daerah:Wewenang pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana yaitu:1. Penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada wilayahnya selaras dengan kebijakan pembangunan daerah;2. Pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana;3. Pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan provinsi dan/atau kabupaten/kota lain;4. Pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana pada wilayahnya;75. Perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya; dan6. Pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang pada wilayahnya (pengawasan terhadap penyelenggaraan pengumpulan uang atau barang berskala provinsi, kabupaten/kota yang diselenggarakan oleh masyarakat, termasuk pemberian ijin yang menjadi kewenangan gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya)Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 tentang penanggulangan bencana yaitu:(1) Pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana(2) Dalam melaksanakan tanggung jawab penanggulangan bencana pemerintah daerah melimpahkan tugas pokok dan fungsinya kepada BPBD(3) Tugas pokok dan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang bersifat sangat teknis dilaksanakan oleh BPBD(4) BPBD dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dapat melibatkan unsur-unsur antara lain masyarakat,lembaga kemasyarakatan, lembaga usaha, lembaga internasional.Adapun tugas dan BPBD yaitu:1. Menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan badan Nasional Penanggulangan Bencana terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi serta rekonstruksi secara adil dan setara.2. Menetapkan standarisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang undangan.3. Menyusun, menetapkan dan menginformasikan peta rawan bencana.4. Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana.5. Melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya.6. Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana.7. Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang.8. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima8dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang undangan. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah peneliti lakukan, maka dapat diambil kesimpulan, Bentuk-bentuk kerusakan lingkungan yang menyebabkan bencana alam di Kabupaten Pesisir Selatan yaitu kerusakan lingkungan akibat proses alam seperti tsunami, gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan badai angin topan,serta Bentuk tanggung jawab pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan terhadap penanggulangan bencana alam di Kabupaten Pesisir Selatan yaitu Tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Bencana Ucapan Terima Kasih Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada pihak-pihak yang sudah membantu penulis selama menyelesaikan skripsi. Pihak-pihak yang dengan sabar membimbing dan selalu memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi.Pihak tersebut adalah: (1) Ibu Nurbeti, S.H., M.H, selaku Pembimbing I dan Wakil Dekan Fakultas Hukum (2) Ibu Dr. Sanidjar Pebrihariati. R, S.H., M.H, selaku Pembimbing II (3) Bapak Suamperi, S.H., M.H selaku Ketua bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum. (4) Keluarga tercinta yang selalu memberi dukungan moril maupun materi. (5) Adik-adik penulis, (6) kekasih penulis, (7) serta Teman-teman seperjuangan. Daftar PustakaA. Buku-bukuAsrul Pramudya, 2008. Kajian Pengelolaan Daratan Pesisir Berbasis Zonasi di Provinsi Jambi, Semarang: Thesis Pasca Sarjana Magister Teknik Sipil Universitas Diponegoro. Arsan Andi, I Made, 2007. Batas Maritim Antar Negara Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis, Yogyakarta : Gadjah Mada Univ. Press. Faried Ali, 1996. Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Huala Adolf, 1996. Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Jimly Asshiddiqie, 2007. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : Bhuana Ilmu Populer. Melda Kamil, 2007. Adriano Hukum Internasional Hukum yang Hidup, Jakarta: Diadit Media. Mukhtasor, 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut, Jakarta; Pradnya Paramita. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990. Penelitian Hukum Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers. Jakarta. Syamsuharya Bethan, 2008. Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dalam Aktifitas Industri Nasional (Sebuah Upaya Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Kehidupan Antar Generasi), Bandung: Alumni.9Zainuddin Ali, 2010. Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.B. Karya IlmiahBadan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri, 1986. Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Jakarta : Deplu, 1986 Samsul Arifin, Permasalahan Lingkungan Hidup di Sumut, materi perkuliahan disampaikan pada perkuliahan Hukum Lingkungan Administrasi pada tanggal 4/10/2010 di kelas regular A, Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum.C. Perundang-undanganUndang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) Peraturan Presiden Republik Indonesia No 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana Peraturan Daerah No 3 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Bencana di Kabupaten Pesisir selatan
MENTAL BULLYING AND ITS IMPACT TO VICTORIA DAWSON IN DANIELLE STEEL'S BIG GIRL Karina Rachmawati English Literature, Faculty of Languages and Arts, Surabaya State University rahmakarina92@gmail.com Prof. Dr. FD Kurnia, M.Pd. English Department, Faculty of Languages and Arts, Surabaya State University Abstrak Novel Big Girl adalah novel Danielle Steel yang mempunyai tema Mental Bullying dalam penulisannya. Victoria Dawson mental bullying menjadi topic utama dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini berfokus pada tiga masalah utama (1) Mental Bullying seperti apa yang dialami oleh Victoria Dawson dalam novel Big Girl oleh Danielle Steel (2) Penyebab Victoria Dawson Mental Bullying dalam novel Big Girl oleh Danielle Steel (3) Dampak Victoria Dawson Mental Bullying dalam novel Big Girl oleh Danielle Steel. Data dari tesis ini diambil dari novel sebagai sumber utama dan membaca intensif untuk langkah analisis berikutnya. Untuk menjawab semua masalah, penelitian ini menggunakan teori Psychology of Bullying untuk menggambarkan Mental Bullying, Penyebab dan Dampaknya. Penelitian kepustakaan digunakan untuk data yang dibutuhkan perguruan tinggi. analisis yang digunakan untuk menganalisis data yang dikumpulkan berdasarkan teori. Deskripsi digunakan untuk menjelaskan hasil analisis. Setelah melalui analisis yang panjang dengan menggunakan tiga macam metode di atas,Ditemukan bahwa mental bullying membawa dampak buruk bagi korban bullying karena menggunakan kata kata dan emosi untuk menghina seseorang. Korban mental bullying mengalami depresi, merasa takut, dan merasa kesepian untuk bergaul dengan orang lain dan sebagian besar dari mereka tidak mempunyai teman. Kata kunci: Bullying, Mental Bullying, Insult Abstract Big Girl is Danielle steel's novel which has Mental Bullying themes she writes on throughout her work. Victoria Dawson mental bullying has become the main topic of this study. Thus this study focuses on three major problems, (1) What mental bullying is experienced by Victoria Dawson in Danielle Steel's Big Girl, (2) What are the causes of Victoria Dawson mental bullying in Danielle Steel's Big Girl, and (3) What are the impacts of Victoria Dawson mental bullying in Danielle Steel's Big Girl. The data of the thesis is taken from the novel as the main source and intensive reading to next step of analysis. To answer the all problems, this study is using Psychology of Bullying Theory to depict the mental bullying, causes and impacts. This study also used library research, analysis and description. Library research is used to college data needed. An analysis is used to analyze the collected data based on the theories. Description is used to describe the result of analysis. After getting through long analysis by using three kinds of method above, it finds out that mental bullying bring bad impacts to victim of bullying because using words and emotions to insult someone. The mental victims of bullying are depressed, always feeling afraid and feel lonely to associate with other people and most of them has not a friend. Key words: Bullying, Mental Bullying, Insult. INTRODUCTION Many people may probably had problems. One of their problems related with psychological. Psychology term is a thing that can not be separated far from human life. Psychology terms have touched all of the aspect about human life. Everything about human life's conflict has always touched the deepest side of human's psychology condition. There must be something that related to the psychology. When somebody gets the hurt from anything, there is always a big possibility of one who get the messy thing in his mind; it could influence his internal condition such as his way of thinking, his emotional reaction, etc. For the most serious effect, they might get the trauma and also the death of somebody because they can not control the internal conflict inside their soul. One of psychological experiences in this paper is Bullying. Bullying is a serious issue that is faced by many people, and can leave a people to live in complete fear. Bullying it self mean typically a form of repeated, persistent and aggressive behaviour directed at an individual or individuals that is intended to cause (or should be known to cause) fear and distress and/or harm to another person's body, feelings, self-esteem or reputation. Bullying occurs in a context where there is a real or perceivedpower imbalance. Bullying is the use of force to intimidate someone. It can happen to anyone, anywhere and any time. It can come from a single person or a group. Bullying can be delivered verbally or in some extreme cases physically where the victim suffers actual bodily harm. Bullying behavior can be direct or indirect bullying. Direct bullying behaviors (overt) involve behaviors that are observable and that are usually expressed by physical and verbal means. Usually direct bullying involves relatively open attacks on a victim and are "in front of your face" behaviors. However, bullying behavior is not always hitting, kicking, teasing, or name calling. Children who bully others may use subversive acts that hurt just as much, but are harder to detect. Indirect bullying is related with Mental Bullying. This bullying practice occurs secretly and in the outside of our monitoring radar. Examples of indirect bullying are leaving others out on purpose, spreading rumours to destroy another's reputation or getting others to dislike another person, a cynical viewing, public humiliating, isolating, humiliating, accusing, gossiping, slandering, snapping, glaring and pouting. This is covert bullying or "behind your face" behaviours. Bullying is not just a childhood problem: it extends to adulthood, the boardroom, shop floor and the dysfunctional family. (Beane, 2003:6). It can be concluded that bullying related with mental abuse, also known as mental bullying. Mental Bullying can occur in close relationships, including parent/child relationships, marital relationships or sibling relationships. Mental bullying causes damage in the victim as she is made to believe she is worthless and at fault. Mental bullying is particularly harmful on children because of the impact it has on developing self-esteem and patterns relating to others. As mentioned above, one of the novels deals with theme Mental Bullying is Big Girl, because this study will describe about Victoria Dawson mental bullying is the main topic of Big Girl, because it's interesting for discussed through topic. Victoria Dawson experienced mental bullying when the firstborn child, she grows up out of place in her family because of her fair hair and thicker build. While the rest of her family is dark haired and thin, Victoria is blond, blue-eyed and according to her father, has his grandmother's 'big' build. Victoria puts up with her father's thinly-veiled barbs while her mother constantly drops weight remarks. Meanwhile her parents dote on the younger sister Grace, as she is beautiful and thin. In accordance of background study above, it can be simplify to discuss among three problems that emerge as significant concern toward this novel. 1. What mental bullying is experienced by Victoria Dawson in Danielle Steel's Big Girl? 2. What are the causes of Victoria Dawson mental bullying in Danielle Steel's Big Girl? 3. What are the impacts of Victoria Dawson mental bullying in Danielle Steel's Big Girl? This study will uses Psychology of Bullying theory in order to answer the question in the statement of the problems, this study tries applying theory as the base of analysis this theory is: Psychology of bullying to analyze about Victoria Dawson Mental Bullying in Danielle Steel's Big Girl. The first problem is what mental bullying is experienced by Victoria Dawson in Danielle Steel's Big Girl. This statement will use Psychology of bullying theory. with several kinds of mental bullying are; public humiliating, isolating, accusing, gossiping, slandering, snapping, embarrassed, humiliated and condescended. But of the several kinds mental bullying that have been mentioned above, which includes kinds of mental bullying that occurred and depicted to Victoria mental bullying are humiliation; embarrassed and condescended. Then the second is what are the causes of Victoria Dawson mental bullying in Danielle Steel's Big Girl. This statement will use Psychology of Bullying theory. The causes of Victoria Dawson mental bullying its come from Family factor, There are two causes that made Victoria experienced Mental Bullying from family factor; Narcissistic her parents and Being Different from her Family. And the last is What are the impacts of Victoria Dawson mental bullying in Danielle Steel's Big Girl. This statement will use Psychology of Bullying theory. The impacts of Victoria Dawson mental bullying its she feel sadness and self esteem which is there are three impacts because of Victoria feel sadness and self esteem; Search for Self Identity to New York, Struggle from her Body Image, and See a Psychiatrist. RESEARCH METHOD This thesis is regarded as a descriptive-qualitative study and use a library research. Therefore, the data will not be in number. The descriptive method of his study can be elaborated as follows. The main source of the study is taking from Danielle steel novel entitled Big Girl by Danielle steel, is an American novelist who is currently the bestselling author alive and the fourth bestselling author of all time, with over 800 million copies sold. Based in California for most of her career, Steel has produced several books a year, often juggling up to five projects at once, all her novels have been bestsellers, including those issued in hardback. Big Girl published by Delacorte Press on February 23, 2010. In analyzing the data, a descriptive qualitative method was applied. The data mostly got from library research. The data consist of the main data and additional data. The main data are collected or taken from Danielle Steel's Big Girl in the form of quotations, comments on the events and action related with the issue that is Victoria Dawson mental bullying, the causes and the Impacts of Victoria Dawson mental bullying in Big Girl. The supporting data are taking from many sources such as articles, reference books, journals, magazines, internet sources that are relevant with the topic and other related sources. Then the data are collected, clarified, analyzed and made a conclusion. To assist and strengthen the data will be analyze; Victoria Dawson mental bullying in Danielle Steel's Big Girl used Psychology of bullying, the causes and the impacts of Victoria Dawson mental bullying. Overall, those concepts are relating with the Victoria characterization in her life. This study contains four chapters. The first chapter is about introduction consist of background of the study, statement of the problem, purpose of the study, significance of the study, limitation of the study, research method and organization of the study. The second chapter is Review related of literature; consist of Psychology of bullying, Victoria Dawson mental bullying, the causes and the impacts of Victoria Dawson mental bullying, and paradigm of analysis. The third chapter is analysis about the novel Big Girl. The fourth or the last chapter in this study is conclusion of the analysis. This study encloses appendices: the biography of Danielle Steel and the synopsis of Big Girl. ANALYSIS Which the theories that are state in the previous chapter are used as a guide to accomplish it. This analysis will divided into several sub chapters. The first part in this chapter is about the Mental Bullying is experienced by Victoria Dawson in Danielle Steel's "Big Girl". The second part is about the causes of Victoria Dawson mental bullying and the last chapter about the impacts of Victoria Dawson mental bullying in the novel. Victoria Dawson Mental Bullying Bullying is emotional negative action performed against others who have traits that differ from other large groups, for example, of different races, shapes hair, skin color and so on. Bullying can be emotional done by cursing or acting intentionally using motion - a particular movement aimed to insult. (Elliot , 2005:2). One of kind bullying is related with mental abuse, and usually called with mental bullying. According to Sejiwa, (2007:2) mental bullying is a type of bullying. It is one of the most hurtful types of bullying. It is the act of using words and emotions to hurt someone. Mental bullying has two types, Verbal and Emotional. In this part it will discuss about Victoria Dawson mental bullying. To depict Victoria mental bullying, it uses Psychology of Bullying theory, with several kinds of mental bullying are; public humiliating, isolating, accusing, gossiping, slandering, snapping, embarrassed, humiliated and condescended. But of the several kinds mental bullying that have been