MKRI is a new governmental body which was established under the Third Amendment of the UUD NRI 1945. This article examines its proper function which underlies its jurisdiction to review the constitutionality of legislation. According to the issue, this article argues that MKRI should be treated as a human rights court whenever it undertakes its jurisdiction to review the constitutionality of legislation. The function of the MKRI as a human rights court justifies its existence and also prescribes principles for its operation. It means that in reviewing the constitutionality of legislation the MKRI should enhance the protection of human rights through its judicial policy and constitutional interpretation.
Judicial interpretation of the right to be free from discrimination is a central issue in the practice of judicial review of the constitutionality of legislation by the MKRI. This article tries to describe and systematize this practice and then to restate the legal principles as it is stated by the MKRI into its case law. This article finds that, as a matter of principle, the MKRI adopts two main tests i.e. strict scrutiny and rational basis test to determine whether a legislation is contrary to the principle of non-discrimination
The MKRI is a new governmental body which was established under the Third Amendment of the UUD NRI 1945. This article examines its proper function which underlies its jurisdiction to review the constitutionality of legislation. According to the issue, this article argues that the MKRI should be treated as a human rights court whenever it undertakes its jurisdiction to review the constitutionality of legislation. The function of the MKRI as a human rights court justifies its existence and also prescribes principles for its operation. It means that in reviewing the constitutionality of legislation the MKRI should enhance the protection of human rights through its judicial policy and constitutional interpretation.Keywords: MKRI, function, human rights court
AbstractThe issue to be discussed in this article is the internalisation process of international human rights standards into domestic forum through the judicial review mechanism of the constitutionality of legislation by the MKRI. This article argues that MKRI should consider international human rights standards in reviewing the constitutionality of legislation based on Ch. XA of the UUD NRI 1945. The argument based on the prescription that the international human rights standard are binding on States and requiring them to conform their laws and their offcial behavior to the international norm.IntisariTulisan ini membahas isu proses internalisasi standar HAM internasional dalam forum domestik melalui mekanisme pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh MKRI. Tulisan ini berargumen bahwa MKRI seyogianya mempertimbangkan standar HAM internasional dalam menguji konstitusionalitas undangundang berdasarkan Bab XA UUD NRI 1945. Argumen itu didasarkan pada preskripsi bahwa standar HAM internasional berlaku/mengikat kepada negara dan mensyaratkannya untuk menyesuaikan undangundang beserta tindakan pejabatnya dengan kaidah HAM internasional tersebut
Judicial populism may occur when judicial branches are much more influenced by the interest of people majority. In this context, it is when justices deliver decisions according to what the people wanted and not what it has to be decided by laws. The Constitutional Court of the Republic of Indonesia (MKRI) has the pivotal role to protect the Constitution, democracy, and the rule of law principles by adhering judicial independence in the decision making process. This paper aims to briefly find out whether the MKRI decisions on the particular issue of economic and social rights show the tendency of judicial populism and defending judicial independence. A brief conclusion would be drawn from the analysis of the two MKRI's landmark decisions on the relevant issues of economic and social rights, in particular issues of Ulayat rights and educational rights (Case Number 35/PUU-X/2012 on the judicial review of Law No. 41 of 1999 on the Forest and Case Number No. 13/PUU-VII/2008 on the judicial review of Law No. 16 of 2008 on the Amendment of the Law No. 45/2007 on the State Budget). In a short analysis of both landmark decisions, the MKRI tends to defend its independence in delivering its decision. The Court also shows its consistency in protecting the Constitution by strictly upholding the constitutional values laid down in the Constitution and against the judicial populism. The Court in both decisions shows its constitutional commitment to preserving democratic values of minority-marginalized protection against the dominant-majoritarian interest. In the particular issue of education rights, the Court hinders the fulfilment of educational rights from the elite interest by preserving the constitutional purpose of making priority 20% for the education budget. In general, the MKRI has to guard preventing the Constitution and the rule of law principles, specifically on the issue of the protection of economic-social rights. It upholds judicial independence and put asides judicial populism.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) berfungsi menjaga tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum di Indonesia dan mempunyai kewajiban dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan bidang yang menjadi kewenangannya. Akses individu dan publik untuk memperoleh keadilan seringkali berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang memiliki kapasitas sosial, budaya, politik dan ekonomi yang tidak seimbang bahkan menghasilkan putusan pengadilan yang mencederai nilai-nilai keadilan. Artikel ini akan membahas unsur utama dan tolok ukur layanan Administrasi Peradilan bagi masyarakat untuk memperoleh akses kepada keadilan dalam peradilan formal, khususnya Mahkamah Konstitusi. Adapun rekomendasi pada artikel ini adalah untuk memberikan akses keadilan pada masyarakat di arena yudisial, dari perspektif hukum dan tata pemerintahan. Paling utama dan penting untuk dilakukan dalam bentuk tindakan dan pelayanan administrasi tidak hanya sebagai ajudikasi, tetapi juga untuk mensosialisasikan dan menegakkan peraturan.