mentioned above, which includes kinds of mental bullying that occurred and depicted to Victoria mental bullying are: Humiliation Humiliation is a kind of mental bullying that depicted to Victoria Dawson mental bullying. Big Girl tells about Victoria Dawson as the main character, she experienced mental bullying from her parents and people around her because different physical appearance than her family. Victoria parents were born from perfect physical appearance. Her father, mother and sister have the same appearance, but Victoria was different. When Victoria was a child, she experienced mental bullying from people around her and especially from her parents. In Victoria Dawson mental bullying is found quotations to depicted humiliation as kind of mental bullying. Victoria Dawson is an outcast in her own family, the round peg in a family of square holes. It is precisely her roundness that marks her as an outsider. Chubby, blond and blue-eyed in a family of slim, dark stunners, she is the daughter whom her father called "the tester cake," before getting the recipe right with younger daughter Gracie. When Victoria had a sister, Grace born with perfect physique appearance and Victoria parents satisfied with grace born. Jim always said to Victoria that she was a little tester cake. It can be seen from the quotation here: "I guess you were our little tester cake," he said, "This time we got the recipe just right," he commented happily." (p. 20) The quotation shows that Victoria is tester cake for her parent, because Victoria did not have beautiful appearance liked her parents. It made Victoria suddenly terrified that because Grace had come out so perfectly, maybe they would throw her away. She thought of what her father had said then about her being the tester cake, and wondered if it was true. Maybe they had only had her to make sure they got it right with Grace. And by then, her father still regularly teased her about being their "tester cake." Victoria knew exactly what that meant, that Grace was beautiful and she wasn't, and they had gotten it right the second time around. And her father always introduced Victoria to a business associate as his tester cake, but he also said he as proud of her, more than once, which surprised Victoria, since she never really thought that her father was proud of her. Embarrassed Embarrassed is also a kind of mental bullying that depicted to Victoria Dawson mental bullying. embarrassed occurs to others who have traits that differ from other groups or society, for example, of different races, shapes hair, skin color and so on. In this novel Victoria Dawson embarrassed by her parents and society because she had different physical appearance from her parents, she was a blond-haired, blue-eyed, chubby little girl; the complete opposite of her tall, slim, and beautiful parents. She resembled her paternal great-grandmother. She was viewed as a disappointment to her parents. Her father always referred as Queen Victoria. It can be seen from quotation here: "Jim always commented that she'd been named for Queen Victoria, whom she looked like, and then laughed heartily. It became his own favorite joke about the baby, which he was more than willing to share." (p. 10) From the quotation above, the reader know that Jim, he had perfect appearances unsatisfied with his child, Victoria. He always said that Victoria looked like Queen Victoria because she had bad appearance. And it is became his own favorite joke and he liked to share with other people. He reveals unsatisfied feeling to Victoria used jokes that made Victoria feel sad. Condescended And the last kind of mental bullying besides humiliation and embarrassed that depicted to Victoria Dawson mental bullying is condescended. Nobody likes to be condescended; when condescending person is increased endlessly it would make someone feel frustrating, annoying and humiliating. In this novel Victoria parents condescending Victoria about her physical appearance and her job and some quotations will be explained about Victoria condescending. When Victoria decided moves to New York and she want become a teacher, Victoria's choice of profession was also a source of displeasure for her father and he often told her she could do better. Victoria was a teacher for high school seniors in a prestigious private school in New York City. Instead of being proud of her as he should, her father constantly reminded her that she should get a "real job" in the business world. However, Victoria loved what she was doing and feels a true calling to be a teacher. All he had to say was that it was the wrong job in the wrong city; he usually condescended about her job because she can be poor. "You don't want to be poor for the rest of your life, do you? He said with a look of condescended." (p. 128) From the quotation above, when Victoria announced she wanted to be a teacher, her father pressures her to join him in advertising because that is where she'll earn the most money. Her father did not agree with her decision, now, her father not only insult Victoria about her physical but also condescending about her job. Tracing the quotation above, Jim refused Victoria become a teacher, he did not sure that Victoria afford to be a teacher, and he contempt that become a teacher made she to be poor and Jim did not want to subsidize Victoria. The Causes of Victoria Dawson Mental Bullying Olweus, (2004) explained that family, especially the Parents is an important factor that has a strong influence on the development of Bullying than the environments. Ahmed and Braithwaite, (2004:36) also state that family is the most influential factor in determining a person's involvement in bullying behavior. The family is the primary socializing place for children; families also have an important role in shaping a child's behavior. In the novel Big Girl, Victoria Dawson is a 6-year-old girl; for the first, she experienced mental bullying from her family when she was born And from people around her because she was a chubby little girl with blond hair, blue eyes, and ordinary looks. Victoria Dawson mental bullying occurs from family factor and there are two causes that made Victoria experienced Mental Bullying from family factor; Narcissistic her parents and Being Different from her Family. Narcissistic her parents A narcissist always hopes that people will respect himself in any situation, on other hand a narcissistic does not want to admit people's greatness but always envies someone else who seems smarter, more handsome or more successful. A narcissistic tries to impede the perception of real condition so that everything which is just belonging to one's self is highly valued and everything that belonging to another is devalued (Feist , 2002). From the explanation about Narcissistic above, the readers know about definition of narcissistic. And this one of the example causes Victoria Dawson mental bullying from family factor. In "Big Girl" Victoria Dawson is the main female character who received mental bullying because of narcissistic her parents. When Victoria twenty two years old, she go to North-western. Then she moved to New York and become an English teacher. And it made her father looked annoyed, to him; it was not even a job. He kept telling her to get a "real" job for decent money, but Victoria refused her father decisions, she still wanted to be a teacher. It can be seen from the quotation here: "I don't want to work in advertising," she said firmly. "I want to be a teacher." It was the thousandth time she'd said it to him." (p. 129) From the quotation above, we know that Victoria wanted to be a teacher, her parents belittle and mock her throughout, he disagrees with her decisions, her father forced Victoria to work in advertising because he had opinion that Victoria can not live from teacher's salaries. Her father said that Victoria can get precious job than become a teacher, she could be making three or four times what they pay to her, at any advertising agency or in any company. Jim disapproving about Victoria decisions work to private school in New York. The conclusion that Victoria parents is a narcissistic people, they just looked from handsome or beautiful and more successful perceptions and did not care with her child opinions. Quotation above explained that Victoria sister was married to a rich man was going to be a perfect complement to her father narcissism. With her ring on her finger, Grace had become a trophy proof of his success as a father, that he raised a daughter who could marry a rich man. And it made Grace no had voice and no opinions. Gracie bought into a lot of it, their lifestyle, their opinions, their politics, and their philosophies about life. Narcissistic her parents is the causes Victoria experienced mental bullying from her parents. Being Different from her family Being different from her family is the other example of causes mental bullying from family factor that Victoria experienced. Victoria Dawson is a main female character in "Big Girl" she was born from perfect physical appearance; Jim Dawson (Victoria father) was handsome from the day he was born. . He was tall for his age, had a perfect physical. Christine Dawson (Victoria Mother) she was petite and slim with hair and eyes as dark as his, and skin like Snow White. And Grace (Victoria Sister) she really a pretty girl like her mother. When she was a year old, she grew into a beautiful baby, Grace and her parents have the same appearance but Victoria was different from her family. She was naturally a big girl, liked her paternal great-grandmother, and her breasts made her like heavier. She had an hourglass figure that would have worked well in another era. It can be seen from the quotation here: "Victoria was different; she had a square look to her, a bigger frame, and broad shoulders for a child." (p. 28) From the quotation above, Victoria was born different with her family, both her parents and grace had thin frames, her father was tall and her mother and the baby were delicate and fine boned and had small frames. Grace and her parent have the same appearance, Victoria was different, and she look liked her grand mother that has big body. Victoria always become mockery from people around her, in her school, the teacher also mocked Victoria about her physical, Victoria feel that she really born different from her family. We can take conclusion that Victoria always feel that she was the galoshes because she had big body and she did not same with her family, her parent and sister are thin. And they like an apple, orange and banana but Victoria was always galoshes in her family and it is causes that made Victoria experienced mental bullying from her parent and people around her. The Impacts of Victoria Dawson mental bullying Bullying is a major social problem that can have serious effects on the wellbeing of young people. Many studies have suggested that greater frequency and severity of bullying is associated with poorer psychological wellbeing and with adjustment problems in later life. Difficulties later in life, such as family or workplace violence, may be more likely if the person is a bully- victim. Of the several impact of mental bullying that has been mentioned in review of related literature, which include that impacts of mental bullying that occurs in the character of Victoria is she feel sadness and self esteem. Victoria feel Sadness and self esteem; sadness is different to depression, as when people feel sad the feelings often pass in time but with depression they might not. Bullying can make people feel sad and lead to depression. People who are bullied are at more risk of depression and suicide attempts than those who are not being bullied. And Self esteem is Bullies often attack victims self esteem through verbal harassment and social exclusion. Individuals who are consistently berated and excluded by bullies may begin to believe that the bully's personal insults are true. (http://bullyingendshere.ca/EFFECTS_OF_BULLYING.html). When Victoria child, she experienced mental bullying especially from her parents. Victoria parents always embarrassed; humiliation; and condescending Victoria. In her society, Victoria also get name calling from people around her. And it made Victoria feel sadness and undermined her self-esteem, which is there are three impacts because of Victoria feel sadness and self esteem are: Search for self identity to New York Search for self identity to New York is an example from the impacts of Victoria Dawson feel sadness. Victoria Dawson always experienced mental bullying from people around her, because physical appearance. She had different physical appearance from her parent. Because her parents and people around her embarrassed, gossiping and give name calling to Victoria about physical appearance, Victoria feel suppressed and unwelcome they had made her feel for so long. Gracie was liked their only Child and she feel like the family stray dog. She did not even look like them, and she could not take it anymore. Growing up being the 'tester cake' is not easy, and even though Victoria is intelligent and ambitious, she is constantly reminded that men did not want smart girls. When Victoria finally moved out to go to college, each visit to her parents results in her dad's teasing and her mother weight-related questions. At least with her new life in New York, where Victoria is soon to be employed as a teacher, she can escaped from her family and finally start a new life in which she is accepted as who she is. Gracie had parents who worshipped and adored her, and supported her every move and decision. That was heady stuff. And she had no reason to rebel against them, or even separate from them. She did everything their father thought she should. He was her idol. And Victoria had parents who ignored her, ridiculed her, and never approved of a single move she made. Victoria had good reason to moved far away "She was willing to push herself out of her comfort zone if it meant finding herself at last, and the place where she belonged. All she knew now was that it wasn't here, with them. No matter how hard she had tried, she just wasn't like them." (p.62) Victoria leaved her cruel family in Los Angeles to become an English teacher at one of Manhattan's swankest private high schools. From the quotation above, we know that Victoria wanted to push herself out of her comfort zone, to finding herself, because they always made fun of her and diminished and dismissed her. They always made her feel unwanted and not really good enough for them. So she decided to become an English teacher at New York. The conclusion from analysis about Search for self identity to New York is Victoria decided to move to New York to fulfill her dreams and escape her family. She ready to start her new life in which she is accepted as who she is. And though her new life is exciting, the old temptations remain, and she continues to wage war with the scales. Victoria struggles to find a life far from the hurt and neglect of her childhood, the damage created by her parents, the courage to find freedom, and become who she really is at last. Struggle from her Body Image Struggle from her body image is a second example of the impacts Victoria Dawson experienced mental bullying. That makes Big Girl fascinating is how it chronicles Victoria struggles with her weight. Victoria becomes known as their tester cake, an experiment allowing them to get the recipe right the second time. She receives years of put-downs from her narcissistic father, and her mother ignores the comments, often adding her own advice as to how Victoria could make more of her looks and maybe someday get a man. The main character, Victoria, struggles with her weight, body image and self-esteem from childhood. Her parents frequently criticize her and favor her younger, thinner sister. As a consequence, Victoria constantly battles her weight, trying different diets and exercise programs, only to slide back into comfort eating when her parents upset her. It can be seen from the quotation here: "The summer before Victoria entered high school she went on her first diet, she had seen an ad for an herbal tea in the back of a magazine, and sent away for it with her allowance. The ad said that it was guaranteed to make her lose ten pounds, and she wanted to enter high school looking thinner and more sophisticated than she had in middle school." (p. 34) From the quotation above we know that Victoria Dawson had a big body and she unsatisfied with her body and she felt sad. So, she went on her first diet, she want looking thin and more sophisticated likes Victoria's sister Grace, the beautiful anger and the perfect replica of her parents is at the center of attraction in this family. We can take the conclusion that Victoria really wants struggles with her weight, Victoria parents frequently criticize her about her weight, and Victoria constantly battles her weight. Victoria really wants to look thin and reflected her family, so she did everything possible in order to lose her weight. She attempting diets, failing diets, trying at the gym, putting the weight back on, and getting therapy and surgery her nose. Finally, she gets a nose job to increase her self-worth. See a Psychiatrist People who bully others may also benefit from therapy, though they may be reluctant to acknowledge their bullying behavior openly. In therapy, bullies may begin to understand the impact their hurtful behavior has on others, explore reasons for why they bully, learn new skills for communicating positively with others, and/or address personal experiences that may have contributed to their bullying behavior. Often bullies have unresolved personal wounds that contribute to their bullying behavior, and addressing these emotional wounds or identity/social issues in therapy can be an integral step towards stopping bullying behavior. (http://www.goodtherapy.org/therapy-forbullying.html). And the last example of the impacts Victoria experienced mental bullying is she see a psychiatrist. "Big Girl" tells the story about a young woman who has been made to feel different because she does not look like her family all her life. Victoria Dawson was considered too big boned and heavy in her family and for most of her life, she was made to feel different and inadequate. She was also made to feel unloved, unlovable, and ugly. Her parents were of a different time and were very narcissistic. Her father was the kind of man who would make comments about something but make it out to be a joke, but the comments, even though joking, her mother was not much better and followed along with whatever her husband did and said. And it is hurt and would make Victoria feel like she was worth nothing for many years. When she got back to New York, she was disheartened by the things her parents had said, and the weight she had put back on, and because Harlan suggestion she see a psychiatrist. At the first time Victoria meet the psychiatrist, she asked few details about Victoria and her family background. It can be seen from quotation here: "She asked Victoria a few details about where she had grown up, where she had gone to school, and college, how many siblings she had and if her parents were still married or divorced." (p.234) From the quotation above, we know that Victoria really see a psychiatrist because suggestion from Harlan. Although in the beginning she feel agonized and afraid, she afraid if the women discovered that she was crazy. When she asked few details about Victoria, all the question is easy to answer for Victoria, especially when she answered the question about Grace, Victoria lit up like a light bulb when she answered the question about having a sibling, and then described her and how beautiful she was. From analysis about see a psychiatrist, we can take the conclusion that Victoria feel sadness and father joke is hurt her heart. So, she see a psychiatrist because Harlan suggestion. And after she sees a psychiatrist she feels free than before, she had been entirely open and honest with her. She had a feeling that she had opened a door that afternoon and let the light into the dark corners of her heart. CONCLUSION The conclusion is divided into two in This Study is about the main female character, Victoria Dawson from the novel "Big Girl" based on the statement of the problem. In analyzing the character, this study uses Psychology of Bullying theory. There are three statements of problem; What mental bullying is experienced by Victoria Dawson in Danielle Steel's Big Girl, What are the causes of Victoria Dawson mental bullying in Danielle Steel's Big Girl and What are the impacts of Victoria Dawson mental bullying in Danielle Steel's Big Girl. Those questions have been answered in the analysis. Victoria Dawson mental bullying is the main topic has been explained detail based on the theory above. As explained in the review of related literature there are several kind of mental bullying, But of the several kinds mental bullying that have been mentioned, which includes the kinds of mental bullying that depicted to Victoria Dawson mental bullying are; Humiliation, Embarrassed and Condescended. And the first explanation has used those three kinds of mental bullying to analyzing Victoria Mental Bullying. As seen in the novel, Victoria Dawson as the main character, she experienced mental bullying from her parents and people around her because different physical appearance than her family. Victoria parents were born from perfect physical appearance. Her father, mother and sister have the same appearance, but Victoria was different. When Victoria was a child, she experienced mental bullying from people around her and especially from her parents and three kind of mental bullying that have been mentioned its occurs to Victoria Dawson. In the second explanation, this study discusses about the causes of Victoria Dawson mental bullying. The causes of Victoria Dawson mental bullying its come from Family factor, There are two causes that made Victoria experienced Mental Bullying from family factor; Narcissistic her parents and Being Different from her Family. Victoria Dawson is a 6-year-old girl; for the first, she experienced mental bullying from her family when she was born And from people around her because she was a chubby little girl with blond hair, blue eyes, and ordinary looks, Victoria Dawson has always felt out of place in her family, because narcissistic her parents and she was being different from her family especially in body-conscious. And the last explanation discusses about the Impact of Victoria Dawson Mental Bullying. The impacts of Victoria Dawson mental bullying its she feel sadness and self esteem which is there are three impacts because of Victoria feel sadness and self esteem; Search for Self Identity to New York, Struggle from her Body Image, and See a Psychiatrist. Mental Bullying that Victoria experienced from her parents and people around her brings many impacts to Victoria, She feel sad, not confident and lonely. So, she decided to search self identity to New York, Struggle from her body and See a Psychiatrist to fulfil her dream, raised her self esteem and wants to look thin and reflected with her family. REFERENCE Ahmed, E. & Braithwaite, V. (2004). Bullying and Victimization. Causes of Concern for Both Families and Schools. Cambridge: Cambridge University Press. Beane, A. (1999). Facts about bullies/victims and preventive advice. United States: Free Spirit Publishing Inc. Beane Allan L., Ph.D. (2003). Bully Free Program. Helpful Fact Sheets for Parents. United States: Free Spirit Publishing Inc. DeHaan, Laura Ph.D. (2009). Bullies. United States: NDSU. Elliot, Michele. (2005). Bullying Wise Guides. New York: Hodder Children's Books. Feist, Jess, and Gregory J. Feist. (2002). Theories of Personality 5th ed. Boston: MC Graw Hall. Olweus, Dan. (1993). Bullying at School. What we know and what we can do. London: Blackwell Publishing. Olweus, Dan. (2004). Bullying at School. London: Blackwell Publishing. Sejiwa. (2007). Bullying panduan bagi orang tua dan guru. Jakarta: Grasindo. Steel, Daniell. (2010). Big Girl. United States: Delacorte Press Publisher. Sullivan, Keith. (2000). The Anti Bullying Handbook. London: Oxford University. Internet Source: (http: Bullyingendshere.ca/ Effect of Bullying. Html) Accessed in 14th 2013 (http: Selfishness and Narcissism in Family Relationships - article by Dr. Lynne Namka.html) Accessed in February 2013 (http: Goodtherapy.org) Accessed in 12th 2013 (http: What causes bullying.html) Accessed in 11th 2014
RAPE AND SHAME IN J.M. COETZEE'S DISGRACE Salman Muhiddin English Literature, Faculty of Languages and Arts, Surabaya State University salmanlatieff@gmail.com Drs. Much. Khoiri, M.Si English Department, Faculty of Languages and Arts, Surabaya State University much_choiri@yahoo.com Abstrak Pemerkosaan adalah setiap tindakan yang tidak diinginkan , manipulasi atau pemaksaan dalam bentuk aktivitas seksual. Tindakan pemerkosaan berdampak bagi pemerkosa dan korbannya. Dampaknya terhubung ke masalah psikologis , seperti kecemasan , depresi , dan gangguan mental lainnya serta perilaku moral yang bermasalah. Skripsi ini difokuskan pada tindak perkosaan yang dialami oleh karakter dan bagaimana hal itu menyebabkan rasa malu dalam novel Disgrace karya JM Coetzee. Secara khusus, tujuan skripsi ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana gambaran perkosaan yang dialami oleh karakter dan untuk mengungkapkan bagaimana perkosaan itu menyebabkan rasa malu dalam novel Disgrace karya J.M. Coetzee. Dalam analisisnya, skripsi ini menggunakan beberapa proses analisis , yaitu: (1) mengklasifikasikan kutipan-kutipan yang sejalan dengan masalah laporan, (2) menggambarkan tindakan perkosaan yang telah dialami oleh karakter, (3) mengungkapkan bagaimana pemerkosaan menyebabkan malu. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada tiga macam pemerkosaan yang digambarkan dalam cerita. Pemerkosaan pertama terjadi antara David dan pekerja seks bernama Soraya. Pemerkosaan kedua terjadi antara David dan muridnya, Melanie. Yang ketiga dialami oleh putri David, Lucy. Setelah pemerkosaan itu, pelaku dan korban perkosaan merasa malu. David sebagai pemerkosa mendapatkan aib dan tekanan publik dari komite universitas dan mahasiswanya. Dia kemudian meminta maaf kepada keluarga Melanie. Sedangkan korban akan merasa malu untuk tampil di publik karena mereka takut aibnya terbongkar. Kata Kunci: Pemerkosaan, Malu, Aib Abstract Rape is any unwanted, manipulated or coerced forms of sexual activity. The act of rape has an impact to both the rapists and the rape survivors. The impact is connected to psychological problems, such as anxiety, depression, and other mental disorders as well as problematic moral behaviour. This study focuses on the characters' experience in raping and being raped, and how it leads to shame in J.M. Coetzee's Disgrace. In particular, the purpose of this study is to describe how rape is depicted by the characters and to reveal how the characters' rape leads to shame in J.M. Coetzee's Disgrace. In the analysis, this study does some processes of analysis, they are: (1) classifying the quotations which are in line with the problem of statements, (2) describing the rape that has been experienced by the characters, (3) revealing how rape leads to shame. The result of the analysis shows that there are three kinds of rape which is depicted in the story. The first rape is happened between David and the prostitute named Soraya. The second rape is between David and his student, Melanie. The third one is experienced by David's daughter, Lucy. After the rape, the rapist and the rape survivors get shame. David is getting disgrace and gets public pressure from the university committees and the students. He then ask for apologize to Melanie's family. While the rape survivors are getting shame after being raped. They are shame to make a public appearance because they are afraid of being discovered or found out by another person. Keywords: Rape, Shame, Disgrace INTRODUCTION The definition of rape varies state-to-state and can include anything from touching to actual penetration, but, generally, rape is any "unwanted, non-consensual, manipulated or coerced forms of sexual activity" (http://www.umich.edu). The act may be carried out by physical force,coercion, abuse of authority or against a person who is incapable of valid consent, such as one who is unconscious, incapacitated, or below the legalage of consent.The termrapeis sometimes used interchangeably with the termsexual assault, and the term of violent change into rape survivor. The rape effects can include both physical trauma and psychological trauma. Rape will also lead to shame. The feeling is connected to psychological problems such as eating disorders, substance abuse, anxiety, depression, and other mental disorders as well as problematic moral behavior. The shame is also reformed from some culture that sees the rape victims are dirt. For example, a rape victim especially one who was previously a virgin, may be viewed by society as being damaged. According to Alliance, victims in these cultures may suffer isolation, be disowned by friends and family, be prohibited from marrying, and be divorced if already married, or even killed. This phenomenon is known as secondary victimization. Secondary victimization is the re-traumatization of the sexual assault, abuse, or rape victim through the responses of individuals and institutions. Rape also affects the rapist. If someone known as a rapist he will be the public enemy. The rapist may lose their dignity, job, and friends. Punishment for rape in most countries today is imprisonment. Thus he will get ashamed but the right term for rapist is disgrace. On the previous study Feminine Shame Masculine Disgrace, Nurka put little bit different from shame, "people with disgrace will automatically being shame. Disgrace is brought from without ('put to shame'), or is directed outward from its source ('a person who or thing which is the cause or source of disgrace')." (Nurka, 2012: 311). J.M. Coetzee is a South African writer born under the apartheid government. Coetzee is unveiling many fragile topics in South Africa from many of his books. He elegantly put the theme rape over the race to depict the social condition of 'New South Africa'. Rape of women by men has occurred throughout recorded history and across cultures. As the novel background, South Africa is often labeled the rape capital of the world. The prevalence of rape, and particularly multiple perpetrator rape, is unusually high. Coetzee puts the concept of rape and shame in novel 'Disgrace'. The narrative follows a white South African professor's, David Lurie, escape to his daughter's farm, after he raped his student, Melanie. The farm is soon attacked and robbed by three black men, and the daughter raped. As father and daughter piece together their strained relationship and individual lives, they must reconcile their positions in the "New South Africa," to Lucy, is gang-raped by three men on her smallholding in the Eastern Cape, but she chose to say nothing about what happened to her. She decided to take the shame on her own. While on David, he rents a room in Grahmstown to help his daughter at the market once a week and to dedicate himself to the disposal of the dogs' bodies at the shelter. He cannot back to Cape Town because he has nothing left there for his disgrace. The university had replaced him with another professor. Once he went to Melanie house bring up all his disgrace to ask for forgiving to her parents for what he did through Melanie and family. In accordance of background study above, it can be simplify to discuss among two problems that emerge as significant concern toward this novel. How rape is depicted by the characters in J.M. Coetzee's Disgrace? How the characters' rape leads to shame in J.M. Coetzee's Disgrace? To answer the first problem, this study uses the concept of rape. Rape is a multidetermined behaviour that will ultimately be explained only by models incorporating a multitude of dimensions." (Prenkty and Knight, 1991: 657). The dimensions that are possibly to explain rape are through feminist theory, evolutionary theory, self-controlled theory, narcissistic theory, and crime theory. (Lowell, 2010: 159-161). Those theories can be used to help explain how rape occurs. Feminist theorists explain that the culture of male dominance is responsible for rape occurring. On his book Rethinking Rape, Cahill simply delivered that feminist theorists assert that rape is only one symptom of the larger problem of a male dominated society. Feminist theorists see rape as more of a violent act than a sexual act, and claim that rape is inspired by political motivations to dominate and degrade. Feminist theorists also deny that rape has an individualistic nature, but claim that rape is "nothing more or less than a conscious process of intimidation by which all men keep all women in a state of fear" (Cahill, 2001:16). Self control theory can lead to a man committing rape against a female. It is based on the premise that the male sex drive is uncontrollable. Men with this belief say that their sexual urges cannot be controlled and they are not responsible for their actions. Proponents of this theory "[propose] both that men's sexual energy is difficult to control and that women have a key role in its loss of control," since women deny sex to men who have to relieve their sexual drive (Polaschek & Ward, 2002, p. 13). This theory can be tied to Gottfredson and Hirschi's low self-control theory. Low self-control theorists posit that, since criminal acts provide immediate gratification, criminals will engage in them because they are not able to defer gratification. A biological explanation of rape includes Thornhill and Palmer's evolutionary theory of rape .Proponents of this theory claim that those men who were able to force their sexual desires on women were able to reproduce more efficiently, and thus have more offspring with their traits. Thornhill and Palmer are "dismissive of rape theories that emphasize the role of culture and learning in the acquisition of rape-prone traits, arguing that culture is only possible because individuals have evolved capacities that enable them to learn" (Siegert & Ward, 2002:6). Another theory that can explain rape is the narcissistic reactance theory, which is also tied to Gottfredson and Hirschi's (1990) low self-control theory. In this theory, narcissists are defined as having a "lower proneness to shame and guilt," having "unrealistically positive self-evaluations," and being "especially likely to respond to bad evaluations by blaming other sources, including the evaluator and the technique of evaluation" (Baumeister et al., 2002: 3). These theorists claim that the, "tendency to respond to esteem threats by getting angry and blaming others may contribute to the elevated level of interpersonal difficulties that narcissists report" (Baumeister et al., 2002: 4). The second problem is using the concept of shame. Some victims of rape are feeling dirty, devalued, and humiliated as a result of a sexual assault. Feelings of shame are often related to the powerlessness and helplessness victims experience during a sexual assault. Shame may also be a reaction to being forced by the assailant to participate in the crime. Shame is the painful feeling of having done or experienced something dishonourable, improper and foolish. Shame is what prevents many survivors from speaking about what happened to them. Shame is an attack on the survivor as a person. It is the feeling you get when you are sure that someone will think poorly of you because you were assaulted. Shame is longer lasting, and ultimately more dangerous than guilt. The feeling of shame is so intense for rape victims that many of them never tell anyone what happened to them. Even in psychotherapeutic settings, victims of rape often avoid talking about what happened to them. (http://www.healthyplace.com/abuse/articles/guilt-and-shame-of-being-raped/, retrieve on: 15 April 