This study aims to describe discourse structure aspects, discourse-makingcomponents, and discourse context of judicial minutes and verdicts by Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. The focus was on the discourse of judicial minutes and verdicts by Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia regarding the test of the substance by DPD on Keppres No. 185/M/2004. The study was conducted by employing the discourse analysis approach, in terms of the micro-structural and macro-structural aspects. The conclusions are as follows. First, the structure of theminutes consists of the cover, information, and content, while that of the verdicts consists of the title and number, heading, inquirer and responder data, problems, responses, problem focuses, judge verdicts, different opinions, and signatures. Second, the discourse-making components in the judicial minutes and verdicts by MKRI comprise long sentences, legal language registers, parallelisms, honorifics, repetitions, and conjunctions. Third, the discourse context consists of the history of the existing conflicts among DPD, the government, and DPR, and the context of the minutes and verdicts based on the social context.
Buku ''Perkembangan Baru Tentang Konstitusi Dan Konstitusionalisme Dalam Teori dan Praktik'' merupakan buku karya penulis yang telah cukup dikenal dikalangan akademisi hukum pada khususnya, yaitu karya dari Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Beliau dapat dibilang sangat produktif dalam menghasilkan buku karya ilmiah, sampai saat ini buku-buku karya ilmiah yang telah diterbitkan sudah lebih dari 60 judul dan lebih dari ratusan makalah tersebar di berbagai media dan dipresentasikan di berbagai forum. Penulis pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) yang pertama kali yaitu pada tahun (2003) dan merupakan seorang pakar HTN terpandang. Sekarang Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. menjabat Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) periode 2015-2020. Beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilihan Umum (DKPP) pada tahun 2012-2017 yang sebelumnya bernama Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DKKPU) yang juga beliau jabat pada tahun 2009 dan 2010. Selama di DKPP beliau mengenalkan DKPP sebagai pengadilan pertama dalam sejarah etika, bukan hanya di Indonesia saja tapi juga sampai ke mancanegara. Selama menjabat sebagai Ketua MKRI antara tahun 2003-2008 beliau diakui sebagai Foundress untuk pengembangan gagasan modernisasi peradilan Indonesia, ia mampu membawa MKRI menjadi lembaga terpercaya, modern dan berwibawa. Ia berusaha memasyarakatkan dan mengawal penegakan konstitusi agar menjadi konstitusi yang hidup baik itu didalam kehidupan bernegara maupun didalam kehidupan bermasyarakat. Banyak sekali ide dan gagasan-gagasan baru yang ia dituangkan dalam buku-bukunya, seperti ''Konstitusi Hijau'', ''Konstitusi Ekonomi'', ''Konstitusi Sosial'', ''Undang Undang Dasar Perilaku dan Etika'', ''Peradilan Etik dan Etika Konstitusi'' dan yang lainya. Akademisi lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1982 ini juga pernah menjabat sebagai Dewan Pertimbangan Presiden pada tahun 2010. Prof. Jimly mendapat gelar Doktor dari Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia pada tahun 1990 dan Van Vollenhoven Institute, serta Rechts-Faculteit Univertiteit Leiden, program "Doctor by research†ilmu hukum pada tahun 1990. Dan pada tahun 1998 beliau mendapat gelar sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI.Ada hal menarik yang pernah saya baca tentang beliau yaitu saat selesai menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi selama dua periode yaitu tahun 2003-2006 dan 2006-2008. Setelah masa tugasnya tersebut selesai, hingga masa pendaftaran ditutup oleh DPR, ia tidak kunjung mencalonkan diri kembali sebagai hakim konstitusi. Namun pada akhirnya atas desakan semua partai, ia bersedia mencalonkan diri untuk menjadi hakim konstitusi. Oleh karena itu masa pendaftarannya pun diperpanjang oleh DPR dan kemudian beliau dilantik menjadi hakim konstitusi. Mencermati hal tersebut saja sudah terlihat jelas bahwa beliau merupakan sosok yang sangat diperhitungkan dalam dunia peradilan dan konstitusi di Indonesia.Setelah masa jabatan beliau habis, beliau digantikan oleh Prof. Mahfud MD yang telah berhenti dari kursi DPR untuk mengabdi menjadi hakim konstitusi. Banyak prestasi yang ditorehkan oleh beliau atas jasanya membangun lembaga MK menjadi lebih baik. Sehingga pada 2009 beliau di anugerahi Bintang Mahaputra Adipradana langsung dari Presiden. Hingga saat ini, disamping beliau aktif mengajar, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. juga aktif memimpin dan mengembangkan sebuah sekolah kepemimpinan politik dan hukum bernama ''Jimly School of Law and Government'' (JSLG). Mengenai buku ''Perkembangan Baru Tentang Konstitusi dan Konstitusionalisme Dalam Teori dan Praktik'' ini merupakan hasil kajian lanjutan dari bukunya terdahulu ''Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia'' khususnya berkenaan dengan hal-hal baru yang harus mendapat perhatian oleh kalangan ahli hukum, khususnya para ahli Hukum Tata Negara Indonesia.Buku ini banyak menjabarkan temuan-temuan baru mengenai pengertian dan makna konstitusi yang tidak hanya berisikan norma-norma hukum saja tetapi mencakup norma etika. Pemikiran-pemikiran baru beliau tentang perkembangan konstitusi dan konstitusionalisme dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan tentang hukum terutama Hukum Tata Negara, serta saya yakin dapat memberikan pemahaman–pemahaman yang baru kepada masyarakat luas mengenai perkembangan konstitusi dan konstitusionalisme di Indonesia.