2014). Shame is already bears the germ of guilt. Shame becomes guilt when the social norms are internalized as one's own feelings of value and when self-condemnation anticipates public exposure. This presupposes the development of a personal centre, with the beginning capacity to regard oneself as the originator of one's actions, to evaluate and feel responsible for them. In contrast to shame, guilt is no more bound to the immediate presence of the other; its impact is more lasting. The event one is to be blamed for sin in the past. Thus the present rejection of shame becomes the already executed expulsion of elementary guilt. Instead of being exposed to, and paralyzed by, the others' gazes, the culprit feels, as it were, already abandoned. (Thomas Fuchs, 2003: 8). RESEARCH METHOD Research method that used in this analysis here must be qualified as an applying in literary appreciation. The thesis is regarded as a descriptive-qualitative study and uses a library research. This study uses novel of J.M. Coetzee, entitled Disgrace that published by Vintage, Random House, 20 Vauxhall Bridge Road, London, Great Britain, 1999 as the main data of the study. The data are in the form of direct and indirect speech of the characters, dialogues, epilogues and quotations which indicate and represent aspect of rape by the characters that lead to shame. This thesis is using the library method in collecting the data. It does not use the statistic method. That is why it is not served in numbering or tables. Library research used an approach in analyzing this study. The kind of library research which is used here is intensive or closely reading to search quotations or phrases. It also used to analyze the literary elements both intrinsic and extrinsic. The references are taken from library and contributing ideas about this study from internet that support the idea of analyzing. The analysis is done by the following steps: (1) Classification based on the statement of the problems. This classification is used to avoid the broad discussion. There are two classifications in this study. They are the depiction of rape and how it leads to shame. (2) Describing David Lurie's and Lucy's rape which is stated from the quotations or statements. (3) Describing how the shame and disgrace they got which is stated from the quotations or statements. (4) Revealing the relations between rape and shame. The quotations that showed how the characters' rape leads to shame are taken as data. (5) Drawing the conclusion based on the analysis which is in line with the problems. ANALYSIS The first analysis is the depiction of rape. In Disgrace the rape parted in three different background and motif. The first rape is from David to Soraya the prostitute woman. David uses his financial advantages to buy woman for sex. After the relationship with Soraya ended David engage to a scandal with his Student Melanie. David admits that he misused his authority as a lecturer to have sex with his student. This depicts the condition of male domination particularly in South Africa. The last rape happened to David's' daughter, Lucy. She raped by three black African intruders. The rape of Lucy remains mystery for her silence to not tell the policemen about the incident. In his age of fifty two, and divorced, David proclaim that he has solved problem of sex rather well even without a wife. However, the reason of his 'solved problem of sex' for over one year is Soraya, a high-class prostitute girl from an escort service. She is a coloured woman that David has a historical interest. She has a honey brown body. She is tall and slim, with long black hair and dark, liquid eyes. Simply said this beautiful girl becomes his sources of happiness. "It surprises him that ninety minutes a week of a woman's company are enough to make him happy, who used to think he needed a wife, a home, a marriage" (Coetzee, 1999:5). David's ideal marriage is with a wife that is a prostitute, but for him only and only at certain times. He met Soraya only on Thursday. On the other day he is back to his normal life. With Soraya he already find the happiness he belief. It makes him thought; there is no need to search for another life destination such as home and real wife. It made David rely on prostitution in his sexual life. Prostitution as the solution allows him to fantasize that a woman mirrors his wishes. He bought sex he wanted and she got extra money from him. For David money is no problem concerning that he lived alone with his salary as a professor and lecturer. As a consequence, he paid double for her. At least his money is worthy for finds her entirely satisfactory. As a customer, David is on dilemma seeing this prostitution. He knows that every woman in the prostitution is perforce. Women in prostitution would leave if they could. The term is an indicator of their hopelessness. "They tell stories, they laugh, but they shudder too, as one shudders at a cockroach in a washbasin in the middle of the night" (Coetzee, 1999:8). In their mind, they see that women in prostitutes are disgusted with their customer, so does the customers. Soraya just pretended to keep their customer satisfied. Prostitutes sometimes talk of the feeling of power they experience when they are with their customer. They are talking about a feeling of control when engaged in sexual acts. They soon feel the disadvantages of that particular way of life. It also exposes the fragility of the illusion of control over what another subject wants. If a man wants a woman to want what he wants, he can only force her to pretend to want his desire and then he has also to deny that pretence. David then met Melanie, his student. He treats her under the wine and romantic music, the Mozart clarinet quintet. He made his move to seduce Melanie in some conversation. He talked about poetry, music, food, and his past life. Then, after he offered some liqueur, the higher alcoholic drink, he said directly to Melanie, asking her to do something reckless. He touch her and said "You're very lovely . Stay. Spend the night with me." (Coetzee, 1999: 16). Melanie refused his liquor but accept a shot of whisky in her coffee. She should say no at that time instead wonder and ask why. She trapped to this conversation: 'Why?' 'Because you ought to.' 'Why ought I to?' 'Why? Because a woman's beauty does not belong to her alone. It is part of the bounty she brings into the world. She has a duty to share it.' (Coetzee, 1999: 16) As a professor of language and communication, David, could easily manipulate the words, he says. The way he talked to Melanie reflects his experience through many women. "Smooth words, as old as seduction itself." (Coetzee, 1999: 16). He says it indirectly to make Melanie believes what he belief. He makes the statement so convincing and become hard to decline. Melanie herself was mistaken to ask more to David, because she did not know how to deal with him. Instead saying 'why', she should say 'no' to David when he asked her to stay. So she would not get in this complicated situation. Maybe she should already say 'no' when David asked her to come to his house. David was in a grip of something and he would not let it go. However, what is done is done. The next day David asked Melanie to go lunch. Again, Melanie cannot reject David offer. There is still time for her to tell a lie but she is too confused, and the moment passes. In the restaurant, they got an awkward situation because Melanie lost her appetite and there was a long silent. Then David asked to Melanie about what is on her mind: `Is something the matter? Do you want to tell me?' She shakes her head. `Are you worried about the two of us?' `Maybe,' she says. `No need. I'll take care. I won't let it go too far.' Too far. What is far, what is too far, in a matter like this? Is her too far the same as his too far? (Coetzee, 1999: 19) After the harassment from David a day before, Melanie must wonder about his plan. The women should worry about her safety. Because feminist, Cahill, agree that one of the rape purpose is to take women into state of fear, and it is he responsibility of masculinity and the construction of patriarchy. Men are possible to keep women as a fragile creature and need protection. Knowing that Melanie may feel bad about this situation, David guarantees that the thing would not go too far, he put Melanie to feel safe at least. This is another tactical seduction that is done by David. He manipulates the situation and manages it like there is nothing happen like everything is fine. It is not hard for him to do it concerning that Melanie was an easy target for him. The rapist always seeks the powerless people to be his target. Finally, they have sex for the first time. Even though, it is not the first time for both of them. David took Melanie to his house after getting lunch in the restaurant. They did it on the living room with rain sound pattering. Melanie is passive on the first time they have sex. While David finds the act of her passivity is so enjoyable. Melanie is passive like Soraya. She does not crawling, bite, and aggressive. She is his typical woman he was searching for. He was having sex with another whore after Soraya left him. But he did not like it because she is aggressive. So he never does it again with her. His desire was only on Melanie this time. It is stated in the novel that "She struck up a fire in me" (Coetzee, 1999: 166). Fire is a symbolization of energy that can stimulate one's desire. This fire heat up his libido that pushes him doing something undesired to the core. In the rape theory, David can be considered as narcissistic because he tend to be willing to do whatever it takes to achieve the goal that they want from a relationship, including rape. In this theory, narcissists are defined as having a lower proneness to shame and guilt, having unrealistically positive self-evaluations, and being especially likely to respond to bad evaluations by blaming other sources, including the evaluator and the technique of evaluation. Narcissistic suits David as a rapist. He has lower sense of shame, as teacher and student he took Melanie to go out lunch just the two of them. Considering that he is the famous person in the city, people will wonder what is he up to. In the restaurant he seduced her and ask her to do something wild. He is implying that she has to have sex with him. But the relationship become a scandal that makes him lost his job. After realizing that there's nothing left for him in Cape Town, David wanted to change the atmosphere. He moved to the east across the country to the rural town of Salem in the Eastern Cape, where his daughter Lucy lives alone on a smallholding, growing vegetables to sell at the Saturday market and running a kennel for dogs. David begins a new life there, helping Lucy at the market, assisting Lucy's neighbour Petrus with odd jobs as "I am the gardener and the dog-man" (Coetzee, 1999: 64), and volunteering at the Animal Welfare Clinic with Bev Shaw. Lucy is leftish which make her the reversal of her father. She even did not want call herself a boss by Petrus. She is not individualist but socialist. She helps people no matter who they are. But this time she made big mistake by risk herself to strangers. Lucy tells David to stay outside while she takes the tall man indoors to use the phone. The second man runs in to the house behind them and locks David out. In a total panic, David let go of the bulldog's strap and commanded the dog to go after the boy. Then he kicks down the kitchen door. David tried to save Lucy but he felt someone whack him over the head. He falls down, barely conscious, and feels himself being dragged across the floor. When he realize, he's locked in the bathroom and wondering what's going on with Lucy. The second man comes in to get the car keys from David and then locks him back in. Meanwhile, he looks out and sees the tall man with a rifle. The tall man starts shooting the dogs one by one, splattering brains and guts all over the place. And if that isn't bad enough, the second man and the boy come back in the bathroom, douse David with alcohol, and set him on fire, luckily just his hair catches burning and he extinguishes himself in the toilet. They leave, stealing David's car. David and Lucy are left to deal with everything that just happened. During this whole nightmare, Petrus is nowhere to be found. After being raped, Lucy decided to not report the rape to the police. The silent of Lucy depict the subjugation or conquest. "No I am not blaming you, that is not the point. But it is something new you are talking about. Slavery. They want you for their slave." (Coetzee, 1999: 159). Lucy response him and disagree with "Not slavery. Subjection. Subjugation." (Coetzee, 1999: 159). This makes Lucy as the rape survivor depend on men to get protection. The second analysis is about how rape leads to shame. In Disgrace the rape that experienced by the rapist and the rape survivor transform and effect their life worst then before. From the previous study Nurka classified the effect of rape by gender: (1) Female as the object will get shame, (2) men as the subject will take disgrace. (Nurka, 2012: 310). The male character, David Lurie, got disgrace after doing sexual harassment to his student, Melanie. As the rapist, David will be haunted by his sin and losing his reputation and his job. While Lucy, the rape survivor got shame after being raped. The act of rape means to take away by force which the dignity is to be taken. Loosing dignity makes woman feel shameful. It turns out that the act of rape is not only giving shame feeling to the victims but also to the rapist. Soraya knows about the attachment of shame for being prostitute. Then when she met David in the midtown, she was afraid if the public know who she is. This is because David is the famous person in Cape town. "He has always been a man of the city, at home amid a flux of bodies where Eros stalks and glances flash like arrows" (Coetzee, 1999: 6). Concerning that shame is social affect associated with being discovered or found out by another person, she knew that he is the famous person in the city. It is too risky to stay in public with him. There is a high possibility that her secret will spread. Then to keep her pride for her children Soraya decided to quit the job. She did not want her children knows their real mother is. So she decided to resign from the escort and disappeared from that business. David ought to end but he pays a detective to tracking Soraya instead. When he got the number he makes a call. Soraya surprise and wondering abot how he gets the numbers. She did not talk for a moment. She wondered because the agency has a rule about keeping the former prostitutes identity. After the silent she said "I don't know who you are,' she says. 'You are harassing me in my own house. I demand you will never phone me here again, never." (Coetzee, 1999: 10). After this moment he did not contact Soraya anymore. For Melanie, after she gets the coercive sexual by David, she becomes a different person in class. She even absent when it was on midterm test. Then she told her boyfriend that her professor have sex with her. The boyfriend then angry to him and vandalize his car, deflated the tires and injected a glue on both door. "After this coup de main Melanie keeps her distance. He is not surprised: if he has been shamed, she is shamed too." (Coetzee, 1999: 31). The gossip may be starting to spread so she tries to not meet him. But on Monday she reappears in class and beside her, leaning back in his seat, hands in pockets, with an air of cocky ease, is the boy in black, the boyfriend. The student in the class knew about what is going on from the gossip. They are clearly waiting to see what the professor will do about the intruder. Professor let the boyfriend intrude to the class but then he asked Melanie to come to the office and tell her to not let the boyfriend do that again. After that moment Melanie never come to the class anymore. Furthermore, after being ashamed she decided to give up her study in the university. Thus her father asked David to tell Melanie to not give up. At this moment, Melanie's father , Mr. Isaacs did not know that David is the causes of his daughter wanted to quit the university. As David thought "I am the worm in the apple… how can I help you when I am the very source of your woe?" (Coetzee, 1999: 37). After knowing that David rape his Doughter Mr. Isaacs tell him that what e sad done is not right. He imply that he does not sending her daughter to the nest of viper that poisoned her daughter with the act of rape. He feels ashamed about what was happen. He disappointed that an educated person like Professor David do an embarrassing and stupid thing. After the university fired David, Melanie continued her study. From the university scandal Melanie is regarded as victims and the professor is the one who responsible. Thus the disgrace runs to David. Even though Mr. Isaacs' family got ashamed too from his rape they not reported this to the policemen. David is lucky this time. It is obvious that the rape survivor will blessed with so much shame. It is also happened on Lucy. The first thing she did is staying at home. She does not want to go outside. The trauma and the fear will grow upon her. In earlier days after the rape he stated that he was nothing, heist e dead person. She did not want to meet people too. She would rather hide her face, and he knows why. Because of the disgrace. Because of the shame…. Like a stain the story is spreading across the district. Not her story to spread but theirs: they are its owners. How they put her in her place, how they showed her what a woman was for. (Coetzee, 1999: 115) It is a related to shame that person who gets shame will hide itself from public. Lucy was avoiding he people talk and question. It takes a time to recover from this trauma. But she could not let it go to long because if she do not going outside she will lose her job and stall in the market. To replace her, David and Petrus doing her job in the market. The damage that is given to Lucy, the rape survivor, may attached forever. She felt everything will never be the same. "One is never oneself again?" (Coetzee, 1999: 124). Is "Lucy" still "Lucy"? Lucy also emphasizes the existence of herself "I am not the person you know. I am a dead person and I do not know yet what will bring me back to life." (Coetzee, 1999: 161). With nothing to left she got nothing to lose. Then she decided to take consequences of human body in pain. Lucy takes the consequences of human body in pain. "I must learn to accept. To start at ground level. With nothing. Not with nothing but. With nothing. No cards, no weapons, no property, no rights, no dignity." (Coetzee, 1999: 205). From the sentence above it is shown that Lucy is starting to understand her condition after being raped. She decided to start her business in farm and her vendor. Although she realises that she has nothing left. The rapist also takes her dignity that is the biggest loose after the rape. A woman without a dignity will judge herself as a shameful person. She also feels that she has no right to her own land and properties. It is because Petrus take over it. As the rapist, David Lurie got public pressure from university committee and the students. At first he does not confess that he is guilty. But after her daughter being raped by three African intruders he contemplate and change his attitude. Then he ask for apologize to Melanie's family. After the scandal of lecture and his student were reported in university newspaper, the university made a committee. When answering the question, David giving no clue to the judges. David was making confusing issues to them. The committee not wanted to force David to make apologize. They wanted to help David to keep doing his career by making a statement to make it clear. But he resisted by saying "I am being asked to issue an apology about which I may not be sincere?" (Coetzee, 1999: 58) David's refusal to be "disgraced" can be read as a warlike strategy in the realm of sexual politics. For by renouncing the assault, David transfers the shame he feels upon Melanie in an attempt to strengthen his wavering masculinity and suppress her intimidating femininity. He plead guilty when he was in the committee. He remains silent and giving no story from his side. When David asked someone in the neutral position that is his former wife, Rosalind. She told him that he should have known that he is too old to be meddling with other people's children. He should have expected the worst from the scandal. She also blame the two for all that happened. `Don't blame her! Whose side are you on? Of course I blame her! I blame you and I blame her. The whole thing is disgraceful from beginning to end. Disgraceful and vulgar too. And I'm not sorry for saying so.' (Cortzee, 1999: 45) David feels disgrace on himself but he still cannot accept it. He said nothing to the committee and plead guilty. But from her former wife explanation he cannot resist it. Even though he must be so angry when he heard what she said. But he controlled his emotion and accept the disgrace given by the rape. For earlier, David is described as "mildly smitten with Melanie" and that "it was no great matter: barely a term passed when he did not fall for one or other of his charges" (Coetzee, 1999: 11-12,). Masquerading as the tragic subject of the ungovernable impulse of Eros, David publically justifies and renounces the stigmatization of Melanie's rape.David's lack of a sincere apology and his refusal to publically acknowledge the assault, along with his fanciful illustration of himself as a "servant of Eros" (Coetzee, 1999: 52) demonstrates the way in which disgrace (though masked as desire) is felt by men as a response to threatening femininity. Spurned and embarrassed by the loss of his womanizing charms, David's shame is directed into lust, later to be passed off as "Eros" when he encounters Melanie Isaacs, whom he refers to as "Melanie: the dark one" (Coetzee, 1999: 8). As with Soraya, David's seduction of Melanie is an attempt not only to reclaim sexual privilege, but to emphasize the traditional patriarchal procedures of the European culture, in which such privilege, like Lurie himself, is embedded. The worst thing from David's disgrace is how he, an intellectual person which had title a professor, becomes a person who can do nothing except working in bad place. To be a dog-man, that he already underestimate it on Petrus. By the time, David realized that he can't do nothing but accept what the destiny does. The situation that makes him to take any job turned David into a rational man. What David has and does in the university, which let him to become an intellectual people, disappear when he moved out. He then realized that what he writes about Byron and natural poets all this time is all about the death person. He never writes something in contemporary. CONCLUSION There will be two conclusions which are in line with the statement of problems. The first conclusion is about the depiction of rape in the novel Disgrace. The second conclusion is about how rape lead to shame through the rapist and the rape survivor. From the analysis that has been done about the depiction of rape. It can be concluded that that the author, J.M. Coetzee use the rape to describe the condition of race in post apartheid. All the rape in this novel is interracial rape. There are three kinds of rape experienced by three female characters. The first and the second rape was done by David, white male character that desiring ethnic women. He lived in promiscuity or womanizer that used to have sex with a lot of women. Then in the end he involved in scandal with his student, Melanie. Then the third rape was done to David's daughter, Lucy. She was being raped by three African intruders. The first rape is happened between David and the prostitute, Soraya. On his age of 50 he has no plan to married again. Thus, it made David rely on prostitution in his sexual life. His ideal marriage is with a wife that is a prostitute, but for him only and only at certain times. He met Soraya only on Thursday. On the other day he is back to his normal life. With Soraya he already find the happiness he belief. It makes him thought; there is no need to search for another life destination such as home and real wife. Prostitution gives the solution that allows him to fantasize a woman to mirrors his wishes. This can be classified as rape concerning that every women in prostitutes would leave if they can and she has to do it because there are no other choices. But in the end Soraya decided to quit the job as prostitutes so he has no other place to suit his lust. Then, accidently David met Melanie on the way home. She is his student from romantic class. Melanie is a colored girl, this make David interest to her concerning that he is desiring ethnic women. He forced her to have sex. He did not force her physically but seduced her with suggestive words. The relationship between them then became a scandal in the campus and also became the talk of the city. He left the town and visits his daughter in other town to run away from the situation. During his visits to his daughter, three black men attack Lurie and Lucy at home. The men lock Lurie in a bathroom and rape Lucy in the bedroom. The second half of the novel deals with the aftermath of that moment. Lucy did not want to tell the police and keep silent about what happened to her. She also rejected her father offer to move to Holland. She claimed that it is a private matter and not to be shared. With nothing to left she got nothing to lose. Then she decided to take consequences of human body in pain. Accepting the subordinates , she is willing to sacrifice herself, brings peace between the different racial groups in South Africa. The second conclusion is about how rape lead to shame. In Disgrace the rape that experienced by the rapist and the rape survivor transform their life worst then before. The act of rape means to take away by force which the dignity is to be taken. Loosing dignity makes woman feel shameful on herself. While the rapist that considered as a thief will judge as disgraceful person after the rape. The male character, David Lurie, got disgrace after doing sexual harassment to his student, Melanie. As the rapist, David will be haunted by his sin and losing his reputation and his job. While Lucy, the rape survivor got shame after being raped The first shame is from the prostitute, Soraya. She felt the shame for being prostitute because every prostitutes is attached to shame. Then to keep her pride for her children, Soraya decided to quit the job. She did not want her children knows their real mother is. So she decided to resign from the escort and disappeared from that business. The second shame is from Melanie that involved in scandal with her lecture, David. She was shame for being reported even as victims. She often not attended the class even it was a midterm test. But she still survives to continue his study to university. This is maybe because David was kicked out from the university and not to be someone near her. The third shame is from Lucy, she raped by three African intruders. She is a lesbian that live alone in the small town. She thought that the rape that she got is the payment for living in South Africa. She felt that the rapist wants her to back home to Europe because the westerner's does not belong to South Africa. Then she decided to stay and stay silent about the rape, and keeping her shame as a private matter. The last disgrace is from David, as rapist, David Lurie got public pressure from university committee and the students. At first he does not confess that he is guilty. He loses his job as a professor and turn to be an animal's clinic assistance for killing unwanted dog. After her daughter raped by three African intruders he then contemplates and changes his attitude. He ask for apologize to Melanie's family for his feeling guilty that he never confess before. The ending of the novel shows us that Lucy as the rape survivor could start her life again from the start. She continued to seeding a new plan even she is on pregnancy. He father, David, started to understand that he live in South Africa. Then, he stop complaining about the condition. Disgrace ends with Lurie staying on in Graham's town, continuing to help out at the animal clinic. The open ending of the novel shows Lurie playing excerpts from his opera in the making on a makeshift toy banjo to the three legged dog, Driepoot, who is awaiting his turn for mercy killing. REFERENCE Abegunde, Babalola. 2013. Re-Examination of Rape and Its Groing Jurisprudance under International La. Journal of Politics and Law. Vol. 6, No. 4. Abbey, A., Parkhill, M., Clinton-Sherrod, A. & Zawacki T. 2007. A comparison of men who committed different types of sexual assault in a community sample. Journal of interpersonal violence. Baumeister, R., Catanese, K. & Wallace, H. 2002. Conquest by force: a nacissistic reactance theory of rape and sexual coercion. Review of general psychology Bushman, B., Bonacci, A., Dijk, M. & Baumeister, R. (2003). Narcissism, sexual refusal, and aggression: testing a narcissistic reactance model of sexual coercion. Journal of Personality and Social Psychology. Cahill, A. (2001). Rethinking rape. Ithaca: Cornell University Press Coetzee. J.M. 1999. Disgrace. London: Vintage, 2000 Fuchs, Thomas. 2003. The Phenomenology of Shame, Guilt and the Body in Body Dysmorphic Disorder and Depression. Journal of Phenomenological Psychology. vol. 33, no. 2. Gottfredson, M. & Hirschi, T. 1990. A general theory of crime. Stanford: Stanford University Press Lowell, Gary. 2010. A Review of Rape Statistics Theories and Policy. Undergraduate Review. Massachusetts: Bridgewater State University. Nurka, Camille. 2012. Feminine Shame/Masculine Disgrace. Journal of Cultural Study. University of Melbourne Prentky, R. & Knight, R.1991. Identifying Critical Dimensions for Discriminating Among Rapists. Journal of Consulting and Clinical Psychology Siegert, R. & Ward, T. 2002. Rape and evolutionary psychology: a critique of Thornhill and Palmer's theory. Journal of Aggression and violent behavior
ABTRAKSISejarah nasional bangsa kita menggambarkan bagaimana pentingnya peran dan fungsi dari mahasiswa dalam proses kehidupan bangsa, mahasiswa mengawali setiap perubahan– perubahan dengan tujuan adanya kehidupan yang lebih baik. Sejarah dari perjuangan mahasiswa memberikan predikat prestisius bagi mahasiswa antara lain sebagai iron stock, guardian value, agen of change,dan sebagainya. Gelar tersebut memberikan tanggung jawab moral bagi setiap mahasiswa, tanggung jawab kepada masyarakat untuk mampu melihat masalah, memberikan solusi serta menjadi penyalur aspirasi bagi masyarakat awam kepada pemerintah. Tanggung jawab kepada bangsa dan negara sebagai pemegang tongkat estafet untuk meneruskan kepemimpinan bangsa kelak. Pentingnya peran dan fungsi mahasiswa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadikan mahasiswa kelompok yang penting untuk terus di ikuti perkembanganya. Melihat bagaimana keadaan dari mahasiswa saat ini, miris keadaanya, mahasiswa yang seharusnya membaca, berdiskusi, serta terlibat aktif dalam kehidupan organisasi dalam kampus, menjadi sesuatu yang langka untuk di lakukan . Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk meneliti perilaku politik dari aktivis mahasiwa terlebih khusus kepada pengurus organisasi mahasiswa, di karenakan aktivis mahasiswa menjadi barometer dari mahasiswa pada umumnya. Penelitian ini mengambil lokasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi Manado, di karenakan peneliti bernaung sebagai mahasiswa dalam institusi tersebut. Dengan menggunakan Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif, yaitu menggambarkan subjek/objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Untuk mendapatkan perilaku politik dari aktivis mahasiswa FISIP UNSRAT yang saat ini, peneliti membatasi tahun masa jabatan dari Pengurus Organisasi Mahasiswa FISIP UNSRAT di tahun 2012. Informan penelitian dipilih secara purposive, yaitu seturut kepentingan peneliti untuk memperoleh data sesuai dengan topik penelitian, informan pada penelitian ini adalah pengurus organisasi mahasiswa FISIP UNSRAT tahun 2012. Teknik pengumpulan data, data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap informan, data sekunder di kumpulkan melalui literatur maupun data tertulis sesuai kebutuhan penelitian.Dari hasil penelitian ditemukan perilaku Aktivis mahasiswa FISIP UNSRAT (Pengurus Organisasi Mahasiswa FISIP UNSRAT tahun 2012) bersifat Subject, mahasiswa lebih cenderung kepada orientasi afektif dimana pengurus ormawa FISIP UNSRAT, sudah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai pentingnya peran dan fungsi mahasiswa, juga mengetahui berbagai kebijakan-kebijakan yang di buat dalam tatanan kampus, serta merasa di rugikan dalam penerapanya, tetapi dalam action point / tindakan yang di lakukan pengurus ormawa tidak berani untuk bersentuhan dengan pimpinan fakultas ataupun universitas di karenakan pengurus ormawa FISIP UNSRAT tahun 2012 merasa tidak mampu untuk dapat merubah system secara langsung di karenakan berbagai hal yang terjadi dalam intern mahasiswa (seperti munculnya sifat apatis dan hedonis dari mahasiswa) juga makin besarnya pengaruh dari pimpinan fakultas maupun universitas terhadap kehidupan mahasiswa secara keseluruhan.Kata kunci: Perilaku Politik, AktivisMahasiswa.PENDAHULUANSetiap Negara mempunyai ciri khas dalam pelaksaan demokrasinya,ini di tentukan oleh sejarah Negara yang bersangkutan, kebudayaan, pandangan hidup, dan tujuan yang ingin dicapainya. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi Pancasila, yaitu pemerintahan rakyat yang berdasarkan nilai-nilai filsafat Pancasila. Prinsip demokrasi pancasila yang tertuang dalam sila keempat mencerminkan bahwa Pancasila sepakat kalau sumber utama dari semua kewenangan dalam demokrasi ada di tangan rakyat. Dalam proses demokratisasi di negara ini pengaruh mahasiswa tidak dapat di pungkiri kehadirannya, mahasiswa dalam kaitanya dalam penerapan demokrasi menjadi posisi penentu. Histori dari perjuangan mahasiswa memberikan predikat prestisius bagi mahasiswa seperti yang dikatakan Purnama (2008:1) antara lain " sebagai iron stock, sebagai guardian value, dan sebagai agen of change." Gelar tersebut memberikan tanggung jawab moral bagi setiap pribadi yang masuk dalam perguruan tinggi yang secara administratif menjadi mahasiswa pada umumnya, tanggung jawab kepada masyarakat untuk mampu melihat apa yang terjadi pada masyarakat dan mampu memberikan solusi kepada masyarakat dalam setiap masalah yang terjadi, serta menjadi penyambung lidah dari masyarakat awam kepada pemerintah. Bahkan bertanggung jawab kepada bangsa dan negara untuk melanjutkan proses regenerasi kepemimpinan dalam pemerintahan kelak (iron stock), karena dari mahasiswalah muncul kader – kader bangsa yang di persiapkan secara mental dan intelektual yang lebih dari masyarakat pada umumnya.Pada masa kekinian realita dalam kehidupan mahasiswa menjadi sesuatu yang miris keadaanya. Mahasiswa yang seharusnya mengembangkan kemampuan kognitifnya dengan membaca, berdiskusi, berpartisipasi dalam kehidupan organisasi kampus untuk dapat berdinamika di dalamnya, juga berpartisipasi aktif dalam setiap hal yang bersifat sosial untuk dapat menumbuhkan jiwa sosial kepada masyarakat, untuk keadaaan saat ini menjadi sesuatu yang langka untuk di lakukan mahasiswa. Saat ini fenomena yang terjadi adalah mahasiswa jauh lebih sering hanya ke kampus dan setelah itu memilih untuk menghabiskan waktu bersama teman dan berkegiatan di sekitaran pusat perbelanjaan dan kuliner yang ada di sekitaran kampus ataupun kota tempat kampus tersebut berada. Sangat sulit untuk menemukan kegiatan diskusi di luar kelas untuk membahas hal – hal yang menjadi persoalan dalam bidang ilmu yang di tekuni atau berbagai hal menyangkut negara dan masyarakat, bukan hanya hal tersebut mahasiswapun menjadi tidak berminat dalam mengikuti kegiatan organisasi kampus, yang sebenarnya dalam organisasi kampus mahasiswa dapat berproses dengan baik dalam pembelajaran dan pendidikan yang diperoleh melalui program kegiatan yang dilaksanakan organisasi secara formal maupun informal. Dengan bergabung aktif dalam organisasi kemahasiswaan yang bersifat intra ataupun eksra kampus berefek kepada perubahan yang signifikan terhadap wawasan, dan cara berpikir. Hal tersebut menjadikan aktivis mahasiswa menjadi barometer dalam melihat bagaimana keadaan mahasiswa secara umum.Berdasarkan hal–hal tersebut sangat penting untuk meneliti perilaku politik aktivis mahasiswa saat ini, bukan hanya menjadi sebuah pengamatan ataupun pembicaraan, tapi menjadi sesuatu yang riil untuk dapat melihat lebih dalam bagaimana keadaan mahassiwa saat ini dari kacamata keilmuan. Untuk meneliti perilaku aktivis mahasiswa, peneliti mengambil pengurus organisasi mahasiswa sebagai objek penelitian, tempat penelitian diFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi Manado, hal tersebut di karenakan peneliti bernaung sebagai mahasiswa di fakultas tersebut sehingga mempunyai tanggung jawab moral untuk memberikan sumbangsih pemikiran. Untuk melihat lebih focus kepada objek penelitian, peneliti membatasi tahun penelitian perilaku aktivis mahasiswa (pengurus ormawa) yang terjadi pada tahun 2012. Hal tersebut untuk dapat melihat perilaku politik aktivis mahasiwa yang terjadi pada masa ini.TINJAUAN PUSTAKAPengertian Perilaku PolitikMenurut Almond dan Powell yang di kutip oleh Efriza "secara bebas perilaku politik dapat diartikan sebagai keseluruhan tingkah laku politik para aktor politik dan warga negara yang dalam manifestasi konkretnya telah saling memiliki hubungan dengan kultur politik. Dapat pula diartikan bahwa sikap – sikap warga negara, respon – respon dan aktivitasnya terhadap sistem poltik yang ada tersebut dipengaruhi oleh budaya politik yang membentuknya. Sementara Robert K. Carr yang menyatakan, perilaku politik (political behavior) dinyatakan sebagai suatu telaah mengenai tindakan manusia dalam situasi politik. Bagi Ramlan Subakti, interaksi antara pemerintah dan masyarakat, antara lembaga–lembaga pemerintah, dan antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksaan, dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik.Arifin Rahman menyatakan, secara kontekstual, sebenarnya situasi politik memiliki ruang lingkup yang sangat luas, antaralain meliputi pengertian respon emosional berupa dukungan ataupun sikap apatis kepada pemerintah, respon terhadap perundang-undangan dsb. Dengan demikian, perilaku warga negara yang ikut serta dalam pemilu merupakan bentuk sikap warga negara terhadap pemerintah sekaligus merupakan telaah politik. Menurut Ramlan Subakti dalam Efriza, tindakan dan perilaku politik individu ditentukan oleh pola orientasi umum yang tampak secara jelas sebagai pencerminan budaya politik. Segala bentuk ucapan, pernyataan, tingkah laku, bahkan mitos dan legenda sekalipun sebenarnya diungkapkan sebagai akibat pola dan budaya politik. Dengan demikian segala tingkah laku seseorang atau aktor politik merupakan parameter dalam melihat bagaimanan sikap dan dengan siapa individu itu bergaul atau berkumpul.Beberapa pengertian diatas membawa pengertian bahwa perilaku politik akan membentuk budaya politik, dan perilaku politik di pengaruhi oleh budaya politik yang sudah terbentuk dalam suatu masyarakat. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa variabel perilaku politik dan budaya politik tidak dapat dipisahkan.Untuk dapat mengetahui perilaku politik suatu masyarakat dapat ditilik dari distribusi pola–pola orientasi khusus menuju tujuan politik di antara masyarakat tersebut. Dengan menggunakan pendekatan teori budaya politik yang didalamnya menggali orientasi politik individu yang membentuk perilaku politik seseorang yang dikembangkan dari Talcott Parsons dan Edwars Shills (Toward a General Theory of Action) yang terkenal dengan psikoanalisisnya kita dapat melihat bagaimana perilaku politik suatu komunitas maupun masyarakat . Tipe–tipe orientasi politik individual tersebut adalah:1. Orientasi Kognitif (Parochial) individu dalam komunitas sosial hanya sekedar mengenal simbol–simbol politik, pengetahuan mendasar tentang kepercayaan politik, peranan, dan segala kewajibanya serta input dan outputnya. Orientasi kognitif ini bisa di contohkan dengan sikap politik seseorang saat menentukan pilihan politik di pemilu. Apabila individu tersebut sekedar mengetahui simbol politik partai pilihanya, dan ia tidak begitu dalam mengetahui visi dan misi perjuangan partai yang hendak dipilihnya, maka individu tersebut ikut dalam proses pemilu yang "berbekal" pengetahuan yang mendalam, maka ia berorientasi politik yang kognitif.2. Orientasi Afektif (Subject) dalam bersikap politik individu memiliki perasaan mendalam terhadap sistem politik dan para aktor politiknya. Apabila individu tersebut memilih simbol parpol sebagai suatu yang pasti dan disebabkan oleh pengetahuanya akan simbol–simbol tersebut maka orientasi politiknya adalah orientasi afektif. Demikian juga pengetahuan individu yang sangat memadai tentang aspek sepak terjang partai dan tokoh–tokoh partai membuatnya paham akan perjuangan partai tersebut.3. Orientasi Evaluatif (Partisipan) orientasi dan sikap politik individu sudah terlibat aktif dalam proses politik. Keputusan dan pendapat tentang objek–objek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan criteria dengan informasi dan perasaan. Individu memahami betul program dan perjuangan partai. Ia juga simpatik dengan ketokohan simbolik partai, yang dengan demikian menyebabkan terlibat aktif dalam perjuangan program partai.Tipe – Tipe Orientasi Politik IndividualEvaluatif = Participant-Psikomotorik(berhubungan dengan aktivitas fisik yang berkaitan dengan proses mental dan psikologi)-MenjiwaiAfektif = Subject content of value-Mengerti-MemahamiKognitif = Parochial-Mengetahui dan mengenalBila dikombinasikan dengan aspek–aspek orientasi politik individual yang terdiri atas kognisi, afeksi, dan evalusi, maka dimensi orientasi politik dapat dibuat dalam bentuk matrik seperti di bawah ini.Tabel.Dimensi Orientasi Politik Individual.DimensiOrientasiObjek Politik1.Sistem sebagai Objek Umum2.Objek – objek input3.Objek – objek output4.Pribadi sebagai ObjekKognisiAfeksiEvaluasi(Sumber : Komarudin Sahid)Dengan menggunakan matrik ini, kita dapat mengetahui dan menilai orientasi politik seseorang secara sistematis melalui beberapa pertanyaan. Sehingga dapat melihat perilaku politik individu. Jika sebagian besar individu dalam satu komunitas atau masyarakat lebih dominan kepada orientasi yang bersifat kognisi maka akan menghasilkan perilaku yang bersifat Parochial, sedangkan yang lebih dominan kepada orientasi afeksi maka mengahasilkan perilaku yang bersifat Subjcet. Jika sebagian besar mengarah kepada orientasi evaluative akan menghasilkan perilaku yang bersifat participant. Jika ada kecendrungan ada dua orientasi bahkan tiga orientasi yang mendominasi masyarakat maka akan muncul perilaku yang bersifat campuran antara subjek – parochial, subjek – partisipan, parochial – partisipan, maupun parochial – subjek – partisipan.METODE PENELITIANMetode pengkajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deksriptif kualitatif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subjek/objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya ( Nawawi, 1987:63).Pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan secara purposive, yaitu seturut kepentingan peneliti untuk memperoleh data, seseuai dengan topik penelitian. Dimana pemilihan informan ini di lakukan berdasarkan pertimbangan peneliti, sehingga yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah pengurus dari organisasi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi tahun kepengurusan 2012.Fokus penelitian ini adalah meneliti perilaku politik mahasiswa dengan menggunakan teori pendekatan orientasi politik individu, dimana mahasiswa seharusnya mengetahui peran dan fungsinya dalam sistem politik bangsa, yaitu secara konsep (concept) mahasiswa berpolitik dengan memberikan gagasan, pemikiran, solusi bagi masalah yang terjadi disekitarnya, sedangkan secara kebijakan, mahasiswa menjadi kelompok penekan (pressure group) dalam sistem politik dimana mahasiswa ikut berperan aktif dalam kehidupan demokrastiasi bangsa dengan melakukan tindakan – tindakan politik seperti demontrasi dll. Dengan menggunakan teori orientasi politik individu, peneliti mencari tahu tentang pengetahuan (kognitif) informan dalam mengetahui peran dan fungsi dari mahasiswa dalamkehidupan politik, kemudian mencari tahu pendapat atau perasaan (afektif) dari informan mengenai kebijakan politik yang di lakukan oleh pemerintah. Setelah mengetahui hal tersebut berlanjut kepada tindakan atau apa yang informan lakukan dalam meresponi hal – hal yang sudah informan ketahui, untuk mengetahui perilaku politik dari informan.Yang menjadi data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari wawancara mendalam (depth interview), yakni data di kumpulkan melalui wawancara yang mendalam pada setiap objek penelitian. Sedangkan data sekunder di peroleh dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi, untuk mendapatkan sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat, juga literatur ataupun tulisan mengenai sejarah Gerakan Mahasiswa Indonesia. Selain itu juga untuk kebutuhan penulisan, peneliti juga mengambil data dari informan yang mengetahui mengenai sejarah Gerakan Mahasiswa Unsrat Manado melalui wawancara kepada informan yang dianggap mampu untuk dapat menjelaskan mengenai sejarah Gerakan Mahasiswa Unsrat.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANSEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK :Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) berdiri sejak 1 Agustus 1958 dengan nama Fakultas Tata Praja dan merupakan fakultas keempat dari Perguruan Tinggi Manado (PTM) yang berstatus swasta. Sampai saat ini telah di pimpin oleh 20 dekan, sudah memasuki dies-nathalis yang ke-55.PERIODISASI SEJARAH GERAKAN MAHASISWA INDONESIA:1908 :Munculnya kaum pelajar di karenakan adanya politik etis dari belanda yang menerapkan prinsip edukasi, emigrasi, dan imigrasi. Munculnya kaum terpelajar turut mendorong berkembangnya organisasi-organisasi sosial,seperti boedi oetomo1928 :Pada tahun 1922, sekumpulan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeniging yang kemudian berubah menjadi Perhimpunan Indonesia kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang dihadapi, mereka membentuk kelompok studi yang mempraktekkan ide-ide mereka dan dikenal amat berpengaruh karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926. Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, generasi baru pemuda Indonesia muncul dan tercetus Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.1945 :Tokoh pemuda dalam angkatan ini adalah Chairul Saleh dan Sukarni, mereka merupakan angkatan muda 1945 yang bersejarah, yang pada saat itu terpaksa menculik dan mendesakSoekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Rengasdengklok.1966 :Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya dari PMKRI, Akbar Tanjung dari HMI, dan lain-lain. Angkatan '66 mengangkat isu komunis sebagai bahaya laten negara.1974 :Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer. Pasca peristiwa G30S, gerakan mahasiswa cenderung memakai konsep gerakan moral (moral force). Munculnya peristiwa malari "malapetaka 15 januari " tahun 1974.1978 :Setelah peristiwa "Malari", dikeluarkan SK Pemerintah No. 028/1974 yang memberi wewenang yang lebih besar kepada pimpinan perguruan tinggi untuk mengontrol aktivitas mahasiswa di kampus, pers mahasiwa harus diawasi oleh Menteri Penerangan dan birokrat kampus, dan peraturan yang mengharuskan organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan partai untuk bergabung menjadi satu organisasi yang diatur oleh rejim.Masa NKK/BKK, Munculnya PUOK "Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan",.1998 :Badai krisis ekonomi terjadi pada tahun 1997. Mahasiswa menemukan momentumnya seiring dengan krisis ekonomi yang terjadi tersebut. Dalam kurun waktu awal Februari sampai Mei 1998, secara kuantitatif dan kualitatif gerakan mahasiswa naik secara drastis, dari tuntutan yang sudah politis dan metode yang radikal. Pelaku gerakan pada masa ini bukan hanya organisasi-organisasi gerakan yang sudah lama bergerak sejak tahun 80an melainkan juga kalangan aktivis kampus dari organisasi-organisasi seperti Senat Mahasiswa, BEM, dan senat-senat fakultas. Tanggal 13 Mei, lebih dari 32 aksi di 16 kota di Indonesia serentak digelar untuk menyatakan solidaritasmempercepat proses turunnya Soeharto adalah pendudukan terhadap Gedung MPR/DPR yang dilakukan oleh puluhan ribu mahasiswa sejak tanggal 18 Mei 1998. Akhirnya tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya.Sejarah Gerakan Mahasiswa UnsratHasil wawancara dengan Steven Sumolang(Ketua Presidium Pertama Unsrat) : bahwa awal tahun 2000an pernah di buatnya statuta ormawa unsrat hasil dari kongres mahasiswa unsrat pertama, yang mengatur berbagai kebijakan mengenai ormawa, dengan mengacu pada kepmen 155, dimana inti dari keputusan tersebut adalah student goverment,dari, oleh , dan untuk mahasiswa. Hanya saja peraturan ormawa unsrat berubah sejak di berlakukanya juknis, yang merubah atmosfer dari aktivitas mahasiswa dalam kampus, karena pimpinan universtas makin besar dalam mempengaruhi kehidupan mahasiswa secara keseluruhan.Mahasiswa FISIP Unsrat Tahun 2012hasil wawancara dengan pengurus organisasi mahasisa FISIP UNSRAT tahun 2012 : bahwa keadaan aktivis mahasiswa saat ini dalam kognisi yang ada dalam pengetahuanya, mereka telah memahami secara umum, mengenai pentingnya peran fungsi mahasiwa, bahkan sejarah gerakan mahasiswa, hanya saja tidak secara mendalam, mereka tidak mengetahui sejarah gerakan mahasiswa Unsrat. Secara afektif aktivis mahasiswa FISIP UNSRAT memahami dan mengetahui kebijakan-kebijakan yang di buat dalam tatanan kampus serta merasa di rugikan dengan adanya beberapa kebijakan yang di buat, hanya saja dalam tindakan yang di lakukan aktivis mahasiswa tidak berani dalam melakukan manuver-manuver yang berlebihan dalam melawan berbagai hal yang di anggap merugikan karena berbagai faktor, yang salah satunya adalah tidak adanya dukungan dari berbagai elemen mahasiswa, karena munculnya sifat apatis dan hedonis dalam diri mahasiswa, sehingga aktivis mahasiswa FISIP hanya melakukan apa yang bisa mereka lakukan. Seperti lebih cenderung di buatnya kegiatan-kegiatan yang bersifat membangun karakter dan intelektual.KESIMPULAN1. Perilaku pengurus politik mahasiswa Fisip unsrat, bersifat subject di karenakan mahasiswa secara kognitif mengetahui secara umum tentang sejarah gerakan mahasiswa tapi secara mendalam mahasiswa tidak bergerak berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, karena terlalu umum dalam pemahamanya, karena mahasiswa sendiri tidak mengetahui bagaimana gerakan mahasiswa yang ada di Unsrat, hanya mampu melihat dari jauh (dari ibu kota) gerakan mahasiswa, sehingga pada masa saat ini pengurus ormawa Fisip Unsrat tahun 2012 tidak secara mendalam mengetahui bagaimana perjalanan gerakan mahasiswa secara khusus di Universitas Sam Ratulangi Manado.2. Pengurus Ormawa Fisip Unsrat lebih dominan kepada orientasi afektif dimana pengurus ormawa sudah cukup mengetahui peran, fungsi mahasiswa serta merasa bahwa kebijakan-kebijakan yang mereka ketahui sebagian besar tidak mendukung mahasiswa, tetapi tidak berani untuk bertindak lebih karena berpikir tidak mampu untuk dapat merubah sistem secara langsung, dan hanya mempertahankan apa yang ada.3. Dalam tindakanya pengurus organisasi mahasiswa Fisip Unsrat tidak melakukan tindakan politik dalam menanggapi berbagai permasalahan yang ada, karena mahasiswa sendiri takut untuk mengkritisi kebijakan secara langsung dan terbuka, tidak berani untuk mendobrak sistem yang dapat mempengaruhi kebijakan kampus.Action point yang di lakukan pengurus ormawa FISIP UNSRAT lebih mengarah kepada kegiatan-kegiatan yang membangun intelektual dan bersifat sosia seperti diskusi, debat antar umat beragama yang di buat oleh senat, bedah buku, bedah film, adanya pencarian dana bagi korban bencana yang di lakukan senat, himaju, sebagai bentuk kepedulian kepada masyarakat manado yang terkena banjir, dibuat juga seminar kebangsaan dari himaju, kemudian kunjungan ke panti jompo, ada juga pelayanan kasih di pulau gangga yang menyertakan pengobatan gratis bagi masyarakat. Pengurus organisasi mahasiswa Fisip Unsrat tidak mengarahkan kegiatan yang mengaktifkan kembali fungsi politik dari mahasiswa di karenakan vacumnya Dema Fisip tahun 2012 yang merupakan pembuat kebijakan tertinggi ormawa fakultas, kemudian senat yang tidak mampu untuk menyaring kekuatan mahasiswa, serta mengembalikan pemahaman mahasiswa mengenai peran politik dari mahasiswa. Pengurus Organisasi Mahasiswa Fisip 2012 tidak menghasilkan perubahan-perubahan yang esensi dalam kehidupan kemahasiswaan di Fisip Unsrat. Pengurus Ormawa Fisip Unsrat tahun 2012 sadar bahwa gerakan mahasiswa di batasi, tetapi mahasiswa melihat bahwa ada hal yang tidak di batasi yaitu pikiran dan jiwa mahasiswa sehingga pengurus ormawa melakukan hal-hal yang membangun intelektuallitas, tetap berpartisipasi dalam organisasi ekstra bahkan tetap aktif dalam kegiatan sosial masyarakat, tetapi tidak melakukan tindakan politik dalam kampus.SARAN1. Tiap masing-masing ormawa harus menghidupkan kembali pengkaderan yang maximal, dengan mendobrak kembali idealisme murni mahasiswa dengan perumusan materi yang tepat dalam tiap-tiap kegiatan pengkaderan ormawa.2. Mengusahakan kembali peran dari ormawa dalam pelaksaan OSPEK, sehingga mahasiswa baru langsung diperkenalkan mengenai pentingnya berorganisasi.3. Mengusahakan untuk membuka kembali Statuta Ormawa Unsrat dan menjadikan hal tersebut sebagai acuan untuk mengembalikan kembali kebebasan mahasiswa seperti yang tertuang dalam Kepmen 155, dari, oleh, dan untuk mahasiswa.4. Wadah-wadah kemahasiswaan seperti BEM, MPM, SENAT, DEMA kembali menyatukan persepsi dan pandangan untuk mengarah kepada kehidupan mahasiswa Unsrat yang lebih baik.5. Kepada seluruh civitas akademika Unsrat, untuk mendukung berbagai kegiatan yang mencerdaskan mahasiswa dan daya kritis mahasiswa jangan jadikan mahasiwa sebagai musuh, tapi lihatlah mahasiswa sebagai aset bangsa yang harus terus di dukung dan di bangun dengan moral dan intelektual yang baik.DAFTAR PUSTAKABudiardjo, Miriam, 2006. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.Efriza, 2012. Political Explore. Bandung : ALFABETA BandungHidayat, Imam, 2009. Teori – Teori Politik. Malang:Setara Press.Balai Pustaka, Departemen Pendidikan Nasional Edisi Ke-3, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. GramediaKartono, Kartini, 1996. Pendidikan Politik. Bandung. Mandiri Maju.Kartono, Prof.Dr.Lieke Indieningsih dan Prof.Dr.Samsunuwiyati, Psi, 2006. Perilaku Manusia. Bandung. Refika Aditama.Komarudin, Sahid, 2011. Memahami Sosiologi Politik. Bogor. Ghalia Indonesia.Malesodi Inawan, Beddy, 2012. Sistem Politik Indonesia Pemahaman Secara teoritik dan Empirik. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.Nawawi, Hadari, 1987. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta :Gadjah Mada University Press.Notoatmodjo, Prof.Dr. Soekidjo, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta. Rineka Cipta.Santana K, Septian, 2010. Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta :Yayasan Pustaka Obor Indonesia.Stanley & Santoso, Aris, 2005. Soe Hok Gie : Zaman Peralihan. Jakarta : Gagas Media.Subakti, Ramlan, 1999. Memahami Ilmu Politik. Jakarta. GrasindoSumber-sumber lain:Wilis Windar Astri, Pusat Kajian dan Studi Gerakan BEM UI 2010 http://pusgerakbemui.blogdetik.comDimas Hendro Riberu http://sosbud.kompasiana.com