The purpose of this study is to analyze the position of victims in criminal acts of illegal logging, find juridical reasons to the extent that the state pays more attention to state losses as victims compared to the position of the community as victims in illegal logging. This research method uses a qualitative approach with normative juridical law design. Data collection techniques using library research. Data analysis techniques: (1) presentation, (2) data reduction, and (3) collection and verification. The results of the study: (1) The position of the victim in the case of illegal logging in the criminal justice system is still lacking due to the regulation of the law and the principles in the Criminal Procedure Code itself more prioritizing retribution as embezzlement, ie seeing how much loss arises due to the perpetrators criminal without seeing the position of the community as victims indirectly. Whereas in terms of justification or legal basis in which the government / state is more concerned with the state's loss than the community as a victim. There are principles in the Indonesian criminal procedure law which are strengthened by the Constitutional Court's decision in "MKRI ruling Number 3 / PUU-VIII / 2010" which argues that state control over the earth and water and the natural resources contained therein. This means that the state is given the freedom to regulate, make policies, manage and oversee the use of the earth and water and natural resources contained in it with a constitutional measure that is as much as possible the prosperity of the people and considers the rights of the people as victims only of an objective nature where the state takes policy with more attention to victims generally.
Notaris merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah yang diberikan kewenangan menjalankan sebagian tugas negara yaitu menerbitkan alat bukti tertulis berupa akta autentik, di mana notaris memperoleh keterangan dari para pihak yang mempercayakan segala keterangannya kepada notaris oleh karena itu jabatan notaris merupakan jabatan kepercayaan. Selaku pejabat umum, notaris tidak saja terikat pada peraturan jabatan tetapi juga terikat pada sumpah jabatannya dimana notaris wajib merahasiakan isi akta dan segala keterangan yang diperolehnya. Seiring dengan perkembangan jaman, seringkali notaris dipanggil untuk dimintai keterangan sebagai saksi terkait dengan akta yang dibuat dihadapannya. Berdasarkan Putusan MKRI Nomor 49/PUU-X/2012 yang menghapuskan frase dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD) Wewenang MPD dalam memberikan perlindungan kepada notaris menjadi sirna. Terkait dengan hal tersebut maka berdasarkan ketentuan Pasal 66 UUJN-P UU No. 2 Tahun 2014 dibentuklah Majelis Kehormatan Notaris (MKN),yang salah satu fungsinya memberikan jawaban menolak atau memberi persetujuan terhadap pemanggilan notaris. Jika lewat dari batas waktu yang ditentukan maka MKN dianggap menyetujui notaris tersebut untuk diperiksa. Persetujuan dari MKN ini dapat dijadikan kunci pembuka dari pengajuan Hak Ingkar. Kata Kunci : Akta Autentik, Perlindungan Hukum, Hak Ingkar Notaris. ; A notary is an extension of the government which is authorized to carry out past of the state's task of issuing written evidence in the form of an authentic deed, in which the notary obtains information form the parties entrusting all their statements to the notary therefore the position of a notary is a position of trust. As a public official, a notary is not only bound to the rules of office but also bound to the oath where the notary must keep the contents of the deed and all information obtained. Along with the changing times, it is often a notary being summoned for questioning as a witness related to the deed made before notary. Based on the Decision of the Constitution of the Republic of Indonesia Number 49/PUU-X/2012 which eliminates the phrase with the approval of the Regional Supervisory Board (MPD) authority in providing protection on the notary becames obliterated. Related to that matter, based on the provisions og Article 66 of the Amendeed Law on Position of Notary of Law Number 2 Year 2014, the Honorary Council of Notary (MKN) was established, which one of its functions is to determine whether to refuse or to give approval to the summon of a notary. If it passes from the specified time limit the MKN is deemed to used as the opening key of the submission of the Denial Right. Keywords : Authentic Deed, Legal Protection, Denial Right of Natary