SEXUAL SADISM AS EXPERIENCED BY LISBETH SALANDER IN STIEG LARSSON'S THE GIRL WITH DRAGON TATTOO Dea Anissa Rahmat English Literature, Faculty of Languanges and Arts, Surabaya State University dearbepe@gmail.com Drs. Much. Khoiri, M.Si English Literature, Faculty of Languanges and Arts, Surabaya State University much.khoiri@yahoo.com Abstrak Sadisme dalam seksualitas adalah perasaan gairah seksual yang disebabkan oleh pemberian rasa sakit, penderitaan, dan penghinaan kepada orang lain. Perilaku sadisme yang nampak secara langsung dan terang-terangan dalam pencapaian titik klimaks perilaku seks seseorang dapat dijadikan indikator bahwa orang tersebut mengalami penyimpangan. Penyimpangan seks dalam kasus sadisme sering mengalami penurunan signifikasi dan fungsi akibat perilaku menyimpang dalam berfantasi. Orang yang menjadi mitra atau objek yang dikenai perilaku sadis dalam hubungan seks belum tentu menjadi rekan yang bersedia. Jika kegiatan seks yang identik dengan perilaku sadis ini disetujui oleh kedua pihak ataupun hanya seorang saja, maka dapat diartikan pihak yang melakukan kegiatan tersebut mengalami kegagalan seksual secara normal dan perlu alternatif lain untuk mencapai titik klimaks. Misalnya, melakukan aktifitas kekerasan pada saat berhubungan. Dalam kajiannya, peneliti sengaja mengambil novel dengan judul The Girl With The Dragon Tattoo untuk menganalisis perilaku menyimpang dalam hubungan seks yang dialami oleh tokoh Salander. Teori yang digunakan untuk menganalisis perilaku menyimpang dalam tokoh utama dalam novel berasal dari teori Sigmund Freud tentang psikologi dan kepribadian. Dengan dilengkapi teori relevan, penelitian ini mengambil beberapa kutipan dalam novel yang mewakili perilaku menyimpang dalam seksualitas untuk dijadikan data dalam kajian peneliti. Hasilnya, perilaku menyimpang dalam seks ditunjukkan oleh tokoh Lisbeth Salander dalam novel memberikan dua hipotesis. Pertama, dalam novel muncul beberapa sadisme seksual yang terjadi pada rekan tokoh Bjurman yang teridentifikasi dari data berupa kutipan teksnya. Salander sebagai korban sadisme seksual dari pengacara rekan Nails Bjurman. Kedua, beberapa faktor yang berkontribusi Lisabeth Salander untuk melakukan sadisme seksual. Penelitian ini mencerminkan pengalaman deskriptif sampel perempuan yang terlibat dengan perilaku sadisme seksual beserta faktor-faktor yang berkontribusi dibaliknya. Keywords: Sexual sadism, sadistic behavior, The Girl with The Dragon Tattoo Abstract Sexual sadism is a feeling of sexual excitement resulting from administering pain, suffering, or humiliation to another person.When sadism becomes directly and overtly related to sexual gratification, they are considered perversions. Sexual sadism often experiences significant impairment or distress in functioning due to actual sadistic behaviors or sadistic fantasies. With regard to actual sadistic behavior, the person receiving the pain, suffering, or humiliation may or may not be a willing partner. Whether or not the partner is consenting, it is the very real suffering they are experiencing that is arousing to the sadist. This study examines Stieg Larsson's The Girl With The Dragon Tatttoo, which is about sexual sadism as experienced by Salander. This study uses theory of sexual sadism and Sigmund Freud's theory of Psychology and Personality. By using relevant theories, the study analyses the data—i.e. quotations from the novel that represent sexual sadism. The result of this analysis shows that sexual sadism experienced by Lisbeth Salander as reflected in Steig Larsson's The Girl With The Dragon Tattoo can be described by two parts. First, it shows that there are several sexual sadism which occurs from her guardian Bjurman. Salander as a victim of sexual sadism from the guardian laywer Nails Bjurman. Second is to reveal the factors that contributed Lisabeth Salander to do sexual sadism. It is about a descriptive experiences of a sample of women who have been consensually involved with sexual sadism and factors that contribute to sexual sadism. Keywords: Sexual sadism, sadistic behavior, The Girl with The Dragon Tattoo INTRODUCTION In human sexual life, there are certain conditions of sexual disorder which consider as embarassing and dangerous situations from the society's point of view. Normally, sexual activity is the union of the female and male's genital and other sexual activity besides it is taken as "abnormal". Few examples of sexual deviations are: homosexual, masochism, sadism, necrophilia, fetishism, etc (Barlow, 2009: 364). Sadism implies pleasure in inflicting. When sexual sadism is applied to show fantasies, urges or behaviors that involve real acts in which the suffering of another person is found sexually exciting. The essential feature of sexual become directly related sexual gratification. That sexual gratification it considered perversions. Sadism is a feeling of sexual excitement resulting from administering pain, suffering, or humiliation to another person. The pain, suffering, or humiliation inflicted on the other is real, it is not imagined and may be either physical or psychological in nature. A person with a diagnosis of sexual sadism is sometimes called a sadist. The name of the disorder is derived from the proper name of the Marquis Donatien de Sade (1740-1814), a French aristocrat who became notorious for writing novels around the theme of inflicting pain as a source of sexual pleasure. The sadistic acts performed or fantasized by a person with sadism often reflect a desire for sexual or psychological domination of another person. These acts range from behavior that is not physically harmful although it may be humiliating to the other person (such as being urinated upon), to criminal and potentially deadly behavior. Acts of domination may include holding or imprisoning the partner through the use of handcuffs, cages, chains, or ropes. Other acts and fantasies related to sexual sadism include paddling, spanking, whipping, burning, beating, administering electrical shocks, biting, urinating or defecating on the other person, cutting, rape, murder, and mutilation. Psychopathia Sexualis, later defined sadism as: "The experience of sexual, pleasurable sensations (including orgasm) produced by acts of cruelty, bodily punishment afflicted on one's person or when witnessed in others, be they animals or human beings. It may also consist of an innate desire to humiliate, hurt, wound or even destroy others in order, thereby, to create sexual pleasure in one self". This kind of sexual sadism has appeared in the literature (Kraft-Ebing, 1886: 274) . One of the writers that written about sexual sadism in a novel is Stieg Larsson. The novel was released to great acclaim in Sweden and later, on its publication in many other European countries. In the original language, it won Sweden's Glass Key Award in 2006 for best crime novel of the year. It also won the 2008 Booke Prize, and in 2009 the Galaxy British Book Awards for Books Direct Crime Thriller of the Year, and the prestigious Anthony Award for Best First Novel. Larsson was posthumously awarded the ITV3 Crime Thriller Award for International Author of the Year in 2008. The Girl with the Dragon Tattoo debuted at number four on The New York Times Best Seller list. The novel received mixed reviews from American critics. In a review for The New York Times upon the book's September 2008 publication in the United States, Alex Berenson wrote, "The novel offers a thoroughly ugly view of human nature"; while it "opens with an intriguing mystery" and the "middle section of Girl is a treat, the rest of the novel doesn't quite measure up. The book's original Swedish title was Men Who Hate Women, a label that just about captures the subtlety of the novel's sexual politics." The Los Angeles Times said "the book takes off, in the fourth chapter: From there, it becomes classic parlor crime fiction with many modern twists.The writing is not beautiful, clipped at times (though that could be the translation by Reg Keeland) and with a few too many falsely dramatic endings to sections or chapters. But it is a compelling, well-woven tale that succeeds in transporting the reader to rural Sweden for a good crime story."Several months later, Matt Selman said the book "rings false with piles of easy super-victories and far-fetched one-in-a-million clue-findings."Richard Alleva, in Commonweal, wrote that the novel is marred by "its inept backstory, banal characterizations, flavorless prose, surfeit of themes (Swedish Nazism, uncaring bureaucracy, corporate malfeasance, abuse of women, etc.), and--worst of all author Larsson's penchant for always telling us exactly what we should be feeling." Discussing and analyzing about character or human, they cannot be separated from personality terms. Personality derives from the Latin word persona, which refers to a mask used by actors in a play. The character is easy to see how persona came to refer to outward appearance, the public face we display to the people around us. Personality refers to the characteristics patterns of behavior and ways of thinking that determine a person's adjustment to his environment. The personality of somebody has built from the experiences that they got from the social surrounding and also the genetic factor gives the background of someone's personality Schultz (2009: 8). The direct influences of sexuality on personality comes from the effects of sex hormones. It influences body build, body functioning, and the quality of the individual behaviour. The indirect influence comes up from three sources: the effect of cultural influences sex drive, the attitudes of significant people and their treatment to the individual caused by sexuality, also the molding of personality pattern of sex appropriatenes, which admitted by society. To understand the aspect of psychology within literary work, needed psychology of literature, it is used to investigate the psychology aspect, which shown by the character within the novel The Girl with Dragon Tattoo by Stieg Larsso. Wellek and Werren (1989: 81) stated psychology of literature, mean the psychological study of the writer as type and as individual, or the study or creative process, or the study of the psychological types and laws present within works of literature, or, finally, the effects literature upon its readers (audience psychology). Sigmund Freud emphasizes how early stage of childhood is important part to create someone's adulthood personality and behavior. He says that part of our personality is formed on the basis of the unique relationships we have as children with various people and objects. Accordingly we develop a personal set of character attributes, a consistent pattern of behavior that defines each of us as an individual (Shannon, 2009: 64). Grossman (1991) states the psychological effects trauma, wheteher in infancy or adult life, are best understood in connection with the development and functioning of the capacity to fantasize. Here, a child which has been experienced physical and psychological trauma can build a fantasy refers to the violence.Violence can be in the form of hitting, slamming, humiliating, and so on. Consequently, a child can imagine that she/he is happy if he/she hurts and or being hurt by another people. This kind of fantasy can cause sexual sadism behaviour. In accordance of background study above, it can be simplify to discuss among two problems that emerge as significant concern toward this novel. How is sexual sadism as experienced by Lisbeth Salander reflected in Steig Larsson's The Girl With Dragon Tattoo? What factors contributed Lisabeth Salander to do sexual sadism in Stieg Larsson's The Girl With Dragon Tattoo? This study will uses two theories which are in line with the statement of the problems.The first is about review of related literature which contains the theories that are used in the analysis. In this chapter, the concept of sexual sadism and will be related to the concept of sexual sadism and theory of personality. The second will deal with the core of the study, which is the analysis of the study. The last chapter of this study is the conclusion as the result of the analysis. The additions will be added and got along with the analysis such as appendix, which consists of the biography of the author of this novel, and the synopsis of the novel. Those additions are to be the closing of this study. RESEARCH METHOD Research methodolgy that used in this analysis here must be qualified as an applying in literary appreciation. The thesis is regarded as a descriptive-qualitative study and uses a library research. This study uses novel of Stieg Larsson entitled The Girl with The Dragon Tattoo that published Seven Stories Press, 140 Watts Street, New York in 2007 as the data source of this study. The data are in the form of direct and indirect speech of the characters, dialogues, epilogues and quotations which indicate and represent aspect of power abuse and sexualization which is experienced by the main character. This thesis is using the library method in collecting the data. It does not use the statistic method. That is why it is not served in numbering or tables. Library research used an approach in analyzing this study. The kind of library research which is used here is intensive or closely reading to search quotations or phrases. It also used to analyze the literary elements both intrinsic and extrinsic. The references are taken from library and contributing ideas about this study from internet that support the idea of analyzing. The analysis is done by the following steps: (1) Classification based on the statement of the problems. This classification is used to avoid the broad discussion. There are two classifications in this study. (2) Describe the reflection of Sexual sadism as experienced.(3) To reveal the factors that contributed Lisabeth Salander to do sexual sadism in Stieg Larsson's The Girl With Dragoon Tattoo.The quotations that showed how the character's sexuality is affected by his power are taken as data. (4) Drawing the conclusion based on the analysis which is in line with the problems. ANALYSIS The first section is about the analysis of sexual sadism as experienced by Salander. The experience of Salander in sexual sadism is started when she meets her new guardian lawyer. Sexual sadism happened when she has an interview with Bjurman just after he became her guardian. Bjurman, on the other hand is recognize as a person who likes to do sex by sentence that is written in the novel. Salander is uncomfortable with Bjurman question and she feels that it is not her business by asking about sex in some kind of an interview. Salander's statement proves it. "No, it's not particulary nice to be fucked in the arse but what the hell business is it of yours?" . She left his office with a feeling of disgust. (Larsson, 2008: 220) The statement that Bjurman has no business with Salander sexual background, even he asks her impolitely. His authority is all about Salander legal powers, no more than that. Salander, moreover, express her disgust feeling to him after she feels that Bjurman was going too far. It can be concluded that she feels uncomfortable with Bjurman's questions. Salander thinks that it is not his right to ask her those questions. Then, she has been decided that she does not like Bjurman by leaving his office. The sex that is done by Bjurman is not like the sadist thing that he will do to Salander. He does some enjoyable acts to make Salander comfortable and feel horney. The nice thing is also given to her so she enjoyed the sex because Bjurman has a plan to have a sex with her again. The sex act done by Bjurman can be seen in quote below. He stood behind her. Suddenly he was massaging the back of her neck, and he let one hand slide from her left shoulder across her breasts. He put his hand over her right breast and left it there. When she did not seem to object, he squeezed her breast. Salander did not move. She could feel his breath on her neck as she studied the letter opener on his desk; she could reach it with her free hand (Larsson, 2008: 241). The incident happened when Salander comes to Bjurman office ask money to buy new computer, since her old laptop broken caused by an accident. She does not get the money easily because Bjurman forces her to do something. Bjurman assaults her by touching her breast. The quotation shows that Bjurman sexual sadism her by touching and squeezing her breasts. This is the one of sexual part that shows from the novel. Salander did nothing with all what Bjurman has already done to her. She got one lesson from Holger Palmgren that when there was an impulsive actions led to trouble, and trouble could have unpleasant consequences. Salander will never do anything without first weighing the consequences. In that quotation stated Salander feeling towards Bjurman. She has plan to use the letter opener as th weapon to fight againts him. Sexual sadism has formed her to be a person not easy to back down, she would always take revenge to all forms of act that try to hurt her. However, her status limits her to do that. Even, Salander cannot do something because she needs the money. All that she thinks is about the consequences. Bjurman starts to say what adult usually says which one another are known what the conversation means is. "I think you and I are going to be a good friend," he said. "we have to be able to trust each other." When she did not replay he said: "you're a grown woman now, Lisbeth" She nooded. "Come here," he said and held out his hand. (Larsson, 2008: 242) Salander just fixed her gaze on the letter opener for several seconds before she stood up and went over to him. In her heart, she says, consequences. It means that she knows the consequences by having such a lawyer guardian. The real acts that lead to sex activity are shown by Bjurman. The statement is explained bellow. He took her hand and pressed it to his crotch. She could feel his genitals through the dark gabardine trousers. While said, "If you're nice to me, I'll be nice to you." He puts his other hand around her neck and pulled her down to her knees with her face in front of his crotch. (Larsson, 2008: 242) It is shown that Bjurman rapes to her. In this case, he forces to suck his genital or can be called as oral sex. At the time she is just thinking that she did it for the money. In this case, Bjurman makes it difficulty to Salander in getting her money. In addition Bjurman treat her by saying: "If you're nice to me, I'll be nice to you," he repeated. "If you make trouble, I can put you away in an institution for the rest of your life. Would you like that?" (Larsson, 2008: 243) In this case, Salander cannot do anything to protect herself. She said nothing if Bjurman only gives words in order to treat Salander, without caring with Salander answer about his question, he continues the sex to Salander. He waited until she lowered her eyes, in what he regarded as submission. Then he pulled her closer. Salander opened her lips and took him in her mouth. He kept his grip on her neck and pulled her fiercely towards him. She felt like gagging the whole ten minutes he took to bump and grind; when finally he came, he was holding her so tight she could hardly breathe. (Larsson, 2008: 243). From the quotation above, it is clearly stated how Salander is forced to suck her guardian genital. He places his genital in Salander's mouth in order to get satisfied. Salander passively action towards those kinds of sadism makes Bjurman thinks more to hurt her. It is supported by (Krafft-Ebing, 2008: 14) that Sadism in sexual pleasurable sensations (including orgasm) produced by acts of cruelty, bodily punishment afflicted on one's own person or when witnessed in others, be they animals or human beings. The additional terrifying expression is shown by Salander in the quotation bellow. She realized with terrifying clarity that she was out of her depth. (Larsson, 2008: 273). It makes Salander in dead feeling. She thinks that Bjurman is doing something so serious and injury. What can help Salander this time is only keeping the pain that she gets? In another situation Bjurman turn mad and crazy. By taking metal stuffs that Salander hear from the sound of the clanking. The clanking sound of metal shows that Bjurman begins to do the sexual sadism, beside he says the words to treat Salander. The quotation is show at below: "You have to learn to trust me, Lisbeth," he said. "I'm going to teach you how this grown-up is played. If you don't treat me well, you have to be punished. When you're nice to me, we'll be friends."( Larsson, 2008: 274) From the quotation above Salander seems not to do anything. She only does what Bjurman wants and the only thing that she can feel is sick and gets more pain by Bjurman. Bjurman do not stop his act to Salander. In another situation, Bjurman asks Salander wheather she likes to do anal sex or not by asking "So you don't like anal sex, he said"(Larsson, 2008: 274). The more Salander keep silence, the more he maltreats her. Anal sex is the act of sexual by putting something in someone anus. It is really dangerous for someone's health or even can caused a great injury to victim. He also starts the sadism acts along sexual activity. The quotation below shows his sadist act that Bjurman does to Salander. Salander opened her mouth to scream. He grabbed her hair and stuffed the knickers in her mouth. She felt him putting something around her ankles, spread her legs apart and tie them so that she was lying there completely vulnerable. She heard him moving around the room but she could not trough the T-shirt around her face. It took him several minutes. She could hardly breathe. Then she felt an excruciating pain as he forced something up her anus. (Larsson, 2008: 274) The using of metal stuffs are cannot be tolerated anymore. The sadist action in sexual is real happening to Salander. Stuffed the knickers in Salander mouth is an act that hurt Salander physically. Bjurman spreads her legs apart and ties her so that she is completely vulnerable. Those acts are considered as physical sadism that she gets when having sex with Bjurman. Salander is completely pain of being sadistic by Bjurman when they having sex. It is shown when she felt an excruciating pain as forced something up her anus. Bjurman must do something to her anus that makes Salander in total pain. Beside, Bjurman did more and more tricks so that he could release his sadism along the act that he applied to Salander. Bjurman is going crazy more than before. The acts that Bjurman has done is supported by Matsumoto (2009: 490) theory about sexual sadism that defines sexual sadism is a paraphilia in which sexual arousal occurs as the result on inflicting physical or mental pain on another person as a means of exercising control over him or her. It means that the sadist feels pleasure and lust when he/she sexual partner suffered. Thus she/he can show his/her domination and power. Then, the second section will show factors contributed Salander to do sexual sadism. Then, the second section will show the factors that contributed Lisabeth Salander to do sexual sadism. This chapter will apply the theory in chapter two as the base theory, and hopefully this analysis will not deviate from the theory that has been explained before. Bjurman, now, has responsible for Salander's assets and financial, but he handles it out of his authority. He is a corrupt guardian that used Salander victim. He opened a new account in her name, and she was supposed to report it to Milton's personal office and use it from now on. The good old days were over. In future Bjurman would pay her bills, and she would be given an allowance each month. He told her that expected her to provide receipts for all her expenses."This had to do with the fact that i'm responsible with for your mone," he said. "You have to put money aside for the future. But don't worry; I'll take care all of that." (Larsson, 2008: 182) The quotation above shows that how Bjurman make Salander financially dependent happen is done by Bjurman. Although he is responsible for her assets and financial, but he handle it out of his authority. He is a corrupt guardian that used Salander victim. It is totally different with the precede guardian who let her free to manage her own money even though her status still under guardianship. Since, Bjurman is a corrupt, he take over and fully contol Salander money. He does not let Salander free access to use her money. Even, he force Salander to open a new account in a bank and requiring the victim to justify all money spent, so that Bjurman can control it. Besides, the statement in the quotation, "You have to put money aside for the future. But don't worry; I'll take care all of that"(Larsson, 2008: 182). Support the fact that Bjurman has abuse her financial as well. It is found that his life is to be a guardian of mentally disturbed likes Salander. He lives in her prosperity which is comes from his clients assets or money. He uses their weakness in legal status power, so that he is easily corrupt their money. Their weakness in legal status would make them afraid and do nothing about it. Obviously, it is form of economical as factor. The second form of economical that is done by Bjurman towards Salander is that by withholding the money or the access to the money. It is a complicated for Salander to ask her money, even for buying food. She has to work and Bjurman easily take over the money. It is prove by this quotation. Bjurman moved back to his side of the desk and sat on his comfortable leather chair. "I can't hand out money to you whenever you like,'' he said. "Why do you such an expensive computer? There are plenty of cheaper models that you can use for playing computer games." "I want to have control of my own money like before." Bjurman gave her a pitying look. (Larsson, 2008: 242) The quotation clearly stated can be concluded that Bjurman has underestimates her by saying that she did not need such sn expensive computer. It means that she is only a stupid girl that needs a computer just for playing games. Here, how Bjurman make a difficulty for Salander to get her money. He always ask or even demand her to do something first before she get the money. In this case, he would give Salander money after he takes advantages from her in terms of satisfying him by oral sex and anal sex, touching her breasts, and so forth. On the one hand, Bjurman has been abuse Salander by those various forms of violence. On the other hand, he has been abuse his profession as a guardian who is supposed to be protect the client. Here, he is withholding Salander own money that supposed to be her rights. Her authority is only take over Salander assests and financial so that the money can be used in a right way. However, Bjurman has been corrupted the money give some terms for her in getting her own money. Thereby, Bjurman has already one other forms ef economical as factor towards Salander. In the next meeting with Bjurman, Salander really need to buy a food. All the money that is kept by Bjurman is locked. It such the difficult thing to get the money like she must kill him first then she will get her own money. Psychological sadism is always given by the prepetator in order to treath the victims so they agree to do the sexual sadism. Psychological sadism also happen in the process of the sex itself in order to make the victims cannot avoid the prepetator to do sadism along the sex process. This is shown by Salander that she agree when Bjurman treat her to be nice with him. A threat could make the victim afraid psychologically. If the victim feels afraid with threat of the perpetrator, so they will be easily to do what they want to the victim. You have to learn to trust me, Lisbeth,'' he said. "i'm going to teach you how this grown-up game is played. If you dont treat me well, you have to be punished. When you're nice to me, we'll be friends (Larsson, 2008: 274) The quotation above shows Salander is threatened by Bjurman. After force to suck his genital, he threat her not to tell anyone about that. Salander just keep silence because she is feels afraid about the consequences related with her status if she reports it. He treats her as a whore not as a girl under his protection. In supported by Freud who insisted his sexual theory applied to all mental illness. However, in this moment, Bjurman not only threats her but he has done threatening harm. It is stated that threat and hurt her b slap and grip chin tight. It can be concluded that combine sadism always happened to Salander. Salander is not only facing of psychological but also accompanied by physical. The same thing also happened to her which is done by Bjurman. In another hand, the personality of somebody is built from the experiences they got from the social surrounding and also the genetic factor gives the background of someone's personality. Part of our personality is formed on the basis of the unique relationships we have as women with various people and objects. We develop a personal set of character attributes that defines each of us as an individual. The personality of Salander is considered as having a bad image. In her life, she likes to do dangerously violent things made her caught up by the police. One of her acts is explained below: When she turned fifteen, the doctors had more or less agreed that she was not, after all, dangerously violent, nor did she represent any immediate danger to herself. (Larsson, 2008: 174) Salander, in her life, she does not only danger someone near with her but also herself. Such of her bad behavior is leading her personality as a bad teenage. In other situation she has troubles with surrounding and herself by consuming alcohol and drug abuse. She builds an image that she has the negative attitude toward anybody and herself. It is said by Salander that the sex world is nothing new for her. It happens because she has already done the sex with more than ten people in her teen age. It is supported by the information she had had over fifty partners since the age of fifteen that she totally sex players. It is shown that by doing such of the sex activities will make her impression that going to be judge by other person. This is supported by Schultz (2009: 8) that based on its derivation, we might conclude that personality refers to our external and visible characteristics, those aspects of us that other people can see. Our personality would then be defined in terms of the impression we make on others that is, what we appear to be. In short, our personality may be the mask we wear when we face the outside world. CONCLUSION The analyzing of sexual sadism in Stieg Larsson's The Girl with Dragon Tattoo has give better understanding about several forms of sexual sadism as experienced that occurs and factors contributed Lisabeth Salander to do sexual sadism . Through the thesis analyzing, is is found that Salander has suffered from several forms of sexual sadism. As explained above that Salander as the main character experiences some forms sexual sadism, they are physical sadism, psychological and factor that contribute to do sexual sadism, they are threat and economical The conslusion of research question 1 are sexual sadism as experienced by salander is as an object. She gets both physical and psychological experiences by Bjurman asher guardian lawyers. She gets pain and suffer from physical experience. While in pysichological experience, she gets treatments from Bjurman. These are the conslusion of research question 2. The factors that make Salander to do the sexual sadism are unbelieveable because not all people want to be an object of sexual sadism. They are pyschology, personality, and economic factors. The psychology is like trearments that Bjurman has given to her and the personality is when Salander has such a bad personality backgrond, like havinh sex with many people. Finally, economic is the main factor for Salander to sexual sadism because if she wants to get her money, she must do the sex with Bjurman which bring her to sexual sadism. In Stieg Larsson The Girl with Dragon Tattoo, we can see Salander gets some forms of sexual sadism from Bjurman. There is not only sexual insult verbal, but also some kinds of sexual sadism of rape forms. The experience of Salander in sexual sadism is started when she meets her new guardian lawyer, Bjurman. On the other hand is recognize as a person who likes to do sex in the novel. Bjurman takes an opportunity by keeping Salander account and if she wants to get the money she must do the sex with him first. It is also supported by interview that is done, Bjurman asks about Salander sex life which is turn out to be another interrogation by asking her private aspect in her life, is that about her sexual background. All she wanted is about the money without making and giving any sexual sadism with him. With all scare feeling she agrees to do it again with Bjurman. The thing that she hates so much is having sex with a condition and compulsion. The fear is appears on Salander body language. This sexual sadism has made Salander suffered from some physically. It has become the worst experience ever in her life. Sexual sadism which is experienced by Salander is mostly done by Bjurman. Bjurman is not only doing the sexual sadism toward Salander in form of rape, but also psychological. In this case, Salander can be concluded to get she witnesses and watching other person, or even the person that she like, suffered from physical sadism. In this novel, Salander has been found experiencing sexual sadism. REFERENCES Barlow, H. David, Durand. V. Mark. 2009. Abnormal Psychology 5th edition. USA : Wadsworth Cengage Learning. Hoeksema, Susan Nolen. (2004). Abnormal Psychology. Third edition. New York: McGraw-Hill Comapanies Inc. Krafft-Ebing, Richard von. 1933. Psychopathia Sexualis: With Especial Reference to the Antipathic Sexual Instinct: A Medico-Forensic Study. New York: Physicians and Surgeons Book Co. Larsson, Stieg. (2008). The Girl with Dragon Tattoo. New York: Vintage Books. Matsumoto, David. 2009. The Cambridge Dictionary of Psychology. USA: Cambridge University Press. Schultz, D. P. & Schultz, S. E. (2009).Theories of personality 9th Edition. United States of America:Wadsworth Cengange Learning. Shannon, Joyce Brennfleck. 2009. Theories of Personality 9th Edition. United States of America: Omnigraphics, Inc.